Harm-Reduction

Global Forum on Nicotine 2023 dan Upaya Mengurangi Dampak Buruk Rokok

Sudah menjadi rahasia umum bahwa, rokok merupakan salah stau ancaman terbesar bagi kesehatan publik banyak negara-negara di dunia, termasuk juga di Indonesia. Rokok konvensional yang dibakar telah terbukti dapat menyebabkan berbagai penyakit kronis, seperti kanker dan serangan jantung.

Penyakit kronis yang disebabkan oleh konsumsi rokok ini bukan hanya memberikan dampak yang negatif terhadap individu yang mengonsumsinya, tetapi juga terhadap institusi kesehatan publik yang membiayai kesehatan masyarakat. Dengan banyaknya orang-orang yang mengalami penyakit kronis karena konsumsi rokok, tentu hal ini akan membuat biaya kesehatan publik menjadi membengkak. Di Indonesia sendiri misalnya, pada tahun 2021 lalu, tercatat bahwa BPJS mengeluarkan dana 15 triliun rupiah per tahun untuk biaya kesehatan yang disebabkan oleh rokok (kompas.tv, 14/12/2021).

Oleh karena itu, berbagai yurisdiksi di negara-negara di dunia sudah mengeluarkan berbagai aturan regulasi untuk memitigasi dampak negatif dari rokok tersebut kepada individu dan masyarakat. Adanya aturan tersebut sangat beragam, mulai dari kebijakan cukai rokok untuk menaikkan harga, sehingga mengurangi insentif seseorang untuk merokok, hingga aturan yang sangat ketat seperti pelarangan total seluruh kegiatan produksi dan konsumsi rokok.

Indonesia sendiri merupakan salah satu negara yang sudah memberlakukan berbagai regulasi dan aturan yang ditujukan untuk mengurangi jumlah perokok aktif. Beberapa diantaranya yang sangat umum diketahui adalah pemberlakuan cukai rokok, yang semakin meningkat seiring berjalannya waktu. Selain itu, Indonesia juga memiliki regulasi lain terkait dengan periklanan, seperti tidak boleh menampilkan produk rokok di iklan-iklan yang dibuat oleh perusahaan rokok.

Diharapkan, melalui berbagai regulasi tersebut, insentif seseorang untuk merokok menjadi semakin berkurang, dan akan memperbaiki kesehatan publik, karena penyakit kronis yang disebabkan oleh rokok akan menurun. Tetapi, sepertinya berbagai kebijakan ini belum cukup, melihat fakta justru jumlah populasi perokok cenderung terus mengalami kenaikan dari tahun ke tahun.

Akan tetapi, seiring berjalannya waktu, berbagai kebijakan tersebut seakan terlihat kurang berhasil dalam mencapai tujuannya. Dari tahun ke tahun, jumlah populasi perokok di Indonesia kian naik. Pada tahun 2011 lalu, jumlah perokok dewasa di Indonesia berjumlah sekitar 60,3 juta jiwa. Angka tersebut mengalami peningkatan pada tahun 2021, menjadi 69,1 juta jiwa (cnnindonesia.com, 31/5/2022).

Hal ini tentu merupakan sesuatu yang sangat mengkhawatirkan dan harus segera diatasi secepatnya. Memang harus diakui bahwa, meninggalkan rokok bagi perokok aktif, apalagi yang sudah sangat lama selama belasan hingga puluhan tahun, bukan sesuatu yag mudah dilakukan. Rokok mengandung zat nikotin yang membuat para penggunanya mengalami adiksi.

Untuk itu, adanya aturan regulasi yang berfokus pada pelarangan dan meningkatkan harga saja tidak cukup. Dibutuhkan langkah lain dengan menggunakan pendekatan yang berbeda, agar tujuan untuk mengurangi jumlah perokok di Indonesia dapat tercapai dan berhasil.

Hal ini lah yang menjadi topik bahasan dalam acara Global Forum Nicotine (GFN) 2023, yang berlangsung di Polandia pada tanggal 21-24 Juni lalu. GFN sendiri merupakan konferensi rutin yang berfokus pada isu-isu mengenai kebijakan harm reduction dan inovasi untuk mengurangi dampak negatif dari rokok. Konferensi tahun ini sendiri dihadiri oleh peserta dari 84 negara (filtermag.org, 6/7/2023).

Pentingnya riset dan penelitian mengenai solusi harm reduction yang paling efektif menjadi salah satu topik panel diskusi dalam konferensi ini. Cochrane Review yang dipublikasikan oleh Universitas Oxford misalnya, menunjukkan bahwa rokok elektrik merupakan salah satu alat yang paling efektif untuk membantu para perokok untuk berhenti merokok.

Berdasarkan hasil riset yang dilakukan di tiga negara (34 studi di Amerika Serikat, 16 studi di Inggris, dan 8 studi di Italia), para perokok aktif berpotensi besar untuk menggantikan kebiasaan merokoknya ke rokok elektrik dalam kurun waktu kurang dari 6 bulan dibandingkan dengan langkah lain, seperti terapi nikotin (antaranews.com, 3/8/2023).

Dalam panel lainnya misalnya, peneliti dan dosen Fakultas Farmasi Universitas Padjajaran, Neily Zakiyah, mengungkapkan bahwa inormasi yang disebarkan terkait dengan resiko dari produk alternatif seperti rokok elektrk harus berdasarkan kajia ilmiah. Hal in isangat penting agar masyarakat bisa mendapatkan informasi secara tepat dan akurat. Selain itu, adanya kolaborasi untuk menyampaikan informasi tersebut, seperti para ilmuwan, media, dan komunitas, juga penting untuk diupayakan (antaranews.com, 3/8/2023).

Selain itu, pandangan bahwa vape atau produk nikotin alternatif lainnya sebagai penyebab beberapa penyakit juga menjadi topik bahasan dalam konferensi ini. Peneliti Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Padjajaran (UNPAD), Dr. Amaliya misalnya, dalam konferensi ini menyarakan bahwa produk nikotin alternatif seperti vape bukan menjadi penyebab masalah kesehatan gusi (jpnn.com, 10/7/2023).

Sebagai penutup, rokok konvensional yang dibakar merupakan salah satu penyebab terbesar masalah kesehatan publik di berbagai negara, termasuk juga Indonesia. Untuk itu, adanya informasi yang tepat yang dapat membantu para perokok untuk berhenti merokok, salah satunya melalui produk nikotin alternatif yang jauh lebih tidak berbahaya, adalah hal yang sangat penting.

Originally published here

What next after GEG? Ban on sugar, fatty food, flights to curb danger, Wan Saiful questions

KUALA LUMPUR – As Putrajaya pursues its controversial move to ban cigarettes for those born from 2007, a Bersatu leader has questioned Putrajaya if it will also ban flights, sugar and fatty food as it poses danger to health. 

Former information chief Wan Saiful Wan Jan said sugar poses significant health problems and flights carry inherent risks, even potentially leading to fatalities.

“So is the government going to take an easy way out to ban these products too. What next? Karaoke centres because there is a possibility of close proximity,” he said.

Wan Saiful said this during a discussion on the Control of Smoking Products for Public Health Bill 2023, also known as the Generational Endgame (GEG) Bill, which is currently under review by the parliamentary select committee (PSC) on health

He said such short-sighted approach of blanket ban on cigarettes would not yield results as it would push youths underground, making matters worse as it will be hard to curb illicit markets.

“Issues like this should not be touched this way. There must be stakeholder engagement on how we could tackle this,” he said, adding that it was crucial to empower the public with knowledge.

He said as for secondary smokers issue, the government could empower people to stop people from smoking as inhaling secondary smoke was unhealthy.

“My fear is we are moving towards allowing the government to take over our choices of freedom,” he said.

Read the full text here

GEG enforcement may cost govt RM305mil a year, says researcher

KUALA LUMPUR: The total enforcement cost for the Generational End Game (GEG) bill may reach up to RM305 million a year, says a researcher.

Bait al-Amanah research director Benedict Weerasena said the estimate covers the cost of the track-and-trace system, public awareness campaigns and hiring of additional enforcement officers.

“Equipment, vehicles and training, administrative costs of fines imposed, and additional enforcement costs to curtail the growth of illicit cigarette markets are included in the estimate as well,” he said at an event today hosted by Consumer Choice Centre (CCC).

However, Weerasena said the estimate is dependent on the full details of the enforcement powers agreed upon in the final version of the Control of Smoking Product for Public Health Bill 2023, or commonly known as the GEG bill, whereby wider-ranging powers would translate into higher enforcement costs.

Weerasena and Bill Wirtz, a policy analyst for the CCC, said the government should not rush into legislating the GEG bill.

Read the full text here

Pentingnya Upaya Harm Reduction Melalui Inovasi dan Informasi yang Tepat

Sudah menjadi rahasia umum bahwa, rokok merupakan salah satu musuh besar kesehatan publik yang ada di dunia. Di dalam sebatang rokok, terkandung berbagai komponen yang, bila dikonsumsi secara rutin dalam waktu tertentu, bisa menyebabkan berbagai penyakit kronis, seperti kanker dan serangan jantung.

Tidak hanya itu, rokok juga mengandung nikotin yang membuat penggunanya menjadi kecanduan, dan sangat sulit untuk berhenti merokok. Adanya berbagai zat beracun yang membuat penyakit kronis, hingga zat yang membuat penggunanya kecanduan, merupakan kombinasi yang mematikan yang harus dihadapi oleh para perokok.

Oleh karena itu, berbagai yurisdiksi di seluruh dunia memberlakukan berbagai regulasi dan aturan ketat yang mengatur segala aspek industri rokok, mulai dari produksi, distribusi, dan juga konsumsi rokok. Adanya aturan ini bermacam-macam, mulai dari yang paling ringan, seperti mengenakan pajak dan cukai tinggi untuk produk-produk tembakau, hingga yang paling berat, seperti pelarangan total seluruh kegiatan produksi dan konsumsi produk-produk hasil olahan tembakau.

Sebagaimana dengan negara-negara lainnya, Indonesia juga memiliki serangkaian kebijakan yang bertujuan untuk meregulasi dan mengatur peredaran dan konsumsi rokok atau produk tembakau lainnya. Beberapa diantaranya yang sangat umum dan bisa kita amati adalah kewajiban bagi produsen rokok untuk mencantumkan dampak berbahaya dari rokok, adanya cukai rokok yang semakin meningkat, larangan iklan rokok dengan menunjukkan produknya di televisi, dan lain sebagainya.

Namun, sepertinya berbagai upaya tersebut memilki dampak yang belum cukup. Dilansir dari Kementerian Kesehatan Republik Indonesia (Kemenkes) misalnya, Indonesia mengalami peningkatan jumlah perokok dalam kurun waktu 1 dekade (2011 – 2021), dari 60,3 juta menjadi 69,1 juta (badankebijakan.kemkes.go.id, 3/6/2022). Hal ini tentu tidak mengherankan, mengingat bahwa rokok mengandung zat yang dapat membuat penggunanya mengalami kecanduan dan sulit untuk berhenti.

Dengan demikian, dibutuhkan berbagai kebijakan lain yang ditujukan untuk mengurangi jumlah perokok yang ada di Indonesia, yang berfokus pada masalah besar yang membuat seseorag tidak bisa berhenti merokok, yakni karena rokok mengandung zat yang membuat penggunanya mengalami kecanduan. Salah satu dari langkah yang bisa dilakukan adalah dengan menyediakan produk alternatif dari rokok, yang terbukti jauh lebih tidak berbahaya.

Pada tahun 2015 lalu, lembaga kesehatan publik asal Inggris, Public Health England (PHE), mengeluarkan laporan yang menyatakan bahwa vape atau rokok elektrik merupakan produk yang 95% jauh lebih tidak berbahaya dibandingkan dengan rokok konvensional yang dibakar. Oleh karena itu, vape merupakan salah satu alat yang bisa digunakan untuk membantu perokok untuk berhenti merokok (theguardian.com, 28/12/2018).

Inggris sendiri menjadi salah satu negara yang secara resmi sudah menjadikan vape sebagai salah satu alat yang bisa digunakan oleh para perokok untuk berhenti merokok. Badan kesehatan Inggris, National Health Service (NHS) misalnya, menyatakan bahwa vape bisa membantu perokok untuk mengatur dan mengelola keinginan mereka akan nikotin, Telah ada banyak bukti orang-orang perokok yang dapat menghentikan kebiasaan merokoknya dengan bantuan vape (nhs.uk, 10/10/2022).

Sayangnya, diseminasi informasi mengenai upaya harm reduction untuk mengurangi jumlah perokok dengan bantuan vape dan produk nikotin alternatif lainnya masih sangat kurang, termasuk juga di Indonesia. Untuk itu, diperlukan semakin banyak diseminasi informasi mengenai hal tersebut agar para perokok dapat semakin terbantu untuk berhenti, dan jumlah perokok aktif dapat semakin ditekan dan berkurang.

Pada tanggal 10 Mei 2023 lalu misalnya, diselenggarakan acara Innovation Summit Southeast Asia 2023 oleh lembaga Center for Market Education (CME), Property Rights Alliance, dan Tholos Foundation. Acara tersebut dilaksanakan di ibukota Malaysia, Kuala Lumpur, dan membahas berbagai topik seputar inovasi, baik dari sisi institusi, aspek ketahanan pangan, perdagangan bebas,dan juga harm reduction (gatra.com, 2/6/2023).

Dalam salah satu panel yang membahas mengenai harm reduction misalnya, para panelis menyatakan bahwa sangat penting untuk mengimplementasikan program harm reduction yang bertumpu pada inovasi, salah satunya adalah melalui produk-produk nikotin alternatif. Pelarangan belaka merupakan kebijakan yang tidak efektif karena setiap individu akan cenderung berupaya untuk mencari kesenangan, salah satunya tentu melalui rokok.

Untuk itu dibutuhkan serangkaian kebijakan agar program harm reduction bisa terlaksana dengan baik. Misalnya, dengan kebijakan perpajakan yang berbeda untuk mendorong inovasi dan meningkatkan insentif perokok untuk beralih ke produk lain yang terbukti lebih aman (gatra.com, 2/6/2023).

Dalam panel tersebut disampaikan juga mengenai “The Tobacco Control Plan for England” yang dirilis oleh Pemerintah Inggris pada tahun 2017 lalu. Dalam rencana tersebut, disampaikan mengenai peroduk alternatif yang bisa berperan mengurangi berbagai resiko kesehatan yang disebabkan oleh rokok. Tidak hanya Inggris, Jepang juga menjadi salah satu negara yang memperkenalkan produk nikotin alternatif pada tahun 2013 dengan pengguna yang semakin meningkat, dan jumlah perokok yang semakin menurun (vapeboss.co.id, 29/5/2023).

Di sisi lain, bila ada negara yang mengambil langkah pelarangan, bukan tidak mungkin hal tersebut justru akan menjadi hal yang kontra produktif, karena akan semakin menyuburkan peredaran produk-produk ilegal. Selain itu, melalui pelarangan, hal ini juga akan semakin membuka kesempatan korupsi yang lebih besar liputan6.com, 22/5/2023).

Sebagai penutup, adanya acara seperti Innovation Summit Southeast Asia 2023 ini merupakan sesuatu yang penting untuk menyebarkan pentingnya inovasi, dan juga mendiseminasikan informasi mengenai harm reduction. Terlebih lagi, Indonesia sendiri merupakan salah satu negara dengan jumlah populasi perokok tertinggi di dunia.

Semoga, melalui diseminasi informasi mengenai harm reduction yang semakin meningkat, akan semakin banyak perokok di Indonesia yang beralih ke produk lain yang lebih tidak berbahaya. Dengan demikian, akan semakin sedikit perokok aktif di Indonesia, dan kesehatan publik akan semakin membaik.

Originally published here

Harm reduction, not policing, will boost public health in Alabama

By: Elizabeth Hicks & Stephen Kent

In a landmark move earlier this year, Alabama state lawmakers passed first-of-its-kind legislation effectively outlawing the use of cigarettes and vaping products in vehicles when a child 14 years of age or younger is present. That law is now in effect statewide. While the intent behind this legislation is undoubtedly noble, the treatment of vaping and smoking as equals is going to cause real harm in Alabama. This will not go the way lawmakers think. 

The idea of the new law is simple. Adults should not be subjecting young children to cigarette smoke and adversely impacting their health when the kids have no say in the matter. Smoking, after all, is a choice that adult consumers make for themselves. 

Older folks who grew up in the heyday of cigarette smoking often share some memories of being in smokey cars with the windows rolled up, toughing it out at a time when smokers weren’t widely aware of the hazard posed by second-hand smoke to their passengers. That time is past. 

Acknowledging this fact, we have to all ask ourselves what protection is owed to young passengers in the car with smokers, and also what kind of laws will reduce harm for both children and their parent/guardian in the driver’s seat. Alabama Representative Rolanda Hollis made an effort to address this in HB3, but the law’s failure to make distinctions between cigarettes and vape products which have been shown to be 95% less harmful than traditional cigarettes, is not going to be a net benefit to public health. 

Alabama is a state that sees a staggering number of smoking-related fatalities, close to 8,600 deaths annually, along with nearly $309 million in Medicaid costs incurred by the state. Reducing these harms is important, and it should start with incentivizing cigarette smokers to switch. Passing laws that insinuate the two products are equally harmful reads to a smoker as an excuse to keep on with the product they’re accustomed to. Switching can be hard, but the potential for small social benefits like not being kicked to the curb every time you want to smoke is one of those things that makes the switch to vaping easier. The same goes for smokers behind the steering wheel. 

Harm reduction strategies work. There is little evidence, however, to show that punitive measures like $100 fines for smoking in the car whilst parenting is going to be a boon to public health in states like Alabama. 

As is well known, cigarettes contain a harmful cocktail of chemicals and tar, which contribute to respiratory diseases and cancer. These components are not present in the vapor produced by e-cigarettes.  Toxicologist Igor Burstyn of Drexel University noted that the contents of e-cig vapor “justifies surveillance,” but that exhaled vapor contains so little contamination that the risk to bystanders is insignificant. This has been supported by Public Health England’s updated review of evidence in 2018. 

Tacking financial penalties to vaping in the car, even with the windows down and fresh air flowing in, smacks of the early days of COVID-19 alarmism when police were arresting people for being outside at public beaches or doing watersports. When it comes to vaping, the level of risk and the effort that will be required to police the activity, just don’t line up. 

Yes, nicotine fuels both products in question, and there’s no getting away from its addictive qualities for the smoker. If the Heart of Dixie wants to lead the way in protecting public health, it is never too late to embrace harm reduction strategies when it comes to smoking. 

Elizabeth Hicks is the U.S. Affairs Analyst and Stephen Kent is the Media Director for the Consumer Choice Center

Pentingnya Peran Pelaku Industri Vape untuk Mencegah Penyalahgunaan Produk

Rokok elektrik, yang dikenal juga dengan istilah vape, saat ini merupakan salah satu produk yang semakin banyak dikonsumsi oleh berbagai kalangan. Saat ini, khususnya kita yang tinggal di daerah perkotaan, bisa dengan mudah menemukan berbagai pengguna vape, dan juga pertokoan yang menjual berbagai produk rokok elektrik dengan segala variasinya.

Ada berbagai alasan mengapa vape atau rokok elektrik mengalami peningkatan konsumen. Beberapa diantaranya adalah variasi rasa rokok elektrik yang sangat beragam dibandingkan dengan rokok konvensional, harganya yang lebih murah, khususnya bagi perokok aktif yang biasanya mengkonsumsi rokok dalam jumlah besar, hingga kandungan vape yang jauh lebih tidak berbahaya bila dibandingkan dengan rokok konvensional yang dibakar.

Tetapi di sisi lain, dengan semakin banyaknya pengguna rokok elektrik, tentu muncul berbagai penyalahgunaan terhadap produk vape yang ridak semestinya. Dan tidak jarang, berbagai penyalahgunaan tersebut juga menimbulkan korban. Misalnya, kejadian yang terjadi di Amerika Serikat beberapa waktu lalu, di mana ada beberapa pengguna vape yang meninggal setelah menggunakan produk vape palsu. Pemilik usaha vape palsu tersebut akhirnya segera ditangkap oleh pihak yang berwajib (npr.org, 9/10/2019).

Adanya produk vape ilegal, sama seperti produk-produk ilegal lainnya, tentu merupakan sesuatu yang sangat berbahaya bagi konsumen dan harus segera diatasi. Jangan sampai, banyak orang menjadi mengalami sakit hingga meninggal karena menggunakan produk-produk yang berbahaya.

Berbagai bentuk penyalahgunaan ini tentu bukan hanya hal yang terjadi di Amerika Serikat saja. Di Indonesia misalnya, ada berbagai praktik penyalahgunaan rokok elektrik atau vape yang bisa kita temui di berbagai tempat, dan harus dapat segera kita atasi.

Salah satunya misalnya, konsumen rokok elektrik di bawa umur. Padahal, vape atau rokok elektrik, sebagaimana produk-produk lain seperti rokok dan alkohol, merupakan produk-produk yang diperuntukkan untuk orang dewasa. Anak-anak merupakan kelompok usia yang harus dilarang mengkonsumsi berbagai produk-produk tersebut, dan siapa pun yang terlibat dalam penjualan produk rokok elektrik kepada anak-anak harus diberi sanksi.

Contoh lainnya misalnya adalah konsumsi vape yang dilakukan oleh ibu hamil. Hal ini tentu juga bukan sesuatu yang tepat untuk dilakukan. Tidak seharusnya, vape atau rokok elektrik dikonsumsi oleh perempuan hamil karena berpotensi menimbulkan berbagai dampak yang tidak diinginkan bagi bayi yang dikandungnya.

Agar permasalahan penyalahgunaan tersebut bisa diatasi dengan baik, tentu aksi keterlibatan dari aparat penegak hukum untuk menindak pihak-pihak yang melanggar saja tidak cukup. Dibutuhkan pula peran aktif dan para pelaku usaha untuk terlibat secara langsung untuk mengatasi berbagai penyalahgunaan produk-produk rokok elektrik tersebut, yang tidak jarang dilakukan.

Berita baiknya, para pelaku usaha rokok elektrik di Indonesia bersedia mengambil langkah tersebut. Beberapa waktu lalu, asosiasi pelaku usaha vape, Asosiasi Personal Vaporizer Indonesia (APVI), menyatakan bahwa mereka berkomitmen untuk membantu pemerintah dalam mencegah penyalahgunaan berbagai produk vape dan roko elektrik (finance.detik.com, 4/7/2023).

Ada beberapa langkah yang akan dilakukan oleh APVI sebagai wujud komitmen asosiasi tersebut dalam membantu pemerintah melakukan pencegahan penyalahgunaan rokok elektrik. Diantaranya adalah, aturan asosiasi bagi apra anggota APVI untuk tidak menjual produk-produk tersebut kepada anak-anak, perempuan hamil, dan juga orang-orang yang tidak merokok. Selain itu, APVI juga berkomitmen untuk melakukan edukasi publik untuk memperkecil potensi penyalahgunaan produk-produk vape.

Tetapi pada saat yang sama, APVI juga mengatakan bahwa sangat penting bagi pemerintah untuk dapat bersikap objektif terhadap kajian-kajian yang ada di luar negeri mengenai produk nikotin alternatif seperti vape. Sebagaimana yang sudah disampaikan oleh lembaga-lembaga kesehatan dunia seperti Public Health England dari Inggris, vape atau rokok elektrik merupakan produk yang 95% jauh lebih tidak berbahaya bila dibandingkan dengan rokok konvensional yang dibakar (gov.uk, 19/8/2015)

Sikap objektif dari pemerintah terhadap berbagai kajian tersebut tentu merupakan sesuatu yang sangat penting untuk mencegah misinformasi mengenai vape dan rokok elektrik. Melalui hasil kajian tersebut, tentu diharapkan akan semakin banyak perokok yang berhenti merokok dan beralih ke produk alternatif yang jauh lebih tidak berbahaya untuk membantu mereka menghentikan kebiasaan merokoknya.

Tidak hanya dari sisi pelaku usaha, organisasi konsumen vape juga menyatakan komitmen mereka untuk mencegah penyalahgunaan vape dan produk nikotin alternatif. Aliansi Vapers Indonesia (AVI), yang merupakan organisasi konsumen vape, menyatkan bahwa mereka mendukung upaya APVI untuk mencegah peyalahgunaan produk-produk vape melalui berbagai kegiatan kampanye dan sosialisasi. Selain itu, AVI juga mengkampanyekan kepada para anggotanya untuk ikut turut menyebarkan informasi tentang hal tersebut (finance.detik.com, 4/7/2023).

Sebagai penutup, komitmen yang ditunjukkan oleh APVI dan juga AVI ini untuk mencegah berbagai penyalahgunaan rokok elektrik dan produk nikotin alternatif tentu sesuatu yang patut untuk didukung dan diapresiasi. Diharapkan, melalui komitmen ini, sosialisasi dan kampanye mengenai pencegahan penyalahgunaan tersebut dapat semakin masif, dan akan semakin sedikit orang-orang yang menggunakan rokok elektrik secara yang bukan semestinya.

Originally published here

Checking in on Michael Bloomberg’s multi-million dollar global crusade against harm reduction

For years, we’ve covered the extent of former New York City mayor Michael Bloomberg’s multi-million dollar campaigns to try to shape the lives of ordinary consumers.

What began as an erstwhile nanny state campaign on Big Gulps in New York City has ballooned into a massively funded operation that uses grants and NGO funding on many tobacco issues, mostly on outlawing nicotine alternatives like vaping products.

In 2019, Bloomberg pledged $160 million to get US states and localities to ban flavored vaping products, mostly funneled to anti-tobacco groups who’ve pivoted from “stop smoking” campaigns to “stop consuming nicotine in all forms.”

Those efforts quickly scaled to the level of the World Health Organization, including funding US anti-tobacco groups in the millions to even go so far to completely outlaw nicotine alternatives in developing countries across Latin America, Asia, and more. While nations on these continents typically have larger smoking populations than in the US and Europe, they have thus far been deprived of the life-saving nicotine alternatives that would serve as a less harmful switch away from smoking.

In the name of “halting tobacco,” Bloomberg and the organizations he funds have actively sought to poison the well of tobacco harm reduction by miscasting vaping products as “just as bad” as combustible tobacco. Even though health agencies in nations such as the United Kingdom, New Zealand, and even Canada actively recommend vaping products to get smokers to quit, this option is kept off the table in developing nations where Bloomberg has influence.

In February of this year, Bloomberg’s commitment to severely restrict harm reduction increased significantly to nearly $420 million, hoping to drive a larger global campaign in 110 countries around the world to cut off citizens from nicotine alternatives that are less harmful.

Over $280 million of that money will focus on developing countries, offering grants to political groups, health agencies, and politicians to implement a zero-tolerance nicotine agenda.

The issue with Bloomberg’s approach, and by extension the dozens of health and anti-tobacco groups he funds, is their denial of the real scientific evidence on tobacco harm reduction.

Rather than endorse the market-derived alternatives that have been successful in getting adult smokers to quit – much more effectively than government education programs – they have created a false equivalence between the vape and the cigarette.

That not only harms public health, but continues to fester a narrative of misinformation that has captured many public health researchers and government agencies. We know this all too well from our cross-national survey of health practitioners in Europe, in which many doctors were simply unaware of the growing category of less harmful nicotine alternatives like vaping, heat-not-burn sticks, nicotine pouches, and more.

As Bloomberg continues his global crusade against harm reduction, and many groups pick up his baton to carry out policies to deny safer options to smokers who need them in developing countries, researchers and activists must continue to underscore the need for options and consumer choice when it comes to nicotine alternatives.

Consumers, political leaders, and community activists must uphold the both scientific and anecdotal evidence provided by the consumer-led revolution in harm reduction. Only then can we continue to save lives, influence better policy, and ensure a generation of people who will have more options to live their lives, not less.

The government must end spreading myths around vaping to prevent the spread of false information

KUALA LUMPUR, 25th May 2023 – The Consumer Choice Center (CCC) demands that the government must stop issuing myths or false statements about vaping being more dangerous than cigarettes in order to avoid misunderstandings and the spread of inaccurate information to consumers and the public.

Representative of the Malaysian Consumer Choice Center, Tarmizi Anuwar said: “It is time for the government to stop spreading myths or false information about vaping being supposedly more dangerous than cigarettes. Many internationally recognized scientific studies have concluded that switching completely to vaping provides important health benefits as opposed to continuing to smoke.

In September 2022, the latest research from the Institute of Psychiatry, Psychology & Neuroscience (IoPPN) at King’s College London found that the use of vaping products compared to smoking leads to a significant reduction in exposure to toxins that promote cancer, lung disease and cardiovascular disease.

In addition, Tarmizi also said that claims about vaping causing diseases such as EVALI and popcorn lung is completely deceptive as advertised and there needs to be a law based on facts and scientific studies to regulate vaping products immediately.

“So much misleading news are connecting e-cigarettes to lung injuries known as EVALI. But the root cause is the abuse of prohibited substances containing vitamin E acetate and not legal vaping products.”

“A study conducted by Research Cancer UK indicates that e-cigarettes generally do not cause pulmonary disease known as popcorn lung. To date, no confirmed cases of popcorn lung have been reported among individuals using electronic cigarettes or vaping products.”

“That is why it is important that facts and science be used as the primary means of formulating legislation aimed at setting quality and safety standards for vaping. This not only protects consumers, but also ensures that vaping is one of the effective tools in helping people quit smoking.”

Regarding the so-called many teenagers around the world becoming addicted to nicotine and taking cigarettes because of vaping, Tarmizi believes there is no data to support the view that this problem is spreading among teenagers but believes that vaping underage should not be allowed.

Recently, the Director of the Center for Tobacco Products, Food and Drug Administration, Dr. Brian King said that vaping is not a gateway to smoking for teenagers. He said the use of cigarettes and smoke-free tobacco has declined more rapidly since 2012, when the use of e-cigarettes began to rise.

In addition, the health charity that aims to end the dangers of tobacco established by the Royal College of Physicians, Action on Smoking and Health, states that youth smoking rates are at an all-time low in the United Kingdom and that the use of electronic cigarettes by youth between 11-18 years old is rare.

“However, minors should not be allowed to vape. In order to avoid or reduce the risk of this happening, the government needs to enforce age restrictions through smart rules such as using modern age verification technology for online sales,” he concluded.

GOVERNMENT ARROGANCE DEFIES SCIENTIFIC FACTS

It may surprise those who need to become more familiar with how politics works in Hungary. Still, it is just business as usual for those familiar with the government’s stand on policy issues.

Whenever opposition members of parliament raise a sensible policy issue, the Hungarian government finds a way to either discredit the MP, shove the topic off the table, or completely disregard the issue. This was no different when László Lukács, the party group leader of Jobbik-Conservatives, asked the Minister of the Interior a question about revisiting the regulation regarding e-cigarettes. (It might be worth another article on what the Minister of the Interior has to do with health issues, but Hungary has not had a Health Ministry since Fidesz took over 13 years ago).

MP Lukács enquired about the possibility of changing the law since it has been in effect for seven years and new scientific evidence has come to light in many countries; people have experienced positive results due to more flexible legislatures and common sense.

But this is Hungary, where many policy issues meet with the arrogance of government officials who disregard facts and only focus on humiliating their colleagues in opposition.

The reply by the State Secretary was relatively straightforward. The Hungarian government considers vaping harmful and would not plan on changing the present legislation: no consideration, no openness to new studies, and no interest in looking at best practices.

The attitude of the State Secretary has shocked Michael Landl, the director of the World Vapers’ Alliance (the guest on our podcastsome months ago), who issued a press release about the official statement presented by the Hungarian government. According to Mr. Landl, “It is shocking that the Hungarian government still pedals worn-out and debunked myths about vaping. Rétvári systematically ignores scientific evidence proving the benefits of vaping, not to mention the first-hand experience of millions of vapers. Vaping is 95% less harmful than smoking and a more effective method to quit smoking than traditional therapies such as gum and nicotine patches. The Hungarian approach to vaping will do nothing but cost lives.” 

The director of the WVA also claims that the statement shows that Hungary ignores science and spreads misinformation about vaping. He says that “This is not a good sign for public health. Vaping is not the same as smoking and must be treated differently. Equating a 95% less harmful alternative with smoking will prevent thousands of smokers from quitting.”

It is worth noting that the Hungarian government disregards Swedish and British examples showing the success of using vaping as a harm reduction tool to give up smoking.  These two countries are experiencing record-low smoking rates and illnesses attributed to smoking, and they provide the world with good examples of switching from smoking to vaping. This, however, falls on deaf ears in the prohibitionist Hungarian government, which would probably also defend witchcraft if its interests required it.

Originally published here

Pentingnya Peneliti Indonesia Meneliti Kebijakan Harm Reduction di Negara Lain

Rokok elektrik, atau yang dikenal juga dengan nama vape, saat ini merupakan produk yang digunakan oleh banyak orang di seluruh dunia, termasuk juga di Indonesia. Kita, khususnya yang tinggal di wilayah perkotaan, tentu sudah tidak asing lagi melihat penggunaan rokok elektrik di berbagai tempat.

Indonesia sendiri memiliki jumlah populasi pengguna vape yang tidak kecil. Tercatat pada tahun 2022 lalu misalnya, Indonesia memiliki sekitar 2,2 juta pengguna vape, di mana angka ini merupakan peningkatan sebesar 40% dari tahun 2021 (ekonomi.bisnis.com, 18/7/2022).

Jumlah pengguna di atas 2 juta orang tentu bukan merupakan angka yang kecil. Dengan besarnya jumlah pengguna vape tersebut, tentu ada alasan yang beragam yang membuat para konsumen untuk menggunakan produk tersebut. Mulai dari alasan finansial, bahwa secara total biaya vape lebih murah dibandingkan rokok, hingga vape digunakan sebagai alat yang dapat membantu para penggunanya untuk mengurangi atau berhenti merokok.

Vape atau rokok elektrik sendiri memang sudah menjadi salah satu alat yang difungsikan untuk membantu para perokok untuk mengurangi hingga menghentikan kebiasaan merokoknya. Inggris misalnya, melalui National Health Service (NHS), telah merekomendasikan rokok elektrik sebagai alat untuk membantu para perokok untuk berhenti merokok (nhs.uk, 10/10/2022).

Di sisi lain, tidak sedikit pula pihak-pihak yang memiliki tanggapan negatif terhadap fenomena meningkatnya pengguna vape di Indonesia. Mereka yang memiliki sikap sangat kontra, umumnya berpandangan bahwa vape atau rokok elektrik merupakan produk yang sangat berbahaya bagi kesehatan publik sehingga harus dilarang, atau setidaknya diregulasi secara sangat ketat.

Beberapa lembaga kesehatan dunia sendiri justru telah menyatakan bahwa rokok elektrik atau vape merupakan produk yang lebih aman dibandingkan rokok konvensional yang dibakar. Lembaga kesehatan publik asal Inggris, Public Health England, misalnya, pada tahun 2015 lalu, mengeluarkan laporan yang menyatakan bahwa vape merupakan produk yang 95% lebih tidak berbahaya bila dibandingkan dengan rokok konvensional yang dibakar (theguardian.com, 28/12/2018).

Itulah sebabnya, vape cukup sering digunakan sebagai alat untuk membantu kebijakan harm reduction dari rokok. Harm reduction sendiri merupakan serangkaian kebijakan atau program yang ditujukan untuk mengurangi dampak negatif dari penggunaan produk tertentu yang berbahaya, seperti rokok misalnya.

Menjadikan vape atau rokok elektrik sebagai alat untuk membantu program dan kebijakan harm reduction sendiri mungkin merupakan sesuatu yang belum terlalu akrab di telinga publik. Tidak bisa dipungkiri, salah satu penyebab utama dari hal ini adalah masih banyak pihak-pihak yang memiliki pandangan bahwa vape merupakan produk yang sama bahayanya, atau bahkan jauh lebih berbahaya, dari rokok konvensional yang dibakar.

Untuk itu, sangat penting bagi para peneliti dan juga para pembuat kebijakan untuk bekerja sama dan saling bertukar pengalaman dengan para peneliti dan juga pembuat kebijakan harm reduction di negara lain. Indonesia sendiri sebenarnya sudah memiliki potensi untuk melakukan hal tersebut.

Beberapa waktu lalu misalnya, ada peneliti asal Indonesia yang memaparkan penelitian mengenai pengurangan bahaya tembakau di sebuah konferensi di ibukota Filipina, Manila. Dalam konferensi tersebut, tim peneliti dari Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Padjadjaran (FKG UNPAD) memaparkan mengenai penelitian mereka mengenai masalah tingkat merokok yang tinggi di Indonesia dan dampaknya terhadap kesehatan, khususnya terhadap kesehatan gigi dan mulut.

Dalam pemaparannya, tim FKG UNPAD menyatakan bahwa terdapat perbedaan profil risiko pengguna vape dan produk tembakau yang dipanaskan dengan rokok konvensional. Risiko vape dan tembakau yang dipanaskan terhadap kesehatan lebih rendah bila dibandingkan dengan rokok (tribunnews.com, 24/3/2023).

Selain itu, dipaparkan juga oleh tim tersebut bahwa produk vape dan tembakau yang dipanaskan memiliki peran potensial untuk membantu para perokok aktif untuk mengurangi kebiasaan merokoknya. Tidak hanya itu, tim dari FKG UNPAD tersebut juga melakukan studi yang mengevaluasi penggunaan vape dan tembakau yang dipanaskan secara jangka panjang, yang juga berkolaborasi dengan berbagai peneliti dari negara lain seperti Italia, Polandia, dan Moldova (tribunnews.com, 24/3/2023).

Adanya peran aktif para peneliti Indonesia di konferensi internasional dan juga kerja sama dengan peneliti dari negara lain tentu merupakan hal yang patut untuk diapresiasi dan didukung. Permasalahan kesehatan publik yang disebabkan oleh rokok tentu bukan hanya masalah besar yang melanda Indonesia, tetapi juga masalah besar yang dialami oleh banyak negara di dunia.

Sebagai penutup, rokok merupakan salah satu masalah kesehatan publik terbesar di Indonesia saat ini, mengingat bahwa Indonesia merupakan salah satu negara dengan prevalensi perokok dewasa tertinggi di dunia. Melalui kerjasama dan kolaborasi penelitian tersebut, diharapkan akan tercipta ekosistem penelitian mengenai program dan kebijakan harm reduction yang lebih komprehensif, dan para peneliti dan pembuat kebijakan di Indonesia bisa saling belajar satu sama lain dan bertukar pengalaman dengan para peneliti dan pembuat kebijakan dari negara-negara lain.

Originally published here

The UK to Handout a Million Vape Starter Kits to Smokers Seeking to Quit

The Ministry of Health will be giving out the kits as part of a new anti-smoking drive which includes plans for a crackdown on illicit vape sales. 

While official UK public health groups such as Public Health England (PHE) and Action on Smoking and Health (ASH) keep assuring that there is no teen vaping epidemic while arguing in favour of the benefits of vapes for smoking cessation, the Guardian has just released an article claiming that teen vaping is a “public health catastrophe.”

“I am concerned that we are sleepwalking into a public health catastrophe with a generation of children hooked on nicotine,” said Prof. Andrew Bush, a consultant paediatric chest physician at Royal Brompton and Harefield hospitals, as quoted by the Guardian. The article went on to quote a number of parents who are voicing their concerns about their children’s vaping habits.

Meanwhile, the Consumer Choice Center (CCC) cited a 2021 Action on Smoking and Health (ASH) report, which examined vaping behaviours among youths in the UK, and found that an overwhelming majority (83%) of teens and pre-teens aged between 11 and 18, have never tried or even heard of e-cigarettes. This finding has remained consistent since 2017.

Read the full text here

Unity gov’t needs to swiftly legislate sale of only ‘registered’ vapes to prevent drug abuse

THE Malaysian Substance Abuse Council (MASAC) has called on the Government to put in place a special budget for further studies towards creating a special law to mandate that only vapes approved by the Government can be sold by traders.

The come about as the presence of various vape brands that do not go through the proper approval process has resulted in vapes flavoured with prohibited substances such as drugs to be made available in the market, according to MASAC president Ahmad Lutfi Abdul Latiff.

“This has resulted in more drug addicts starting to smoke drugs through the use of vapes that are not registered with the government before gradually switching to more dangerous types of drugs in the future,” he highlighted in MASAC’s revised Budget 2023 wish list.

“There is a need to streamline efforts to create special legislation to sell only registered vapes, ability to control the use of prohibited substances such as drugs from widespread use especially among teenagers and towards increasing the government’s income from registered vape taxes.”

Meanwhile, the Consumer Choice Centre (CCC) agrees with Health Minister Dr Zaliha Mustafa regarding concerns about the sale of vaping-related products to children.

According to the representative of its Malaysian chapter, Tarmizi Anuwar, CCC does not support vaping by youth or children under 18 years of age and suggested that the government quickly implement smart laws to regulate the sale and marketing of vape products.

Read the full text here

Scroll to top
en_USEN

Follow us

WASHINGTON

712 H St NE PMB 94982
Washington, DC 20002

BRUSSELS

Rond Point Schuman 6, Box 5 Brussels, 1040, Belgium

LONDON

Golden Cross House, 8 Duncannon Street
London, WC2N 4JF, UK

KUALA LUMPUR

Block D, Platinum Sentral, Jalan Stesen Sentral 2, Level 3 - 5 Kuala Lumpur, 50470, Malaysia

OTTAWA

718-170 Laurier Ave W Ottawa, ON K1P 5V5

© COPYRIGHT 2025, CONSUMER CHOICE CENTER

Also from the Consumer Choice Center: ConsumerChamps.EU | FreeTrade4us.org