fbpx

Harm-Reduction

Proposal on Restricting Vaping Spaces Harms Scottish Vapers

London (UK), 9 February 2024 – The Consumer Choice Center (CCC) is worried about tobacco harm reduction methods being impeded on by the latest proposal of the Scottish Conservative Party to ban vaping in enclosed public spaces.

In a statement, Mr Mike Salem, the UK Country Associate for CCC expressed concern about the proposal. He stated: “Adding hurdles to vaping will only serve to revert those who are trying to quit smoking right back into it.”

Salem further criticised the statement made by Dr Sandesh Gulhane, the shadow health secretary of the Scottish Conservatives when the latter expressed concern regarding the lack of “solid evidence about the health effects [of vaping].” Salem’s response is: “the evidence is pretty clear and statistically significant on the matter; vaping is far less harmful than smoking, and to limit its usage will reduce health prospects of smokers who are trying to quit. If Dr Gulhane has any doubts about that he should check NHS Scotland’s website”. 

The CCC is surprised that such a misinformed claim about vaping is being made by a potential future Scottish health secretary. Public Health England shows that e-cigarettes are 95% less harmful than tobacco. As such, the CCC champions vaping as an effective method for reducing tobacco harm and calls on the Scottish Conservative Party to reconsider its position on the matter.

Government to remove the Generational Endgame coincides with the principles of the federal constitution

KUALA LUMPUR, 7th November 2023 – The Consumer Choice Center (CCC) is supporting the government’s action to remove the generational endgame from the Control of Smoking Products for Public Health Bill 2023 because it is against the principle of equality before the law. 

Representative of the Malaysian Consumer Choice Center, Tarmizi Anuwar said: “The government’s decision to remove the generational endgame provisions needs to be supported because this coincides with the spirit of the Federal Constitution.” 

“The CCC strongly disagreed with the proposed ban because it violated the fundamental rights of Malaysians that everyone is equal under the law and entitled to equal protection under the law as stated in Article 8 of the Federal Constitution. The law must be fair for all generations and every group of society. The law cannot give only one advantage to one generation and deprive it from another.”

However, Tarmizi emphasized that the government needs to immediately regulate vaping to ensure the safety of consumers and avoid misunderstandings or myths about this harm reduction product.

“The government needs to immediately introduce smart laws to regulate vaping to ensure the safety of users can be guaranteed and minors protected. The absence of this law exposes consumers to the risk of products that do not meet health regulations on the market.”

“This absence also causes the public to not get accurate information about vaping which is 95 percent safer than cigarettes and able to be the most important alternative to effectively reduce smokers in Malaysia.”

Public Health England estimates that vaping is 95 percent less harmful to the user’s health than regular cigarettes. 

One of the latest research studies from the Institute of Psychiatry, Psychology & Neuroscience (IoPPN) at King’s College London vaping can lead to a significant reduction in exposure to toxins that promote cancer, lung disease and cardiovascular disease.

“This is the best time for the government to end the myth about vaping and recognize tobacco harm reduction as the main strategy to reduce smokers in Malaysia,” he concluded.

Pentingnya Melibatkan Semua Pihak dalam Perumusan Kebijakan Tembakau

Kebijakan regulasi tembakau merupakan salah satu kebijakan yang kerap menimbulkan berbagai pro dan kontra di berbagai negara di dunia, termasuk juga di Indonesia. 

Di satu sisi, tembakau merupakan salah satu bahan dasar untuk produk rokok, yang sudah terbukti menjadi salah satu sumber berbagai penyakit kronis terhadap para penggunanya.

Tetapi di sisi lain, tidak bisa dipungkiri bahwa industri tembakau merupakan industri yang tidak kecil di Indonesia, dan menjadi mata pencaharian jutaan orang di negara kita.

Di Indonesia misalnya, berdasarkan Kementerian Perindustrian, ada sekitar 5,98 juta pekerja yang bekerja di sektor industri tembakau, yang terdiri dari 4,28 juta pekerja di sektor manufaktor dan 1,7 juta bekerja di sektor perkebunan (kemenperin.go.id, 25/3/2019).

Dengan demikian, adanya berbagai aturan yang mengatur dan meregulasi industri rokok merupakan hal yang akan membawa dampak yang sangat besar dan signifikan kepada banyak orang. 

Para pekerja yang bekerja di sektor tersebut misalnya, merupakan salah satu pihak yang tentunya paling merasakan dampak dari penerapan regulasi dan juga aturan terkait dengan industri tembakau.

Untuk itu, keterlibatan berbagai pihak yang menjadi stakeholder dari kebijakan tersebut, dan jangan sampai hanya melibatkan 1 pihak saja. Para pakar kesehatan misalnya, tentu sangat penting untuk dilibatkan dalam perumusan kebijakan tersebut. 

Tapi di sisi lain, sektor usaha di mana jutaan orang menggantungkan pendapatan mereka untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari jangan sampai diabaikan.

Tidak hanya pakar kesehatan dan juga perwakilan dari dunia usaha misalnya, sangat penting juga untuk melibatkan pihak lain yang tentunya akan merasakan dampak yang besar dari adanya kebijakan regulasi ini, yakni para konsumen yang menggunakan produk tersebut. 

Jangan sampai, karena tidak melibatka para konsumen, kebijakan yang memiliki itikad baik untuk memperbaiki kesehatan publik justru menjadi kontraproduktif dan menghasilkan dampak yang berlawanan dari tujuan awalnya.

Beberapa waktu lalu misalnya, peemrintah melalui Kementerian Kesehatan (Kemenkes) mengeluarkan rancangan peraturan pemerintah (RPP) kesehatan terkait dengan pengamana zat adiktif, yang dirancang untuk melaksanakan amanat undang-undang kesehatan, Misalnya pasal 457, dianggap oleh sebagian pihak merupakan [asal yang berpotensi bertentangan dengan Undang-Undang Budi Daya no 22 tahun 2019.

Kementerian Pertanian (Kementan) misalnya, menyatakana bahwa Undang-Undang Budi Daya tahun 2019 menjadmin kebebasan masyarakat untuk memilih berbagai jenis budi daya tanaman. 

Dimasukkannya pengaturan mengenai tembakau dalam RPP tersebut dengan demikian dianggap bertentangan dari undang-undang tersebut (news.detik.com, 12/10/2023).

Selain itu, tidak hanya dari Kementerian Pertanian, Kamar Dagang Indonesia (KADIN) juga mengungkapkan bahwa dimasukkannya tembakau ke dalam RPP kesehatan ini merupaka sesuatu yang tidak sejalan dengan Undang-Undang Kesehatan.

Tembakau sendiri tidak dimasukkan sebagai komoditas terlarang oleh undang-undang tersebut, dan maka dari itu RPP ini harus segera direvisi oleh Kementerian Kesehatan (rejogja.republika.co.id, 11/10/2023).

Masih terkait dengan hal tersebut, KADIN juga mengungkapkan bahwa terdapat banyak produk turunan tembakau, yang merupakan sumber pekerjaan bagi jutaan rakyat Indonesia. 

Oleh karena itu, meskipun aspek kesehatan merupakan sesuatu yang sangat penting untuk diperhatikan, tetapi bukan berarti aspek ekonomi menjadi tidak dilihat. 

Aspek ekonomi menjadi hal yang juga sangat penting untuk diperhatikan dalam perumusan kebijakan karena hal tersebut berdampak besar terhadap mata pencaharian jutaan orang yang tinggal di Indonesia.

Hal yang sama juga diungkapkan oleh para petani tembakau yang ada di Indonesia. Asosiasi Petani Tembakau Indonesia (APTI) misalnya, mengungkapkan bahwa RPP ini terkesan agak dipaksakan, dan bukan hasil musyawarah untuk mencari solusi dalam perumusan kebijakan. Belum lagi, perputaran ekonomi dari sektor tembakau sangat besar di tingkat masyarakat bawah (sumbar.antaranews.com, 6/10/2023).

Pihak lain yang juga menunjukkan sikap serupa adalah Aliansi Masyarakat Tembakau Indonesia (AMTI), yang menganggap bahwa RPP tersebut bersifat sangat restriktif. 

Dalam hal ini, bukan berarti lantas seluruh industri tembakau tidak perlu diregulasi dan dibuat peraturannya. Pemerintah tentu dapat membuat regulasi yang mengatur industri sektor tersebut.

Untuk itu, AMTI mengusulkan bahwa sebaiknya tembakau diatur dalam peraturan pemerintah tersendiri, dan bukan digabungkan ke dalam RPP Kesehatan. AMTI sendiri mengakui bahwa sebenarnya pemerintah memiliki itikad yang baik dalam menyusun RPP kesehatan tersebut, maka dari itu sangat penting untuk membicarakan pengaturan ekosistem tembakau di Indonesia yang secara seksama, adil, dan berimbang (viva.co.id, 22/09/2023).

Sebagai penutup, kesehatan publik tentu merupakan hal yang sangat penting untuk diperhatikan oleh pemerintah ketika mengeluarkan kebijakan. Akan tetapi, di sisi lain, aspek ekonomi juga merupakan sesuatu yang tidak bisa diabaikan, karena berkaitan erat dengan mata pencaharian jutaan orang.

Untuk itu, ketika para pembuat kebijakan membuat aturan tertentu, sangat penting untuk melibatkan seluruh pihak terkait terutama mereka yang akan terkena dampak besar dari kebijakan tersebut. Hal ini temasuk juga dalam hal kebijakan mengenai tembakau di Indonesia.

Originally published here

Ensure Generational Endgame policy achievable in decreasing smoking prevalence in Malaysia, says consumer body

KUALA LUMPUR: Policymakers should delve deeper into the Generational Endgame (GEG) policy, ensuring it offers a practical and attainable method to decrease smoking prevalence in Malaysia.

The Malaysian Consumer Choice Center (MCCC) representative Tarmizi Anuwar said the government also needs to carry out a more meaningful and quality engagement process to ensure that every stakeholder is involved adequately in the consultation process. 

“We do not want just to be given a 10-to-15-minute presentation but not have any further discussion after that,” Tarmizi said in a statement.

CCC recently published a report entitled Roundtable Discussion on Smoking Product Control in Public Health: Room for Improvement.

The main purpose of the round table discussion is to get alternative views from experts in various fields and comprehensively assess and scrutinise the bill considering health, legal, economic and feasibility aspects. 

Read the full text here

Global Forum on Nicotine 2023 dan Upaya Mengurangi Dampak Buruk Rokok

Sudah menjadi rahasia umum bahwa, rokok merupakan salah stau ancaman terbesar bagi kesehatan publik banyak negara-negara di dunia, termasuk juga di Indonesia. Rokok konvensional yang dibakar telah terbukti dapat menyebabkan berbagai penyakit kronis, seperti kanker dan serangan jantung.

Penyakit kronis yang disebabkan oleh konsumsi rokok ini bukan hanya memberikan dampak yang negatif terhadap individu yang mengonsumsinya, tetapi juga terhadap institusi kesehatan publik yang membiayai kesehatan masyarakat. Dengan banyaknya orang-orang yang mengalami penyakit kronis karena konsumsi rokok, tentu hal ini akan membuat biaya kesehatan publik menjadi membengkak. Di Indonesia sendiri misalnya, pada tahun 2021 lalu, tercatat bahwa BPJS mengeluarkan dana 15 triliun rupiah per tahun untuk biaya kesehatan yang disebabkan oleh rokok (kompas.tv, 14/12/2021).

Oleh karena itu, berbagai yurisdiksi di negara-negara di dunia sudah mengeluarkan berbagai aturan regulasi untuk memitigasi dampak negatif dari rokok tersebut kepada individu dan masyarakat. Adanya aturan tersebut sangat beragam, mulai dari kebijakan cukai rokok untuk menaikkan harga, sehingga mengurangi insentif seseorang untuk merokok, hingga aturan yang sangat ketat seperti pelarangan total seluruh kegiatan produksi dan konsumsi rokok.

Indonesia sendiri merupakan salah satu negara yang sudah memberlakukan berbagai regulasi dan aturan yang ditujukan untuk mengurangi jumlah perokok aktif. Beberapa diantaranya yang sangat umum diketahui adalah pemberlakuan cukai rokok, yang semakin meningkat seiring berjalannya waktu. Selain itu, Indonesia juga memiliki regulasi lain terkait dengan periklanan, seperti tidak boleh menampilkan produk rokok di iklan-iklan yang dibuat oleh perusahaan rokok.

Diharapkan, melalui berbagai regulasi tersebut, insentif seseorang untuk merokok menjadi semakin berkurang, dan akan memperbaiki kesehatan publik, karena penyakit kronis yang disebabkan oleh rokok akan menurun. Tetapi, sepertinya berbagai kebijakan ini belum cukup, melihat fakta justru jumlah populasi perokok cenderung terus mengalami kenaikan dari tahun ke tahun.

Akan tetapi, seiring berjalannya waktu, berbagai kebijakan tersebut seakan terlihat kurang berhasil dalam mencapai tujuannya. Dari tahun ke tahun, jumlah populasi perokok di Indonesia kian naik. Pada tahun 2011 lalu, jumlah perokok dewasa di Indonesia berjumlah sekitar 60,3 juta jiwa. Angka tersebut mengalami peningkatan pada tahun 2021, menjadi 69,1 juta jiwa (cnnindonesia.com, 31/5/2022).

Hal ini tentu merupakan sesuatu yang sangat mengkhawatirkan dan harus segera diatasi secepatnya. Memang harus diakui bahwa, meninggalkan rokok bagi perokok aktif, apalagi yang sudah sangat lama selama belasan hingga puluhan tahun, bukan sesuatu yag mudah dilakukan. Rokok mengandung zat nikotin yang membuat para penggunanya mengalami adiksi.

Untuk itu, adanya aturan regulasi yang berfokus pada pelarangan dan meningkatkan harga saja tidak cukup. Dibutuhkan langkah lain dengan menggunakan pendekatan yang berbeda, agar tujuan untuk mengurangi jumlah perokok di Indonesia dapat tercapai dan berhasil.

Hal ini lah yang menjadi topik bahasan dalam acara Global Forum Nicotine (GFN) 2023, yang berlangsung di Polandia pada tanggal 21-24 Juni lalu. GFN sendiri merupakan konferensi rutin yang berfokus pada isu-isu mengenai kebijakan harm reduction dan inovasi untuk mengurangi dampak negatif dari rokok. Konferensi tahun ini sendiri dihadiri oleh peserta dari 84 negara (filtermag.org, 6/7/2023).

Pentingnya riset dan penelitian mengenai solusi harm reduction yang paling efektif menjadi salah satu topik panel diskusi dalam konferensi ini. Cochrane Review yang dipublikasikan oleh Universitas Oxford misalnya, menunjukkan bahwa rokok elektrik merupakan salah satu alat yang paling efektif untuk membantu para perokok untuk berhenti merokok.

Berdasarkan hasil riset yang dilakukan di tiga negara (34 studi di Amerika Serikat, 16 studi di Inggris, dan 8 studi di Italia), para perokok aktif berpotensi besar untuk menggantikan kebiasaan merokoknya ke rokok elektrik dalam kurun waktu kurang dari 6 bulan dibandingkan dengan langkah lain, seperti terapi nikotin (antaranews.com, 3/8/2023).

Dalam panel lainnya misalnya, peneliti dan dosen Fakultas Farmasi Universitas Padjajaran, Neily Zakiyah, mengungkapkan bahwa inormasi yang disebarkan terkait dengan resiko dari produk alternatif seperti rokok elektrk harus berdasarkan kajia ilmiah. Hal in isangat penting agar masyarakat bisa mendapatkan informasi secara tepat dan akurat. Selain itu, adanya kolaborasi untuk menyampaikan informasi tersebut, seperti para ilmuwan, media, dan komunitas, juga penting untuk diupayakan (antaranews.com, 3/8/2023).

Selain itu, pandangan bahwa vape atau produk nikotin alternatif lainnya sebagai penyebab beberapa penyakit juga menjadi topik bahasan dalam konferensi ini. Peneliti Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Padjajaran (UNPAD), Dr. Amaliya misalnya, dalam konferensi ini menyarakan bahwa produk nikotin alternatif seperti vape bukan menjadi penyebab masalah kesehatan gusi (jpnn.com, 10/7/2023).

Sebagai penutup, rokok konvensional yang dibakar merupakan salah satu penyebab terbesar masalah kesehatan publik di berbagai negara, termasuk juga Indonesia. Untuk itu, adanya informasi yang tepat yang dapat membantu para perokok untuk berhenti merokok, salah satunya melalui produk nikotin alternatif yang jauh lebih tidak berbahaya, adalah hal yang sangat penting.

Originally published here

What next after GEG? Ban on sugar, fatty food, flights to curb danger, Wan Saiful questions

KUALA LUMPUR – As Putrajaya pursues its controversial move to ban cigarettes for those born from 2007, a Bersatu leader has questioned Putrajaya if it will also ban flights, sugar and fatty food as it poses danger to health. 

Former information chief Wan Saiful Wan Jan said sugar poses significant health problems and flights carry inherent risks, even potentially leading to fatalities.

“So is the government going to take an easy way out to ban these products too. What next? Karaoke centres because there is a possibility of close proximity,” he said.

Wan Saiful said this during a discussion on the Control of Smoking Products for Public Health Bill 2023, also known as the Generational Endgame (GEG) Bill, which is currently under review by the parliamentary select committee (PSC) on health

He said such short-sighted approach of blanket ban on cigarettes would not yield results as it would push youths underground, making matters worse as it will be hard to curb illicit markets.

“Issues like this should not be touched this way. There must be stakeholder engagement on how we could tackle this,” he said, adding that it was crucial to empower the public with knowledge.

He said as for secondary smokers issue, the government could empower people to stop people from smoking as inhaling secondary smoke was unhealthy.

“My fear is we are moving towards allowing the government to take over our choices of freedom,” he said.

Read the full text here

GEG enforcement may cost govt RM305mil a year, says researcher

KUALA LUMPUR: The total enforcement cost for the Generational End Game (GEG) bill may reach up to RM305 million a year, says a researcher.

Bait al-Amanah research director Benedict Weerasena said the estimate covers the cost of the track-and-trace system, public awareness campaigns and hiring of additional enforcement officers.

“Equipment, vehicles and training, administrative costs of fines imposed, and additional enforcement costs to curtail the growth of illicit cigarette markets are included in the estimate as well,” he said at an event today hosted by Consumer Choice Centre (CCC).

However, Weerasena said the estimate is dependent on the full details of the enforcement powers agreed upon in the final version of the Control of Smoking Product for Public Health Bill 2023, or commonly known as the GEG bill, whereby wider-ranging powers would translate into higher enforcement costs.

Weerasena and Bill Wirtz, a policy analyst for the CCC, said the government should not rush into legislating the GEG bill.

Read the full text here

Pentingnya Upaya Harm Reduction Melalui Inovasi dan Informasi yang Tepat

Sudah menjadi rahasia umum bahwa, rokok merupakan salah satu musuh besar kesehatan publik yang ada di dunia. Di dalam sebatang rokok, terkandung berbagai komponen yang, bila dikonsumsi secara rutin dalam waktu tertentu, bisa menyebabkan berbagai penyakit kronis, seperti kanker dan serangan jantung.

Tidak hanya itu, rokok juga mengandung nikotin yang membuat penggunanya menjadi kecanduan, dan sangat sulit untuk berhenti merokok. Adanya berbagai zat beracun yang membuat penyakit kronis, hingga zat yang membuat penggunanya kecanduan, merupakan kombinasi yang mematikan yang harus dihadapi oleh para perokok.

Oleh karena itu, berbagai yurisdiksi di seluruh dunia memberlakukan berbagai regulasi dan aturan ketat yang mengatur segala aspek industri rokok, mulai dari produksi, distribusi, dan juga konsumsi rokok. Adanya aturan ini bermacam-macam, mulai dari yang paling ringan, seperti mengenakan pajak dan cukai tinggi untuk produk-produk tembakau, hingga yang paling berat, seperti pelarangan total seluruh kegiatan produksi dan konsumsi produk-produk hasil olahan tembakau.

Sebagaimana dengan negara-negara lainnya, Indonesia juga memiliki serangkaian kebijakan yang bertujuan untuk meregulasi dan mengatur peredaran dan konsumsi rokok atau produk tembakau lainnya. Beberapa diantaranya yang sangat umum dan bisa kita amati adalah kewajiban bagi produsen rokok untuk mencantumkan dampak berbahaya dari rokok, adanya cukai rokok yang semakin meningkat, larangan iklan rokok dengan menunjukkan produknya di televisi, dan lain sebagainya.

Namun, sepertinya berbagai upaya tersebut memilki dampak yang belum cukup. Dilansir dari Kementerian Kesehatan Republik Indonesia (Kemenkes) misalnya, Indonesia mengalami peningkatan jumlah perokok dalam kurun waktu 1 dekade (2011 – 2021), dari 60,3 juta menjadi 69,1 juta (badankebijakan.kemkes.go.id, 3/6/2022). Hal ini tentu tidak mengherankan, mengingat bahwa rokok mengandung zat yang dapat membuat penggunanya mengalami kecanduan dan sulit untuk berhenti.

Dengan demikian, dibutuhkan berbagai kebijakan lain yang ditujukan untuk mengurangi jumlah perokok yang ada di Indonesia, yang berfokus pada masalah besar yang membuat seseorag tidak bisa berhenti merokok, yakni karena rokok mengandung zat yang membuat penggunanya mengalami kecanduan. Salah satu dari langkah yang bisa dilakukan adalah dengan menyediakan produk alternatif dari rokok, yang terbukti jauh lebih tidak berbahaya.

Pada tahun 2015 lalu, lembaga kesehatan publik asal Inggris, Public Health England (PHE), mengeluarkan laporan yang menyatakan bahwa vape atau rokok elektrik merupakan produk yang 95% jauh lebih tidak berbahaya dibandingkan dengan rokok konvensional yang dibakar. Oleh karena itu, vape merupakan salah satu alat yang bisa digunakan untuk membantu perokok untuk berhenti merokok (theguardian.com, 28/12/2018).

Inggris sendiri menjadi salah satu negara yang secara resmi sudah menjadikan vape sebagai salah satu alat yang bisa digunakan oleh para perokok untuk berhenti merokok. Badan kesehatan Inggris, National Health Service (NHS) misalnya, menyatakan bahwa vape bisa membantu perokok untuk mengatur dan mengelola keinginan mereka akan nikotin, Telah ada banyak bukti orang-orang perokok yang dapat menghentikan kebiasaan merokoknya dengan bantuan vape (nhs.uk, 10/10/2022).

Sayangnya, diseminasi informasi mengenai upaya harm reduction untuk mengurangi jumlah perokok dengan bantuan vape dan produk nikotin alternatif lainnya masih sangat kurang, termasuk juga di Indonesia. Untuk itu, diperlukan semakin banyak diseminasi informasi mengenai hal tersebut agar para perokok dapat semakin terbantu untuk berhenti, dan jumlah perokok aktif dapat semakin ditekan dan berkurang.

Pada tanggal 10 Mei 2023 lalu misalnya, diselenggarakan acara Innovation Summit Southeast Asia 2023 oleh lembaga Center for Market Education (CME), Property Rights Alliance, dan Tholos Foundation. Acara tersebut dilaksanakan di ibukota Malaysia, Kuala Lumpur, dan membahas berbagai topik seputar inovasi, baik dari sisi institusi, aspek ketahanan pangan, perdagangan bebas,dan juga harm reduction (gatra.com, 2/6/2023).

Dalam salah satu panel yang membahas mengenai harm reduction misalnya, para panelis menyatakan bahwa sangat penting untuk mengimplementasikan program harm reduction yang bertumpu pada inovasi, salah satunya adalah melalui produk-produk nikotin alternatif. Pelarangan belaka merupakan kebijakan yang tidak efektif karena setiap individu akan cenderung berupaya untuk mencari kesenangan, salah satunya tentu melalui rokok.

Untuk itu dibutuhkan serangkaian kebijakan agar program harm reduction bisa terlaksana dengan baik. Misalnya, dengan kebijakan perpajakan yang berbeda untuk mendorong inovasi dan meningkatkan insentif perokok untuk beralih ke produk lain yang terbukti lebih aman (gatra.com, 2/6/2023).

Dalam panel tersebut disampaikan juga mengenai “The Tobacco Control Plan for England” yang dirilis oleh Pemerintah Inggris pada tahun 2017 lalu. Dalam rencana tersebut, disampaikan mengenai peroduk alternatif yang bisa berperan mengurangi berbagai resiko kesehatan yang disebabkan oleh rokok. Tidak hanya Inggris, Jepang juga menjadi salah satu negara yang memperkenalkan produk nikotin alternatif pada tahun 2013 dengan pengguna yang semakin meningkat, dan jumlah perokok yang semakin menurun (vapeboss.co.id, 29/5/2023).

Di sisi lain, bila ada negara yang mengambil langkah pelarangan, bukan tidak mungkin hal tersebut justru akan menjadi hal yang kontra produktif, karena akan semakin menyuburkan peredaran produk-produk ilegal. Selain itu, melalui pelarangan, hal ini juga akan semakin membuka kesempatan korupsi yang lebih besar liputan6.com, 22/5/2023).

Sebagai penutup, adanya acara seperti Innovation Summit Southeast Asia 2023 ini merupakan sesuatu yang penting untuk menyebarkan pentingnya inovasi, dan juga mendiseminasikan informasi mengenai harm reduction. Terlebih lagi, Indonesia sendiri merupakan salah satu negara dengan jumlah populasi perokok tertinggi di dunia.

Semoga, melalui diseminasi informasi mengenai harm reduction yang semakin meningkat, akan semakin banyak perokok di Indonesia yang beralih ke produk lain yang lebih tidak berbahaya. Dengan demikian, akan semakin sedikit perokok aktif di Indonesia, dan kesehatan publik akan semakin membaik.

Originally published here

Harm reduction, not policing, will boost public health in Alabama

By: Elizabeth Hicks & Stephen Kent

In a landmark move earlier this year, Alabama state lawmakers passed first-of-its-kind legislation effectively outlawing the use of cigarettes and vaping products in vehicles when a child 14 years of age or younger is present. That law is now in effect statewide. While the intent behind this legislation is undoubtedly noble, the treatment of vaping and smoking as equals is going to cause real harm in Alabama. This will not go the way lawmakers think. 

The idea of the new law is simple. Adults should not be subjecting young children to cigarette smoke and adversely impacting their health when the kids have no say in the matter. Smoking, after all, is a choice that adult consumers make for themselves. 

Older folks who grew up in the heyday of cigarette smoking often share some memories of being in smokey cars with the windows rolled up, toughing it out at a time when smokers weren’t widely aware of the hazard posed by second-hand smoke to their passengers. That time is past. 

Acknowledging this fact, we have to all ask ourselves what protection is owed to young passengers in the car with smokers, and also what kind of laws will reduce harm for both children and their parent/guardian in the driver’s seat. Alabama Representative Rolanda Hollis made an effort to address this in HB3, but the law’s failure to make distinctions between cigarettes and vape products which have been shown to be 95% less harmful than traditional cigarettes, is not going to be a net benefit to public health. 

Alabama is a state that sees a staggering number of smoking-related fatalities, close to 8,600 deaths annually, along with nearly $309 million in Medicaid costs incurred by the state. Reducing these harms is important, and it should start with incentivizing cigarette smokers to switch. Passing laws that insinuate the two products are equally harmful reads to a smoker as an excuse to keep on with the product they’re accustomed to. Switching can be hard, but the potential for small social benefits like not being kicked to the curb every time you want to smoke is one of those things that makes the switch to vaping easier. The same goes for smokers behind the steering wheel. 

Harm reduction strategies work. There is little evidence, however, to show that punitive measures like $100 fines for smoking in the car whilst parenting is going to be a boon to public health in states like Alabama. 

As is well known, cigarettes contain a harmful cocktail of chemicals and tar, which contribute to respiratory diseases and cancer. These components are not present in the vapor produced by e-cigarettes.  Toxicologist Igor Burstyn of Drexel University noted that the contents of e-cig vapor “justifies surveillance,” but that exhaled vapor contains so little contamination that the risk to bystanders is insignificant. This has been supported by Public Health England’s updated review of evidence in 2018. 

Tacking financial penalties to vaping in the car, even with the windows down and fresh air flowing in, smacks of the early days of COVID-19 alarmism when police were arresting people for being outside at public beaches or doing watersports. When it comes to vaping, the level of risk and the effort that will be required to police the activity, just don’t line up. 

Yes, nicotine fuels both products in question, and there’s no getting away from its addictive qualities for the smoker. If the Heart of Dixie wants to lead the way in protecting public health, it is never too late to embrace harm reduction strategies when it comes to smoking. 

Elizabeth Hicks is the U.S. Affairs Analyst and Stephen Kent is the Media Director for the Consumer Choice Center

Pentingnya Peran Pelaku Industri Vape untuk Mencegah Penyalahgunaan Produk

Rokok elektrik, yang dikenal juga dengan istilah vape, saat ini merupakan salah satu produk yang semakin banyak dikonsumsi oleh berbagai kalangan. Saat ini, khususnya kita yang tinggal di daerah perkotaan, bisa dengan mudah menemukan berbagai pengguna vape, dan juga pertokoan yang menjual berbagai produk rokok elektrik dengan segala variasinya.

Ada berbagai alasan mengapa vape atau rokok elektrik mengalami peningkatan konsumen. Beberapa diantaranya adalah variasi rasa rokok elektrik yang sangat beragam dibandingkan dengan rokok konvensional, harganya yang lebih murah, khususnya bagi perokok aktif yang biasanya mengkonsumsi rokok dalam jumlah besar, hingga kandungan vape yang jauh lebih tidak berbahaya bila dibandingkan dengan rokok konvensional yang dibakar.

Tetapi di sisi lain, dengan semakin banyaknya pengguna rokok elektrik, tentu muncul berbagai penyalahgunaan terhadap produk vape yang ridak semestinya. Dan tidak jarang, berbagai penyalahgunaan tersebut juga menimbulkan korban. Misalnya, kejadian yang terjadi di Amerika Serikat beberapa waktu lalu, di mana ada beberapa pengguna vape yang meninggal setelah menggunakan produk vape palsu. Pemilik usaha vape palsu tersebut akhirnya segera ditangkap oleh pihak yang berwajib (npr.org, 9/10/2019).

Adanya produk vape ilegal, sama seperti produk-produk ilegal lainnya, tentu merupakan sesuatu yang sangat berbahaya bagi konsumen dan harus segera diatasi. Jangan sampai, banyak orang menjadi mengalami sakit hingga meninggal karena menggunakan produk-produk yang berbahaya.

Berbagai bentuk penyalahgunaan ini tentu bukan hanya hal yang terjadi di Amerika Serikat saja. Di Indonesia misalnya, ada berbagai praktik penyalahgunaan rokok elektrik atau vape yang bisa kita temui di berbagai tempat, dan harus dapat segera kita atasi.

Salah satunya misalnya, konsumen rokok elektrik di bawa umur. Padahal, vape atau rokok elektrik, sebagaimana produk-produk lain seperti rokok dan alkohol, merupakan produk-produk yang diperuntukkan untuk orang dewasa. Anak-anak merupakan kelompok usia yang harus dilarang mengkonsumsi berbagai produk-produk tersebut, dan siapa pun yang terlibat dalam penjualan produk rokok elektrik kepada anak-anak harus diberi sanksi.

Contoh lainnya misalnya adalah konsumsi vape yang dilakukan oleh ibu hamil. Hal ini tentu juga bukan sesuatu yang tepat untuk dilakukan. Tidak seharusnya, vape atau rokok elektrik dikonsumsi oleh perempuan hamil karena berpotensi menimbulkan berbagai dampak yang tidak diinginkan bagi bayi yang dikandungnya.

Agar permasalahan penyalahgunaan tersebut bisa diatasi dengan baik, tentu aksi keterlibatan dari aparat penegak hukum untuk menindak pihak-pihak yang melanggar saja tidak cukup. Dibutuhkan pula peran aktif dan para pelaku usaha untuk terlibat secara langsung untuk mengatasi berbagai penyalahgunaan produk-produk rokok elektrik tersebut, yang tidak jarang dilakukan.

Berita baiknya, para pelaku usaha rokok elektrik di Indonesia bersedia mengambil langkah tersebut. Beberapa waktu lalu, asosiasi pelaku usaha vape, Asosiasi Personal Vaporizer Indonesia (APVI), menyatakan bahwa mereka berkomitmen untuk membantu pemerintah dalam mencegah penyalahgunaan berbagai produk vape dan roko elektrik (finance.detik.com, 4/7/2023).

Ada beberapa langkah yang akan dilakukan oleh APVI sebagai wujud komitmen asosiasi tersebut dalam membantu pemerintah melakukan pencegahan penyalahgunaan rokok elektrik. Diantaranya adalah, aturan asosiasi bagi apra anggota APVI untuk tidak menjual produk-produk tersebut kepada anak-anak, perempuan hamil, dan juga orang-orang yang tidak merokok. Selain itu, APVI juga berkomitmen untuk melakukan edukasi publik untuk memperkecil potensi penyalahgunaan produk-produk vape.

Tetapi pada saat yang sama, APVI juga mengatakan bahwa sangat penting bagi pemerintah untuk dapat bersikap objektif terhadap kajian-kajian yang ada di luar negeri mengenai produk nikotin alternatif seperti vape. Sebagaimana yang sudah disampaikan oleh lembaga-lembaga kesehatan dunia seperti Public Health England dari Inggris, vape atau rokok elektrik merupakan produk yang 95% jauh lebih tidak berbahaya bila dibandingkan dengan rokok konvensional yang dibakar (gov.uk, 19/8/2015)

Sikap objektif dari pemerintah terhadap berbagai kajian tersebut tentu merupakan sesuatu yang sangat penting untuk mencegah misinformasi mengenai vape dan rokok elektrik. Melalui hasil kajian tersebut, tentu diharapkan akan semakin banyak perokok yang berhenti merokok dan beralih ke produk alternatif yang jauh lebih tidak berbahaya untuk membantu mereka menghentikan kebiasaan merokoknya.

Tidak hanya dari sisi pelaku usaha, organisasi konsumen vape juga menyatakan komitmen mereka untuk mencegah penyalahgunaan vape dan produk nikotin alternatif. Aliansi Vapers Indonesia (AVI), yang merupakan organisasi konsumen vape, menyatkan bahwa mereka mendukung upaya APVI untuk mencegah peyalahgunaan produk-produk vape melalui berbagai kegiatan kampanye dan sosialisasi. Selain itu, AVI juga mengkampanyekan kepada para anggotanya untuk ikut turut menyebarkan informasi tentang hal tersebut (finance.detik.com, 4/7/2023).

Sebagai penutup, komitmen yang ditunjukkan oleh APVI dan juga AVI ini untuk mencegah berbagai penyalahgunaan rokok elektrik dan produk nikotin alternatif tentu sesuatu yang patut untuk didukung dan diapresiasi. Diharapkan, melalui komitmen ini, sosialisasi dan kampanye mengenai pencegahan penyalahgunaan tersebut dapat semakin masif, dan akan semakin sedikit orang-orang yang menggunakan rokok elektrik secara yang bukan semestinya.

Originally published here

Scroll to top
en_USEN