fbpx

Mois : AMfévrier

Le ministère de la Santé a exhorté à prendre des recommandations immédiates dans le rapport de l'AG sur la fuite de données de MySejahtera

KUALA LUMPUR : Le Malaysia Consumer Choice Center (MCCC) exhorte le ministère de la Santé (MoH) à mettre en œuvre des mesures de sécurité immédiates pour empêcher le vol continu de données personnelles de l'application MySejahtera.

Cela fait suite à la série 2 du rapport du vérificateur général 2021, qui a révélé que le compte super-administrateur avait téléchargé les données personnelles de trois millions de Malaisiens dans l'application MySejahtera du 28 octobre au 31 octobre 2021.

Le représentant du MCCC, Tarmizi Anuwar, a exhorté le ministère de la Santé à améliorer les mesures de sécurité pour assurer la sécurité des consommateurs et que de tels incidents ne se reproduisent plus.

«Le ministère de la Santé doit agir immédiatement pour renforcer le système de gestion de la sécurité des données et l'application MySejahtera, comme recommandé par le rapport du vérificateur général, afin d'empêcher à nouveau l'intrusion des données des consommateurs.

Lire le texte complet ici

Débattre de l'approche conservatrice de la réglementation alimentaire

Dans cet épisode de "The Federalist Radio Hour", Bill Wirtz, analyste principal des politiques au Consumer Choice Center, rejoint Emily Jashinsky, rédactrice en chef de Federalist Culture, pour explorer la relation entre l'innovation agricole et le libre-échange et discuter des différences entre les réglementations alimentaires américaines et européennes. .

Ecoutez ICI

Kenapa KKM gagal kenal pasti data MySejahtera dimuat turun 'Super Admin', soal kumpulan pengguna

Wakilnya menggesa KKM segera bertindak memperketatkan sistem pengurusan keselamatan data dan aplikasi tersebut.

PETALING JAYA : Pusat Pilihan Pengguna (CCC) mengecam kerajaan kerana masih tidak mengenal pasti medan data peribadi yang dimuat turun daripada akaun "Super Admin" menerusi aplikasi MySejahtera, selepas lebih setahun laporan polis dibuat.

Wakilnya, Tarmizi Anuwar, menggesa Kementerian Kesihatan (KKM) mempertingkatkan langkah keselamatan bagi memastikan keselamatan data pengguna terjamin.

« KKM perlu segera bertindak memperketatkan sistem pengurusan keselamatan data dan aplikasi MySejahtera seperti disarankan laporan ketua audit negara bagi mengelakkan pencerobohan data berulang.

« Tindakan ini perlu diambil secepat mungkin kerana selepas satu tahun tiga bulan (laporan dibuat), kementerian masih tidak dapat mengenal pasti medan data peribadi telah dimuat turun.

« Hal ini sangat membimbangkan kerana lebih tiga juta data pengguna berisiko disalah guna pihak berkenaan », katanya dalam kenyataan.

Lire le texte complet ici

Industri Vape dan Revisi Peraturan Pemerintah No. 12 Tahun 2012

Sudah menjadi rahasia umum bahwa, Indonésie merupakan salah satu negara dengan jumlah perokok aktif terbanyak di dunia. Données de Berdasarkan dari Global Adult Tobacco Survey, pada tahun 2021 lalu misalnya, jumlah perokok dewasa di negara kita berjumlah sekitar 69,1 juta jiwa (sehatnegeriku.kemkes.go.id).

Angka ini tentu bukan jumlah yang sangat kecil. Jumlah perokok aktif yang besar di sebuah negara tentunya juga akan membawa berbagai masalah kesehatan publik yang besar seperti biaya kesehatan publik yang berpotensi besar akan membengkak yang disebabkan oleh berbagai penyakit kronis akibat konsumsi rokok.

Selain itu, yang mendapatkan penyakit kronis dari rokok tentunya juga bukan hanya mereka yang menjadi perokok aktif. Orang-orang yang tinggal dan berada di sekitar para perokok juga berpotensi dapat mengalami berbagai penyakit yang disebabkan oleh asap rokok yang mereka hisap, baik itu keluarga hingga masyarakat umum.

Untuk itu, jumlah tingginya populasi perokok di Indonesia bukan masalah yang kecil, dan harus dapat segera diselesaikan. Bila hal ini tidak diselesaikan, maka tentunya kesehatan publik masyarakat Indonésie bisa semakin terancam, dan juga akan semakin meningkatkan biaya kesehatan publik.

Harus diakui bahwa, permasalahan kesehatan yang disebabkan karena rokok tentu bukan hanya dialami oleh Indonésie saja, tetapi juga berbagai negara lain di seluruh dunia. Oleh karena itu, berbagai negara telah melakukan banyak upaya yang ditujukan untuk menanggulangi permasalahan tersebut, mulai dari peraturan yang membatasi peredaran produk-produk rokok secara ketat, hingga peraturan yang melarang total berbagai kegiatan produksi dan konsumsi rokok.

Indonésie sendiri sudah memiliki berbagai aturan yang ditujukan untuk mengurangi insentif seseorang untuk merokok, salah satunya adalah kebijakan cukai. Selain itu, beberapa tahun lalu misalnya, pemerintah Indonesia menerapkan aturan yang mewajibkan para produsen rokok untuk mencantumkan gambar yang menunjukkan dampak berbahaya dari konsumsi rokok terhadap kesehatan (antaranews.com, 20/06/2014).

Sehubungan dengan aturan tersebut, beberapa tahun lalu, Indonésie juga mengeluarkan regulasi untuk mengatur peredaran rokok di dalam negeri, salah satunya adalah Peraturan Pemerintah (PP) n° 109 tahun 2012. Aturan tersebut mmeberikan serangkaian regulasi mengenai penjualan produk-produk rokorangan, seper rokorangan distributeur automatique de rokok melalui, serta kewajiban mencantumkan bahaya rokok dan juga pembatasan hanya boleh menjual maksimum 20 batang rokok par bungkus.

Adanya aturan tersebut tentu bisa dipahami mengingat tingginya jumlah perokok yang ada di Indonesia. Bila jumlah perokok ini semakin meningkat, maka tentunya hal tersebut akan semakin membahayakan kesehatan publik dan akan semakin membengkakkan biaya layanan kesehatan yang dibiayai oleh pemerintah.

Terkait dengan peraturan tersebut, beberapa waktu lalu, Pemerintah Indonesia memutuskan untuk merevisi PP tentang regulasi produk tembakau tersebut. Beberapa revisi dari aturan tersebut diantaranya adalah mengenai pelarangan iklan, promosi, memperbesar gambar peringatan dalam bungkus rokok, dan juga pelarangan bagi para penjual untuk menjual rokok secara batangan (cnnindonesia.com, 27/01/2023).

Tetapi, tidak hanya itu. Adanya revisi tersebut juga berpotensi akan menyamaratakan regulasi yang dikenakan kepada rokok konvensional yang dibakar, dengan rokok elektrik. Sebelumnya, vape, yang masuk dalam golongan produk Hasil Pengolahan Tembakau Lainnya (HPTL) tidak termasuk dalam PP tersebut (ekonomi.bisnis.com, 28/7/2022).

Hal ini tentu merupakan perkembangan yang mengkhawatirkan. Bila vape atau rokok elektrik diregulasi dengan metode dan cara yang sama dengan rokok konvensional yang dibakar, maka tidak mustahil hal ini akan semakin mempersulit konsumen dalam mendapatkan produk vape. Dengan demikian, para perokok akan semakin sulit mendapatkan produk nikotin alternatif yang dapat membantu mereka mengurangi hingga menghentikan kebiasaan merokoknya.

Tidak hanya itu, wacana mengenai pelarangan vape di Indonesia juga merupakan hal yang semapt disampaikan oleh berbagai pihak di pemerintahan. Beberapa waktu lalu misalnya, Wakil Presiden Maaruf Amin mengatakan bahwa, bila vape atau rokok elektrik terbukti berbahaya, maka pasti akan dilarang oleh pemerintah (cnnindonesia.com, 27/01/2023).

Padahal, laporan yang dikeluarkan oleh lembaga kesehatan dari berbagai negara menunjukkan bahwa, vape atau rokok elektrik merupakan produk yang jauh lebih tidak berbahaya bila dibandingkan dengan rokok konvensional yang dibakar. Pada tahun 2015 lalu misalnya, lembaga kesehatan publik asal Inggris, Public Health England (PHE), mengeluarkan laporan bahwa vape atau rokok elektrik merupakan produk yang 95% jauh lebih tidak berbahaya bila dibandingkan dengan rokok konvensional yang dibakar (theguardian.com, 28/12/ 2018).

Tidak hanya itu, vape atau rokok elektrik juga terbukti merupakan produk yang dapat membantu para perokok untuk menghentikan kebiasaan merokoknya yang sangat berbahaya bagi kesehatan. Vape atau rokok elektrik misalnya, merupakan produk yang dua kali lipat lebih efektif untuk membantu perokok untuk berhenti merokok dibandingkan dengan produk nikotin alternatif lainnya, seperti permen karet nikotin (nhs.uk, 2022),

Oleh karena itu, sangat penting bagi para pembuat kebijakan untuk juga melibatkan para konsumen dalam formulasi kebijakan tekait regulasi produk-produk tembakau, seperti vape dan rokok elektrik. Hal ini dikarenakan para konsumen itu lah yang akan paling merasakan dampak dari regulasi tersebut. Jangan sampai, kebijakan yang didasari pada niat baik, yakni untuk menanggulangi dampak négatif dari konsumsi rokok, menjadi sesuatu yang kontra produktif dan membawa dampak yang négatif terhadap kesehatan publik.

Publié à l'origine ici

OÙ S'ARRÊTERA L'ETAT-NOUNOU ?

Avertissements sanitaires obligatoires sur l'alcool : les nouvelles règles de l'Irlande ne sont qu'un début.

Le gouvernement irlandais avance dans son projet d'apposer des étiquettes d'avertissement sanitaire obligatoires sur les boissons alcoolisées telles que le vin et la bière. Ce mois-ci, la période d'objection de la Commission européenne concernant les modifications proposées à la loi irlandaise sur la santé publique (sur l'alcool) a expiré, ce qui permet à Dublin d'aller de l'avant avec sa nouvelle réglementation.

En substance, les étiquettes d'avertissement apparaîtraient à celles déjà connues dans de nombreux pays européens pour les cigarettes – probablement de grandes images ainsi que des messages décrivant les dangers de la consommation d'alcool.

Dans l'Union européenne, l'idée qu'un pays modifie unilatéralement la législation sur l'étiquetage des denrées alimentaires est mal vue, car elle est considérée comme une distorsion de la dynamique du marché commun. Il est donc d'autant plus surprenant que la Commission n'ait pas été appliquée au gouvernement irlandais et ait laissé la proposition aller de l'avant. Cela est d'autant plus frappant que de grands États membres d'alcool, tels que l'Italie, l'Espagne et la France, ont déjà soulevé des objections contre cette proposition d'étiquetage.

Une première étape 

Pour moi, ce qui est le plus flagrant dans cet exemple, c'est qu'il contredit bon nombre des réactions que j'ai entendues au fil des ans lorsque j'écrivais sur les raisons de mon opposition au paquet neutre pour les cigarettes. Je crois que lorsque nous permettons à l'Etat de prendre des mesures aussi générales contre ce qu'il considère comme un vice, où cela s'arrêtera-t-il ? A l'alcool ? Aux bonbons ? Ceux qui ont qualifié mon argument de pente savonneuse se retrouvent aujourd'hui confrontés au premier pays à appliquer la chute de dominos juridiques.

L'État providence ne connaît pas de limites – il légifère et réglemente votre choix de consommateur, de la manière la plus condescendante qui soit. Le principe sous-jacent des bureaucrates qui élaborent ces règles est que vous, en tant qu'individu, ne savez tout simplement pas faire mieux. Cela dit, et pour le bien de l'argumentation, les étiquettes d'avertissement pourraient-elles être efficaces ?

Les partisans de ces mesures citent des études qui ont des limites importantes… Cliquez ici pour lire la suite.

Lorsqu'il s'agit d'avertissement, les « défenseurs de la santé publique » sont invités à citer un certain nombre d'études prouvant l'efficacité d'un avertissement sanitaire particulier, qu'il s'agisse d'un texte ou d'une image. Cependant, cela suppose que l'avertissement soit déjà examiné, ce qui ne va pas de soi.

C'est similaire au cas de la médecine : pour qu'un médicament efficace, il semble évident que soit le patient devra le prendre en premier lieu. Prenons l'exemple de cette étude de 2018, qui fixe la quantité de personnes interrogées qui étaient réellement au courant des étiquettes d'avertissement pour l'alcool.

« Le suivi de l'oeil a identifié que 60% des participants ont regardé l'étiquette d'avertissement d'alcool actuellement sur le marché […]. L'étude jette un doute actuel sur les pratiques dominantes (essentiellement l'auto-déclaration), qui ont été utilisées pour évaluer les étiquettes d'avertissement sur l'alcool. 

L'attention ne peut pas être utilisée pour évaluer l'efficacité des étiquettes d'avertissement de manière isolée dans les cas où l'attention n'est pas présente 100% du temps. »

Banalisation

Mais une mauvaise conception ne peut pas être la seule explication de la diminution de la sensibilisation. Prenons l'exemple des consignes de sécurité dans les avions. Les grands voyageurs le savent bien : après quelques vols, les consignes de sécurité sont passées en revue parce qu'elles sont répétitives.

Une inflation d'étiquettes d'avertissement peut désensibiliser ceux qui sont censés y être attentifs, par manque de nuance. Les messages « le café peut être mauvais pour la santé » et « fumer des cigarettes peuvent être mauvais pour la santé » n'établissent pas une hiérarchie des dangers pour la santé. En fait, placés l'un à côté de l'autre, les deux messages pourraient laisser entendre que les deux sont aussi nocifs l'un que l'autre.

Nous devons essayer de ne pas banaliser les avertissements sanitaires : s'ils perdent de leur signification pour les consommateurs, nous courons le risque que des avertissements sanitaires importants soient en fait ignorés.

En outre, en dehors de la question de savoir si cette mesure serait efficace, nous pourrions également dire la suivante : ce n'est pas beau.

De nombreuses sélections de vins et de bières constituent un patrimoine culturel non seulement par leur qualité, mais aussi par leurs étiquettes. Les étiquettes sont le moyen par lequel nous apprécions le caractère désirable d'un produit ; c'est ainsi que nous nous sentons souvent liés à un aliment ou une boisson traditionnelle. Il est inacceptable de nuire à toute l'esthétique du produit pour le remplacer par une énième annonce de service public, pour les objectifs zélés des noms de la santé publique.

La consommation d'alcool comporte des risques, c'est un fait admis par tous, y compris par ceux qui ont tendance à en abuser. Ces derniers ne ralentiront pas leurs efforts pour abuser de l'alcool simplement à cause d'une étiquette, et les jeunes ne changeront pas leur consommation d'alcool simplement à cause d'une étiquette. Ce n'est rien d'autre qu'une politique de bien-être qui a détruit la beauté au détriment du choix du consommateur.

La théorie déprimante que j'ai est que ce n'est que le début. Ceux qui défendent ce type de politique le font toujours par le biais d'arguments émotionnels qui jettent sous le tapis tous ceux qui défendent la liberté. Nous entendrons des choses telles que « s'il vous plaît, pensez aux enfants » ou « pourquoi êtes-vous redevable à l'industrie du vin » encore et encore, jusqu'à ce qu'ils fassent passer leurs règles dans les parlements.

Ce dont nous avons besoin, c'est qu'un plus grand nombre de consommateurs disent « trop, c'est trop », et arrêtent ces nonous dans leur élan.

Publié à l'origine ici

Le gouvernement d'unité doit légiférer rapidement sur la vente de vapes «enregistrées» uniquement pour prévenir l'abus de drogues

Le Conseil malaisien de la toxicomanie (MASAC) a appelé le gouvernement à mettre en place un budget spécial pour des études supplémentaires en vue de créer une loi spéciale pour imposer que seuls les vapos approuvés par le gouvernement puissent être vendus par les commerçants.

La présence de diverses marques de vapotage qui ne passent pas par le processus d'approbation approprié a entraîné la mise à disposition sur le marché de vapes aromatisées avec des substances interdites telles que des médicaments, selon le président du MASAC, Ahmad Lutfi Abdul Latiff.

"Cela a eu pour conséquence que davantage de toxicomanes ont commencé à fumer de la drogue en utilisant des vapos qui ne sont pas enregistrés auprès du gouvernement avant de passer progressivement à des types de drogues plus dangereux à l'avenir", a-t-il souligné dans la liste de souhaits révisée du budget 2023 du MASAC.

"Il est nécessaire de rationaliser les efforts pour créer une législation spéciale pour vendre uniquement des vapes enregistrées, la capacité de contrôler l'utilisation de substances interdites telles que les drogues à usage généralisé, en particulier chez les adolescents, et d'augmenter les revenus du gouvernement provenant des taxes sur les vapes enregistrées."

Pendant ce temps, le Consumer Choice Center (CCC) est d'accord avec le ministre de la Santé, le Dr Zaliha Mustafa, concernant les préoccupations concernant la vente de produits liés au vapotage aux enfants.

Selon le représentant de sa section malaisienne, Tarmizi Anuwar, CCC ne soutient pas le vapotage par les jeunes ou les enfants de moins de 18 ans et a suggéré que le gouvernement mette rapidement en place des lois intelligentes pour réglementer la vente et la commercialisation des produits de vapotage.

Lire le texte complet ici

Un procès contre les algorithmes de Google pourrait mettre fin à Internet tel que nous le connaissons

Une action en justice contre Google vise à tenir les géants de la technologie et les plateformes de médias en ligne responsables des recommandations de leurs algorithmes de contenu tiers au nom de la lutte contre le terrorisme. Une victoire contre Google ne nous rendrait pas plus sûrs, mais cela pourrait considérablement saper le fonctionnement même d'Internet.

L'affaire de la Cour suprême est Gonzalez contre Google. La famille Gonzalez est liée à Nohemi Gonzalez, un Américain tragiquement tué dans une attaque terroriste par ISIS. Ils poursuivent Google, la société mère de YouTube, pour ne pas avoir fait assez pour empêcher ISIS d'utiliser son site Web pour héberger des vidéos de recrutement tout en recommandant ce contenu aux utilisateurs via des algorithmes automatisés. Ils s'appuient sur les lois antiterroristes permettant de réclamer des dommages-intérêts à "toute personne qui aide et encourage, en fournissant sciemment une assistance substantielle" à "un acte de terrorisme international".

Si cela semble exagéré, c'est parce que ça l'est. Il n'est pas clair si les vidéos hébergées sur YouTube ont directement conduit à une attaque terroriste ou si d'autres influences étaient principalement responsables de la radicalisation des auteurs. Google a déjà des politiques contre le contenu terroriste et emploie une équipe de modération pour l'identifier et le supprimer, bien que le processus ne soit pas toujours immédiat. Les recommandations automatisées fonctionnent généralement en suggérant un contenu similaire à ce que les utilisateurs ont vu, car il est plus susceptible d'être intéressant et pertinent pour eux sur un site Web qui héberge des millions de vidéos. 

Les plateformes sont également dégagées de toute responsabilité pour ce que leurs utilisateurs publient et sont même autorisées à s'engager de bonne foi dans la modération, la conservation et la filtration du contenu de tiers sans en être les éditeurs de marque. C'est grâce à la section 230, la loi qui a permis l'expansion rapide d'un Internet libre et ouvert où des millions de personnes par seconde peuvent s'exprimer et interagir en temps réel sans que les géants de la technologie aient à surveiller et à vérifier tout ce qu'ils disent. Une victoire en justice contre Google réduira la portée de l'article 230 et la fonctionnalité des algorithmes tout en obligeant les plates-formes à censurer ou à contrôler davantage.

L'article 230 garantit que Google ne sera pas tenu responsable du simple fait d'héberger de la propagande terroriste soumise par l'utilisateur avant qu'elle ne soit identifiée et supprimée. Cependant, la proposition selon laquelle ces protections s'étendent aux algorithmes qui recommandent des contenus terroristes n'a pas été testée devant les tribunaux. Mais il n'y a aucune raison pour qu'ils ne le fassent pas. Le volume considérable de contenu hébergé sur des plates-formes telles que YouTube signifie que les algorithmes automatisés pour trier, classer et mettre en évidence le contenu de manière utile aux utilisateurs sont essentiels à la fonctionnalité des plates-formes. Ils sont aussi importants pour l'expérience utilisateur que l'hébergement du contenu lui-même. 

Si les plateformes sont tenues responsables des recommandations de leurs algorithmes, elles seraient effectivement responsables du contenu de tiers tout le temps et pourraient devoir cesser complètement d'utiliser les recommandations algorithmiques pour éviter les litiges. Cela signifierait une expérience de consommation inférieure qui nous rendrait plus difficile la recherche d'informations et de contenus pertinents pour nous en tant qu'individus.

Cela signifierait également plus de "bannir l'ombre" et de censure des contenus controversés, en particulier lorsqu'il s'agit de militants des droits de l'homme dans des pays aux gouvernements abusifs, de prédicateurs pacifiques quoique fougueux de toutes confessions, ou de cinéastes violents dont les vidéos n'ont rien à voir avec le terrorisme. Puisqu'il est impossible de contrôler chaque vidéo soumise pour des liens vers le terrorisme, même avec une grande équipe de modération, il peut devenir nécessaire d'utiliser des algorithmes pour bloquer le contenu qui pourrait simplement être de la propagande terroriste. 

Les défenseurs conservateurs de la liberté d'expression qui s'opposent à la censure des grandes technologies devraient s'inquiéter. Lorsque YouTube a sévi contre les contenus violents en 2007, des militants ont dénoncé les atteintes aux droits humains commises par les gouvernements du Moyen-Orient. dé-plateforme. Les choses empireront encore si les plates-formes subissent des pressions pour aller plus loin.

Tenir les plateformes pour responsables de cette manière n'est pas nécessaire, même si la suppression de contenus plus extrémistes réduirait la radicalisation. Des lois telles que le Digital Millennium Copyright Act prévoient un processus de notification et de retrait pour un contenu illégal spécifique, tel que la violation du droit d'auteur. Cette approche est limitée au contenu soumis par les utilisateurs déjà identifié comme illégal et réduirait la pression sur les plateformes pour supprimer plus de contenu en général.

Combattre le terrorisme et tenir les grandes technologies responsables d'actes répréhensibles authentiques ne devraient pas impliquer de précédents ou de lois radicales qui rendent Internet moins libre et moins utile pour nous tous.

Publié à l'origine ici

Fabriqué en Chine – Vendu en Chine

Pendant des décennies, nous avons été habitués à voir presque tout ce que nous achetons avec le label "Made in China". C'était pratique pour toutes les parties, consommateurs et vendeurs. Cependant, ces derniers temps, les produits technologiques chinois ont suscité beaucoup d'inquiétude dans le monde libre.

TikTok est l'un des problèmes dont on parle le plus. La popularité de l'application jette une ombre sur le danger qu'elle représente concernant la collecte de données et le lien apparent entre l'entreprise et le Parti communiste chinois (PCC). Pas étonnant que plusieurs gouvernements aient déjà pris des mesures pour limiter l'utilisation de l'application. Premièrement, les États-Unis ont interdit TikTok sur les appareils gouvernementaux, suivis par certaines universités faisant de même. Le Canada suivra probablement, et beaucoup de gens espèrent que la législation européenne lente et bureaucratique adoptera quelque chose de similaire.

Une autre préoccupation est le réseau Huawei 5G, auquel certains pays de l'UE ont déjà renoncé. Pourtant, la plupart des États membres dépendent de cette technologie chinoise, bien que de nombreux fournisseurs de services alternatifs viennent du monde libre. 

Dernièrement, cela a provoqué un tollé en Australie en apprenant que les sociétés chinoises notoires Hikvision et Dahua ont fourni des caméras de surveillance aux bâtiments gouvernementaux. Selon James Paterson, porte-parole de l'opposition pour la cybersécurité et la lutte contre l'ingérence étrangère, le Commonwealth était « criblé de logiciels espions du PCC », et il a exhorté le gouvernement à les supprimer immédiatement. Il y a quelques mois, la même chose s'est produite au Royaume-Uni, où ces deux sociétés ont été interdites en raison de problèmes de droits de l'homme et d'espionnage possible.

Les dernières nouvelles qui ont suscité l'inquiétude sont venues des utilisateurs d'Android en Chine, où les téléphones portables de fabricants chinois populaires comme Xiaomi, OnePlus et Oppo Realme collectent une quantité massive de données via leurs systèmes d'exploitation. Bien que, pour l'instant, nous ne disposions que d'informations indiquant que cela ne concerne que les téléphones en Chine, nous devons être prudents quant à l'utilisation de produits et services technologiques chinois similaires. Sinon, nous finirons par avoir nos données « vendues en Chine ».

Publié à l'origine ici

Et si l'UE réglementait les formations comme elle pratique le génie génétique ?

Lors d'un récent événement sur la sélection végétale, j'ai engagé une conversation avec plusieurs personnes impliquées dans la discussion scientifique entourant les nouvelles techniques de sélection (NBT). Malgré le fait que la technologie d'édition de gènes CRISPR Cas-9 a été développée par une scientifique européenne, Emmanuelle Charpentier, son utilisation dans l'agriculture sur ce continent reste illégale - sur la base d'une directive obsolète sur la modification génétique de 2001 et d'un tribunal de la CJCE cas l'interprétant en 2018. J'ai expliqué que je pensais que l'approche de l'UE à l'égard du principe de précaution a été déformée et entrave l'innovation - et tout en cherchant une analogie, j'ai dit: "Imaginez que ce système de gouvernance ait existé lors de l'invention du transport ferroviaire" .

L'invention des chemins de fer remonte à l'Allemagne du XVIe siècle, lorsque les wagons étaient encore tirés par des chevaux sur des rails en bois. À la fin des années 1700, les ingénieurs ont remplacé les rails en bois par du fer, ce qui a conduit à l'introduction des tramways. Le premier tramway tiré par des chevaux a commencé à fonctionner au Royaume-Uni en 1807. Ce n'est que vers le milieu du siècle que la locomotive à vapeur est devenue viable pour les chemins de fer, mais avec l'innovation sont venus ceux qui ont plaidé pour la prudence. 

Cela peut sembler étrange au lecteur actuel qui est habitué à ce que les chemins de fer soient salués comme la solution à une grande partie des problèmes de mobilité en Europe et comme une ambition de réduire les émissions de dioxyde de carbone, mais à l'époque victorienne en Angleterre, les chemins de fer étaient critiqués pour avoir causé la «folie des chemins de fer». . Edwin Fuller Torrey et Judy Miller ont écrit dans La peste invisible : la montée de la maladie mentale de 1750 à nos jours, les trains étaient censés "blesser le cerveau.” Contrairement au Clean Living Movement aux États-Unis – qui prétendait que le thé nuisait mentalement aux femmes – l'histoire de la folie ferroviaire était étayée par des preuves anecdotiques. Au cours des années 1860, une grande quantité de reportages ont émergé, racontant des histoires de passagers ferroviaires perdant la tête lors de voyages en train. Les récits de passagers se déshabillant et se penchant par les fenêtres, attaquant les autres avec diverses armes, y compris des couteaux, tout en se calmant après l'arrêt du train, ont inspiré la peur aux utilisateurs réguliers de ce moyen de transport. 

Les reportages des médias ont ajouté de l'huile sur le feu en faisant la une des journaux sur la façon dont les voyages en train étaient périlleux et imprévisibles et sur le fait que les trains eux-mêmes étaient responsables de la folie de leurs voyageurs. Ils ont parfois omis que les trains étaient utilisés par ceux qui avaient échappé aux asiles psychiatriques et que les trains en eux-mêmes ne sont pas à l'abri de la violence et du crime de la même manière que tout autre espace public le serait. Aujourd'hui, nous savons que le soutien en santé mentale est essentiel pour freiner ce genre d'incidents et qu'au lieu de la peur et de la stigmatisation, de nombreuses personnes dans notre société ont besoin d'aide. Nous regardons l'hystérie de l'époque victorienne avec un sentiment de supériorité moderne, peut-être à juste titre. Cependant, imaginons ce qui se passerait si le voyage en train n'avait jamais été inventé et était introduit dans l'UE en 2022.

Alors que les reportages sur les voyages en train en provenance des États-Unis font écho dans la sphère médiatique européenne, les États membres individuels adoptent un moratoire sur les appels d'offres pour le développement du rail. L'industrie ferroviaire en plein essor promet un grand développement économique pour l'Europe, mais des groupes d'activistes mettent en doute l'efficacité et la nécessité des chemins de fer. « Nous savons à quel point les États-Unis ne tiennent pas compte de la sécurité de leurs citoyens. Mais voulez-vous que votre gouvernement permette à la folie de se propager dans notre société par ces machines mangeuses d'esprit ? Signez notre pétition », lit-on dans un dépliant de « European Citizens for Travel Safety », distribué lors d'une manifestation devant la Commission européenne. Les militants se sont déguisés en trains, traversant une grande figurine représentant une tête humaine. Le Daily Mail a écrit à propos de la manifestation, titrant "Les courageux manifestants OBLITÉRENT les eurocrates pour avoir permis à des tueurs hallucinants d'entrer dans les villes".

Les législateurs du Parlement européen réagissent à la pression publique, appelant la Commission européenne à respecter le principe de précaution. Le Centre commun de recherche de l'UE a publié des données montrant qu'il n'y avait aucun lien entre les chemins de fer et les problèmes de santé mentale de ses passagers, ce qui a conduit à une audition au Parlement au cours de laquelle les députés ont interrogé des scientifiques sur leurs liens avec l'industrie ferroviaire. « Vous prétendez être indépendant, mais il y a tout juste huit ans, vous avez publié une étude sur la sécurité ferroviaire, qui a bénéficié du soutien logistique et financier de l'industrie ferroviaire », enquête un député européen des Pays-Bas. Alors que la chercheuse explique qu'il est courant que des scientifiques collaborent avec l'industrie pour analyser l'innovation technologique, elle est interrompue par un autre député européen allemand : « Un homme de ma ville natale vient de rentrer des États-Unis où il a pris l'un des « trains sûrs » comme vous les appelez, et sa femme me dit qu'ils se joignent maintenant à un recours collectif pour les problèmes de santé mentale qu'il a eus en utilisant l'une de ces machines. Jusqu'à ce que vous me prouviez qu'il n'a PAS ÉTÉ blessé par le train, je pense qu'ils doivent rester illégaux en Europe. Nous ne sommes pas le Far West, où les entreprises peuvent expérimenter sur les citoyens. »

À l'issue d'une longue procédure de consultation, et malgré des évaluations de sécurité qui ont montré que les chemins de fer n'avaient eu aucun des effets qu'on leur reprochait, l'Union européenne affirme son engagement à avoir les normes de sécurité des consommateurs les plus élevées au monde. Les voyages en train restent illégaux et les gens utilisent principalement des moteurs à combustion interne pour se déplacer entre les villes. Dix ans plus tard, la Commission a rédigé un rapport urgent montrant que les citoyens du monde entier peuvent se déplacer d'un point A à un point B beaucoup plus rapidement que les Européens. Il faudra encore 20 ans pour vérifier l'effet de l'interdiction ferroviaire sur cette sous-performance.

Certains lecteurs pourront considérer cette analogie comme facétieuse et peu judicieuse, étant donné que l'Europe permet beaucoup d'innovation technologique et même l'encourage. Mon objectif n'est pas de prétendre que l'Europe est allergique à l'innovation, mais d'exprimer mon incrédulité quant à la façon dont l'UE ne peut pas saisir les opportunités de l'édition génétique malgré sa sécurité et sa précision. Pour mémoire : la mutagénèse non ciblée par rayonnements ionisants est parfaitement légale en Europe, y compris pour les produits issus de l'agriculture biologique, bien qu'il s'agisse d'une technique de sélection végétale considérablement moins précise que les NBT. De plus, l'approbation des NBT ne signifierait pas que l'EFSA et d'autres agences de sécurité alimentaire seraient retirées du processus d'approbation des semences - en fait, nous en apprendrions plus à leur sujet grâce au travail des agences de l'UE.

Le génie génétique a été utilisé pour le développement de vaccins à ARNm, à leur tour, utilisés pendant la pandémie de COVID-19. A toutes fins utiles, l'Union européenne peut approuver cette technologie lorsqu'elle en reconnaît l'urgence. Car l'édition de gènes dans notre système alimentaire, qui offre la possibilité de rendre notre alimentation plus saine et plus durable (en étant capable de nourrir une population mondiale en constante augmentation), n'a pas encore reconnu cette urgence. 

Espérons que nous ne regarderons pas nos normes réglementaires actuelles dans 200 ans de la même manière que nous regardons la peur des trains à l'époque victorienne.

Publié à l'origine ici

L'interdiction britannique des plastiques à usage unique est une mauvaise nouvelle pour les consommateurs et l'environnement

Les consommateurs britanniques peuvent dire adieu au confort des couverts, assiettes et récipients alimentaires en plastique. Ayant déjà interdit les pailles en plastique, les cotons-tiges et les agitateurs, l'Angleterre rejoint Écosse en interdisant la fabrication et la distribution de masse de plastiques à usage unique À partir d'octobre 2023. Le Pays de Galles est en train de rédiger législation similaire.

Les raisons de l'interdiction sont visibles à l'œil nu. Malheureusement, tout le monde en Grande-Bretagne connaît les déchets plastiques et les décharges qui gâchent la campagne. Ajoutez la contribution des plastiques aux émissions de gaz à effet de serre et la menace qu'ils représentent pour le bien-être des plantes et de la faune locales, et une interdiction visant à contenir le problème commence à sembler justifiée.

Emil Panzaru, Research Manager au Consumer Choice Center, n'a pas trouvé la nouvelle bienvenue : « de telles interdictions font plus de mal que de bien. En négligeant les dangers posés par les substituts au plastique dans leurs évaluations d'impact, les autorités britanniques encouragent à leur insu des options plus dommageables pour l'environnement tout en privant les consommateurs de leurs choix.

Après tout, il est trop facile de voir l'horreur des fourchettes jetées et des canettes écrasées rassemblées en tas sur le bord d'une route et de conclure que les plastiques sont la menace environnementale numéro un. Pour étayer cette thèse, le gouvernement britannique cite l'utilisation de 2,7 milliards de couverts en plastique annuellement, seulement 10% dont recyclés, et souligne le lien entre les plastiques dégradables et les gaz à effet de serre.

Ce que le gouvernement ne voit pas, c'est le coût de la production de solutions de rechange. Une fois que nous avons décomposé les données sur les émissions de gaz à effet de serre et examiné la consommation de terres et d'eau, l'appauvrissement de la couche d'ozone et l'épuisement des ressources, nous pouvons voir que votre consommateur moyen doit réutiliser au moins un sac en coton 7 000 fois pour justifier son impact environnemental. Par comparaison directe, la recherche révèle que les clients doivent utiliser des sacs en coton 52 fois pour atteindre le faible encombrement d'un banal transporteur Tesco. Ces remplacements sont donc bien plus dommageables que le plastique ne l'a jamais été.

Compte tenu de ces problèmes, Panzaru a suggéré les politiques suivantes : « Le gouvernement britannique doit aller au-delà des solutions simplistes mais dommageables qui décrivent le plastique comme mauvais et les substituts comme bons. Si l'inquiétude est environnementale, les décideurs politiques devraient aborder l'utilisation du plastique au cas par cas, en tenant compte également des coûts que représentent les substituts.

Il conclut : « Si l'inquiétude est que des passants inconsidérés gâchent la campagne, alors les ordures et les décharges sauvages ne s'arrêteront pas une fois que le plastique aura disparu. Au lieu de cela, le gouvernement doit imposer des sanctions plus sévères pour dissuader les gens de jeter des ordures à l'avenir. De cette façon, les consommateurs seront toujours libres de choisir et l'environnement s'en portera mieux. »

proche
fr_FRFR