fbpx

Month: February 2024

How does Deutsche Bahn compare with European rail firms?

For the second time in a month, a nationwide strike has forced German commuters to choose between being stranded at a train station or stuck in a traffic jam. Deutsche Bahn (DB) employees have been on strike since Wednesday, leading to disrupted train schedules and congested roads in what’s planned to be Germany’s longest rail strike to date.

While not uncommon in Germany, these rail strikes are only one facet of the many challenges facing the national railway service. Passengers regularly grapple with prolonged delays and cancellations for a variety of reasons that go beyond labor disputes.

Frequent cancellations

DB operates the majority of Germany’s railways and is responsible for approximately 95% of long-distance transportation, 67% of local transit and 42% of freight conveyance. In 2023, just 64% of long-distance trains reached their destination on time, meaning less than six minutes late, according to a DB spokesperson. These numbers, however, do not include instances where delays are so long that journeys are canceled.

In a 2023 study by the nonprofit Consumer Choice Center, Germany accounted for six out of the 10 worst stations for passenger convenience in Europe. The index, which assessed factors like network connections and the frequency of delayed services, indicated that the German railway system is trailing far behind its neighbors in terms of service and efficiency.

Read the full text here

Peran Organisasi dan Komunitas Memperluas Sosialisasi Anti Pembajakan dan Memperkuat Perlindungan HaKI

Perlindungan hak kekayaan intelektual merupakan hal yang sangat penting dan krusial untuk mendorong inovasi dan kreativitas. Melalui perlindungan hak kekayaan intelektual, maka para inovator dan pemilik usaha akan mampu untuk memiliki kontrol dan juga mendapatkan manfaat ekonomi dari karya yang mereka buat.

Tanpa adanya perlindungan hak kekayaan intelektual, maka tentu pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab dapat dengan sangat mudah untuk mencuri dan juga membajak karya atau produk yang dibuat oleh para inovator. Mereka bisa dengan mudah menjual hasil bajakan tersebut untuk mendapatkan keuntungan bagi diri mereka sendiri.

Tentunya, bagi kita yang tinggal di Indonesia, khususnya yang menetap di kota-kota besar, fenomena pembajakan produk merupakan sesuatu yang sudah tidak asing lagi. Bila kita datang ke berbagai pusat perbelanjaan misalnya, kita bisa dengan sangat mudah menemukan berbagai produk bajakan yang dijual secara bebas dengan harga yang tentunya jauh lebih murah bila dibandingkan dengan harga aslinya.

Tidak hanya di toko fisik, bila kita berselancar di dunia maya misalnya, kita bisa menemukan jutaan produk-produk bajakan yang bisa kita dapatkan di berbagai platform toko daring. Hal ini tentu merupakan permasalahan yang besar dan harus bisa segera kita atasi.

Indonesia sendiri merupakan negara yang sudah memiliki berbagai perangkat hukum yang ditujukan untuk melindungi hak kekayaan intelektual. Beberapa diantaranya adalah UU No.7 Tahun 1994 tentang Pengesahan Agreement Establishing the World Trade Organization, UU No.10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan, UU No.12 Tahun 1997 tentang Hak Cipta, UU No.14 Tahun 1997 tentang Merek, dan UU No.13 Tahun 1997 tentang Hak Paten (hukumonline.com, 17/3/2022).

Sayangnya, meskipun sudah memiliki berbagai perangkat hukum untuk melindungi kekayaan intelektual, masih banyak berbagai persoalan terkait dengan hal tersebut yang harus bisa kita selesaikan. Adanya penegakan hukum yang masih belum terlalu kuat untuk menegakkan hukum perlindungan kekayaan intelektual, dan menindak pihak-pihak yang melakukan pelanggaran atas hal tersebut merupakan salah satu hal yang harus dapat diperbaiki dari sisi penegakan hukum.

Di sisi lain, adanya keaktifan dari para pemilik hak kekayaan intelektual untuk mendaftarkan karya dan inovasi yang mereka buat kepada lembaga terkait, seperti kemenkumham, tentu merupakan aspek yang sangat penting dari sisi pelaku usaha. Tanpa adanya kesadaran akan pentingnya perlindungan hak kekayaan intelektual dari para pelaku usaha, dan juga keaktifan dari para inovator untuk mendaftarkan karya mereka, maka tentu akan mustahil pemerintah bisa melindungi karya dan inovasi tersebut dari berbagai praktik pembajakan.

Sayangnya, dari sisi pendafftaran, juga masih ada beberapa tantangan yang harus bisa kita selesaikan, salah satunya adalah kesadaran yang masih rendah dari para pelaku usaha dan inovator di Indonesia untuk mendaftarkan kekayaan intelektual mereka. Pada akhir tahun 2021 lalu misalnya, ada sekitar 216.000 jumlah permohonan pendaftaran kekayaan intelektual yang masuk ke Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual (DJKI), yang mana jumlah tersebut masih sedikit dibandingkan dengan jumlah masyarakat Indonesia (dgip.go.id, 20/12/2021).

Dengan demikian, adanya sosialisasi yang masif kepada para pelaku usaha untuk meningkatkan kesadaran pentingnya perlindungan hak kekayaan intelektual adalah sesuatu yang sangat penting. Hal ini tidak hanya penting dilakukan oleh lembaga pemerintah terkait, tetapi juga berbagai organisasi masyarakat non-pemerintah yang memiliki fokus advokasi terkait dengan hal tersebut.

Salah satu orgasnisasi yang memiliki fokus advokasi terkait dengan pentingnya kerlindungan hak kekayaan intelektual adalah Masyarakat Indonesia Anti Pemalsuan (MIAP). MIAP sendiri merupakan organisasi masyarakat yang berdiri pada tahun 2004, dan memiliki fokus untuk melawan berbagai praktik dan tindakan pembajakan yang sangat masif terjadi di Indonesia.

Berbagai kampanye sosialisasi tersebut bisa dilakukan dengan berbagai cara. MIAP misalnya, beberapa waktu lalu menyelenggarakan kegiatan MIAP Social Media Content Competition. Kegiatan ini sendiri diikuti oleh lebih dari 70 karta kreatif dari para generasi muda di seluruh Indonesia, dan menganggat tema “Bangga dan Cinta Produk Indonesia — Anak Muda Gak Pakai Produk Palsu” (tengselnews.inews.id, 20/12/2023).

Dalam rangka memeriahkan acara tersebut misalnya, turut diundang juga dalam kegiatan tersebut berbagai organisasi mitra MIAP dalam rangka mensosialisasikan pentingnya perlindungan hak kekayaan intelektual dan menghindari produk-produk bajakan. Beberapa organisasi mitra yang diundang tersebut diantaranya adalah Asosiasi Media Siber Indonesia (AMSI) dan Asosiasi Konsultan Hak Kekayaan Intelektual Indonesia (AKHKI).

Tidak hanya organisasi mitra, agar kegiatan dan sosialisasi anti pembajakan bisa memiliki dampak secara lebih masif, MIAP juga mengajak perwakilan media untuk hadir di dalam acara tersebut. Diharapkan, melalui adanya kegiatan tersebut, kesadaran masyarakat untuk mencintai produk-produk asli dan juga kesadaran untuk mencegah penggunaan produk-produk bajakan dapat semakin meningkat.

Sebagai penutup, pembajakan merupakan salah satu permasalahan besar yang ada di Indonesia. Untuk itu, adanya kampanye dan sosialisasi untuk meningkatkan kesadaran masyarakat untuk menhindari produk-produk bajakan adalah hal yang sangat penting, dan harus melibatkan semua pihak, termasuk juga organisasi kemasyarakatan.

Originally published here

Biarkan Grab terus menjadi Grab

Perubahan kepada struktur harga tambang asas Grab Malaysia daripada RM5 kepada RM4 baru-baru ini mencetuskan rasa tidak puas hati dalam kalangan kira-kira 300 pemandu Grab yang diwakili Persatuan Penghantar P-Hailing Malaysia, khususnya di Lembah Klang.

Penstrukturan semula itu melibatkan pengurangan tambang asas pemandu sambil meningkatkan insentif untuk penghantaran pada waktu puncak, pengambilan jauh dan masa tambahan bagi penghantaran barangan kutipan (pick-up).

Penstrukturan itu mencetuskan bantahan yang ketara dengan pemandu menggesa kerajaan untuk campur tangan.

Senario itu mempunyai persamaan yang ketara dengan protes yang dimulakan oleh pemandu teksi pada 2016 dan 2018 apabila mereka mendesak kerajaan mengharamkan Grab.

Ketika itu pembantah menganggap kemudahan Grab sebagai pesaing langsung kepada perkhidmatan teksi tradisional.

Walaupun keadaan yang membawa kepada kontroversi Grab kali ini agak berbeza, ada satu persamaan di antara mereka iaitu gesaan agar kerajaan terlibat membentuk dasar yang memberi kesan kepada sektor swasta.

Artikel ini tidak berhasrat untuk menolak rungutan penghantar atau rakan pemandu, apatah lagi mempertahankan Grab, tetapi ingin menekankan kepentingan mempertahankan pilihan pengguna.

Ia menggesa kerajaan agar berhati-hati terhadap desakan tergesa-gesa atau bersifat populis yang berpotensi membebankan pengguna dengan kesan campur tangan dasar untuk menetapkan kadar lantai.

Read the full text here

Raising the Minimum Unit Price on Alcohol is Harmful for Everyone

London (UK), 7 February 2024 -The Consumer Choice Center (CCC), a global advocacy group championing individual freedom and consumer choice, is alarmed by the latest plan of the Scottish Government to raise the minimum pricing on alcohol by 30%. It is not a sensible economic measure, and the policy will not improve overall quality of life in Scotland. 

Mike Salem, The UK Country Associate at the CCC, warns that if the Scottish Government continues to focus its attention on punitive measures that affects the entire population, it will neglect those who need genuine help. He stated, “I am quite amazed the Scottish Government is doubling down on a policy that is clearly not working”. Despite the introduction of these measures, alcohol related deaths increased by a quarter over the past three years.

Salem highlighted that there are more positive and effective mechanisms of tackling alcohol abuse without constraining the rights of consumers. He adds that “given the inelasticity of alcohol demand, higher prices will not dissuade those who ought to stop, and the Scottish Government in this process is helping the drinks industry to jack up profits by creating a price floor, which encourages these companies to continually sell alcohol in Scotland”.

As such, the CCC cautions against this new plan, which only serves to put pressure on ministers to raise the minimum unit price even higher in the future when it is shown once again to be ineffective.

The EU’s AI ACT will stifle innovation and won’t become a global standard

February 5, 2024 – On February 2, the European Union’s ambassadors green lit the Artificial Intelligence Act (AI Act). Next week, the Internal Market and Civil Liberties committees will decide its fate, while the European Parliament is expected to cast their vote in plenary session either in March or April. 

The European Commission addressed a plethora of criticism on the AI Act’s potential to stifle innovation in the EU by presenting an AI Innovation package for startups and SMEs. It includes EU’s investment in supercomputers, statements on Horizon Europe and Digital Europe programs investing up to €4 billion until 2027, establishment of a new coordination body – AI Office – within the European Commission.

Egle Markeviciute, Head of Digital and Innovation Policies at the Consumer Choice Center, responds:

“Innovation requires not only good science, business and science cooperation, talent, regulatory predictability, access to finance, but one of the most motivating and special elements – room and tolerance for experimentation and risk. The AI Act is likely to stifle the private sector’s ability to innovate by moving their focus to extensive compliance lists and allowing only ‘controlled innovation’ via regulatory sandboxes which allow experimentation in a vacuum for up to 6 months,” said Markeviciute. 

“Controlled innovation produces controlled results – or lack thereof. It seems that instead of leaving regulatory space for innovation, the EU once again focuses on compensating this loss in monetary form. There will never be enough money to compensate for freedom to act and freedom to innovate,” she added.

“The European Union’s AI Act will be considered a success only if it becomes a global standard. So far, it does not seem the world is planning on following in the EU’s footsteps.”

Yaël Ossowski, deputy director of the Consumer Choice Center, adds additional context:

“Despite optimistic belief in the ‘Brussels effect’, the AI Act has not yet resonated with the world. South Korea will focus on the G7 Hiroshima process instead of the AI Act. Singapore, the Philippines, and the United Kingdom have openly expressed concern that imperative AI regulations at this stage can stifle innovation. US President Biden issued an AI Executive Order on the use of AI back in October of 2023, yet the US approach seems to be less restrictive and relies upon federal agency rules,” said Ossowski.

“Even China – a champion of state involvement in both individual and business practices is yet to finalize its AI Law in 2024 and is unlikely to be strict with AI companies compliance due to their ambition in terms of global AI race. In this context, we have to acknowledge that the EU has to adhere to already existing frameworks for AI regulation, not the other way around,” concluded Ossowski.

The CCC represents consumers in over 100 countries across the globe. We closely monitor regulatory trends in Ottawa, Washington, Brussels, Geneva, Lima, Brasilia, and other hotspots of regulation and inform and activate consumers to fight for #ConsumerChoice. Learn more at consumerchoicecenter.org.

Scroll to top
en_USEN