fbpx

Day: February 28, 2022

Editorial: Turning a blind eye

In a legislative session that is full of contentious issues, Iowa Republicans and Democrats found common ground on at least one thing recently: They love ethanol.

By an overwhelming margin, the Legislature passed a bill to force most retailers in the state to offer more E-15, a higher blend of ethanol than the usual E-10. Gov. Kim Reynolds has been pushing for such a requirement.

Since then, a few commentators in the state have questioned Iowa’s joined-at-the-hip ethanol policies, a tack taken by politicians in both parties. And some have suggested federal support for ethanol won’t last forever; that perhaps it’s time to prepare for the growth of electric vehicles.

Sitting here on the border of Iowa and Illinois, we have a unique vantage point on this question. Illinois Gov. JB Pritzker has gone all-in on electric vehicles, pushing through a package of state incentives last year and cheering on the Biden administration’s efforts in this area.

Pritzker has proudly proclaimed that he wants the state to be the “Silicon Valley” of the EV industry.

In Iowa, you won’t hear that from the top echelons of government.

Iowa continues to maintain policies that are barriers to EV expansion. In a column for the Des Moines Register last year, analysts for the Consumer Choice Center said Iowa was tied for last on an index for electric vehicle accessibility.

Read the full article here

Pentingnya Hak Kekayaan Intelektual untuk Membangun Ekosistem Digital yang Sehat

Perdagangan internasional saat ini merupakan kegiatan yang tidak bisa dibendung apalagi diberhentikan. Dalam era globalisasi di abad ke-21 ini, hampir semua, atau setidaknya semua, negara yang ada di dunia niscaya melakukan transaksi ekonomi dengan negara-negara lainnya.

Tidak ada negara yang bisa secara 100% menjalankan kegiatan ekonominya secara autarki, bahkan negara yang sangat otoriter seperti Korea Utara sekali pun misalnya. Mereka pun juga masih harus tetap melakukan perdagangan dan bertukar barang dan jasa dengan negara-negara lain.

Kegiatan ekspor dan impor ini telah membawa banyak manfaat bagi miliaran penduduk di seluruh dunia. Saat ini, para konsumen bisa dengan mudah mendapatkan berbagai produk yang berasal dari negara lain. Selain itu, dengan semakin terbukanya perdagangan, hal ini juga membuat pangsa pasar yang dimiliki oleh para pelaku usaha juga menjadi semakin luas.

Para pelaku usaha bisa menjangkau lebih banyak konsumen, yang akan semakin meningkatkan pendapatan, dan akhirnya juga akan semakin membuka banyak lapangan kerja.

Para konsumen juga bisa dengan mudah mendapatkan produk dengan harga yang lebih murah, dan para produsen juga akan mendapatkan sumber daya yang lebih baik dengan harga yang lebih murah untuk membuat produk yang akan mereka jual.

Hal ini tentu merupakan sesuatu yang sangat positif, dan harus kita dorong. Sejarah sudah membuktikan bahwa, negara-negara yang menganut sistem ekonomi dan perdagangan yang terbuka relatif jauh lebih sejahtera. Sebaliknya, negara-negara yang menutup ekonomi mereka dari perdagangan internasional justru semakin membuat warganya hidup miskin dan menderita.

Tetapi, di sisi lain, meskipun membawa banyak manfaat dan dampak yang positif, kegiatan eskpor dan impor juga membawa hal lain yang patut kita waspadai. Salah satunya adalah, dengan perdagangan yang semakin terbuka, maka akan semakin mudah juga bagi para pembajak dan pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab untuk menjual barang yang mereka produksi, yang dibuat dengan melanggar kekayaan intelektual yang dimiliki oleh pihak lain.

Hal ini pula yang terjadi di Indonesia. Dengan sangat mudah misalnya, kita bisa menemukan banyak produk-produk bajakan yang dijual di berbagai pertokoan dan pusat-pusat perbelanjaan yang ada di Indonesia. Tidak sedikit dari produk-produk tersebut yang diproduksi dari negara-negara lain, dan diimpor ke negara kita.

Barang-barang bajakan yang dijual di berbagai macam pertokoan dan pusat perbelanjaan tersebut sangat beragam, mulai dari barang-barang fashion, seperti tas dan pakaian, hingga berbagai barang-barang elektronik seperti laptop dan telepon genggam. Harga yang ditawarkan juga tentunya jauh di bawah dari barang-barang aslinya, yang tentunya menjadi daya tarik utama bagi jutaan pembeli untuk mengeluarkan uangnya demi mendapatkan barang-barang tersebut.

Salah satu negara yang menjadi negara produsen barang-barang bajakan misalnya, adalah China. Sudah menjadi rahasia umum bahwa China saat ini menjadi negara pusat produsen barang-barang bajakan dunia, dan barang-barang tersebut dieskpor ke hampir seluruh penjuru dunia. Setidaknya, 80% dari seluruh barang-barang konsumen bajakan di seluruh dunia diproduksi di China (daxueconsulting.com, 4/7/2021).

Indonesia sendiri juga menjadi salah satu negara sasaran penjualan barang-barang bajakan yang berasal dari China. Hal ini tidak mengherankan, mengingat Indonesia merupakan negara dengan jumlah penduduk terbesar ke-4 di dunia, yang tentunya menyediakan pangsa pasar yang sangat besar untuk barang-barang tersebut. 

Hal ini tentu membuat lembaga penegak hukum memiliki peran yang sangat penting untuk mencegah masuknya barang-barang tersebut. Pada bulan November tahun 2021 lalu misalnya, Bea Cukai kota Semarang misalnya, berhasil menyita lebih dari 200.000 pulpen merek Standard bajakan asal China (jateng.inews.id, 6/11/2021).

Bila hal tersebut tidak diatasi, maka fenomena tersebut akan sangat merugikan bagi Indonesia, apalagi bila yang dibajak tersebut adalah produk-produk yang diproduksi oleh produsen dalam negeri. Pulpen Standard yang dibajak di China dan disita oleh BEa Cukai tersebut misalnya, merupakan produk buatan dalam negeri, dan bila pembajakan tersebut tidak ditindak maka tentu akan sangat merugikan perusahaan Standard yang berasal dari Indonesia.

Selain itu, perlindungan hak kekayaan intelektual yang kuat juga sangat penting untuk meningkatkan kualitas produk-produk yang akan dieskpor suatu negara, termasuk juga Indonesia, ke negara lain. Negara-negara yang mampu menyediakan ekspor barang-barang yang berkualitas tinggi memiliki potensi untuk tumbuh jauh lebih cepat, dan perlindungan hak kekayaan intelektual yang kuat merupakan salah satu faktor yang menunjang hal tersebut (Gideon, 2019).

Pelindungan kekayaan intelektual yang kuat memberikan setidaknya dua manfaat besar yang dapat menunjang peningkatan kualitas ekspor suatu negara. 

Pertama, dengan dilindunginya hak kekayaan intelektual, maka para produsen bisa dapat dengan lebih mudah untuk menggunakan hak kekayaan intelektual yang mereka miliki sebagai jaminan sebagaimana aset tangible lainnya untuk mendapatkan modal. 

Sementara yang kedua, dengan dilindunginya hak kekayaan intelektual secrara kuat, maka hal tesebut akan memberikan insentif lebih besar bagi para produsen untuk berani mengambil resiko lebih untuk berinovasi (Gideon, 2019).

Sebagai penutup, perlindungan hak kekayaan intelektual yang kuat merupakan hal yang sangat penting untuk ditegakkan di Indonesia, terlebih lagi di era globalisasi seperti di abad ke-21 ini, di mana arus perdagangan semakin bebas dan terbuka. 

Hal ini bukan hanya sangat penting untuk melindungi produsen dalam negeri di Indonesia dari pembajakan, namun juga untuk meningatkan kualitas ekspor barang-barang di Indonesia yang dijual ke luar negeri.

Originally published here

¿Por qué es un error la guerra contra la nicotina?

Los gobiernos alrededor del mundo continúan declarando guerras sin fundamentos, ilógicas y que terminan causando graves daños a los individuos de la sociedad. Una de estas guerras es la poco conocida pero extremadamente padecida “guerra contra las drogas”, iniciada en los años setenta y continuada por prolongadas administraciones de los Estados Unidos con la finalidad de perseguir la producción, el consumo y el comercio de ciertas sustancias psicoactivas, generando con ello un caos de narcoviolencia a lo largo de América Latina (un proceso similar al que se vio en Estados Unidos en los años veinte, tras la famosa “Ley Seca” o la prohibición del alcohol, que desencadenó en la aparición de personalidades como Al Capone, mafias y violencia).

La prohibición del alcohol en los Estados Unidos fue un completo desastre que condujo a un mayor consumo de alcohol, un consumo no seguro, y generó enormes cárteles. La guerra contra las drogas en todo el mundo es un completo fracaso y en muchos casos resultó en políticas contraproducentes. Restringir o incluso prohibir la nicotina para adultos impulsará las actividades del mercado negro y, al mismo tiempo, aumentará el consumo de productos ya prohibidos. 

Sigamos los ejemplos de política pública que han dado buenos resultados, como es el caso de Portugal, un país que ha despenalizado todas las drogas y en los últimos veinte años incluso ha reducido los niveles de consumo, llegando a ser uno de los países de la Unión Europea con menor consumo de drogas como la heroína.

La equivocada guerra contra la nicotina

Este detalle trae a colación el informe publicado recientemente por el Consumer Choice Center y la World Vapers’ Alliance, donde hacen énfasis en la declarada guerra contra la nicotina, señalando que hay razones empíricas para acabar con dicha guerra. Durante décadas, la nicotina ha sido sinónimo de fumar. Esto hizo que la mayoría de la gente creyera que la nicotina per se es la razón principal de los efectos negativos para la salud causados ​​por fumar. Si bien está claro que la mayoría de las personas no deberían comenzar a consumir nicotina si aún no lo hacen, es hora de evaluar la nicotina de manera total.

“le han quitado a los consumidores la capacidad de elegir un método alternativo que podría ayudarlos a dejar un producto que causa todavía mayores daños a la salud”.

Como todas las guerras contra todo tipo de sustancias, esta guerra contra la nicotina ignora la evidencia científica. El Servicio Nacional de Salud Británico, que sigue un enfoque pragmático hacia el consumo de nicotina y el vapeo, afirma que “si bien la nicotina es la sustancia adictiva de los cigarrillos, es relativamente inofensiva. Casi todo el daño por fumar proviene de los miles de otros químicos en el humo del tabaco, muchos de los cuales son tóxicos”.

Los expertos están de acuerdo en que, a lo que al tabaquismo respecta, el enemigo es el humo y no la nicotina. Lo que debería llevarnos a preguntar: ¿cómo colaboramos a que las personas dejen de fumar?

Gobiernos nacionales o estatales a lo largo del mundo le han dado una respuesta (errónea y carente de respaldo científico) a dicha pregunta. ¿La solución? Pues prohibir los métodos alternativos para dejar de fumar, como por ejemplo el vapeo, que han ayudado a muchas personas a dejar el cigarrillo tradicional. Esto a pesar de que los datos muestran que los riesgos del vapeo y del tabaco son muy diferentes.

Así lo han hecho estados como Michigan y Massachusetts en los Estados Unidos, prohibiendo el acto de vapear o los productos de vapeo, mientras han dejado los cigarrillos tradicionales en venta libre. El problema aquí no es que “tampoco han prohibido el cigarrillo tradicional”, sino que le han quitado a los consumidores la capacidad de elegir un método alternativo que podría ayudarlos a dejar un producto que causa todavía mayores daños a la salud.

Cabe remarcar que esto no es una apología de las drogas, de la nicotina, del cigarrillo o de lo que fuera. Es, simplemente, como lo señaló el autor Thomas Szasz (1920-2012), “el derecho a consumir”.

En el informe titulado “War on Nicotine” se señalan seis razones por las cuales la guerra contra la nicotina debe terminar: 

  1. La gente consume nicotina, pero fallece por fumar tabaco.
  2. La nicotina en parches y chicles no es un problema; tampoco debería serlo en una bolsa o un vaporizador.
  3. La adicción es compleja y no se resolverá combatiendo la nicotina.
  4. La nicotina tiene beneficios terapéuticos.
  5. La concepción errónea de la nicotina obstaculiza el progreso.
  6. La prohibición nunca funciona.

Gracias a la innovación, el consumo de nicotina puede por fin desvincularse de los efectos peligrosos del tabaquismo y, por tanto, ayudar a millones de fumadores a mejorar su salud. No obstante, la nicotina es demonizada. Lo mismo sucede con el vapeo, que, “como puede contener nicotina”, hay que prohibirlo. Entonces, ¿por qué los chicles y parches, que por cierto contienen nicotina, no son prohibidos? 

¿Cuál es la solución?

El punto está en que no hay que prohibir, hay que permitir y respetar la plena libertad del consumidor y del que quiere buscar métodos alternativos como el vapeo para dejar de fumar, así como encabezar campañas desde organizaciones de la sociedad civil para ayudar a concientizar sobre los daños que causa a la salud el acto de fumar.

Como señala Vaping Today, “defendamos la reducción de daños para salvar vidas y opongámonos al paternalismo que priva a los consumidores de la posibilidad de elegir”.

Reducir el número de fumadores y permitirles cambiar de forma rápida y eficaz a una alternativa menos perjudicial debería ser una de las principales prioridades de los gobiernos y los organismos de salud pública de todo el mundo. Por este motivo, nos tocará seguir insistiendo en acabar con las incongruentes prohibiciones al vapeo y a cualquier otra alternativa que ayude a la gente. Menos prohibiciones, más soluciones.

Originally published here

“นิโคติน” แพะรับบาป ความเข้าใจที่ยังไม่เข้าใจ

แม้สถานการณ์การระบาดของโควิดจะมีแนวโน้มที่ดีขึ้น แต่ทั่วโลกก็ยังคงเฝ้าระวังอย่างใกล้ชิด เพื่อให้แน่ใจว่าทุกประเทศได้เข้าถึงจุดสิ้นสุดของวิกฤตโรคระบาดอย่างแท้จริง…ประชาการโลกจะปลอดภัย ความท้าทายด้านสาธารณสุขทั่วโลกจะคลี่คลายลง

แต่สถานการณ์ด้านสาธารณสุขที่ยังคงเป็นปัญหามาอย่างต่อเนื่อง คือปัญหาจากการสูบบุหรี่ ที่ทุกประเทศทั่วโลกรวมทั้งประเทศไทยต่างพยายามหาวิธีแก้ไขกันมาตลอดหลายทศวรรษ

ซึ่งดูเหมือนว่าในกลุ่มประเทศที่สนับสนุนและยอมรับนโยบายด้านการลดอันตรายจากยาสูบ จะมีข่าวที่น่ายินดี เพราะพบว่าจำนวนผู้สูบบุหรี่ในประเทศลดลงอย่างมาก ยกตัวอย่างเช่น ในสหราชอาณาจักรที่ระดับการสูบบุหรี่ลดลงร้อยละ 25 ตั้งแต่ปี พ.ศ. 2556 ซึ่งเป็นช่วงเดียวกับที่บุหรี่ไฟฟ้าเริ่มกลายเป็นที่นิยม ในขณะที่ในระยะ 4 ปีที่ผ่านมา จำนวนยอดขายบุหรี่ในประเทศญี่ปุ่นลดลงถึง 34 เปอร์เซ็นต์ ในขณะที่ยอดขายผลิตภัณฑ์ทางเลือกที่มีอันตรายน้อยกว่า เช่น ผลิตภัณฑ์ชนิดไม่เผาไหม้หรือ heat-not-burn เพิ่มขึ้นเป็น 30 เปอร์เซ็นต์ในปี พ.ศ. 2562

ตัวเลขเหล่านี้เป็นสิ่งที่ชี้ได้ว่า ผู้ที่ต้องการนิโคตินก็จะยังคงใช้นิโคตินต่อไป แต่อาจจะหาทางเลือกที่เป็นอันตรายน้อยกว่ามาทดแทนการสูบบุหรี่

Read the full article here

The Democrats’ Frantic Delusion on Forever Chemicals

Americans are facing higher prices on nearly everything they use from food to common household products. Instead of looking for solutions, Democrats are about to make things worse by banning a class of chemicals used in manufacturing that make products better and cheaper. In other words, pay attention, consumers. You’re about to get less bang for your already-beleaguered buck.

Per- and polyfluoroalkyl substances (PFAS), also known as man-made or, as the activists like to call them, “forever chemicals,” are the latest addition to the long list of environmental boogeymen blamed for everything from causing cancer to infertility, thyroid problems, and a host of other health issues. In a hunt for a quick fix, Democrat legislators are moving toward a complete PFAS ban, which would outlaw a diverse group of more than 4,000 chemicals, regardless of their individual risks, benefits, and availability of reliable substitutes.

The PFAS Action Act was introduced in April 2021 and passed by the House in July. Rep. Debbie Dingell (D-Mich.), a sponsor of the bill, called PFAS “an urgent public health and environmental threat.” Yet, it is alarmism — not evidence — that drives the Democrats’ PFAS legislation. The assumption behind their approach is that PFAS chemicals all carry equal risks. They do not. PFAS chemicals have a wide array of uses, and, depending on the environment, break down differently.

As for PFAS being a health threat, studies don’t support that claim. In December 2021, the Australian National University published a groundbreaking study on PFAS. One of the key findings was that exposure to PFAS in impacted communities almost entirely comes from water and firefighting foam. That’s a problem because those who drink contaminated water or eat locally grown food that is contaminated are at the highest risk of PFAS-associated health problems. Yet the problem isn’t the existence or use of the chemical. It’s irresponsible and illegal production processes. Ensuring that these chemicals are properly used should drive regulation.

While the Australian study found PFAS exposure (PFOA and PFOS) increased higher cholesterol, other risks have not been confirmed. Even so, new research published in the peer-reviewed journal Environmental Research states that there is often insufficient data supporting PFAS exposure with any specific disease.

PFAS can be found in household items and other common consumer products — like cell phones, medical equipment, and food packaging. These chemicals are also found in hospital settings. Surgical gowns, antimicrobial curtains, and floor coverings all contain PFAS to help protect doctors, nurses, and other medical personnel from infections during surgeries. Water, acid, and oil resistance are some of the main features making PFAS hard to substitute.

Instead of enacting bans, a smarter way to approach PFAS would be to assess these chemicals individually so that those chemicals that pose a significant risk to our health and wellbeing can be regulated appropriately.

The overreaching government hand is not needed to reduce the use of PFAS — that’s already happening. Thanks to industry self-regulation, the use of PFAS has decreased. And according to a 2018 Toxicological Profile for Perfluoroalkyls by the Agency for Toxic Substances & Disease Registry, “industrial releases have been declining since companies began phasing out the production and use of several perfluoroalkyls in the early 2000s.” Also, despite alarmism, the report has found no causal relationship between perfluoroalkyls and pregnancy-induced hypertension, decreased antibody response to vaccines, or other reported ties.

It is important to take claims on the connection between PFAS and health effects with a pinch of salt. Over 200 laboratory animal studies found the link between exposure to PFAS and adverse health effects, which seems convincing at first glance. However, the significance of those conclusions for policymaking is overstated. A review of the lab studies found they used much higher PFAS exposure levels than those observed in the general population. In other words, these studies do not replicate how humans come in contact with these chemicals.

American consumers will have to foot the bill for the Democrats’ PFAS alarmism. With inflation spiking, one would expect regulators to be guided by evidence. The risks associated with consumer items that contain PFAS are non-existent, but the proposed ban comfortably ignores this. The increased cost of production — and the difficulty of finding substitutions for PFAS — will be passed on to consumers.

Another fact ignored by Democrats is that this ban will not cease the production or use of PFAS chemicals. It will simply shift it to countries such as China, where regulations are more relaxed. That means the PFAS Act will do nothing more than make Americans poorer and less safe.

Originally published here

Weathering change: why governments must prioritise innovation

Innovation is a fuel that powers the most successful private-sector organisations. Their relentless pursuit of new products, processes and systems in a bid to compete has made private companies synonymous with agility, progression and proactivity. By injecting the same level of innovation into the public sector, governments can drive efficiency, reduce expenditure and navigate crises.

The pandemic has left some countries and governments at sea. It has exposed the need for more resilient government models that can act quickly and decisively. Technology such as big data analytics, drones and artificial intelligence can inform and support decision-making while also helping to implement policies and measure their success.

“Government innovation is the foundation of every development and an engine of creating the future,” says Sheikh Mohammed bin Rashid Al Maktoum, vice president and prime minister of the UAE and ruler of Dubai. “I believe that the UAE has a lot of experience and expertise to share in this field.”

In January, the UAE was ranked first globally for its Covid-19 response and resilience by the Pandemic Resilience Index 2022, which is funded by US-based advocacy group Consumer Choice Centre. And as we emerge from the health crisis, our economy is also demonstrating a solid recovery.

Read the full article here

Pentingnya Memahami Langkah Mengurangi Dampak Buruk dari Rokok

Rokok saat ini merupakan salah satu permasalahan kesehatan publik terbesar yang dihadapi oleh berbagai negara di dunia, termasuk juga Indonesia. Sudah menjadi rahasia umum bahwa, rokok merupakan sumber berbagai penyakit kronis yang sangat berbahaya, seperti kanker penyakit jantung.

Di negara kita sendiri, rokok sebagai salah satu masalah kesehatan publik yang sangat besar merupakan pengetahuan yang sudah sangat umum. Indonesia sendiri merupakan salah satu negara dengan tingkat perokok yang paling tinggi di dunia. Di negara kita pada tahun 2021 lalu, diestimasi setidaknya ada 65 juta perokok dewasa di tanah air. Angka ini belum termasuk para perokok di bawa umur (finance.detik.com, 22/8/2021).

Angka yang tinggi ini tentu merupakan sesuatu yang sangat memprihatinkan. Jumlah perokok yang sangat tinggi di Indonesia sendiri tentunya telah memberikan beban biaya yang sangat besar terhadap sistem kesehatan di Indonesia. Pada tahun 2021 lalu misalnya, berdasarkan pernyataan dari Menteri Keuangan, Sri Mulyani, biaya yang dikeluarkan oleh sistem kesehatan publik di Indonesia (atau BPJS) karena penyakit yang disebabkan oleh rokok sebesar 10-15 triliun rupiah (finansial.bisnis.com, 13/12/2021).

Jumlah ini tidak mencakup biaya yang dikeluarkan selain dari sistem BPJS. Secara total, diperkiarakan biaya medis yang dikeluarkan untuk pengobatan berbagai penyakit yang disebabkan karena rokok sebesar 17-27 triliun rupiah. Jumlah uang yang harus dikeluarkan tersebut tentu merupakan jumlah yang tidak kecil.

Untuk itu, tidak mengherankan bila berbagai pemerintahan di banyak negara di dunia memberlakukan berbagai aturan yang ditujukan untuk mengurangi hingga melarang warganya untuk mengkonsumsi produk-produk rokok. Berbagai aturan tersebut sangat bervariasi dari berbagai negara, mulai dari pengenaan kebijakan cukai atau pajak yang tinggi, larangan rokok dengan rasa tertentu, hingga larangan total untuk seluruh kegiatan produksi dan konsumsi rokok.

Pemerintah Indonesia sendiri juga menerapkan berbagai aturan dan kebiajkan publik yang ditujuan untuk mendorong seseorang berhenti merokok, atau setidaknya mengurangi insentif seseorang untuk membeli dan mengkonsumsi produk-produk tersebut. Salah satu kebijakan yang diberlakukan untuk hal tersebut adalah melalui kebijakan cukai rokok yang tinggi.

Kebijakan cukai rokok ini tentu merupakan kebijakan yang sudah diketahui oleh banyak warga Indonesia. Angka cukai rokok di Indonesia juga semakin meningkat dari tahun ke tahun. Di awal tahun 2022 ini misalnya, pemerintah kembali meningkatkan cukai hasil tembakau, yang tentunya termasuk juga produk-produk rokok, sebesar 12% (newssetup.kontan.co.id, 24/12/2021).

Kebijakan ini tentu merupakan hal yang bisa dimengerti. Secara sekilas, bila pemerintah menaikkan harga suatu barang untuk dijual, sangat rasional bagi kita untuk beranggapan bahwa hal tersebut akan mengurangi insentif seseorang untuk membeli produk tersebut. Tetapi, ternyata ada pula kebijakan lain yang bisa diimplementasikan untuk mencapai tujuan tersebut, yakni kebijakan yang bertujuan untuk mengurangi dampak buruk, atau yang dikenal dengan nama “harm reduction”.

Harm reduction sendiri merupakan kebijakan yang diberlakukan bukan dengan melalui semakin mempersulit konsumen produk-produk tertentu yang sangat berbahaya bagi kesehatan, seperti rokok, untuk mendapatkan produk tersebut. Tetapi, hal tersebut dilakukan melalui dengan memberikan alternatif produk-produk lain yang lebih tidak berbahaya dan memiliki dampak buruk yang lebih kecil bagi para konsumen tersebut, agar mereka bisa perlahan-lahan menghilangkan kebiasaannya untuk mengkonsumi produk-produk yang sangat berbahaya.

Selama 15 tahun terakhir, kita sudah menyaksikan munculnya berbagai teknologi yang ditujukan untuk mengurangi dampak buruk dari konsumsi rokok konvensioanl yang dibakar. Beberapa teknologi dan produk-produk tersebut diantaranya adalah roko elektronik, alat untuk memanaskan tetapi tidak membakar tembakau (Heat-not-burn), dan permen yang mengandung nikotin tetapi tidak mengandung tembakau sama sekali (Consumer Choice Center, 2022).

Tetapi, tidak sedikit kebijakan yang diberlakukan di berbagai negara yang justru menyamakan seluruh produk alternatif tersebut dengan produk rokok tembakau konvensional yang dibakar, meskipun berdasarkan penelitian produk-produk tersebut memiliki dampak negatif yang jauh lebih kecil dengan rokok konvensional yang dibakar. Berdasarkan laporan yang dikeluarkan oleh lembaga kesehatan publik asal Inggris, Public Health England (PHE) misalnya, menyatakan bahwa rokok elektronik atau vape 95% lebih tidak berbahaya bila dibandingkan dengan rokok konvensional yang dibakar (theguardian.com, 28/12/2018).

Oleh karena itu, sangat penting bagi para pembuat kebijakan untuk merumuskan dan membuat kebijakan publik yang dapat mempermudah mereka yang kecanduan rokok terhadap akses kepada produk-produk lain yang lebih tidak berbahaya. Pada saat yang sama, kita perlu juga mengkampanyekan mereka yang tidak merokok untuk tidak mengkonsumsi produk-produk tembakau, meskipun itu produk-produk tembakau alternatif yang lebih aman.

Sebagai penutup, hak untuk hidup sehat merupakan bagian dari hak asasi manusia yang dimiliki oleh setiap individu. Menyediakan dan mempermudah akses terhadap produk-produk tembakau dan nikotin alternatif yang jauh tidak berbahaya merupakan salah satu bagian untuk membantu mereka yang sudah kecanduan rokok untuk menghentikan kebiasaannya yang sangat berbahaya.

Originally published here

Blocking of cigarette alternatives seen behind spike in US smoking rate

Cigarette smoking in the United States went up for the first time in two decades amid the persistent public health lobby against less harmful alternatives such as e-cigarettes and heated tobacco products, according to an international consumer advocacy group.

“Nothing has been more egregious and harmful in our current age than the public health lobby’s persistent denialism of the harm reduction value of nicotine vaping products and other alternatives to cigarettes,” Consumer Choice Center (CCC) deputy director Yaël Ossowski said in a blog post on the organization’s website.

The 2020 Cigarette Report of the Federal Trade Commission showed that cigarette sales in the United States reached the highest in two decades. The total number of cigarettes sold by major manufacturers rose 0.4 percent in 2020 to 203.7 billion units from 2019. It represented the first increase in cigarette sales in 20 years.

Read the full article here

Scroll to top
en_USEN