fbpx

Día: 28 de febrero de 2022

Editorial: Hacer la vista gorda

En una sesión legislativa que está llena de temas polémicos, los republicanos y demócratas de Iowa encontraron puntos en común en al menos una cosa recientemente: les encanta el etanol.

Por un margen abrumador, la Legislatura aprobó un proyecto de ley para obligar a la mayoría de los minoristas del estado a ofrecer más E-15, una mezcla de etanol más alta que la habitual E-10. La gobernadora Kim Reynolds ha estado presionando para que se cumpla ese requisito.

Desde entonces, algunos comentaristas en el estado han cuestionado las políticas de etanol unidas por la cadera de Iowa, una táctica adoptada por políticos de ambos partidos. Y algunos han sugerido que el apoyo federal al etanol no durará para siempre; que tal vez sea hora de prepararse para el crecimiento de los vehículos eléctricos.

Sentado aquí en la frontera de Iowa e Illinois, tenemos un punto de vista único sobre esta cuestión. El gobernador de Illinois, JB Pritzker, se ha volcado con los vehículos eléctricos, impulsando un paquete de incentivos estatales el año pasado y alentando los esfuerzos de la administración Biden en esta área.

Pritzker ha proclamado con orgullo que quiere que el estado sea el "Silicon Valley" de la industria de los vehículos eléctricos.

En Iowa, no escuchará eso de los niveles más altos del gobierno.

Iowa continúa manteniendo políticas que son barreras para la expansión de vehículos eléctricos. En una columna del Des Moines Register el año pasado, los analistas del Consumer Choice Center dijeron que Iowa estaba empatado en el último lugar en un índice de accesibilidad de vehículos eléctricos.

Lee el artículo completo aquí

Pentingnya Hak Kekayaan Intelektual untuk Membangun Ekosistem Digital yang Sehat

Perdagangan internacional saat ini merupakan kegiatan yang tidak bisa dibendung apalagi diberhentikan. Dalam era globalisasi di abad ke-21 ini, hampir semua, atau setidaknya semua, negara yang ada di dunia niscaya melakukan transaksi económico dengan negara-negara lainnya.

Tidak ada negara yang bisa secara 100% menjalankan kegiatan ekonominya secara autarki, bahkan negara yang sangat otoriter seperti Korea Utara sekali pun misalnya. Mereka pun juga masih harus tetap melakukan perdagangan dan bertukar barang dan jasa dengan negara-negara lain.

Kegiatan ekspor dan impor ini telah membawa banyak manfaat bagi miliaran penduduk di seluruh dunia. Saat ini, para konsumen bisa dengan mudah mendapatkan berbagai produk yang berasal dari negara lain. Selain itu, dengan semakin terbukanya perdagangan, hal ini juga membuat pangsa pasar yang dimiliki oleh para pelaku usaha juga menjadi semakin luas.

Para pelaku usaha bisa menjangkau lebih banyak konsumen, yang akan semakin meningkatkan pendapatan, dan akhirnya juga akan semakin membuka banyak lapangan kerja.

Para konsumen juga bisa dengan mudah mendapatkan produk dengan harga yang lebih murah, dan para produsen juga akan mendapatkan sumber daya yang lebih baik dengan harga yang lebih murah untuk membuat produk yang akan mereka jual.

Hal ini tentu merupakan sesuatu yang sangat positif, dan harus kita dorong. Sejarah sudah membuktikan bahwa, negara-negara yang menganut sistem ekonomi dan perdagangan yang terbuka relatif jauh lebih sejahtera. Sebaliknya, negara-negara yang menutup ekonomi mereka dari perdagangan internasional justru semakin membuat warganya hidup miskin dan menderita.

Tetapi, di sisi lain, meskipun membawa banyak manfaat dan dampak yang positif, kegiatan eskpor dan impor juga membawa hal lain yang patut kita waspadai. Salah satunya adalah, dengan perdagangan yang semakin terbuka, maka akan semakin mudah juga bagi para pembajak dan pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab untuk menjual barang yang mereka produksi, yang dibuat dengan melanggar kekayaan intelektual yang dimiliki oleh pihak lain.

Hal ini pula yang terjadi di Indonesia. Dengan sangat mudah misalnya, kita bisa menemukan banyak produk-produk bajakan yang dijual di berbagai pertokoan dan pusat-pusat perbelanjaan yang ada di Indonesia. Tidak sedikit dari produk-produk tersebut yang diproduksi dari negara-negara lain, dan diimpor ke negara kita.

Barang-barang bajakan yang dijual di berbagai macam pertokoan dan pusat perbelanjaan tersebut sangat beragam, mulai dari barang-barang fashion, seperti tas dan pakaian, hingga berbagai barang-barang elektronik seperti laptop dan telepon genggam. Harga yang ditawarkan juga tentunya jauh di bawah dari barang-barang aslinya, yang tentunya menjadi daya tarik utama bagi jutaan pembeli untuk mengeluarkan uangnya demi mendapatkan barang-barang tersebut.

Salah satu negara yang menjadi negara produsen barang-barang bajakan misalnya, adalah China. Sudah menjadi rahasia umum bahwa China saat ini menjadi negara pusat produsen barang-barang bajakan dunia, dan barang-barang tersebut dieskpor ke hampir seluruh penjuru dunia. Setidaknya, 80% dari seluruh barang-barang konsumen bajakan di seluruh dunia diproduksi di China (daxueconsulting.com, 7/4/2021).

Indonesia sendiri juga menjadi salah satu negara sasaran penjualan barang-barang bajakan yang berasal dari China. Hal ini tidak mengherankan, mengingat Indonesia merupakan negara dengan jumlah penduduk terbesar ke-4 di dunia, yang tentunya menyediakan pangsa pasar yang sangat besar untuk barang-barang tersebut. 

Hal ini tentu membuat lembaga penegak hukum memiliki peran yang sangat penting untuk mencegah masuknya barang-barang tersebut. Pada bulan November tahun 2021 lalu misalnya, Bea Cukai kota Semarang misalnya, berhasil menyita lebih dari 200.000 pulpen merek Standard bajakan asal China (jateng.inews.id, 6/11/2021).

Bila hal tersebut tidak diatasi, maka fenomena tersebut akan sangat merugikan bagi Indonesia, apalagi bila yang dibajak tersebut adalah produk-produk yang diproduksi oleh produsen dalam negeri. Pulpen Standard yang dibajak di China dan disita oleh BEa Cukai tersebut misalnya, merupakan produk buatan dalam negeri, dan bila pembajakan tersebut tidak ditindak maka tentu akan sangat merugikan perusahaan Standard yang berasal dari Indonesia.

Selain itu, perlindungan hak kekayaan intelektual yang kuat juga sangat penting untuk meningkatkan kualitas produk-produk yang akan dieskpor suatu negara, termasuk juga Indonesia, ke negara lain. Negara-negara yang mampu menyediakan ekspor barang-barang yang berkualitas tinggi memiliki potensi untuk tumbuh jauh lebih cepat, dan perlindungan hak kekayaan intelektual yang kuat merupakan salah satu faktor yang menunjang hal tersebut (Gideon, 2019).

Pelindungan kekayaan intelektual yang kuat memberikan setidaknya dua manfaat besar yang dapat menunjang peningkatan kualitas ekspor suatu negara. 

Pertama, dengan dilindunginya hak kekayaan intelektual, maka para produsen bisa dapat dengan lebih mudah untuk menggunakan hak kekayaan intelektual yang mereka miliki sebagai jaminan sebagaimana aset tangible lainnya untuk mendapatkan modal. 

Sementara yang kedua, dengan dilindunginya hak kekayaan intelektual secrara kuat, maka hal tesebut akan memberikan insentif lebih besar bagi para produsen untuk berani mengambil resiko lebih untuk berinovasi (Gideon, 2019).

Sebagai penutup, perlindungan hak kekayaan intelektual yang kuat merupakan hal yang sangat penting untuk ditegakkan di Indonesia, terlebih lagi di era globalisasi seperti di abad ke-21 ini, di mana arus perdagangan semakin bebas dan terbuka. 

Hal ini bukan hanya sangat penting untuk melindungi produsen dalam negeri di Indonesia dari pembajakan, namun juga untuk meningatkan kualitas ekspor barang-barang di Indonesia yang dijual ke luar negeri.

Publicado originalmente aquí

¿Por qué es un error la guerra contra la nicotina?

Los gobiernos alrededor del mundo deben declarar guerras sin fundamentos, ilógicas y que terminan causando graves daños a los individuos de la sociedad. Una de estas guerras es la poco conocida pero extremadamente padecida “guerra contra las drogas”, iniciada en los setenta años y continuada por prolongadas administraciones de los Estados Unidos con la finalidad de perseguir la producción, el consumo y el comercio de ciertas sustancias psicoactivas, apareciendo con ello un caos de narcoviolencia a lo largo de América Latina (un proceso similar al que se vio en Estados Unidos en los años veinte, tras la famosa “Ley Seca” o la prohibición del alcohol, que desencadenó en la aparición de personalidades como Al Capone, mafias y violencia).

La prohibición del alcohol en los Estados Unidos fue un completo desastre que condujo a un mayor consumo de alcohol, un consumo no seguro, y enormes cárteles. La guerra contra las drogas en todo el mundo es un completo fracaso y en muchos casos resulto en politicas contraproducentes. Restringir o incluso prohibir la nicotina para adultos impulsará las actividades del mercado negro y, al mismo tiempo, concluirá el consumo de productos ya prohibidos. 

Sigamos los ejemplos de política pública que han dado buenos resultados, como es el caso de Portugal, un país que ha despenalizado todas las drogas y en los últimos veinte años incluso ha reducido los niveles de consumo, llegando a ser uno de los países de la Unión Europea con menor consumo de drogas como la heroína.

La equivocada guerra contra la nicotina

Este detalle trae una colación el informe publicado recientemente por el Consumer Choice Center y la World Vapers' Alliance, donde enfatizan en la declarada guerra contra la nicotina, señalando que hay razones empíricas para acabar con dicha guerra. Durante décadas, la nicotina ha sido sinónimo de fumar. Esto hizo que la mayoria de la gente creyera que la nicotina per se es la razón principal de los efectos negativos para la salud causados ​​por fumar. Si bien está claro que la mayoría de las personas no comenzarán a consumir nicotina si aún no lo hacen, es hora de evaluar la nicotina de manera total.

“le han quitado a los consumidores la capacidad de elegir un método alternativo que podría ayudar a dejar un producto que causa todavía mayores daños a la salud”.

Como todas las guerras contra todo tipo de sustancias, esta guerra contra la nicotina ignora la evidencia científica. El Servicio Nacional de Salud Británico, que sigue un enfoque pragmático hacia el consumo de nicotina y el vapeo, afirma que “si bien la nicotina es la sustancia adictiva de los cigarrillos, es relativamente inofensiva. Casi todo el daño por fumar proviene de los miles de otros químicos en el humo del tabaco, muchos de los cuales son tóxicos”.

Los expertos están de acuerdo en que, a lo que al tabaquismo respeta, el enemigo es el humo y no la nicotina. Lo que debería llevarnos a preguntar: ¿cómo colaboramos a que las personas dejen de fumar?

Los gobiernos nacionales o estatales a lo largo del mundo le han dado una respuesta (errónea y carente de respaldo científico) a dicha pregunta. ¿La solución? Pues prohibir los métodos alternativos para dejar de fumar, como por ejemplo el vapeo, que han ayudado a muchas personas a dejar el cigarrillo tradicional. Esto a pesar de que los datos muestran que los riesgos del vapeo y del tabaco son muy diferentes.

Así lo han hecho estados como Michigan y Massachusetts en los Estados Unidos, prohibiendo el acto de vapear o los productos de vapeo, mientras han dejado los cigarrillos tradicionales en venta libre. El problema aquí no es que “tampoco han prohibido el cigarrillo tradicional”, sino que le han quitado a los consumidores la capacidad de un método alternativo que podría ayudar a dejar un producto que causa todavía mayores daños a la salud.

Cabe remarcar que esto no es una apología de las drogas, de la nicotina, del cigarrillo o de lo que fuera. Es, simplemente, como lo dijo el autor Tomas Szasz (1920-2012), “el derecho a consumir”.

En el informe titulado “Guerra contra la nicotina” se señalan seis razones por las cuales la guerra contra la nicotina debe terminar: 

  1. La gente consume nicotina, pero falla por fumar tabaco.
  2. La nicotina en parches y chicles no es un problema; tampoco debería serlo en una bolsa o un vaporizador.
  3. La adicción es compleja y no se resolverá combatiendo la nicotina.
  4. La nicotina tiene beneficios terapéuticos.
  5. La concepción errónea de la nicotina impide el progreso.
  6. La proposición nunca funciona.

Gracias a la innovación, el consumo de nicotina puede por fin desvincularse de los efectos peligrosos del tabaquismo y, por tanto, ayudar a millones de fumadores a mejorar su salud. No obstante, la nicotina está demonizada. Lo mismo sucede con el vapeo, que, “como puede contener nicotina”, hay que prohibirlo. Entonces, ¿por qué los chicles y parches, que por cierto contienen nicotina, no están prohibidos? 

¿Cuál es la solución?

El punto está en que no hay que prohibir, hay que permitir y respetar la plena libertad del consumidor y del que quiere buscar métodos alternativos como el vapeo para dejar de fumar, así como encabezar campañas desde organizaciones de la sociedad civil para ayudar a concientizar sobre los daños que causa a la salud el acto de fumar.

Como señala Vaping Today, “defendamos la reducción de daños para salvar vidas y opongámonos al paternalismo que priva a los consumidores de la posibilidad de elegir”.

Reducir el número de fumadores y permitirles cambiar de forma rápida y eficaz a una alternativa menos perjudicial debería ser una de las principales prioridades de los gobiernos y los organismos de salud pública de todo el mundo. Por este motivo, nos tocará seguir insistiendo en acabar con las incongruentes prohibiciones al vapeo ya cualquier otra alternativa que ayude a la gente. Menos prohibiciones, más soluciones.

Publicado originalmente aquí

นิโคติน

แม้ สถานการณ์ การ ระบาด ของ โควิด จะ มี แนวโน้ม ที่ ดี ขึ้น แต่ แต่ ทั่ว โลก ก็ ยัง คง เฝ้า ระวัง อย่าง ใกล้ชิด เพื่อ ให้ แน่ใจ ว่า ทุก ประเทศ เข้า ถึง จุด สิ้นสุด ของ วิกฤต โรค ระบาด อย่าง แท้จริง แท้จริง แท้จริง ประชาการ โลก จะ ภัย ความ ด้าน สาธารณสุข สาธารณสุข สาธารณสุข สาธารณสุข สาธารณสุข สาธารณสุข สาธารณสุข สาธารณสุข สาธารณสุข สาธารณสุข สาธารณสุข สาธารณสุข สาธารณสุข สาธารณสุข สาธารณสุข สาธารณสุข สาธารณสุข สาธารณสุข สาธารณสุข สาธารณสุข สาธารณสุข สาธารณสุข สาธารณสุข สาธารณสุข สาธารณสุข สาธารณสุข ทั่วโลกจะคลี่คลายลง

แต่ สถานการณ์ ด้าน สาธารณสุข ที่ ยัง คง เป็น ปัญหา มา อย่าง ต่อเนื่อง คือปัญหาจากการสูบบุหรี่ ที่ ทุก ประเทศ ทั่ว โลก รวม ทั้ง ประเทศ ไทย ต่าง พยายามหาวิธี แก้ไข กัน มา ตลอด หลาย ทศวรรษ

ซึ่ง ดู เหมือน ว่า ใน กลุ่ม ประเทศ ที่ สนับสนุน และ ยอมรับ นโยบาย นโยบาย ด้าน การ ลด อันตราย จาก ยา สูบ จะ ข่าว ที่ น่า ยินดี เพราะ พบ ว่า จำนวน สูบ บุหรี่ ใน ประเทศ ลด ลง อย่าง มาก มาก ยก ยก มาก มาก ยก เช่น ใน สหราชอาณาจักร ที่ ระดับ การ ลด ลง ลง ลง ลง ลง ลง ลง ลง ลง ลง ลง ลง ลง ลง ลง ลง ลง ลง ลง ลง ลง ลง ลง ลง ลง ลง ลง ลง ลง ลง ลง ลง ลง ลง ลง ลง ลง ลง ลง ลง ลง ลง ลง ลง ลง ลง. ร้อยละ 25 ตั้งแต่ปี พ.ศ. 2556 ซึ่ง เป็น ช่วง เดียว กับ ที่ บุหรี่ ไฟฟ้า เริ่ม กลาย เป็น เป็น ที่ นิยม ใน ขณะ ที่ ใน ระยะ 4 ปี ผ่าน ผ่าน มา ยอด ยอด ขาย บุหรี่ ประเทศ ญี่ปุ่น ลง ลง ถึง 34 เปอร์เซ็นต์ ใน ขณะ ขณะ ที่ ยอด ขาย ผลิตภัณฑ์ ทาง เลือก ที่ น้อย เช่น เช่น เช่น เช่น เช่น เช่น เช่น เช่น เช่น เช่น เช่น เช่น เช่น เช่น เช่น เช่น เช่น เช่น เช่น เช่น เช่น เช่น เช่น เช่น เช่น เช่น เช่น เช่น เช่น เช่น เช่น เช่น เช่น เช่น เช่น เช่น เช่น เช่น เช่น เช่น เช่น เช่น เช่น เช่น เช่น เช่น เช่น เช่น เช่น เช่น เช่น เช่น เช่น เช่น ผลิตภัณฑ์ ชนิด ไม่ เผา ไหม้ หรือ Calor no quema เพิ่ม ขึ้น เป็น 30 เปอร์เซ็นต์ ใน ปี พ.ศ. 2562

Inventario ผู้ ที่ ต้องการ นิโคติน ก็ จะ ยัง คง ใช้ นิโคติน ต่อ ไป แต่ อาจ จะ หา ทาง เลือก ที่ เป็น อันตราย น้อย กว่า มา ทดแทน การ สูบ บุหรี่ บุหรี่ บุหรี่

Lee el artículo completo aquí

El engaño frenético de los demócratas sobre Forever Chemicals

Los estadounidenses enfrentan precios más altos en casi todo lo que usan, desde alimentos hasta productos domésticos comunes. En lugar de buscar soluciones, los demócratas están a punto de empeorar las cosas al prohibir una clase de productos químicos utilizados en la fabricación que hacen que los productos sean mejores y más baratos. En otras palabras, presten atención, consumidores. Está a punto de obtener menos por su dinero ya asediado.

Las sustancias perfluoroalquiladas y polifluoroalquiladas (PFAS), también conocidas como artificiales o, como les gusta llamarlas a los activistas, “sustancias químicas para siempre”, son la última incorporación a la larga lista de fantasmas ambientales a los que se culpa de todo, desde causando cáncer a la infertilidad, problemas de tiroides y una serie de otros problemas de salud. En la búsqueda de una solución rápida, los legisladores demócratas avanzan hacia una prohibición total de las PFAS, lo que prohibiría un grupo diverso de más de 4000 productos químicos, independientemente de sus riesgos y beneficios individuales y la disponibilidad de sustitutos confiables.

La Ley de Acción PFAS fue introducido en abril de 2021 y aprobada por la Cámara en julio. La representante Debbie Dingell (D-Mich.), patrocinadora del proyecto de ley, llamó PFAS “una amenaza urgente para la salud pública y el medio ambiente”. Sin embargo, es el alarmismo, no la evidencia, lo que impulsa la legislación PFAS de los demócratas. La suposición detrás de su enfoque es que todos los productos químicos PFAS conllevan los mismos riesgos. Ellos no. Los productos químicos PFAS tienen una amplia gama de usos y, según el entorno, se descomponen de manera diferente.

En cuanto a que PFAS sea una amenaza para la salud, los estudios no respaldan esa afirmación. En diciembre de 2021, la Universidad Nacional de Australia publicado un estudio innovador sobre PFAS. Uno de los hallazgos clave fue que la exposición a PFAS en las comunidades afectadas proviene casi en su totalidad del agua y la espuma contra incendios. Eso es un problema porque aquellos que beben agua contaminada o comen alimentos cultivados localmente que están contaminados corren el mayor riesgo de problemas de salud asociados con PFAS. Sin embargo, el problema no es la existencia o el uso de la sustancia química. Son procesos de producción irresponsables e ilegales. Garantizar que estos productos químicos se utilicen correctamente debería impulsar la regulación.

Si bien el estudio australiano encontró que la exposición a PFAS (PFOA y PFOS) aumentó el colesterol, no se han confirmado otros riesgos. Aun así, una nueva investigación publicado en la revista revisada por pares Environmental Research afirma que a menudo no hay datos suficientes que respalden la exposición a PFAS con ninguna enfermedad específica.

Las PFAS se pueden encontrar en artículos para el hogar y otros productos de consumo comunes, como teléfonos celulares, equipos médicos y empaques de alimentos. Estos productos químicos también se encuentran en entornos hospitalarios. Las batas quirúrgicas, las cortinas antimicrobianas y los revestimientos para pisos contienen PFAS para ayudar a proteger a los médicos, enfermeras y otro personal médico de infecciones durante las cirugías. La resistencia al agua, al ácido y al aceite son algunas de las características principales que hacen que el PFAS sea difícil de sustituir.

En lugar de promulgar prohibiciones, una forma más inteligente de abordar las PFAS sería evaluar estos productos químicos individualmente para que los productos químicos que representan un riesgo significativo para nuestra salud y bienestar puedan regularse adecuadamente.

No se necesita la mano excesiva del gobierno para reducir el uso de PFAS, eso ya está sucediendo. Gracias a la autorregulación de la industria, el uso de PFAS ha disminuido. Y de acuerdo con un perfil toxicológico de perfluoroalquilos de 2018 de la Agencia para el Registro de Sustancias Tóxicas y Enfermedades, “las liberaciones industriales han sido declinante desde que las empresas comenzaron a eliminar gradualmente la producción y el uso de varios perfluoroalquilos a principios de la década de 2000”. Además, a pesar del alarmismo, el informe no encontró una relación causal entre los perfluoroalquilos y la hipertensión inducida por el embarazo, la disminución de la respuesta de anticuerpos a las vacunas u otros vínculos informados.

Es importante tomar las afirmaciones sobre la conexión entre PFAS y los efectos sobre la salud con una pizca de sal. Más de 200 estudios en animales de laboratorio encontraron el vínculo entre la exposición a PFAS y los efectos adversos para la salud, lo que parece convincente a primera vista. Sin embargo, se exagera la importancia de esas conclusiones para la formulación de políticas. Una revisión de los estudios de laboratorio. fundar utilizaron niveles de exposición a PFAS mucho más altos que los observados en la población general. En otras palabras, estos estudios no replican cómo los humanos entran en contacto con estos químicos.

Los consumidores estadounidenses tendrán que pagar la factura del alarmismo PFAS de los demócratas. Con el aumento de la inflación, uno esperaría que los reguladores se guiaran por la evidencia. Los riesgos asociados con los artículos de consumo que contienen PFAS son inexistentes, pero la prohibición propuesta los ignora cómodamente. El mayor costo de producción, y la dificultad de encontrar sustitutos para PFAS, se trasladarán a los consumidores.

Otro hecho ignorado por los demócratas es que esta prohibición no detendrá la producción o el uso de productos químicos PFAS. Simplemente lo trasladará a países como China, donde las regulaciones son más relajadas. Eso significa que la Ley PFAS no hará más que hacer que los estadounidenses sean más pobres y menos seguros.

Publicado originalmente aquí

Enfrentando el cambio: por qué los gobiernos deben priorizar la innovación

La innovación es un combustible que impulsa a las organizaciones más exitosas del sector privado. Su incansable búsqueda de nuevos productos, procesos y sistemas en un intento por competir ha convertido a las empresas privadas en sinónimo de agilidad, progresión y proactividad. Al inyectar el mismo nivel de innovación en el sector público, los gobiernos pueden impulsar la eficiencia, reducir el gasto y sortear las crisis.

La pandemia ha dejado en el mar a algunos países y gobiernos. Ha expuesto la necesidad de modelos de gobierno más resilientes que puedan actuar con rapidez y decisión. La tecnología, como el análisis de big data, los drones y la inteligencia artificial, puede informar y respaldar la toma de decisiones y, al mismo tiempo, ayudar a implementar políticas y medir su éxito.

“La innovación gubernamental es la base de todo desarrollo y un motor para crear el futuro”, dice el jeque Mohammed bin Rashid Al Maktoum, vicepresidente y primer ministro de los Emiratos Árabes Unidos y gobernante de Dubái. “Creo que los Emiratos Árabes Unidos tienen mucha experiencia y conocimientos para compartir en este campo”.

En enero, los Emiratos Árabes Unidos ocuparon el primer lugar a nivel mundial por su respuesta y resiliencia a la COVID-19 por el Índice de resiliencia pandémica 2022, que está financiado por el grupo de defensa Consumer Choice Centre con sede en EE. UU. Y a medida que salimos de la crisis de salud, nuestra economía también está demostrando una sólida recuperación.

Lee el artículo completo aquí

Pentingnya Memahami Langkah Mengurangi Dampak Buruk dari Rokok

Rokok saat ini merupakan salah satu permasalahan kesehatan publik terbesar yang dihadapi oleh berbagai negara di dunia, termasuk juga Indonesia. Sudah menjadi rahasia umum bahwa, rokok merupakan sumber berbagai penyakit kronis yang sangat berbahaya, seperti kanker penyakit jantung.

Di negara kita sendiri, rokok sebagai salah satu masalah kesehatan publik yang sangat besar merupakan pengetahuan yang sudah sangat umum. Indonesia sendiri merupakan salah satu negara dengan tingkat perokok yang paling tinggi di dunia. Di negara kita pada tahun 2021 lalu, diestimasi setidaknya ada 65 juta perokok dewasa di tanah air. Angka ini belum termasuk para perokok di bawa umur (finance.detik.com, 22/8/2021).

Angka yang tinggi ini tentu merupakan sesuatu yang sangat memprihatinkan. Jumlah perokok yang sangat tinggi de Indonesia sendiri tentunya telah memberikan beban biaya yang sangat besar terhadap sistem kesehatan di Indonesia. Pada tahun 2021 lalu misalnya, berdasarkan pernyataan dari Menteri Keuangan, Sri Mulyani, biaya yang dikeluarkan oleh sistem kesehatan publik di Indonesia (atau BPJS) karena penyakit yang disebabkan oleh rokok sebesar 10-15 triliun rupiah (finansial.bisnis.com, 13/12 /2021).

Jumlah ini tidak mencakup biaya yang dikeluarkan selain dari sistem BPJS. Secara total, diperkiarakan biaya medis yang dikeluarkan untuk pengobatan berbagai penyakit yang disebabkan karena rokok sebesar 17-27 triliun rupiah. Jumlah uang yang harus dikeluarkan tersebut tentu merupakan jumlah yang tidak kecil.

Untuk itu, tidak mengherankan bila berbagai pemerintahan di banyak negara di dunia memberlakukan berbagai aturan yang ditujukan untuk mengurangi hingga melarang warganya untuk mengkonsumsi produk-produk rokok. Berbagai aturan tersebut sangat bervariasi dari berbagai negara, mulai dari pengenaan kebijakan cukai atau pajak yang tinggi, larangan rokok dengan rasa tertentu, hingga larangan total untuk seluruh kegiatan produksi dan konsumsi rokok.

Pemerintah Indonesia sendiri juga menerapkan berbagai aturan dan kebiajkan publik yang ditujuan untuk mendorong seseorang berhenti merokok, atau setidaknya mengurangi insentif seseorang untuk membeli dan mengkonsumsi produk-produk tersebut. Salah satu kebijakan yang diberlakukan untuk hal conciso pero adalah melalui kebijakan cukai rokok yang tinggi.

Kebijakan cukai rokok ini tentu merupakan kebijakan yang sudah diketahui oleh banyak warga Indonesia. Angka cukai rokok di Indonesia juga semakin meningkat dari tahun ke tahun. Di awal tahun 2022 ini misalnya, pemerintah kembali meningkatkan cukai hasil tembakau, yang tentunya termasuk juga produk-produk rokok, sebesar 12% (newssetup.kontan.co.id, 24/12/2021).

Kebijakan ini tentu merupakan hal yang bisa dimengerti. Secara sekilas, bila pemerintah menaikkan harga suatu barang untuk dijual, sangat rasional bagi kita untuk beranggapan bahwa hal tersebut akan mengurangi insentif seseorang untuk membeli produk tersebut. Tetapi, ternyata ada pula kebijakan lain yang bisa diimplementasikan untuk mencapai tujuan tersebut, yakni kebijakan yang bertujuan untuk mengurangi dampak buruk, atau yang dikenal dengan nama “reducción de daños”.

Reducción de daños sendiri merupakan kebijakan yang diberlakukan bukan dengan melalui semakin mempersulit konsumen produk-produk tertentu yang sangat berbahaya bagi kesehatan, seperti rokok, untuk mendapatkan produk tersebut. Tetapi, hal tersebut dilakukan melalui dengan memberikan alternatif produk-produk lain yang lebih tidak berbahaya dan memiliki dampak buruk yang lebih kecil bagi para konsumen tersebut, agar mereka bisa perlahan-lahan menghilangkan kebiasaannya untuk mengkonsumi produk-produk yang sangat berbahaya.

Selama 15 tahun terakhir, kita sudah menyaksikan munculnya berbagai teknologi yang ditujukan untuk mengurangi dampak buruk dari konsumsi rokok konvensioanl yang dibakar. Beberapa teknologi dan produk-produk tersebut diantaranya adalah roko elektronik, alat untuk memanaskan tetapi tidak membakar tembakau (Calentar sin quemar), dan permen yang mengandung nikotin tetapi tidak mengandung tembakau sama sekali (Consumer Choice Center, 2022).

Tetapi, tidak sedikit kebijakan yang diberlakukan di berbagai negara yang justru menyamakan seluruh produk alternatif tersebut dengan produk rokok tembakau konvensional yang dibakar, meskipun berdasarkan penelitian produk-produk tersebut memiliki dampak negatif yang jauh lebih kecil dengan rokok konvensional yang dibakar. Berdasarkan laporan yang dikeluarkan oleh lembaga kesehatan publik asal Inggris, Public Health England (PHE) misalnya, menyatakan bahwa rokok elektronik atau vape 95% lebih tidak berbahaya bila dibandingkan dengan rokok konvensional yang dibakar (theguardian.com, 28/12/2018).

Oleh karena itu, sangat penting bagi para pembuat kebijakan untuk merumuskan dan membuat kebijakan publik yang dapat mempermudah mereka yang kecanduan rokok terhadap akses kepada produk-produk lain yang lebih tidak berbahaya. Pada saat yang sama, kita perlu juga mengkampanyekan mereka yang tidak merokok untuk tidak mengkonsumsi produk-produk tembakau, meskipun itu produk-produk tembakau alternatif yang lebih aman.

Sebagai penutup, hak untuk hidup sehat merupakan bagian dari hak asasi manusia yang dimiliki oleh setiap individu. Menyediakan dan mempermudah akses terhadap produk-produk tembakau dan nikotin alternatif yang jauh tidak berbahaya merupakan salah satu bagian untuk membantu mereka yang sudah kecanduan rokok untuk menghentikan kebiasaannya yang sangat berbahaya.

Publicado originalmente aquí

Bloqueo de alternativas de cigarrillos visto detrás del aumento en la tasa de tabaquismo de EE. UU.

El consumo de cigarrillos en los Estados Unidos aumentó por primera vez en dos décadas en medio del persistente cabildeo de la salud pública contra alternativas menos dañinas como los cigarrillos electrónicos y los productos de tabaco para calentar, según un grupo internacional de defensa del consumidor.

“Nada ha sido más atroz y dañino en nuestra era actual que la negación persistente del lobby de salud pública del valor de reducción de daños de los productos de vapeo de nicotina y otras alternativas a los cigarrillos”, dijo el subdirector del Consumer Choice Center (CCC), Yaël Ossowski, en una publicación de blog. en el sitio web de la organización.

El Informe de cigarrillos de 2020 de la Comisión Federal de Comercio mostró que las ventas de cigarrillos en los Estados Unidos alcanzaron el nivel más alto en dos décadas. La cantidad total de cigarrillos vendidos por los principales fabricantes aumentó un 0,4 % en 2020 a 203 700 millones de unidades desde 2019. Representó el primer aumento en las ventas de cigarrillos en 20 años.

Lee el artículo completo aquí

Vuelve al comienzo
es_ESES