fbpx

Monat: 12J

Bahaya Pelarangan Vape von Negara Berkembang

Dunia saat ini masih terus berperang melawan pandemi COVID-19 yang muncul pada akhir tahun 2019 lalu. Sudah satu setengah tahun lamanya, virus yang sangat mudah menyebar antar manusia ini telah meluluh-lantahkan berbagai kegiatan, seperti acara musik dan perhelatan olahraga, serta keseharian miliaran orang di berbagai tempat di dunia.

Salah saturdamak yang paling terlihat dari munculnya pandemi ini adalah semakin banyaknya orang-orang yang sadar akan pentingnya Kesehatan dan kebersihan. Semakin banyak dari kita yang menyadari bahwa mencuci tangan atau membersihkan badan setelah keluar rumah adalah sesuatu yang sangat penting untuk dilakukan agar terhindar dari segala macam penyakit, khususnya COVID-19.

Tidak hanya dari masyarakat, banyak pemerintahan di berbagai belahan dunia juga mulai mengkampanyekan gaya hidup sehat untuk mencegah penyebaran virus tersebut. Beberapa diantaranya yang kita kenal di Indonesia adalah gerakan 5M, yakni Memakai masker, mencuci tangan pakai sabun dan air mengalir, menjaga jarak, menjauhi kerumunan, serta membatasi mobilisasi dan interaksi (kesehatan.kontan.co.id, 26/1/2021).

Namun, berbagai upaya memperbaki kesehatan publik yang diadvokasikan oleh sebagian pihak guna mencegah penyebaran COVID-19 juga tidak hanya melalui kampanye, tetapi juga melalui pelarangan berbagai produk yang dianggap membahayakan kesehatan. Salah satunya produk yang kerap menjadi sasaran adalah produk-produk tembakau seperti rokok.

Salah satu negara yang Mitglied lakukan pelarangan tersebut adalah Afrika Selatan. Pada tahun 2020 lalu misalnya, Afrika Selatan melarang pembelian produk-produk tembakau seperti rokok (bbc.com, 17.5.2020).

Akan tetapi, tidak hanya produk-produk rokok konvensional yang dibakar saja yang diadvokasi oleh beberapa pihak untuk dilarang. Salah satu produk lain yang diadvokasi oleh sebagian pihak untuk dilarang adalah produk-produk rokok elektronik, atau yang dikenal dengan nama Dampfen, karena dianggap juga membahayakan kesehatan.

Salah satu pengusaha dan filantropi yang mengadvokasi kebijakan tersebut adalah pengusaha besar asal Amerika Serikat, Michael Bloomberg. Bloomberg Telah Meluncurkan Inisiatif Global für Pengendalian Tembakau Sebesar USD1 Miliar, Atau Sekitar 14 Triliun Rupiah.

Dampak dari inisiatif global yang dilancarkan oleh Bloomberg ini sudah muncul di berbagai negara, khususnya di negara-negara berkembang. Di Filipina misalnya, lembaga regulator kesehatan mulai mempresentasikan berbagai dokumen kebijakan tidak hanya melarang rokok, namun juga vape, di negara tersebutm setelah mendapatkan dana dari inisiatif global Bloomberg (brusselstimes.com, 18.3.2021).

Tidak hanya di Filipina, Meksiko juga mengalami kejadian yang serupa. Di Meksiko belum lama ini, terungkap bahwa salah satu staf pengacara dari lembaga advokasi kesehatan yang didanai oleh Bloomberg, yang bernama Campaign for Tobacco-Free Kids, telah menyusun undang-undang yang bertujuan untuk melarang impor dan penjualan produk-produk vape (brusselstimes.com , 18.3.2021).

Kebijakan ini tentunya merupakan sesuatu yang sangat memprihatinkan, khususnya di negara-negara berkembang. Pelarangan terhadap produk-produk vape atau rokok elektronik berarti akan semakin banyak orang yang beralih ke produk-produk rokok konvensional yang dibakar, atau produk-produk vape ilegal yang sangat berbahaya hingga dapat menimbulkan kematian.

Hal ini akan semakin berbahaya bila terjadi di negara-negara berkembang, apalagi pada masa pandemi, karena secara umum negara-negara Tersebut tidak memiliki fasilitas layanan kesehatan yang baik. Bila produk-produk vape dilarang, terlebih lagi pada masa pendemi, maka akan semakin banyak orang yang beralih ke rokok konvensional yang dibakar, yang secara ilmiah sudah terbukti menyebabkan berbagai penyakit kronis seperti kanker dan penyakit jantung.

Vape atau rokok elektronik sudah terbukti merupakan produk yang jauh lebih aman bila dibandingkan dengan rokok konvensional yang dibakar. Pada tahun 2015 lalu, lembaga kesehatan Britania Raya, Public Health England (PHE), mengeluarkan laporan bahwa vape atau rokok elektronik merupakan produk yang 95% jauh lebih aman bila dibandingkan dengan rokok konvensional yang dibakar (Public Health England, 2015).

Oleh karena itu, kebijakan untuk memperbaiki kesehatan öffentlich dengan cara melarang produk-produk vape atau rokok elektronik adalah kebijakan yang tidak tepat. Untuk memperbaiki kesehatan öffentlich dari Damak negatif dari rokok konvensional, akan lebih efektif bila dengan membeirkan opsi produk lain yang lebih aman kepada para perokok.

Hal ini sudah terbukti di negara-negara di mana pemerintahnya bukan melarang produk-produk vape, namun justru mendorong para perokok untuk beralih ke produk-produk rokok elektronik yang jauh lebih aman. Di negara-negara tersebut, jumlah perokok justru menjadi berkurang. Di Selandia Baru misalnya, berdasarkan survei tahun 2018, ada 13,2% perokok. Jumlah tersebut berkurang dari tahun 2013 ketika angka perokok sejumlah 15,1% (stats.govt.nz, 10.10.2019).

Sebagai penutup, bila kita ingin membantu para perokok, khususnya di negara-negara berkembang yang jumlahnya sangat besar, maka kita harus mampu menyediakan produk alternatif yang dapat digunakan oleh para perkok untuk menghentikan kebiasaannya. Jangan sampai, intensi baik kita untuk memperbaiki kesehatan öffentlich justru semakin menghasilkan sesuatu yang lebih buruk.

Ursprünglich veröffentlicht hier.

Die EU sollte die Digital Services Tax fallen lassen

Europäische Verbraucher riskieren, mehr zu zahlen

Mit dem Aufstieg der digitalen Wirtschaft ist ein Trend zu einer stärkeren Regulierung digitaler Dienste in den Vordergrund gerückt. Die Digital Services Tax (DST), mit der multinationale Unternehmen in Ländern besteuert werden, in denen sie Dienstleistungen über einen digitalen Marktplatz anbieten, ist zu einem der beliebtesten Mittel geworden, um die Big Player zu zähmen.

Im Jahr 2018 initiierte die Europäische Kommission die Einführung einer Digitalsteuer von 3 Prozent auf die auf dem EU-Digitalmarkt erzielten Einnahmen, einschließlich Online-Verkäufen und Werbung. Gegen den Widerstand von Ländern wie Schweden oder Irland kam es jedoch nie zu einer Einigung auf Ratsebene. Trotz fehlender Kompromisse führten die Mitgliedstaaten die Sommerzeit auf nationaler Ebene ein. Infolgedessen haben Österreich, Belgien, die Tschechische Republik, Frankreich, Ungarn, Italien, Polen, Slowenien, Spanien eine Art Digitalsteuer vorgeschlagen, angekündigt oder bereits umgesetzt. 

Laut a KPMG-Bericht, generiert die genannte Steuer 2 bis 3 Prozent der Staatseinnahmen der Länder von einer engen Gruppe großer Internetunternehmen. Obwohl sich die Quoten zwischen den Mitgliedstaaten leicht unterscheiden – 7,5 Prozent in Ungarn und 3 Prozent in Frankreich –, ist das Ziel im Allgemeinen dasselbe: große multinationale Unternehmen.

Nach den derzeitigen internationalen Steuervorschriften wird ein Land, in dem multinationale Dienstleistungsunternehmen der Körperschaftsteuer unterliegen, im Allgemeinen durch den Ort bestimmt, an dem die Produktion stattfindet, und nicht durch den Ort, an dem sich Verbraucher oder Nutzer befinden. Die Befürworter der Sommerzeit argumentieren jedoch, dass digitale Unternehmen Einnahmen erzielen, indem sie über die digitale Wirtschaft an Benutzer im Ausland verkaufen, dies jedoch ohne physische Präsenz dort tun und umgekehrt dort nicht der Körperschaftsteuer unterliegen.

Die Organisation für wirtschaftliche Zusammenarbeit und Entwicklung (OECD) hat mehr als 130 Länder aufgefordert, das internationale Steuersystem zu ändern. Dieser aktuelle Vorschlag würde multinationale Unternehmen dazu verpflichten, einen Teil ihrer Einkommenssteuern dort zu zahlen, wo sich ihre Verbraucher oder Nutzer befinden. Laut OECD könnte das Dilemma noch in diesem Jahr gelöst werden, und es werden große Hoffnungen in die Biden-Administration gesetzt, um dazu beizutragen.

DSTs verzerren den Markt

Während Österreich und Ungarn nur Werbung besteuern, ist der Steuerspielraum in Frankreich, der Türkei und Italien viel breiter. Es umfasst Einnahmen aus der Bereitstellung einer digitalen Schnittstelle, zielgerichteter Werbung und der Datenübertragung über Nutzer zu Werbezwecken. Letztendlich müssen diese Steuern und die zusätzlichen Kosten von den Unternehmen getragen werden. Höhere Kosten für Werbung führen wahrscheinlich zu höheren Preisen für die Produkte und Dienstleistungen dieser Unternehmen. Laut einer Studie aus dem Jahr 2019 über die wirtschaftlichen Auswirkungen der französischen Steuer auf digitale Dienstleistungen „werden etwa 55 Prozent der gesamten Steuerlast von den Verbrauchern getragen, 40 Prozent von Unternehmen, die digitale Plattformen nutzen, und nur 5 Prozent von den betroffenen großen Internetunternehmen. ”

Die Türkei und Österreich bieten einen wertvollen Einblick in die Funktionsweise dieser Steuern.

Laut dem oben genannten Bericht wurde in der Türkei im September 2020 eine zusätzliche Gebühr von 7,5 Prozent auf die Kosten für In-App-Abonnements und andere Zahlungsarten auf den digitalen Plattformen erhoben. In Österreich wurden 5 Prozent der DST den Rechnungen von Entwicklern und Werbetreibenden hinzugefügt, wenn sie als Teil der österreichischen DST beworben wurden. 

Diese zusätzlichen Kosten werden von Verbrauchern und kleinen Entwicklern getragen und tragen nicht dazu bei, die sich entwickelnde Natur des digitalen Marktes zu berücksichtigen. In wirtschaftlicher Hinsicht erhöhen DSTs den Wohlfahrtsverlust.

Auf den ersten Blick erscheint es unfair, dass große multinationale Unternehmen keine Steuern zahlen, während traditionelle Unternehmen von Steuern und Vorschriften überfordert werden. Die EU-Kommission stellte fest, dass Digitalunternehmen innerhalb der EU durchschnittlich 9,5 Prozent Steuern zahlen müssen, während traditionelle Geschäftsmodelle einem durchschnittlichen effektiven Steuersatz von 23 Prozent unterliegen. Wenn das Ziel jedoch darin besteht, das wirtschaftliche Wohlergehen zu steigern, wäre eine bessere Lösung, die Steuern für beide Arten von Unternehmen zu senken. 

Digitale Plattformen schaffen Innovationen und Wohlstand in der Wirtschaft. Die „App-Wirtschaft“ hat in den letzten Jahren Millionen von Arbeitsplätzen geschaffen, allein im Jahr 2017 waren es 800.000 in Europa und den Vereinigten Staaten.

Im Gegensatz zur derzeitigen politischen Überzeugung wird die Steuer auf digitale Dienstleistungen große multinationale Unternehmen nicht treffen, aber kleine Entwickler müssen ihren Preis erhöhen. Auch die europäische Innovation wird darunter leiden. Wenn die Preise für die Skalierung steigen, werden kleine Entwickler und Innovatoren nicht in der Lage sein, effektiv mit den US-Unternehmen zu konkurrieren.

Digitale Plattformen und Dienste haben Millionen von Menschen geholfen, die während der jüngsten COVID-19-Pandemie von zu Hause aus gearbeitet haben, und haben im Allgemeinen die Weltwirtschaft revolutioniert. Gerade weil sich digitale Plattformen von der seit Jahrhunderten vorherrschenden Lieferkette unterscheiden, besteht die Versuchung, sie zu überregulieren, ansonsten auszubremsen, um Risiken aus Unwissenheit zu begrenzen. 

Jede Steuer, einschließlich einer Umsatzsteuer, ist mehr darauf bedacht, Gewinne zu erzielen, als Innovationen zu fördern. Wenn wir über Sommerzeit sprechen, ist es wichtig zu verstehen, welches Ziel wir verfolgen. Wenn wir wollen, dass die Europäische Union zu einem Innovationszentrum wird, dann ist die Sommerzeit definitiv nicht der richtige Weg, aber wenn wir große Technologieunternehmen bestrafen wollen, die von europäischen Verbrauchern für ihren Erfolg geschätzt werden, dann ist sie genau das, was wir brauchen. 

Und doch, selbst wenn wir diesen Weg einschlagen und weiterhin zur DST stehen, sollten wir dies tun, indem wir den Steuerwettbewerb innerhalb der EU fördern, anstatt noch mehr Steuerzentralisierung durchzusetzen. Der Wettbewerb würde es den EU-Mitgliedstaaten ermöglichen, untereinander als Regulierungsregime zu konkurrieren. In ähnlicher Weise würde dies digitalen Diensten und Plattformen eine größere Auswahl bieten.

Die digitale Wirtschaft fördert das wirtschaftliche Wohlergehen. Einige Apps wie Shazam, das den gerade gespielten Song erkennt, oder Slack, ein Dienst, der Sofortnachrichten für Unternehmen und Teams bereitstellt, wurden von jungen Unternehmern entwickelt. Seitdem haben sie sich exponentiell ausgebreitet und sind Teil unseres täglichen Lebens geworden. 

Um den Wettbewerb auf dem digitalen Markt zu verstärken, sollte die EU mehr darauf drängen, die digitalen Plattformen intelligent zu regulieren, anstatt sie zu besteuern. Eine solche Regulierung würde klare Verhaltensregeln umfassen, die Praktiken auf der schwarzen Liste (z. B. Selbstbevorzugung) definieren, um bestimmte Aspekte des Verhaltens einer digitalen Plattform selbst zu regulieren, einschließlich Transparenz gegenüber Nutzern, Meldepflichten und -verbote. 

Ein solcher Ansatz würde den Wettbewerb sichern, sodass KMU in der Lage sind, mit großen Akteuren zu konkurrieren, und einen dynamischen Markt schaffen, der allen Verbrauchern zugute kommt.

Wenn auf der anderen Seite die europäischen Länder weiterhin darauf drängen, die Sommerzeit einzuführen und zu erhöhen, ohne dass es zu einer Vereinbarung auf globaler Ebene kommt, riskieren die europäischen Verbraucher, mehr zu zahlen als ihre nordamerikanischen oder südasiatischen Kollegen, und verlieren Innovation und Auswahl. Die Sommerzeit ist unwirksam, und die EU sollte sich ein für alle Mal davon lösen.

Ursprünglich veröffentlicht hier.

Wie können wir die Privatsphäre der Verbraucher gewährleisten?

Jede Woche hören wir von neuen Datenschutzverletzungen, Hacks und der Offenlegung sensibler finanzieller und persönlicher Informationen.

Letzten Monat war es die Cyber Attacke an der Colonial Pipeline in den Vereinigten Staaten, was zu Gaspreisspitzen und langen Schlangen an der Zapfsäule führte. Zuvor kursierten Nachrichten über ein Datenleck, das eine halbe Milliarde Facebook-Konten betraf, einen Bot, der erfolgreich 500 Millionen LinkedIn-Konten gekratzt hat, und einen Hack an der Stanford University, der Tausende von Sozialversicherungsnummern und Finanzdetails offenlegte. Der Kreislauf ist endlos.

Die schiere Anzahl von Berichten über Datenlecks, Hacks und Betrug auf betroffenen Konten ist mittlerweile so gigantisch angewachsen, dass Verbraucher und Benutzer taub bleiben. Je mehr diese Zahl wächst, desto mehr werden wir taub.

Aber Verstöße gegen private Daten sind wichtig. Und die Verbraucher sollten zu Recht abgehakt werden.

Denn für jeden Unternehmensfehler, jeden Hacker-Exploit und jede unsichere Regierungsdatenbank gibt es Tausende von Firmen und Organisationen, die es richtig machen und die Daten der Benutzer sicher, verschlüsselt und vor neugierigen Blicken geschützt aufbewahren.

Und während einzelne Länder in der Europäischen Union ihre eigenen Datenschutz- und Datengesetze haben, ist der problematischere Aspekt hier die unruhige Allgemeine Datenschutzverordnung (DSGVO), die es legitimen Unternehmen allzu oft erschwert, Daten zu sichern, nicht weniger.

Während wir immer wachsam gegenüber möglichen Lecks und Hacks sein sollten, sollte ein Hauptanliegen eines intelligenten und vernünftigen Datenschutzgesetzes oder einer Richtlinie darin bestehen, Innovationen zu fördern, was derzeit nicht der Fall ist.

Für jedes neue Gesundheitsdatenunternehmen, Logistikunternehmen oder Verbraucher-Wearable ist die ordnungsgemäße Datenerfassung und -aufbewahrung ein zentraler Wert. Je einheitlicher und klarer die Regeln sind und keine Eintrittsbarrieren schaffen, desto mehr Innovationen werden wir beim Datenschutz erleben.

Wir sollten Unternehmen dazu anregen, Interoperabilitäts- und offene Datenstandards einzuführen, um sicherzustellen, dass Daten übertragbar und für Benutzer leicht zugänglich sind. Große Social-Media-Netzwerke erlauben diese Vorgabe mittlerweile und sie ist seit einigen Jahren der Standard für Website-Daten.

Wenn dies zum Standard wird, können die Verbraucher die Marken und Dienstleistungen wählen, die ihren Bedürfnissen und Interessen am besten entsprechen, und nicht nur Unternehmen, die im Zuge der Überregulierung übrig bleiben.

Gleichzeitig sollten wir, wenn wir überarbeitete Datenschutzvorschriften in der EU haben sollen, das Prinzip der Technologieneutralität verankern, bei dem die Regierung es vermeidet, Gewinner und Verlierer zu bestimmen. Das bedeutet, dass die Regulierung oder Billigung verschiedener Formate von Daten, Algorithmen oder Technologien von Unternehmen und Verbrauchern bestimmt werden sollte, nicht von Regierungsbehörden ohne das notwendige Wissen, um gute Entscheidungen zu treffen. Der jüngste Versuch der EU, das „allgemeine Telefonladegerät“ als Micro-USB-Verbindung zu bezeichnen, während USB-C-Verbindungen zum Industriestandard werden, ist ein einfaches Beispiel.

Dies erstreckt sich auch auf Innovationspraktiken wie gezielte Werbung, Geo-Targeting oder Personalisierung, die für das Verbrauchererlebnis von entscheidender Bedeutung sind.

Darüber hinaus sollten wir uns vor allen Versuchen hüten, die Verschlüsselung sowohl für den kommerziellen als auch für den persönlichen Gebrauch zu verbieten.

Druck hat montiert auf die Europäische Kommission, die Verschlüsselung durch private Akteure zu überholen, aber das wäre ein Fehler.

Der Grund, warum Verschlüsselung ein mächtiges Werkzeug im Arsenal von Unternehmen und Behörden bleibt, die mit unseren Daten und unserer Kommunikation umgehen, ist, dass sie funktioniert. Wir müssen es um jeden Preis verteidigen.

Während es in Bezug auf Online-Verstöße und Hacks viel Grund zur Sorge gibt, sollten Verbraucher in der Lage sein, von einem innovativen Marktplatz für Produkte und Dienstleistungen zu profitieren, der nicht von Vorschriften behindert wird, die allzu oft den Fortschritt einschränken.

Dieses Gleichgewicht ist möglich und notwendig, sowohl wenn wir ein sichereres Online-Erlebnis haben wollen, als auch wenn wir weiterhin die beste Technologie zur Verfügung haben wollen, um unser Leben zu verbessern.

Ursprünglich veröffentlicht hier.

Regulieren Sie das Dampfen, um die Häufigkeit des Dampfens bei Jugendlichen auf ein Minimum zu beschränken, sagt die Verbraucherschutzgruppe

Die Regulierung des Dampfens kann dazu beitragen, die Häufigkeit des Dampfens bei Jugendlichen auf ein Minimum zu reduzieren, sagte eine in Großbritannien ansässige Verbraucherschutzgruppe.

In einer heutigen Erklärung sagte das in London ansässige Consumer Choice Centre (CCC), dass in Großbritannien, wo Dampfen reguliert ist, die Häufigkeit des Dampfens bei Jugendlichen minimiert wurde.

Es zitierte einen Bericht von Action on Smoking and Health aus dem Jahr 2021, der die Verwendung von E-Zigaretten oder E-Zigaretten unter Jugendlichen in Großbritannien untersuchte und herausfand, dass eine große Mehrheit der 11- bis 18-Jährigen es noch nie versucht hat oder sich dessen nicht bewusst ist E-Zigaretten (83%). Dieser Befund ist seit 2017 konstant.

Die Umfrage ergab weiter, dass Dampfen bei Jugendlichen, die noch nie geraucht haben, viel seltener vorkommt. Eine große Mehrheit der „Nie-Raucher“ im Alter von 11-18 Jahren, insgesamt 94,11 TP2T, hat entweder noch nie gedampft (87,91 TP2T) oder ist sich dessen nicht bewusst (6,21 TP2T).

In seiner jüngsten Grundsatzerklärung mit dem Titel „Altersbeschränkungen für Vape-Produkte“ empfahl CCC Folgendes:
• Führen Sie intelligente Vorschriften ein und setzen Sie strenge Altersbeschränkungen für Dampfgeräte und Flüssigkeiten an den Verkaufsstellen durch
• Verwenden Sie moderne Technologien zur Altersüberprüfung für Online-Verkäufe
• Lernen Sie von anderen Branchen wie Alkohol und Feuerwerk, wie Sie die Compliance-Raten verbessern können
• Einzelhandel und Industrie sollten ermutigt werden, bei der Durchsetzung von Vorschriften proaktiver vorzugehen
• Bestrafen Sie legale erwachsene Dampfer nicht für die fehlende Durchsetzung von Altersbeschränkungen

CCC-Geschäftsführer Fred Roeder sagte, anstatt drastische Maßnahmen wie das Verbot von Vape zu ergreifen, die nur mehr Verbraucher zu illegalen Produkten auf dem unregulierten Schwarzmarkt treiben würden, könne und sollte ein besser koordinierter Ansatz von Regulierungsbehörden und Industrie geprüft werden.

„Wir glauben, dass die Vorschriften mit strenger Durchsetzung des Verbots des Verkaufs an Minderjährige den Unterschied zwischen einwilligenden erwachsenen Verbrauchern und solchen darstellen, die das gesetzliche Mindestalter für diese Entscheidungen nicht erreicht haben“, sagte er.

Er führte auch Beispiele aus dem Vereinigten Königreich an, wie Kontrollen eingeführt werden, um Minderjährige daran zu hindern, Produkte mit Altersbeschränkungen zu kaufen.

Ein Beispiel für eine solche Lösung ist AgeChecked, ein in Großbritannien ansässiges sicheres Online-Altersüberprüfungssystem, das bei der Bestellung den vollständigen Namen, die Rechnungsadresse und das Geburtsdatum eines Käufers abfragt.

Diese Informationen müssen eingegeben werden, da sie auf dem Führerschein des Käufers oder im Wählerverzeichnis erscheinen oder für eine britische Kreditkarte verwendet werden, sagte er.

Ursprünglich veröffentlicht hier.

Das Consumer Choice Center lehnt kartellrechtliche Maßnahmen gegen innovative Technologieunternehmen ab

Heute hat das Consumer Choice Center einen Brief an die Mitglieder des Justizausschusses des Repräsentantenhauses geschickt, um unseren Widerstand gegen eine Reihe von Gesetzentwürfen zu erklären, die bald auf den Etagen des Repräsentantenhauses im Zusammenhang mit Kartellverfahren eingeführt werden.

Der vollständige Brief ist unten und als PDF-Datei zum Teilen verfügbar.

Sehr geehrtes Mitglied des Justizausschusses des Repräsentantenhauses,

Als Verbrauchergruppe schreiben wir Ihnen, um Ihre Aufmerksamkeit auf eine Reihe von Gesetzentwürfen zu lenken, die in Kürze auf dem Boden des Repräsentantenhauses vorgestellt werden und ihren Weg zum Justizausschuss des Repräsentantenhauses finden werden.

Diese Gesetzentwürfe, die bald von Demokraten eingebracht und von einigen Republikanern mitgetragen werden, beziehen sich auf kartellrechtliche Maßnahmen, die gegen in den Vereinigten Staaten ansässige Technologieunternehmen zu ergreifen sind.

Dazu gehören das Gesetz zur Modernisierung der Anmeldegebühr für Fusionen, das Gesetz über Endplattformmonopole, das Gesetz über Plattform-Antimonopole, das Gesetz über Plattformwettbewerb und -chancen und das Gesetz über die Steigerung von Kompatibilität und Wettbewerb durch das Ermöglichen von Dienstwechseln.

Aus unserer Sicht geht es bei diesen Gesetzentwürfen nicht um die Sorge um den Verbraucher, um den Verbraucherschutzstandard, wie er traditionell im Kartellrecht verstanden wird, oder gar darum, weil Unternehmen wie Amazon, Facebook, Twitter und Microsoft „zu groß“ sind. 

Vielmehr handelt es sich bei diesen Aktionen um eine eifrige Vernichtung amerikanischer Innovatoren, die den Verbrauchern schaden und Innovationen bestrafen werden. Dies ist ein gefährlicher Präzedenzfall.

Viele der im Fadenkreuz befindlichen Technologieunternehmen bieten Verbrauchern kostenlose oder kostengünstige Dienstleistungen auf einem wettbewerbsintensiven Marktplatz an, der Hunderte von sozialen Apps für Messaging, Fotofreigabe, soziale Netzwerke und Online-Marktplätze bietet, die eine schnelle Lieferung, hervorragenden Service und unschlagbare Preise bieten.

Als Verbraucher dieser Dienste verstehen wir, dass diese Unternehmen häufig Entscheidungen treffen, die Anlass zur Sorge geben. Für politische Konservative hängt die Frage davon ab, ob es bei der Moderation von Berichten, Kommentaren und Produkten Vorurteile gibt. Für Liberale geht es darum, ob diese Unternehmen zu mächtig oder zu groß sind, um von der Regierung gezügelt zu werden, und um Fragen, wie sie ihre Steuern zahlen oder ob verschiedene Technologieunternehmen dazu beigetragen haben, dass Donald Trump 2016 gewählt wurde.

Dies sind alles berechtigte Bedenken, und wir haben sie, wo nötig, aktiv zur Sprache gebracht.

Es ist jedoch falsch, die Macht der Bundesregierung zu nutzen, um innovative amerikanische Unternehmen, die dem nationalen Recht unterliegen, zu zerschlagen, insbesondere angesichts der zunehmenden Konkurrenz aus Ländern, die keine liberalen Demokratien sind, wie z. B. China, und wird zu noch mehr unbeabsichtigten Folgen führen.

Das amerikanische Volk profitiert von einem wettbewerbsorientierten und freien Markt für alle Waren, Dienstleistungen und Netzwerke, die wir online nutzen. Die Bewaffnung unserer Bundesbehörden zur Zerschlagung von Unternehmen, insbesondere wenn es keinen nachgewiesenen Fall von Verbraucherschäden gibt, wird die Innovation bremsen und unseren Wettbewerbsvorteil als Land beeinträchtigen.

Wenn es zu Datenschutzverletzungen kommt oder die Privatsphäre der Verbraucher beeinträchtigt wird, sollte die Federal Trade Commission unbedingt Bußgelder und andere Strafen verhängen. Dem stimmen wir zu. Bei schwerwiegenden Gesetzesverstößen sollte unverzüglich und angemessen dagegen vorgegangen werden.

Lassen Sie uns klar sein: Das Internet ist der ultimative Spielplatz für die Wahlmöglichkeiten der Verbraucher. Regierungsversuche, auf der Grundlage politischer Überlegungen einzugreifen und zu regulieren, werden die Wahlmöglichkeiten der Verbraucher nur einschränken und uns das nehmen, was wir bisher genossen haben.

Die überwältigende Mehrheit der Nutzer ist zufrieden mit Online-Marktplätzen und mit ihren Profilen auf sozialen Plattformen. Sie können sich mit Freunden und Familie auf der ganzen Welt verbinden und Bilder und Beiträge teilen, die Gespräche anregen. Millionen kleiner Unternehmen, Künstler und sogar Nachrichten-Websites sind von diesen Plattformen abhängig, um ihren Lebensunterhalt zu verdienen. Dies ist ein besonders wichtiger Punkt.

Die Macht der Regierung zu nutzen, um Unternehmen aufgrund bestimmter Haltungen oder Maßnahmen, die sie ergriffen haben, auseinanderzubrechen, die alle nach geltendem Recht legal sind, ist höchst rachsüchtig und wird die Möglichkeiten für normale Menschen wie mich oder Millionen anderer Verbraucher einschränken, die Plattformen zu nutzen, für die wir haben uns freiwillig angemeldet. 

Wir sollten diese Plattformen zur Rechenschaft ziehen, wenn sie Fehler machen, aber nicht die Bundesregierung auffordern, festzulegen, auf welche Websites oder Plattformen wir klicken können. Die Rolle der Regierung besteht nicht darin, Gewinner und Verlierer auszuwählen. Es soll unsere Rechte auf Leben, Freiheit und das Streben nach Glück gewährleisten, wie es in der Unabhängigkeitserklärung heißt. 

Wenn diese Gesetzentwürfe Ihnen als Gesetzgeber vorgelegt werden, fordern wir Sie daher als Verbraucherschutzgruppe, die für Millionen von Menschen wie Sie im ganzen Land spricht, dringend auf, sie abzulehnen. 

Mit freundlichen Grüßen,

Yael Ossowski

Stellvertretender Direktor, Consumer Choice Center

yael@consumerchoicecenter.org

Die EU sollte sich dem Konzept der Schadensminderung verpflichten

Vor ein paar Tagen bin ich auf einen TEDMED-Vortrag von 2017 über das Schadensminimierungsmodell der Drogensucht von Dr. Mark Tyndall gestoßen.

Obwohl sich der Vortrag hauptsächlich auf die Behandlung von Drogensucht konzentriert, bietet er einen wertvollen Einblick in die Natur der Schadensminderung, die allgemeiner angewendet werden kann. Dies betrifft insbesondere das Dampfen als Entwöhnungsinstrument.

In dem Vortrag argumentiert Dr. Tyndall, dass „mit Abstinenz zu beginnen, so ist, als würde man einen neuen Diabetiker bitten, auf Zucker zu verzichten, oder einen schweren Asthmatiker bitten, mit dem Marathonlaufen zu beginnen, oder einen depressiven Menschen bitten, einfach glücklich zu sein. Bei anderen Erkrankungen würden wir niemals mit der extremsten Option beginnen. Was lässt uns glauben, dass eine Strategie bei etwas so Komplexem wie Sucht funktionieren würde?“

Steuern, Vermarktungs- und Werbeverbote sowie andere Beschränkungen sowohl für Tabak- als auch für Dampfprodukte verfolgen eine Strategie der Abstinenz. Basierend auf der Annahme, dass Raucher über Nacht aufhören können, nachdem sie eine Preiserhöhung gesehen haben, ist die Realität, dass solche Richtlinien nichts dazu beitragen, die Raucherquoten zu senken. Befürworter eines solchen Ansatzes verweisen auf die sinkenden Raucherquoten als Beleg für ihren Erfolg. Der Kausalzusammenhang ist dort jedoch kaum nachvollziehbar, da mehrere Variablen eine Rolle spielen. 

Obwohl die Raucherquoten in Tabak in vaping-restriktiven Ländern wie Irland wirklich rückläufig sind, ist dies kaum ein Grund für Optimismus. Laut Dr. Tyndall wird der Abwärtstrend bei der Raucherprävalenz von Menschen vorangetrieben, die vorzeitig an den Folgen des Rauchens sterben. Dampfen hingegen könnte diese Leben retten, und es zu entmutigen, ist eine Ignoranz gegenüber den Bedürfnissen der Verbraucher.

Geblendet von ihrem Streben nach einem rauchfreien Europa verpassen europäische Politiker immer wieder die Gelegenheit, Rauchern tatsächlich beim Aufhören zu helfen. Wir vom Consumer Choice Center haben viele Male den Datenpunkt betont, dass Dampfen zu 95 Prozent weniger schädlich ist als Tabakzigaretten und dass es auf erwachsene Verbraucher abzielt, die mit dem Rauchen aufhören möchten. E-Zigaretten sind ein Produkt nur für Erwachsene und dienen nicht dazu, Minderjährige zum Rauchen anzuregen. Obwohl wissenschaftlich bewiesen, werden diese Tatsachen von der EU übersehen. 

Daher wirft der falsche Glaube, dass Dampfen zu steigenden Raucherquoten bei Minderjährigen beiträgt, einen Schatten auf die Schadensminderung. Dies ist auch einer der Hauptgründe für das vorgeschlagene niederländische Vape-Geschmacksverbot. Eine in Tobacco Control veröffentlichte Studie aus dem Jahr 2017 ergab, dass mit steigender Zahl der Dampfer in den USA und Großbritannien das Rauchen unter Jugendlichen nicht zunahm. Zwischen 2011 und 2016 ging das Rauchen in den letzten 30 Tagen von 6,3 Prozent auf 4,3 Prozent bei Mittelschülern und von 21,8 Prozent auf 13,8 Prozent bei Oberschülern in den USA zurück.

Eine Überregulierung des Dampfens in der Europäischen Union und ihren Mitgliedsstaaten wird nicht die erwarteten Ergebnisse bringen. Raucher sollten nicht als Kinder betrachtet werden, die zur Raucherentwöhnung bestraft werden müssen. Ein viel besserer Weg nach vorn besteht darin, sie zu ermutigen, auf das Dampfen umzusteigen, und ihnen dabei zu helfen, gesundheitliche Risiken zu reduzieren. 

Bevor es zu spät ist, sollten wir uns nachdrücklich für das Konzept der Schadensminderung einsetzen. Nun, das würde uns wirklich helfen, den Krebs zu besiegen.

Ursprünglich veröffentlicht hier.

Bidens Breitbandplan kann Anbietern und Verbrauchern schaden

Es ist kein Geheimnis, dass der Zugang zu zuverlässigem Highspeed-Internet heute wichtiger denn je ist, insbesondere wenn man bedenkt, wie wir das vergangene Jahr verbracht haben. Wir verlassen uns jetzt stark auf virtuelle Verbindungen für die Schule, die Arbeit und vielleicht ein paar endlose Netflix-Marathons, um während der Lockdowns bei Verstand zu bleiben.

Mit einem Online-Leben ist es nicht verwunderlich, dass die Breitbandnutzung erhöhte 40% während des letzten Jahres. Viele vermuten, dass diese Nachfrage nach Breitband anhalten wird, aber es gibt Millionen von Menschen im ganzen Land, die noch keinen Zugang haben, einschließlich 368,000 ländliche Haushalte in Michigan.

Es wird geschätzt, dass es vorbei ist $2,5 Milliarden im potenziellen wirtschaftlichen Nutzen, der unter den vom Internet getrennten Einwohnern Michigans verloren geht, was deutlich macht, dass wir eine Lösung finden müssen, um diese digitale Kluft zu beenden.

Präsident Joe Biden schlug kürzlich vor $100 Milliarden Breitband durch den American Jobs Plan auszubauen. Während dies einigen wie eine lohnende Infrastrukturinvestition erscheinen mag, schlägt das Kleingedruckte des Plans glanzlose Lösungen vor, die den Verbrauchern in Michigan eine stürmische Zukunft bescheren.

Ein eklatantes Problem ist die Priorisierung von staatlich betriebenen Breitbandnetzen mit „weniger Gewinndruck und mit der Verpflichtung, ganzen Gemeinschaften zu dienen“. Es ist gut dokumentiert, dass diese Netzwerke ineffektiv sind 𑁋 a Studie des Phoenix Centers fanden heraus, dass die Preise in Märkten mit kommunalem Anbieter höher sind als in Märkten ohne.

Michigan erlaubt kommunale Breitbandnetze nur in unversorgten oder unterversorgten Gebieten und wenn der Nutzen die Kosten überwiegt. Allerdings haben lokale Regierungen kommunalen Netzwerken Vorteile gegenüber privaten Anbietern verschafft, indem sie Subventionen und eine privilegierte regulatorische Behandlung gewährten, um die Illusion von Compliance zu demonstrieren.

Dies geschah kürzlich in Marshall, und die Ergebnisse waren schrecklich. Laut a Bericht Das von der Taxpayers Protection Alliance veröffentlichte Glasfaser-Breitbandnetz namens FiberNet kostete $3,1 Millionen und versorgt nur einen Bruchteil seiner Bevölkerung. Es ist erwähnenswert, dass in Marshall auch private Breitbanddienste verfügbar sind.

Ein weiteres zentrales Problem bei Bidens Plan ist, dass er ausschließlich dem Ausbau von Glasfaser-Breitband Priorität einräumt. Während Glasfaser für einige eine großartige Option sein kann, ist sie für ländliche Gemeinden aufgrund der hohen Kosten und des erforderlichen Installationsprozesses nicht immer praktikabel. Ländliche Haushalte können kilometerweit voneinander entfernt liegen, und die Glasfaserinstallation kostet bis zu $27.000/pro Meile, gleicht die geschätzte Nachfrage aus ländlichen Gemeinden die Kosten für den Bau von Glasfasernetzen in diesen Gebieten oft nicht aus.

Innovative Lösungen wie die von Elon Musk Starlink Projekt, das darauf abzielt, weltweit einen kostengünstigen Satelliten-Breitband-Internetzugang bereitzustellen, sollte gefördert werden. Bis Ende dieses Jahres wird es über 1.000 Satelliten geben, die Internet für mehr als bereitstellen 10.000 Kunden weltweit über Starlink. Dies ist eine aufregende Entwicklung, da Satellitennetze oft billiger und effizienter sind und ländlichen Haushalten höhere Geschwindigkeiten bieten können als Glasfaser.

Das letzte große Problem mit Bidens Plan ist, dass er verspricht, Amerika zu einer 100%-Breitbandabdeckung zu bringen, aber dies berücksichtigt nicht alle Verbraucherpräferenzen. Entsprechend Pew-Forschung, 15% der Amerikaner verlassen sich auf Smartphones und haben keine Breitbanddienste. Obwohl nicht sicher ist, warum, ist ein möglicher Grund die Häufigkeit von kostenlosem Wi-Fi, das in vielen öffentlichen Räumen verfügbar ist, was dazu führen kann, dass einige Haushalte sich gegen die Zahlung für Breitband entscheiden.

Um Michigan dabei zu helfen, sein volles wirtschaftliches Potenzial auszuschöpfen, ist es entscheidend, dass wir den 368.000 ländlichen Haushalten schnell Zugang zu Highspeed-Internet verschaffen. Der Staat sollte private Internetanbieter einbeziehen, Technologieneutralität praktizieren, indem er nicht einen Breitbandtyp gegenüber einem anderen bevorzugt, und mehr Innovationen fördern, die den Verbrauchern zugute kommen.

Ursprünglich veröffentlicht hier.

Der Weg, den wir bei der Tech-Regulierung nicht einschlagen sollten

Lassen Sie uns ein Gedankenexperiment durchführen: Auf Geheiß mehrerer großer etablierter Nachrichtenagenturen führt eine Regierung ein Gesetz ein, das vorschreibt, dass jedes Mal, wenn eine Nachricht in sozialen Medien verlinkt wird, das soziale Netzwerk eine Gebühr an die Nachrichtenagentur zahlen muss.

Mit anderen Worten, um zuzulassen, dass eine Zeitungskolumne oder ein Link zu einem Promi-Klatschblog an anderer Stelle erscheint, muss diese Website Geld an die Nachrichtenagentur zahlen, von der sie stammt.

Während ein solcher Fall anderswo lächerlich erscheint, hat Australien kürzlich in seinem eskalierenden Krieg gegen Technologieunternehmen wie Facebook und Google genau das versucht.

Und Länder wie Kanada, das Vereinigte Königreich, Frankreich und andere EU-Staaten stehen Schlange, um die nächsten zu sein.

Ende letzten Jahres wurde der News Media Bargaining Code im australischen Parlament eingeführt, um „Ungleichgewichte in der Verhandlungsmacht zwischen australischen Nachrichtenmedienunternehmen und digitalen Plattformen anzugehen“. Der Gesetzentwurf war die mehrjährige Anstrengung der Wettbewerbs- und Verbraucherkommission des Landes, die von der konservativ orientierten Liberalen Partei gefordert wurde.

Als er das Gesetz vorschlug, machte Premierminister Scott Morrison alle notwendigen Annäherungsversuche, um den Widerstand gegen „Big Tech“ zu signalisieren.

Durch die Erhebung einer Linksteuer für Technologieunternehmen sollten australische Medienunternehmen gestärkt werden, die Werbeeinnahmen an diese Plattformen verloren haben. Dies geht jedoch zu erheblichen Kosten sowohl für die Wahlmöglichkeiten der Verbraucher als auch für die Offenheit des Internets selbst.

Der Gründer des World Wide Web, Tim Berners-Lee, sagte, ein solcher Vorschlag würde das Internet „unbrauchbar“ machen und Kosten und Steuern für einen angeblich freien Platz im offenen Netzwerk auferlegen. Mit anderen Worten, diese Vorschriften würden wahrscheinlich die grundlegendsten Prinzipien aufhalten, auf denen das Internet überhaupt gegründet wurde.

Es liegt an den Medienunternehmen, innovative und effektive Methoden zu entdecken, um ein digitales Publikum zu gewinnen, und nicht darum, Regierungen dazu zu bewegen, Geld für sie abzuschöpfen.

Google räumte früh im Kampf ein und schuf in Ländern wie Australien, Großbritannien und Argentinien ein „Nachrichtenschaufenster“, das Publishern einige Prämien bieten würde. Aber Facebook behauptete sich.

Und obwohl Morrison und seine Parlamentskollegen das Pendel losließen, schlug es schließlich hart gegen die australischen Verbraucher zurück.

Kürzlich haben sich Millionen von Australiern bei Facebook angemeldet, um herauszufinden, dass sie keine Links oder Artikel von australischen Nachrichtenseiten mehr teilen können. Anstatt sein Geschäftsmodell zu ändern, um den Gesetzesvorschlägen zu entsprechen, beschloss das Unternehmen, das Teilen von Inlandsnachrichten auf der Plattform insgesamt zu blockieren.

Es war ein mutiger Schritt, um der Regierung zu zeigen, dass die Medien Facebook mehr brauchen als sie.

Später gab Facebook jedoch bekannt, dass es individuelle Vereinbarungen mit kleineren Verlagen im Commonwealth-Land getroffen hat.

„Nach weiteren Gesprächen mit der australischen Regierung haben wir eine Vereinbarung getroffen, die es uns ermöglicht, die von uns ausgewählten Verlage zu unterstützen, einschließlich kleiner und lokaler Verlage“, sagte Campbell Brown, Vizepräsident für globale Nachrichten bei Facebook.

Dieser Präzedenzfall ist aus zwei Gründen wichtig.

Erstens ist Australiens Gesetzentwurf einer der dreistesten Versuche, das heimische Medienrecht zu nutzen, um Einnahmen von einem amerikanischen Technologieunternehmen zu erzielen.

Zweitens zeigt es, dass dies alles mit der Rettung traditioneller Medienunternehmen zu tun hat und fast nichts mit Verbrauchern.

Ähnlich wie in der Europäischen Union und einigen lateinamerikanischen Ländern hängt die Fixierung auf die Besteuerung und Beschränkung von Technologieunternehmen davon ab, ein Stück vom Kuchen zu bekommen. Die Sorge um den Verbraucher und seinen fortgesetzten Zugang zu Informationen im Internet ist zweitrangig.

Wir haben es bei Uber und Apple in Brüssel und London gesehen, und es wird zweifellos weitergehen, wenn steuerhungrige Länder versuchen, das zu beherrschen, was sie als goldene Gans wahrnehmen.

Aus diesem Grund sind diese Richtlinien so destruktiv für die Verbraucher und die Grundprinzipien eines offenen Internets.

Der Schlüssel für das Gedeihen und die Weiterentwicklung von Medien im digitalen Zeitalter werden Innovation und Kreativität sein, die alle den Verbrauchern zugute kommen, nicht Verbote, Steuererhöhungen oder eifrige Mediengesetze.

Ursprünglich veröffentlicht hier.

Warum das niederländische Vaping-Geschmacksverbot die Raucherquoten bei Minderjährigen nicht senken wird

Obwohl die Absicht edel ist, hätte das Verbot den gegenteiligen Effekt, argumentieren Maria Chaplia vom Consumer Choice Center und Michael Landl von der World Vapers Alliance.

Ab dem 1. Juli 2022 könnten aromatisierte E-Liquids in den Niederlanden verboten werden. Die Entscheidung, mit dem Verbot fortzufahren – ursprünglich vorgeschlagen im Juni 2020 – steht in drastischem Widerspruch zur öffentlichen Meinung, geschweige denn zur Wissenschaft. In Kombination mit den restriktiven Anti-Vaping-Maßnahmen des EU-Plans zur Krebsbekämpfung zeigt das Aromaverbot Europas unaufhörliche Abkehr von einer evidenzbasierten Politikgestaltung.

Vaping ist vor allem deshalb mit solchen regulatorischen Schwierigkeiten konfrontiert, weil es missverstanden wird. Das Dampfen wurde als Entwöhnungshilfe erfunden und zielt auf erwachsene Raucher ab, insbesondere auf starke Raucher, um ihnen beim Aufhören zu helfen. In Großbritannien werden Rauchern sogar elektronische Zigaretten in Krankenhäusern gegeben. Und Vape-Aromen spielen eine entscheidende Rolle im Kreuzzug zur Senkung der Tabakraucherquoten.

Die Begründung der niederländischen Regierung für das Verbot von Vape-Geschmack ist, das Rauchen von Teenagern zu bekämpfen. Als solches ist das Ziel in der Tat edel, da E-Zigaretten Produkte nur für Erwachsene sein sollten und strenge Altersbeschränkungen durchgesetzt werden müssen. Aber wenn das wirklich das Ziel ist, dann schießt die niederländische Regierung in die falsche Richtung.

Laut einer kürzlich veröffentlichten Studie der Yale School of Public Health verdoppelte ein Vape-Geschmacksverbot in San Francisco die Wahrscheinlichkeit, dass Highschool-Schüler konventionelle Zigaretten rauchen. Die kalifornische Stadt verzeichnete zum ersten Mal seit mehr als einem Jahrzehnt einen Anstieg des Zigarettenkonsums durch Minderjährige um 30 Prozent, während andere Städte im ganzen Land dies weiterhin tun sinkende Raten.

„Ohne das Problem des Rauchens bei Teenagern zu lösen, wird das Verbot katastrophale unbeabsichtigte Folgen haben und die Bemühungen zur Schadensminderung untergraben“

Laut einer 2017 in Tobacco Control veröffentlichten Studie gab es keinen Anstieg des Rauchens unter Jugendlichen, als die Zahl der Dampfer in den USA und Großbritannien stieg. Zwischen 2011 und 2016 Rauchen in den letzten 30 Tagen zurückgegangen von 6,3 Prozent auf 4,3 Prozent bei Mittelschülern und von 21,8 Prozent auf 13,8 Prozent bei Oberschülern in den USA.

Ohne das Problem des Rauchens bei Teenagern zu lösen, wird das Verbot katastrophale unbeabsichtigte Folgen haben und die Bemühungen zur Schadensminderung untergraben. In den Niederlanden, 3,1 Prozent der Erwachsenen verwenden E-Zigaretten, und mit dem geltenden Verbot fast 260,000 Niederländische Dampfer könnten zum Rauchen zurückkehren.

Aromen spielen eine wichtige Rolle für Raucher, die aufhören wollen. Erwachsene Verbraucher, die mit dem Rauchen aufgehört haben, geben an, dass andere Aromen als Tabak ein entscheidender Faktor dafür waren, dass sie nicht mehr zum Rauchen zurückkehrten. Durch die Verwendung von aromatisierten E-Liquids sind sie es 230 Prozent wahrscheinlicher aufzuhören Rauchen, als wenn Sie Tabakgeschmack verwenden.

Das vorgeschlagene Verbot wird die Nachfrage nach Aromen nicht senken. Was es jedoch tun wird, ist den illegalen Handel anzukurbeln. Wie hohe Steuern, Marketing- und Werbeverbote und andere allgemeine Einschränkungen zeigen, erzielen restriktive Maßnahmen nicht die gewünschten Ergebnisse. Trotz eines Nikotinverkaufs-Vaping-Verbots in Australien mehr als eine halbe Million Verbraucher vape, während 2,4 Millionen Menschen es irgendwann einmal ausprobiert haben.

Wie Public Health England gezeigt hat, ist Dampfen zu 95 Prozent weniger schädlich als Tabakzigaretten. Daher ist das niederländische Vape-Geschmacksverbot sowohl kurz- als auch langfristig ein zu hoher Preis, insbesondere angesichts unserer gemeinsamen europäischen Bemühungen zur Senkung der Krebsraten.

„Durch die Verwendung von aromatisierten E-Liquids ist es 230 Prozent wahrscheinlicher, dass sie [erwachsene Raucher] mit dem Rauchen aufhören, als wenn sie E-Liquids mit Tabakgeschmack verwenden.“

Angesichts des starken Widerstands der Bürger in der öffentlichen Konsultation mit 98 Prozent der Eingaben gegen das Verbot sowie der fehlenden Legitimität dieses Kabinetts sind die niederländischen Anti-Dampf-Bestrebungen völlig unethisch. Dies ist ein schwerer Schlag für die Bemühungen zur Reduzierung von Tabakschäden und für alle Dampfer, die ihre Stimme erhoben haben, und es wird wahrscheinlich den Ruf der Niederlande trüben.

Ursprünglich veröffentlicht hier.

Israel belegt den ersten Platz im globalen Pandemie-Resilienz-Index

Israels Gesundheitssystem wurde in einem kürzlich veröffentlichten Pandemic Resilience Index als das widerstandsfähigste gegenüber COVID-19 der Welt bezeichnet. Der von der globalen Verbrauchervertretung Consumer Choice Center veröffentlichte Index befragte 40 Länder zur Bereitschaft und Widerstandsfähigkeit ihrer Gesundheitssysteme gegenüber der Pandemie.

Der Index untersuchte fünf Faktoren: Impfgenehmigung, Impfkampagne, Zeitverzögerungen, die die Verabreichung von Impfstoffen unterbrachen, Kapazität von Intensivbetten und Massentests. Während Israel nicht die höchste Anzahl an Betten auf Intensivstationen pro Kopf oder einen hohen Durchschnitt an täglichen COVID-19-Tests hatte, ist es „ein klarer Gewinner, wenn es um die Geschwindigkeit von Impfungen geht“ – was zu seinem Spitzenplatz auf der führte globale Liste.

Der zweite Platz ging an Israels Nachbarn, die Vereinigten Arabischen Emirate, die ebenfalls eine hohe Impfrate aufwiesen. Die Vereinigten Staaten, das Vereinigte Königreich und Bahrain komplettieren die ersten fünf Plätze, während die letzten drei an Australien, Neuseeland und die Ukraine gingen.

„Die Pandemie hat die Gesundheitssysteme weltweit auf eine harte Probe gestellt und sowohl ihre starken als auch ihre schwachen Seiten offengelegt“, sagte Fred Roeder, Geschäftsführer von CCC und Co-Autor des Index. „Das betrifft insbesondere Krankenhauskapazitäten, Planungsfähigkeiten und die Existenz eines Regulierungssystems, das in der Lage ist, unter anderem in Bezug auf Tests und Impfungen schnell und effizient zu handeln. Wir hoffen, dass unser Index den politischen Entscheidungsträgern helfen wird, Schwachstellen in unseren Gesundheitssystemen zu identifizieren, damit wir besser auf zukünftige Krisen vorbereitet sind.“

Ursprünglich veröffentlicht hier.

Scrolle nach oben
de_DEDE