fbpx

Day: January 3, 2022

Pentingnya Perlindungan Hak Kekayaan Komunal di Indonesia

Ketika kita mendengar istilah hak kekayaan intelektual, apa yang pertama terlintas di benak kita?

Kemungkinan, yang terlintas di benak kita adalah karya-karya seni seperti lagu dan juga film, yang memang hak kekayaan intelektualnya dilindungi. Bila kita pergi untuk menonton di bioskop misalnya, dengan sangat keras kita dilarang untuk merekam film yang dimainkan, karena hal tersebut merupakan bentuk pelanggaran terhadap perlindungan hak kekayaan intelektual.

Contoh lain yang kemunginan muncul di benak kita adalah berbagai logo perusahaan yang sangat akrab dengan kehidupan kita sehari-hari, seperti perusahaan rumah makan ataupun pakaian. Bila kita menggunakan logo perusahaan-perusahaan tersebut untuk keuntungan finansial misalnya, kita bisa dituntut oleh perusahaan tersebut karena telah melanggar hak kekayaan intelektual yang perusahaan tersebut miliki terhadap logo dan nama yang dibuatnya.

Hal tersebut memang sesuatu yang tidak salah. Logo atau nama perusahaan dan juga karya-karya seni seperti lagu dan juga film merupakan bagian dari hak kekayaan intelektual yang harus dilindungi. Bila tidak, maka pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab akan dapat dengan sangat mudah membajak karya-karya tersebut, dan tentunya hal tersebut akan merugikan para inovator dan kreator yang membuat karya tersebut.

Tetapi, hak kekayaan intelektual tidak sebatas hal tersebut. Ada jenis-jenis hak kekayaan intelektual lainnya di Indonesia yang oleh sebagian kalangan kerap kurang menjadi perhatian. Salah satunya adalah hak kekayaan intelektual yang dimiliki oleh komunitas tertentu, seperti komunitas tradisional, secara komunal oleh komunitas tersebut.

Jenis kekayaan intelektual tersebut dikenal dengan nama Kekayaan Intelektual Komunial (KIK). Secara garis besar, KIK sendiri didefinisikan sebagai kekayaan intelektual yang kepemilikannya bersifat kelompok dan bukan pribadi. Hal ini umumnya muncul melalui warisan budaya tradisinal yang berkembang di masyarakat tertentu, yang tidak jarang menjadi bagian identitas dari masyarakkat tersebut, dan karena itu wajib dilindungi agar kekayaan intelektual tersebut dapat dilestarikan (jogja.kemenkumham.go.id, 11/8/2020).

Setidaknya, KIK sendiri dibagi menjadi 4 jenis. Yang pertama adalah Pengetahuan Tradisional, yakni karya intelektual di bidang pengetahuan, teknik, keterampilan, dan praktik yang dikembangkan secara berkelanjutan dari generasi ke generasi. Beberapa contoh produk dari kekayaan intelektual komunal kategori pengetahuan tradisional diantaranya adalah pembuatan produk-produk makanan tradisional yang akrab dengan kehidupan kita sehari-hari, seperti pembuatan tempe (bappeda.purworejokab.go.id, 11/6/2021).

Kedua adalah Ekspresi Budaya Tradisional, yang mendakup bentuk-bentuk ekspresi budaya secara tradisional. Diantaranya adala kesenian atau musik tradisional, ritual upacara adat, dan tarian tradisional. Ketiga adalah Sumber Daya Genetik, yakni tanaman atau hewan yang dipergunakan dan dimanfaatkan serta diyakini memiliki khasiat di masyarakat tertentu, seperti berbagai minuman hasil fermentasi tradisiona, seperti tuak dan lain sebagainya tempe (bappeda.purworejokab.go.id, 11/6/2021).

Yang terakhir adalah Potensi Indikasi Geografis, yang merupakan tanda yang menunjukkan daerah asal suatu barang yang dapat memberikan karakteristik tertentu dari barang tersebut. Beberapa dianara contohnya adalah Apel Batu dari Jawa Timur dan Nanas Subang dari Jawa Barat (bappeda.purworejokab.go.id, 11/6/2021).

Berbagai hasil kekayaan intelektual komunal ini sangat penting untuk dilindungi karena bukan saja hanya karena untuk menjaga dan melestariakan kekayaan intelektual tersebut, tetapi juga sangat penting untuk mengembangkan ekonomi komunitas yang kekayaan intelektual tersebut. Berbagai KIK seperti tarian dan juga upacara adat misalnya, merupakan aset yang sangat besar untuk dapat diolah dan dimanfaatkan sebagai daya tarik wisata, yang tentunya akan membawa banyak manfaat ekonomi kepada masyarakat

Begitu pula hal lain seperti pembuatan makanan dan juga pakaian tradisional misalnya, juga memiliki potensi yang besar untuk meningkatkan perekonomian masyarakat. Kain tenun yang dibuat secara tradisional dan juga berbagai makanan tradisional dapat dimanfaatkan dan juga dijual akan perekonomian masyarakat dapat semakin berkembang. Jangan sampai, pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab membajak dan membuat klaim tertentu atas kekayaan intelektual komunal tersebut, dan memanfaatkannya demi keuntungan mereka sendiri, seraya merugikan kelompok yang memiliki KIK tersebut.

Sehubungan dengan hal tersebut, pencatatan KIK sebagai bagian dari upaya pelestarian kekayaan intelektual komunal juga merupakan hal yang menjadi perhatian Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham) sebagai kementerian yang membawahi Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual (Dirjen HKI), yang memiliki tugas dan wewenang untuk melindungi kekayaan intelektual yang dimiliki oleh masyarakat. Hal ini diungkapkan oleh Menteri Hukum dan HAM (Menkumham), Yasonna Laoly.

Menkumham Yasonna mengatakan bahwa KIK bukan hanya bisa mendorong pengembangan di daerah dan juga perekonomian masyarakat, namun warisan budaya tersbeut merupakan bagian dari identitas bangsa yang kita miliki. Maka dari itu, berbagai KIK tersebut harus dicatatkan dan didaftarkan sehingga dapat dilindungi dan dilestarikan (beritasatu.com, 26/4/2020).

Sebagai penutup, kekayaan intelektual komunal di Indonesia merupakan hal yang sangat penting untuk dilindungi dan dilestarikan. Semoga, dengan semkain terlindunginya berbagai KIK dari segala penjuru tanah air, perekonomian daerah dapat semakin berkembang, dan akan mendorong tingkat kesejahteraan masyarakat yang lebih tinggi.

Originally published here

What To Do About PFAS? It’s Complicated.

In the ever-present effort to preserve our environment, the next frontier for regulators is per-and polyfluoroalkyl substances (PFAS). States across the country are narrowing their sights, specifically avoiding their prevalence in water sources. Federally, the PFAS Action Act has been passed in the house, declaring all PFAS hazardous, which could lead to a ban of the entire class of nearly 5,000 chemicals.

It seems obvious that limiting PFAS in water supplies is needed. We know, both from historical cases and recent research, that PFAS can pose a serious threat to human health if it is in the water we drink. It’s the proper role of the government to ensure that dumping is prevented and to punish those responsible to the fullest extent of the law.

But there is good news in this debate that most ignore. Despite alarmist headlines, PFAS has been largely phased out from being used where unnecessary. A  2018 Toxicological Profile for Perfluoroalkyls by the Agency for Toxic Substances & Disease Registry said that “industrial releases have been declining since companies began phasing out the production and use of several perfluoroalkyls in the early 2000s.” In addition, a CDC report shows that since 2000, “mean blood levels of two respective compounds have declined approximately 84 percent and mean blood levels of PFOA have declined about 70 percent,” and recent reports are showing that bodies of water contain only trace amounts of PFAS, and they have been steadily declining.

While that is great news, the conversation in regards to PFAS appears to be stuck in the early 2000s, when a class-action lawsuit against Dupont was launched for what ended up being an egregious case of chemical dumping. The health impact from this was widespread, and the company settled for over $670 million. Unfortunately, federal legislators are responding to headlines of yesteryear as opposed to taking a measured evidence-based approach.

Despite this, a blanket ban would be incredibly misguided because separate use cases for these chemicals present different risks for Americans. Some present no risk to humans, and in fact, provide great value. Take medical equipment for example. PFAS is used in the production of life-saving medical equipment and is vital for contamination-resistant gowns, implantable medical devices, heart patches, and more.

Embracing a “one size fits all” approach to PFAS without evaluating the risk associated with each use puts lifesaving medical technologies in jeopardy and patient safety at risk. That is the fundamental problem with potential bans, regardless of how these chemicals are used and irrespective of whether or not they present a risk to Americans. When produced in a responsible manner that avoids contaminating water sources, the use of PFAS for medical equipment is a net positive for Americans.

But it isn’t just the availability of medical equipment at risk if bans continue. These compounds are fundamental in the production process for smartphones, used by 290 million Americans every day. Forcibly removing these chemicals from the production process would disrupt supply chains, inflate costs for consumers, which is incredibly regressive, all while this use case of PFAS presents little risk to human health.

Unfortunately, this misguided approach is now creeping into the FDA and their Scientific Advisory Board (SAB). During their upcoming December meeting, the SAB plans on releasing the first round of testing data following the release of the National PFAS Testing Strategy in October 2021. The issue with this is that these test orders were issued far in advance of the Agency’s PFAS categorization framework which is essential to obtain data critical for informing the Agency about PFAS hazards, exposure, and risk.

Essentially the SAB is going to publish their findings, prior to the framework that will outline what appropriate thresholds are, and how regulations should be structured accordingly. As a result, the data that is expected to be presented will be presented without any instruction on what the exposure risks are, and will likely lead to a skewed result adding to the PFAS panic and calls for bans.

Luckily, some voices of reason have emerged in Congress, like Indiana Rep. Larry Buschon. As a heart surgeon by trade, he has rightfully pointed out that the heavy-handed approach would put life-saving medical technologies at risk. Hopefully, more will listen, and Congress can both limit PFAS exposure where it is dangerous while allowing for it to continue to be used where it is safe.

Originally published here

6 Reasons Nicotine Is Not Your Enemy

This month’s Christmas festival has great news on public health. In countries that encouraged and accepted tobacco harm reduction policies, the number of smokers has dropped significantly.

In the UK, for example, smoking levels have dropped by 25% since 2013 (when e-cigarettes became popular). Over the past four years in Japan, cigarette sales have fallen by 34%, while sales of reduced-harm alternatives such as heat-not-burn tobacco surged to 30% in 2019.

This was achieved because people who usually look for nicotine do so in a harmless way.

But while these numbers are important wins for consumers, the entire army of nicotine’s unscientific scapegoats undermines their success. This approach has dire consequences: fewer people switch to less harmful alternatives such as vaping, nicotine pouches, or heat-not-burn tobacco devices.

In the Philippines, additional categories of harm reduction are being legalized, but still failing to achieve the widespread adoption required.

Read the full article here

Scroll to top
en_USEN