fbpx

Giorno: 21 settembre 2021

Pentingnya Pragmatisme untuk Memerangi Rokok

Konsumsi rokok merupakan salah satau permasalahan kesehatan pubik yang besar yang saat ini melanda berbegai negara di seluruh penjuru dunia, termasuk juga Indonesia. Sudah menjadi pengetahuan umum bahwa, mengkonsumsi rokok merupakan salah satu penyebab berbegai penyakit kronis yang dialami oleh jutaan orang di seluruh dunia, seperti kanker e penyakit jantung.

Oleh sebab itu, kebijakan untuk menanggulangi dampak dari rokok ini merupakan salah satu kebijakan yang sangat umum yang diberlakukan oleh berbegai pemerintahan di seluruh dunia. Kebijakan tersebut sangat bervariasi, mulai dari kebijakan yang cukup longgar, seperti larangan iklan, kewajiban memasang peringatan di bungkus rokok, dan larangan memasang logo, hingga kebijakan yang sangat ketat seperti larangan total konsumsi product tembakau.

Strategi pembatasan dan pelarangan ini sekilas memang merupakan hal yang terlhat masuk akal dan bisa diterima. Bila kita ingin banyak orang untuk berhenti menggunakan product-produk tertentu yang terbukti berbahaya misalnya, maka langkah yang dianggap tepat adalah dengan memastikan masyarakat tidak bisa mendapatkan akses terhadap barang dianggap tepat adalah dengan memastikan masyarakat tidak bisa mendapatkan akses terhadap barang dianggap tepat adalah dengan memastikan masyarakat tidak tidak meng but disekonsumsi label produksumsi ter .

Tetapi, bukan berarti lantas anggapan yang sekilas terlihat masuk akal tersebut merupakan sesuatu yang tepat e sesuai dengan kenyataan. Melarang masyarakat untuk mengubah perilakunya yang berbehaya seperti mengkonsumsi rokok tidaklah semudah membalikkan telapak tangan.

Bhutan misalnya, merupakan salah satu negara yang melarang penjualan dan konsumsi rokok pada tahun 2010. Tetapi bukan berarti permasalahan konsumsi rokok di negara Himalaya tersebut menjadi selesai. Kebijakan pelarangan rokok justru memicu banyak perdagangan rokok illegale. Pada tahun 2020, Bhutan akhirnya perlahan mulai mengizinkan warganya untuk membeli rokok melalui perusahaan yang dimiliki oleh negara untuk melawan perdagangan rokok illegale (dfnionline.com, 7/9/2020).

Hal ini tentu bukan merupakan hal yang mengherankan untuk kita yang mengetahui sedikit sejarah mengenai kebijakan prohibisi. Berbagai kebijakan untuk melarang produk-produk yang dianggap berbahaya, seperti minuman keras dan rokok misalnya, niscaya akan berakhir pada kegagalan, sebagaimana kebijakan prohibisi minuman keras yang diberlakukan di Amerika Serikat pada dekade 1920-an. Kebijakan tersebut justru semakin memperkuat organisasi kriminal e mafia seperti Al Capone, yang akhirnya menjadi penyedia produk ilegal tersebut.

Terkait dengan kebijakan disinsentif kepada pengguna rokok, seperti kewajiban memasang gambar dampak rokok terhadap kesehatan di bungkus rokok misalnya, keberhasilannya juga masih dipertanyakan. Deborah M. Scharf e William G. Shadel della Rand Corporation misalnya, menulis bahwa hampir tidak ada dampak langsung dari kewajiban pemasangan gambar tersebut dengan efek terhadap para konsumen rokok (rand.org, 30/7/2014).

Scharf e Shadel hanno menuli bahwa, ada berbegai macam faktor yang sangat kompleks yang menentukan bagaimana konsumen akan bereaksi terhadap berbegai kebijakan yang ditujukan untuk mengurangi konsumen rokok tersebut. Tidak mustahil juga bahwa, kebijakan tersebut akan membawa dampak yang berkebalikan dari tujuannya, dengan membuat para perokok merasa defensive sehingga mereka menjadi tidak memperhatikan peringatan tersebut. Berdasarkan laporan, tidak sedikit juga para perokok yang “berkreasi” dengan menutup gambar peringatan tersebut agar mereka tidak perlu melihat gambar tersebut (rand.org, 30/7/2014).

Untuk itu, dibutuhkan langkah lain bila kita ingin menanggulangi dampak dari rokok, serta mengurangi konsumsi dari produk yang berbehaya tersebut. Kita harus mampu dan berani untuk mencoba berbegai solusi lain melalui pendekatan yang pragmatis ketimbang dengan terpaku pada ide-ide tertentu yang sudah terbukti gagal.

Sejarah sudah membuktikan bahwa, praktik konsumsi product-produk yang membahayakan bagi kesehatan tidak bisa dilakukan melalui kebijakan yang keras seperti pembatasan hingga pelarangan total. A parte questo, il vero pragmatis yang paling memungkinkan untuk menekan dampak dari konsumsi tersebut adalah apabila ada produk lain yang dapat digunakan para perokok untuk berpindah e memiliki dampak negatif yang jauh lebih kecil.

Saat ini sudah ada beberapa produk alternatif tersebut yang bisa kita temukan dengan mudah, khususnya kita yang tinggal di kota-kota besar. Salah satu produk tersebut yang kerap digunakan sebagai cara strategia di riduzione del danno, atau strategi untuk mengurangi dampak negatif dari rokok itu sendiri, adalah rokok elektronik, atau yang dikenal juga dengan nama vape.

Penggunaan vape sebagai bagian dari strategia di riduzione del danno memang merupakan hal yang menimbulkan pro e kontra, di mana tidak sedikit yang berpandangan bawah vape merupakan produk yang sama bahayanya, atau bahkan lebih berbahaya, dari rokok yang dibakar convenzionale. Pandangan ini jelas adalah pandangan yang sangat keliru.

Pada tahun 2015 lalu, lembaga kesehatan public asal Inggris, Public Health England (PHE), mengeluarkan laporan terkait dengan dampak vape terhadap kesehatan. Dalam laporan PHE tersebut, disebutkan bahwa produk vape 95% jauh lebih aman bila dibandingkan dengan rokok konvensional yang dibakar (Public Health England, 19/8/2015).

Laporan ini tentu merupakan sesuatu yang sangat penting and patut kita apresiasi. Adanya produk yang mampu menjadi alternatif rokok yang terbukti jauh lebih aman adalah berita yang sangat baik, e memberi kesempatan bagi para perkok untuk memindahkan konsumsinya ke produk yang lebih aman.

Penggunaan vape sebagai produk alternatif dalam rangka strategia di riduzione del danno bukanlah sesuatu yang hanya hadir di teori saja, melainkan juga sudah dipratikkan di negara lain. Inggris misalnya, mengkampayekan penggunaan vape untuk membantu para perokok menghentikan kebiasaannya yang sangat berbehaya. Kebijakan tersebut terbukti sangat sukses, dan melalui strategi harm reduction dengan menggunakan vape, 1,5 juta warga Inggris telah menghentikan kebiasaan merokoknya (consumerchoicecenter.org, 21/7/2020).

Sebagai pentutup, langkah e strategi pragmatis merupakan ha yang sangat penting bila kita ingin mengurangi jumlah populasi perokok. Jangan sampai, kita terlalu terpaku pada ide dan pandangan tertentu, sehingga kita tetap mengimplementasikan kebijakan yang sudah terbukti gagal, sehingga tidak mampu membantu kawan-kawan kita yang perokok untuk menghentikan kebiasaannya yang sangat berbahaya.

Originariamente pubblicato qui

Il Congresso vuole copiare alcune delle peggiori regole alimentari dell'UE. È una cattiva idea

Semplicemente non ci sono argomenti a favore della copia delle normative alimentari dell'UE.

La legislazione che si profila al Congresso degli Stati Uniti potrebbe emulare gli standard alimentari europei copiando la regolamentazione agricola europea. PATTA (Protect America's Children from Toxic Pesticides Act), la legislazione sponsorizzata dai senatori Elizabeth Warren, Cory Booker e Bernie Sanders metterebbe fuori legge qualsiasi pesticida illegale negli stati membri dell'Unione Europea, nella stessa Unione Europea o in Canada.

Per molti americani, l'Europa rappresenta l'epitome della civiltà culinaria, ed è vero che gli standard italiani per la pasta, gli standard francesi per il pane e gli standard spagnoli per i frutti di mare spesso superano di gran lunga ciò che il ristorante medio servirà negli Stati Uniti. Ma detto questo, non dobbiamo confondere la presenza di ottime scuole di cucina in Francia con un mercato alimentare migliore. La crescente ostilità dell'Europa nei confronti della protezione delle colture sotto forma di pesticidi non gioverà a se stessa.

Una pietra miliare delle continue ambizioni dell'UE di rinnovare la propria regolamentazione alimentare è il "Strategia dalla fattoria alla tavola”, noto come F2F. Questa strategia, che fa parte del "Green Deal europeo", è una tabella di marcia per una serie di pacchetti di legge destinati a colpire la legislatura dell'UE nei prossimi anni. Due delle sue proposte cardine sono una riduzione dei pesticidi del 50% entro il 2030 e l'aumento della produzione di alimenti biologici al 25% entro il 2030 (attualmente è di circa l'8%).

La Commissione europea deve ancora pubblicare una valutazione d'impatto su ciò che la strategia Farm to Fork significherebbe per agricoltori e consumatori. Nonostante i ripetuti appelli dei parlamentari dell'UE, non è stato in grado di fornire numeri precisi a sostegno dell'argomentazione politica secondo cui queste riforme ambientali sarebbero vantaggiose anche dal punto di vista economico. Per fortuna, lo ha fatto il Dipartimento dell'Agricoltura degli Stati Uniti (USDA). il proprio studio. Infatti, quando l'USDA ha effettuato una valutazione d'impatto, ha rilevato che, se implementato, F2F comporterebbe una riduzione del 12% della produzione agricola in Europa e aumenterebbe i prezzi dei beni di consumo del 17% nell'UE, del 5% nell'UE Stati Uniti e del 9% in tutto il mondo.

Inoltre, l'USDA ha anche rilevato che nello scenario di adozione, i flussi commerciali sarebbero ridotti e che il PIL dell'Europa diminuirebbe in modo significativo a causa dell'aumento dei prezzi delle materie prime alimentari (il calo del PIL dell'Europa rappresenterebbe il 76% del calo del PIL globale complessivo come risultato di F2F).

Anche le nazioni in via di sviluppo sarebbero colpite duramente. Perché a seguito di queste severe norme alimentari, l'UE attuerebbe misure protezionistiche.

"Entro il 2030, il numero di persone con insicurezza alimentare in caso di adozione solo nell'UE aumenterebbe di altri 22 milioni in più rispetto a quanto previsto senza le strategie proposte dalla CE", USDA concluso.

Ci si potrebbe chiedere perché tutto ciò sia importante, dal momento che gli europei pagano meno per il cibo che apparentemente è anche cucinato meglio. È vero che fare la spesa in Germania può aprire gli occhi agli americani: una libbra di salmone affumicato pescato in natura costa ovunque tra $10 e $20 in America (o più), mentre in Germania tali prezzi variano tra $2 e $10. La maggior parte di ciò è dovuto al fatto che gli Stati Uniti non inondano i propri agricoltori e pescatori con gli stessi sontuosi sussidi agricoli dell'Europa. Mentre gli Stati Uniti sovvenzionano anche gli agricoltori, la ricerca mostra che l'Europa "sovvenziona" di gran lunga gli Stati Uniti. Quindi, mentre i prezzi dei supermercati sono più bassi per i consumatori, sono le dichiarazioni dei redditi degli europei a raccontare la vera storia. In paesi come il Belgio, le aliquote effettive dell'imposta sul reddito (con la previdenza sociale) sono superiori al 50%. Di fatto, singoli lavoratori belgi sono i più tassati in tutta l'OCSE, e sono seguiti da vicino da quelli di Germania e Francia, entrambi prossimi al 50%. E questo non entra nemmeno nei dettagli di come l'Unione europea utilizzi i suoi sussidi agricoli per ridurre i prezzi dei produttori nei mercati in via di sviluppo e, come New York Times mettilo, come gli oligarchi mungono questi milioni di sussidi agricoli a proprio vantaggio.

Ridurre i pesticidi per decreto politico piuttosto che attraverso una tecnologia innovativa è un approccio non scientifico. Se l'argomento dell'Unione Europea fosse che con le moderne attrezzature agricole, come gli spray intelligenti, la quantità di pesticidi potrebbe essere ridotta perché gli agricoltori sono in grado di rendere il loro uso più efficiente, allora questo sarebbe un approccio lungimirante. Invece, l'obiettivo di riduzione del 50% sembra buono su un poster, ma ha poco a che fare con l'elaborazione di politiche basate su prove. Dopotutto: se l'attuale 100% fa male alla salute umana, perché limitare solo il 50% e non la totalità di tutte queste sostanze?

Per inciso, questo è ciò che l'UE ha fatto su larga scala neonicotinoidi, vietandone alcuni per uso agricolo. I neonicotinoidi, o neonic, sono insetticidi essenziali per gli agricoltori per non perdere una quantità significativa dei loro raccolti ogni stagione. Nel dicembre dello scorso anno, il parlamento francese ha votato per una sospensione di tre anni del divieto sui neonic, perché i coltivatori di barbabietola da zucchero rischiavano di chiudere completamente l'attività a causa delle perdite di raccolto. I divieti esistono in Europa perché i neonic sono stati accusati di danneggiare gli impollinatori.

Il "Ape-pocalisse” nei primi anni 2000 è stato incolpato prima degli OGM, poi successivamente dei neonic quando l'argomentazione sugli OGM è stata rapidamente rivelata falsa. Ma anche i neonic non hanno colpa. Le riduzioni e le sparizioni delle colonie di api si verificano naturalmente e periodicamente nel corso della storia. In effetti, ci sono stati sporadici declini delle colonie di api in tutta la storia (registrata), vale a dire il 19° e 20° secolo, prima che i neonic fossero introdotti per la prima volta nel 1985. In effetti, non solo le api non sono colpite dai neonic, ma non stanno nemmeno diminuendo.

Come la Washington Post riportato in due articoli separati nel 2015…”Call Off the Bee-pocalypse: le colonie di api mellifere statunitensi hanno raggiunto il massimo di 20 anni" e "Che tu ci creda, le api stanno bene”, l'isteria del declino globale delle api è semplicemente imprecisa. Puoi farlo anche tu: visita il sito web dell'Organizzazione delle Nazioni Unite per l'alimentazione e l'agricoltura (FAO), seleziona "alveari" nella sezione dei dati visualizzati e fai clic su qualsiasi paese o regione che preferisci. La maggior parte dei paesi e delle regioni ha una costante tendenza al rialzo nella prevalenza delle api. Negli Stati Uniti, la popolazione di api è destinata a raddoppiare nei prossimi anni rispetto al livello degli anni '60.

Allora perché mentire a riguardo? Perché è una narrativa così diffusa che gli OGM (o qualsiasi pesticida del giorno) uccidano le api? L'argomento è politicamente conveniente, ma non scientificamente valido. In Europa i nemici dell'agricoltura moderna hanno una visione del mondo che non corrisponde alla società degli agi e della disponibilità. Il commissario europeo per il Green Deal Frans Timmermann si è lamentato nel maggio dello scorso anno (attenzione, questo è al culmine del primo blocco COVID-19) che "ci siamo abituati al fatto che il cibo sia troppo economico".

Non intendeva dire che i sussidi all'agricoltura fossero sproporzionati, ma piuttosto che essere in grado di acquistare carne o pesce in un dato giorno ea prezzi bassi fosse di natura problematica. Per un uomo che pagava $30.000 al mese per il suo lavoro alla Commissione, mentre i consumatori rumeni pagavano più del 20% del loro reddito per il cibo, questa è la definizione di stonato.

Negli Stati Uniti, la disponibilità e la concorrenza sono fondamentali. Inoltre, mentre l'Europa sogna un mondo in cui la natura non invii educatamente insetti a mangiare i nostri raccolti, nessuna muffa colpisca le riserve alimentari e dove nessun'altra condizione naturale possa mettere in pericolo la sicurezza alimentare, gli Stati Uniti hanno sempre consentito l'innovazione scientifica. Ad esempio, gli Stati Uniti sono molto avanti nello sviluppo dell'ingegneria genetica, mentre l'Europa è in ritardo.

Semplicemente non ci sono argomenti a favore della copia delle normative alimentari dell'UE.

Originariamente pubblicato qui

Stati: il prossimo campo di battaglia nel passaggio ai veicoli elettrici

Non c'è dubbio che la rivoluzione dei veicoli elettrici sia qui, soprattutto dopo quella del presidente Joe Biden ordine esecutivo delineando l'obiettivo di trasformare la metà di tutti i nuovi veicoli venduti nel 2030 in veicoli elettrici. Sebbene questo sia un entusiasmante passo avanti nella riduzione delle emissioni che contribuiscono alla crisi climatica, l'audace proposta di Biden è destinata a fallire se le normative statali obsolete rimarranno nei libri contabili. In particolare, le leggi sul franchising dei concessionari che vietano le vendite dirette al consumatore di veicoli elettrici.

Attualmente, 29 stati avere regolamenti che limitano o vietano completamente ai consumatori di acquistare veicoli direttamente da un produttore. Se vivi in uno dei 17 stati che hanno un divieto totale, significa che puoi acquistare un veicolo elettrico solo da un concessionario autorizzato. Questa legge obsoleta, che non fa altro che proteggere il modello di franchising dei concessionari dalla concorrenza innovativa, garantisce quasi ai consumatori di quegli stati di non avere accesso a veicoli prodotti da aziende come Tesla, Rivian, Lucid e Lordstown. Ad esempio, affinché un consumatore in Alabama possa acquistare un veicolo elettrico da uno di quei produttori, dovrebbe acquistare la propria auto in Florida, caricarla su un pianale e guidare il pianale in un ufficio DMV dell'Alabama per registrarlo. Se i divieti e gli onerosi ostacoli rimarranno in vigore, è ingenuo pensare che il mandato di Biden sarebbe realizzabile anche lontanamente.

Ciò che rende questi divieti sulle vendite dirette al consumatore ancora più problematici è che i consumatori stanno già acquistando auto online, nel mercato dei veicoli usati, che è legale a livello nazionale. Abbiamo visto un aumento degli acquisti di veicoli online in quanto i consumatori preferiscono la trasparenza dei prezzi, il processo di acquisto rapido e la comodità della consegna del veicolo direttamente a casa. Quindi rimane la domanda se puoi acquistare un'auto usata online, quale giustificazione potrebbe esistere per vietarti di acquistare un nuovo VE online?

La risposta è scomoda dove sono i politici statali guardato al modello di franchising dei rivenditori e al potere che esercitano nel fare pressioni sui legislatori statali. È un esempio irritante, ma semplice, dell'industria esistente che esercita pressioni per limitare l'accesso dei consumatori per mantenere la propria quota di mercato.

L'eliminazione di leggi obsolete amplierebbe drasticamente la scelta dei consumatori e aiuterebbe a ridurre i prezzi, ma i vantaggi non si limitano al proprio portafoglio. Oltre alle considerazioni finanziarie, consentire la vendita diretta al consumatore elimina la possibilità che un venditore di auto infligga eventuali pregiudizi personali all'acquirente, rendendo l'esperienza più confortevole per i consumatori nel loro complesso.

Un altro problema evidente con i divieti di vendita diretta al consumatore è che spesso limitano o vietano alle aziende di veicoli elettrici di avere centri di assistenza in tutti i 50 stati. Ad esempio, se possiedi una Tesla nella Carolina del Sud e hai bisogno che venga riparata, dovrai guidare in un altro stato per visitare un centro di assistenza. A seconda di ciò che deve essere fatto al veicolo, ciò potrebbe rappresentare un rischio significativo per la sicurezza di tutti i conducenti e passeggeri sulla strada. L'eliminazione del divieto di vendita diretta al consumatore è fondamentale in quanto non solo aumenterà l'accessibilità dei veicoli elettrici per i consumatori, ma contribuirà anche a mantenere sicure le strade americane.

Oltre ai problematici divieti di vendita diretta al consumatore, i consumatori sono spesso colpiti da tasse di registrazione esorbitanti quando acquistano un veicolo elettrico. Così com'è, 28 stati attualmente hanno tasse di immatricolazione più elevate per i veicoli elettrici rispetto ai veicoli a benzina standard. Ohio, per esempio, oneri $31 per registrare i tuoi veicoli passeggeri standard, $100 per i veicoli ibridi e $200 per i veicoli completamente elettrici, che scoraggia attivamente i consumatori dal possedere veicoli elettrici. Queste tasse di registrazione più elevate sono state create per compensare le mancate entrate dello stato dalle tasse sul gas per aiutare a pagare i costi di infrastruttura e amministrativi, ma non è giusto che i consumatori di veicoli elettrici che fanno la scelta più ecologica e consumino meno gas siano costretti a sostenere l'onere finanziario. Invece di perpetuare sanzioni che generano entrate sui consumatori di veicoli elettrici, un percorso migliore sarebbe quello di abbracciare la neutralità tecnologica nelle tasse di registrazione trattando allo stesso modo i veicoli passeggeri standard e i veicoli elettrici, che è l'approccio adottato dalla Florida.

Sebbene alcuni consumatori desiderino l'accesso ai veicoli elettrici, l'ordine esecutivo di Biden non li aiuterà a ottenerlo se non vengono apportate modifiche a livello statale. Per raggiungere l'ambizioso obiettivo del 2030, Biden dovrebbe collaborare con gli stati per ridurre il duro barriere normative attualmente impedisce ai consumatori di accedere e abbracciare completamente i veicoli elettrici. Se queste leggi non vengono modificate, il boom dei veicoli elettrici potrebbe finire per svanire.

Originariamente pubblicato qui

L'Alabama ha meno dell'1% dei veicoli elettrici immatricolati negli Stati Uniti

Uno studio ha classificato lo stato tra i posti peggiori per le infrastrutture dei veicoli elettrici e gli incentivi finanziari.

Un analisi di dati sulla domanda di veicoli elettrici e sulle infrastrutture esistenti in ogni stato ha classificato l'Alabama al 31° posto nella proprietà di veicoli elettrici registrati, ma penultimo in termini di facilità d'uso e vantaggi di averne uno.

Lo studio è stato condotto da Bumper, un mercato online per veicoli usati, e ha valutato gli stati in 10 categorie: cinque relative alle infrastrutture e cinque relative agli incentivi finanziari. 

Leggi l'articolo completo qui

I pranzi parzialmente gratuiti potrebbero non essere una cattiva idea. Allora perché ai liberali non piace?

Se avere persone completamente vaccinate che mangiano al chiuso nei ristoranti è così pericoloso, come diavolo è sicuro (o appropriato) per noi avere un'elezione?

Dire che il settore dell'ospitalità in Canada è stato decimato dalla pandemia sarebbe un enorme eufemismo. In tutto il paese, e in particolare nelle grandi città come Toronto, i ristoranti sono stati costretti a chiudere per cenare di persona per più di un anno e a operare con limitazioni di capacità significative quando è stato consentito l'apertura. Quanto è stato brutto per i proprietari di ristoranti in Canada? Un incubo, stando ai numeri.

L'ultima novità del ristorante Canada indagine dei membri mostra che l'80% di tutti gli operatori di servizi di ristorazione in Canada si è indebitato nel corso della pandemia. Per le imprese del settore ricettivo che si sono indebitate, tra cui anche il settore della ristorazione, l'importo medio sostenuto è di a enorme $333,174.

Oltre la metà dei ristoranti opera attualmente in perdita, mentre più di un quarto di quelli che si sono indebitati afferma che la propria attività fallirà se le condizioni attuali non cambiano. Quel livello di fallimento aziendale non è solo una preoccupazione per le persone che potrebbero perdere la propria attività. È una preoccupazione per il gran numero di canadesi che si affidano all'occupazione nel settore alimentare per sbarcare il lunario.

Il settore dei servizi di ristorazione è di gran lunga il primo lavoro più comune per i canadesi che entrano nel mondo del lavoro. Prima del COVID 1,2 milioni di canadesi lavoravano nel settore. Perdere una parte significativa di quelle imprese, dei servizi che offrono e dei posti di lavoro che forniscono, compreso quel fondamentale trampolino di lancio per i nuovi lavoratori, sarebbe un duro colpo per la ripresa economica del nostro Paese.

Cosa si può fare per dare al settore la spinta di cui ha bisogno? Il leader conservatore Erin O'Toole propone un programma "Dine and Discover" che offrirebbe ai canadesi uno sconto del 50% su cibo e bevande analcoliche acquistate dal lunedì al mercoledì, per un periodo di un mese una volta che è sicuro farlo. La politica può sembrare un po' bizzarra, ma è presa in prestito direttamente dal playbook del partito conservatore britannico.

Il primo ministro Boris Johnson ha implementato uno schema di sconti simile, chiamato "Mangia fuori per dare una mano", che offriva anche uno sconto del 50%, dal lunedì al mercoledì, con un limite di 10 sterline. IL risultato è stato impressionante, con 100 milioni di sconti incassati che hanno iniettato 522 milioni di sterline nel settore dell'ospitalità. Rispetto al 2019, i consumatori hanno mangiato fuori il doppio delle volte quando era in vigore lo sconto.

Data l'importanza del settore dell'ospitalità, puoi capire perché O'Toole vorrebbe provare a rimettere in moto le cose. E mentre la sua proposta può certamente essere criticata da una prospettiva fiscalmente conservatrice, la risposta dei partigiani liberali è stata sconcertante. Ad esempio, l'ex segretario principale di Justin Trudeau, Gerald Butts, twittato che O'Toole era "la virtù che segnala la classe media" e che il programma lo era limite per diventare un evento super-diffusore.

La ginnastica mentale qui è interessante, in primo luogo perché il piano di O'Toole afferma chiaramente che il programma verrà implementato solo "quando sarà sicuro farlo". Il piano del Regno Unito è stato giustamente criticato per aver causato un aumento della diffusione del COVID19, ma è stato implementato prima che avessimo alcun vaccino. Al momento, il 78% dei canadesi ammissibili lo è pienamente vaccinato, e quella cifra probabilmente aumenterà con l'introduzione dei passaporti per i vaccini in quasi tutte le province.

Se avere persone completamente vaccinate che mangiano al chiuso nei ristoranti è così pericoloso, come diavolo è sicuro (o appropriato) per noi avere un'elezione? Opponendosi a quella che è una politica abbastanza centrista di sostegno mirato a un settore colpito dalla pandemia, i liberali hanno mostrato la follia di queste elezioni anticipate. Ma capovolgi la loro logica. Se è sicuro tenere un'elezione con raduni al chiuso violazione degli ordini sanitari provinciali, deve anche essere sicuro incentivare i canadesi vaccinati a tornare nei ristoranti. Non puoi avere la tua torta e anche mangiarla, nemmeno se quella torta è scontata del 50% dal lunedì al mercoledì.

Originariamente pubblicato qui

Michael Bloomberg sta arrivando per il tuo vaporizzatore

Ecco una domanda: se sapessi che milioni di dollari sono stati spesi per privare le persone nei paesi in via di sviluppo delle stesse tecnologie innovative utilizzate nei paesi sviluppati, saresti indignato?

E se quegli sforzi fossero guidati, finanziati e guidati da un ex sindaco miliardario di New York City? Incontra Michael Bloomberg, l'uomo d'affari e politico spavaldo i cui soldi stanno facendo scalpore in tutto il mondo... e non sempre in modo positivo.

Recentemente, documenti hanno scoperto come gli enti di beneficenza affiliati a Bloomberg abbiano impedito alle tecnologie salvavita di essere legalizzate e regolamentate in paesi in via di sviluppo come India, Filippine, Cina, Brasile, Perù, Uruguay, Uganda, Nigeria, Kenya e altri.

La Brigata Bloomberg ha usato una potente retorica sulla necessità di eliminare il fumo come una vera e propria cortina fumogena per eliminare o limitare severamente tutte le alternative alla nicotina non combustibili, compresi i dispositivi di svapo, i dispositivi heat-not-burn, i sacchetti di nicotina e altro ancora - alternative che sono note essere molto meno dannoso del fumo.

Questo sta mettendo in pericolo milioni di vite.

Sosteniamo la riduzione del danno per salvare vite umane e ci opponiamo al paternalismo che priva i consumatori della scelta.

Descrizione
it_ITIT