fbpx

geistiges Eigentum

Parlamento Europeu envia carta em defesa da PI à Câmara e ao Senado

Brasília, BR – Foi protocolada hoje, quinta-feira, 23 de Setembro, uma carta enviada do Parlamento Europeu aos Presidentes da Câmara dos Deputados, Arthur Lira, e do Senado Federal, Rodrigo Pacheco. Na carta, 11 membros do Parlamento Europeu expressam suas preocupações com relação ao futuro da propriedade intellectual no Brasil após a Lei nº 14.200 de 2 de setembro de 2021, que prejudica o ambiente de propriedade intellectual (PI) no Brasil, ser aprovada. A carta questiona como as indústrias europeias, de muitos setores que dependentem de proteção de PI, podem investir e comercializar no Brasil. A carta teve apoio do grupo internacional de defesa dos consumidores Consumer Choice Centre e da Frente Parlamentar pelo Livre Mercado.

„Temos uma relação comercial muito próxima com o Brasil, e por isso estamos preocupados com o caminho que o Brasil vem seguindo no que diz respeito às leis de propriedade intelectual“ disse em nota Gianna Gancia, MdEP. „Países com fortes regimes de PI estimulam a inovação ea criatividade e são necessários para o crescimento econômico, a competitividade ea criação de empregos. Infelizmente, a PL nº 12/2021, ea consequente Lei nº 14.200, não ajudam o Brasil a cumprir os objetivos traçados na Estratégia Nacional de Propriedade Intelectual“ concluiu Gancia.

„A exigência existente no PL nº 12/2021 que determinava que as empresas compartilhassem os seus segredos comerciais não tem prezedes e é inconsistente com as obrigações de proteção de segredos comerciais do acordo TRIPS. Forçar a transferência de tecnologia negaria aos inovadores a certeza ea previsibilidade necessárias para investir com conconfiança e acelerar o lançamento de novos produtos no Brasil” disse o Deputado Paulo Ganime, coordenador de Inovação da Frente Parlamentar pelo Livre Mercado. Para ele, „o Governoro acertou em vetar essa parte do texto, que poderia prejudicar a nossa credibilidade. O mais importante agora é garantirmos que o veto será mantido“, acrescentou.

Para Beatriz Nóbrega, Secretária Executiva da Frente Parlamentar do Livre Mercado, „existem alternatives melhores para criar no Brasil um ambiente que promova a inovação, o investimento estrangeiro direto eo acesso a novos produtos. Queremos ampliar as parcerias comerciais do Brasil no exterior e para isso precisamos honrar nossos acordos internacionais e buscar politicas que protejam a inovação ea criatividade, com o objetivo de deixar claro que no Brasil há estabilidade jurídica.“

Para Fábio Fernandes, Diretor de Comunicação da associação de consumidores Consumer Choice Center (Centro de Escolha do Consumidor), esta mudança na Lei preocupa muito os consumidores e pacientes brasileiros, pois decidirá o futuro da inovação nos campos da tecnologia, agropecuária e medicina.

„Os consumidores estão preocupados com a possibilidade de novos produtos, tecnologias e medicamentos não estarem disponíveis no Brasil por uma insegurança jurídica. A lei de propriedade intelectual no Brasil está de acordo com o padrão internacional porém essa nova lei, somada à recente decisão do STF sobre o Artigo 40 da Lei de PI, pode enfraquecer esse direito pondo em risko o futuro da inovação no Brasil“ bestätigt Fernandes . 

„Vacinas para o setor de agropecuária, remédios contra o câncer, components de informática como microchips para celulares, e até inteligência artificial são alguns exemplos de produtos e inovações que podem atrasar ou até mesmo nunca chegar ao mercado brasileiro“ concluiu Fernandes.

Perlindungan Hak Kekayaan Intelektual und Royalti für Pekerja Seni

Perlindungan Hak Kekayaan intelektual dan pekerja seni adalah dua hal yang sangat terkait dan tidak bisa dipisahkan. Melalui perlindungan hak kekayaan intelektual, maka para pekerja seni, seperti musisi dan sineas, bisa menikmati manfaat dari karya yang telah mereka buat.

Tanpa adanya perlindungan terhadap hak kekayaan intelektual, hal tersebut tentu akan sangat merugikan para pekerja seni. Para pekerja seni tersebut berpotensi akan semakin sulit untuk mendapatkan manfaat dari karya yang mereka buat untuk menafkahi kehidupan mereka, karena setiap orang dapat bebas membajak atau menampilkan karya-karya mereka tanpa harus membayar para pekerja seni yang membuat karya tersebut.

Di era digital, perlindungan hak kekayaan intelektual terhadap pekerja seni tentu memiliki tantangan baru. Seiring dengan perkembangan teknologi, setiap orang dapat dengan mudah membajak und memasarkan produk-produk karya seni yang dibajak tersebut di dunia maya, untuk dinikmati dan disaksikan secara gratis oleh jutaan orang di seluruh dunia.

Namun, Tantangan Perlindungan Hak Kekayaan Inteletual, Khususnya von Indonesien, Bukan Hanya Dari Perkembangan Dunia Maya. Di sektor pelayanan, seperti rumah makan, kafe, karaoke, dan klub malam, kita bisa dengan mudah menemukan para pengelola tempat tersebut menampilkan Musik atau lagu tertentu untuk menghibur para pengunjugnya, namun tanpa memberi bayaran kepada para musisi yang membuat berbagai lagu yang dimainkan.

Hal ini tentu merupakan sesuatu yang perlu untuk diselesaikan. Terlebih lagi, karena yang menampilkan musik tersebut adalah tempat usaha yang bertujuan untuk mencari keuntungan.

Untuk mengatasi persoalan tersebut, pada tanggal 30 Maret 2021 lalu, Presiden Joko Widodo mengeluarkan Peraturan Pemerintah Nomor 56 Tahun 2021 tentang Pengelolaan Royalti Hak Cipta Lagu Dan/ Atau Musik. Dalam Pasal 3 ayat 1 peraturan tersebut, tertulis secara eksplisit bahwa „Setiap orang dapat melakukan penggunaan secara komersial lagu dan/atau musik dalam bentuk layanan publik yang bersifat komersial dengan membayar royalti kepada pencipta, pemegang hak cipta, dan/atau pemilik hak (cnnindonesia, 04.05.2021).

Dalam peraturan tersebut, dijelaskan secara eksplisit juga dituliskan berbagai penggunaan musik atau lagu yang diharuskan untuk membayar royalti kepada para musisi yang membuat lagu tersebut. Diantaranya adalah seminar, konser, transportasi umum, pameran, nada tunggu telepon, pertokoan, bank, dan kantor, pusat rekreasi, penyiaran televisi dan radio, serta fasilitas hotel (Cnnindonesia, 5/4/2021).

Adanya peraturan tersebut tentu merupakan hal yang patut kita apresiasi. Diharapkan, dengan adanya peraturan pemerintah yang mewajibkan para pemilik usaha, seperti rumah makan, untuk membayar royalti kepada para musisi, maka kesejahteraan musisi dapat lebih terjamin, dan hak kekayaan intelektual yang mereka miliki terhadap karya yang mereka buat juga dapat terja ga.

Hal ini semakin penting terutama pada saat pandemi COVID-19. Pandemi COVID-19 telah membuat industri musik di Indonesia menjerit, karena para musisi tidak bisa tampil di depan öffentlich seperti tahun-tahun sebelumnya (voi.id, 16.7.2020).

Diharapkan, dengan adanya peraturan pemerintah tersebut, maka para musisi yang saat ini sedang mengalami kesulitan dapat terbantu,. Membuat Musik, Terlebih Lagi Yang Sangat Populer und Bisa Dinikmati Oleh Banyak Orang, Bukanlah Sesuatu Yang Mudah, und Dibutuhkan Banyak USAha. Sudah selayaknya, para musisi tersebut bisa mendapatkan manfaat dari karya yang mereka buat.

Selain itu, argumen lain untuk membenarkan kebijakan pengelola usaha untuk memutar musik atau lagu tanpa royalti kepada para musisi adalah, tidak sedikit dari para pengelola yang memutar musik tersebut melalui media streaming yang berbayar, seperti Spotify misalnya. Karena sudah Membayar Laanan Streaming Tersebut, maka dianggap hal Tersebut adalah sesuatu yang cukup sehingga pembayaran royalti adalah sesuatu yang kurang diperlukan.

Pandangan ini merupakan sesuatu yang sangat keliru. Berbagai layanan streaming tersebut secara eksplisit menyatakan bahwa layanan mereka hanya bisa digunakan untuk tujuan personal, dan bukan kegiatan usaha. Berdasarkan ketentuan dari layanan streaming Spotify misalnya, dijelaskan secara eksplisit bahwa layanan mereka hanya bisa digunakan untuk Hiburan pribadi dan bukan untuk penggunaan komersial. Dengan demikian, layanan streaming ini tidak boleh digunakan secara public of tempat usaha, seperti radio, toko, dan rumah makan (support.spotify.com, 15.4.2021).

Melalui ketentuan tersebut, maka sudah jelas bahwa ketentuan tersebut sejalan dengan peraturan pemerintah yang dikeluarkan oleh Präsident Joko Widodo pada bulan Maret lalu. Menggunakan layanan streaming für kepentingan komersil merupakan sesuatu yang tidak bisa dibenarkan.

Sebagai penutup, hak kekayaan intelektual, termasuk juga tentunya karya-karya seni seperti musik, merupakan hal yang patut dilindungi oleh negara. Oleh karena itu, adanya peraturan pemerintah yang bertujuan untuk menegakkan perlindungan hak kekayaan intelektual adalah sesuatu yang harus kita apresiasi, agar para pekerja seni bisa mendapat perlindungan atas karya yang mereka buat. DIharapkan, Industri Kreatif, Termasuk Juga Industri Musik, in Indonesien dapat semakin berkembang di Masa Yang akan datang.

Ursprünglich veröffentlicht hier.

Propiedad intellectual, el derecho que se debatte en el mundo por la liberación de patentes de las vacunas

Organizaciones internacionales rechazaron las medidas propuestas por la OMC. Si se aceptaran y aplicaran, sería contraproducente: profundizaría la Krise y debilitaría las bases de sustentación ante una futura pandemia.

El debatte sobre el derecho de propiedad intellectual se puso al rojo vivo con la pretendida iniciativa de liberar las patentes de las vacunas.

Sin embargo, una acción de tal magnitud podría traer aparejado un efecto contrario al deseado ya que se vulneran los esfuerzos de empresas tras haber invertido cientos de millones de dólares en investigación y desarrollo.

Sobre este tópico, die Fundación Libertad y Progreso junto con otras 26 organizaciones internacionales rechazaron las medidas propuestas vor der Organización Mundial del Comercio (OMC), tendientes a anular los derechos de propiedad intelectual (DPI). El resultado de estas medidas, si se aceptaran y aplicaran, sería contraproducente: profundizaría la Krise en la que nos encontramos y debilitaría las bases de sustentación ante una futura pandemia.

Según el Global Health Innovation Centre de Duke University, el mundo se encamina a producir 12.000 milliones de dosis of distintas vacunas necesarias para brindar inmunidad de rebaño (70% de la población mundial). Una vejación masiva sobre los derechos de propiedad intellectual afectarán los incentivos para esta producción y futuras investigaciones para el bienestar de la humanidad.

El respeto por los derechos de propiedad intellectual ist fundamental para acabar con la pandemie de la Covid-19 und reaktivar la economía. La seguridad jurídica garantizará no sólo la producción, sino también el acceso a vacunas.

Libertad y Progreso abonnieren a la declaración conjunta que establece los siguientes puntos:

*Los DPI son fundamentales para la producción a escala sostenible de vacunas;
*Los DPI son esenciales para la I&D para futuras pandemias;
*La compencia mundial, no la producción local forzada, será la que mantenga los precios bajos de las vacunas;
*Una suspensión de los DPI no tendrá efecto sobre la producción de vacunas sin una transferencia tecnológica forzada, la cual sería demasiado lenta, estaría llena de problemas legales y causaría mucho daño económico.

Am 20. April 2021 haben 217 Vacunas Anti-Covid (además de más de 600 tratamientos antivirales y terapéuticos) bajo desarrollo a nivel mundial. Este mercado competitivo e innovador se encuentra bajo riesgo con las iniciativas multilaterales anti-DPI. La escasez de vacunas en la Argentina y en otros países, no se hubiera producido o hubiera sido transitoria si los gobiernos respektive hubieran actuado con diligencia.

Las organizaciones abajo firmantes, hacemos un lamado a los gobiernos para que protejan el sistema de innovación que ha suministrado multiples vacunas y medicamentos anti-Covid en tiempo récord. De no ser así, la inversión futura para nuevos desarrollos para enfrentar las nuevas cepas de Covid-19 y futuras pandemias será menor y, por ende el costo humano será superior.

La declaración fue firmada por la Asociación de Consumidores Libres de Costa Rica, Alternate Solutions Institute de Pakistán, Austrian Economic Center de Austria, Bay Area Council Economic Institute de los Estados Unidos, Centro Mackenzie de Liberdade Econômica del Brasil, Center for Global Enterprise de los Estados Unidos, Competere de Italia, Consumer Choice Centre de Bélgica, Free Market Foundation de Sudáfrica, Fundación Eléutera de Honduras, Fundación IDEA de México, Galen Center for Health and Social Policy de Malasia, Geneva Network de Reino Unido, Imani Center for Policy and Education de Ghana, Stiftung für Informationstechnologie und Innovation de los Estados Unidos, Instituto de Ciencia Política de Colombia, Instituto de Libre Empresa del Perú, Istituto Bruno Leoni de Italia, Istituto per la Competitivà (I-Com) de Italia, KSI Strategic Institute for Asia Pacific de Malasia Libertad y Desarrollo de Chile, Libertad y Progreso de Argentina, McDonald-Laurier Institute de Canadá, Mi nimal Government Thinkers de Filipinas, Paramadina Public Policy Institute de Indonesia, Prime Institute de Pakistán und Property Rights Alliance de los Estados Unidos.

Ursprünglich veröffentlicht hier.

Die globalen Organisationen und Populisten, die darauf abzielen, COVID-Impfstofftechnologie und geistiges Eigentum zu beschlagnahmen

Als Donald Trump im September 2020 behauptete, dass jeder Amerikaner bis April 2021 Zugang zu Impfstoffen haben würde, stießen seine Äußerungen auf Hohn. Die Washington Post sagte, seine Behauptungen seien „ohne Beweise“, zitierte CNN Gesundheitsexperten, die dies sagten unmöglich, und die New York Times behauptet es würde noch ein Jahrzehnt dauern.

Jetzt, ein Jahr nach dieser Pandemie, fast die Hälfte der berechtigten Bevölkerung hat mindestens eine Impfdosis in den USA erhalten, und die Verteilung erfolgte geöffnet für jeden amerikanischen Erwachsenen.

Die Operation Warp Speed, die Steuergelder investierte und dazu beitrug, die Bürokratie auf breiter Front abzubauen, hat zu einer wirklich wunderbaren Anstrengung der Impfstofffirmen beigetragen.

Während Trumps Proklamationen schließlich wahr werden und die Frage der Impffähigkeit geklärt ist, gibt es sie jetzt Druck fordert die Biden-Administration auf, die inländische Impfstoffversorgung an Länder mit explodierenden Fällen zu übergeben.

Am Sonntag die USA erklärt es wird zusätzliche medizinische Hilfsgüter nach Indien schicken, was derzeit der Fall ist größte globale Spitze in Fällen.

Aber bei internationalen Gremien fordern Länder und Aktivistengruppen weitaus mehr: Sie wollen Biotech-Unternehmen zwingen, auf geistige Eigentumsrechte an Impfstoffen und medizinischer Technologie im Zusammenhang mit COVID zu verzichten.

Zusammen mit fast 100 anderen Ländern sind Indien und Südafrika die Architekten einer Bewegung bei der Welthandelsorganisation namens TRIPS Waiver (Trade-Related Aspects of Intellectual Property Rights).

Wenn der Verzicht ausgelöst wird, würde dies den IP-Schutz von COVID-Impfstoffen angeblich zunichte machen und es anderen Ländern ermöglichen, die von privaten Impfstofffirmen entwickelten Formeln zu kopieren, um ihre Bevölkerung zu impfen und zukünftigen Regierungen in die Hände zu spielen, die privater Innovation feindlicher gegenüberstehen.

Diese Woche die US-Handelsbeauftragte Katherine Tai getroffen mit den Leitern der verschiedenen Impfstoffhersteller, um den Vorschlag zu diskutieren, aber es ist ungewiss, ob die Biden-Regierung die Maßnahme bei der WTO unterstützen wird.

Während sich viele Unternehmen freiwillig verpflichtet haben, sie zum Selbstkostenpreis zu verkaufen oder sogar angeboten haben, Informationen mit anderen Firmen zu teilen, hätte diese Maßnahme weitreichendere Auswirkungen.

Diese Koalition strebt den Verzicht auf TRIPS an beinhaltet Ärzte ohne Grenzen, Human Rights Watch, und der Generalsekretär der Weltgesundheitsorganisation, Tedros Adhanom Ghebreyesus, der Erste unterstützte diese Bemühungen im Jahr 2020, bevor ein Coronavirus-Impfstoff zugelassen wurde.

Sie behaupten, dass, weil COVID eine solche globale Bedrohung darstellt und weil westliche Regierungen Milliarden in die Sicherung und Unterstützung der Herstellung von Impfstoffen investiert haben, Länder mit niedrigem und mittlerem Einkommen von der Last des Kaufs von Impfstoffen befreit werden sollten.

In Anbetracht des Fachwissens, das für die Entwicklung dieser Impfstoffe und der für ihre Verteilung erforderlichen Kühlhausinfrastruktur erforderlich ist, erscheint es unwahrscheinlich, dass dies außerhalb der traditionellen Beschaffungsverträge erreicht werden könnte, die wir in der Europäischen Union und den USA gesehen haben

Anstatt jedoch die bedeutsame Innovation zu feiern, die in Rekordzeit zu fast einem Dutzend weltweit zugelassener Impfstoffe zur Bekämpfung einer tödlichen Pandemie geführt hat, verbreiten diese Gruppen eine populistische Botschaft, die sogenannte „reiche“ Länder gegen arme ausspielt.

Rechte an geistigem Eigentum sind Schutzmaßnahmen, die Innovationen fördern und Innovatoren Rechtssicherheit bieten, damit sie von ihren Bemühungen profitieren und sie finanzieren können. Eine Schwächung der IP-Regeln würde den Schwächsten, die auf innovative Medikamente und Impfstoffe angewiesen sind, aktiv schaden.

Wenn die Kosten für die Erforschung und Herstellung eines COVID-Impfstoffs wirklich hoch sind $1 Mrd Wie behauptet wird, gibt es ohne Erfolgsgarantie relativ wenige Biotechnologie- oder Pharmaunternehmen, die diese Kosten tragen können.

BioNTech, das deutsche Unternehmen unter der Leitung des Ehepaars Uğur Şahin und Özlem Türeci, das sich mit Pfizer für Versuche und den Vertrieb ihres mRNA-Impfstoffs zusammengetan hat, wurde ursprünglich gegründet, um mRNA zur Heilung von Krebs zu verwenden.

Vor der Pandemie haben sie es übernommen massive Schulden und versuchten, ihre Forschung zu finanzieren. Als die Pandemie begann, stellten sie ihre Operationen um und produzierten einen der ersten mRNA-COVID-Impfstoffe, die Hunderte Millionen Menschen erhalten haben.

Mit Milliardenumsätzen an Regierungen und Millionen direkter privater Investitionen können wir davon ausgehen, dass das jetzt florierende BioNTech an der Spitze der mRNA-Krebsforschung stehen wird, die uns ein Heilmittel geben könnte. Das Gleiche gilt für die vielen seltenen und seltenen Krankheiten, die sonst keine größeren Mittel erhalten.

Wäre dies ohne den Schutz geistigen Eigentums möglich gewesen?

Moderna seinerseits hat angegeben Es wird die IP-Rechte an seinem mRNA-Impfstoff nicht durchsetzen und jegliche Forschung an diejenigen übergeben, die die Produktion steigern können. Die Entwickler des Oxford-AstraZeneca-Impfstoffs haben zugesagt verkaufe es zum Selbstkostenpreis bis die Pandemie vorbei ist.

Während dies das Narrativ der Populisten und internationalen Organisationen zerschlagen sollte, die geistige Eigentumsrechte auslöschen wollen, haben sie es stattdessen getan verdoppelt, in der erklärt wird, dass diese Unternehmen die gesamte Forschung und Entwicklung an Länder abgeben sollten, die sie benötigen.

Wenn wir diese Pandemie bekämpfen und beenden wollen, brauchen wir weiterhin Innovationen sowohl von den Impfstoffherstellern als auch von den Herstellern, die dies ermöglichen. Die Gewährung eines einmaligen Verzichts wird einen Präzedenzfall für die Annullierung von IP-Rechten für eine Vielzahl anderer Arzneimittel schaffen, was zukünftige Innovationen und Millionen potenzieller Patienten stark gefährden würde.

Gerade angesichts sich wandelnder COVID-Varianten brauchen wir alle Anreize auf den Tisch, um uns vor der nächsten Phase des Virus zu schützen. 

Anstatt zu versuchen, sie niederzureißen, die das Wunder schneller, billiger und wirksamer Impfstoffe vollbracht haben, sollten wir ihre Innovationen weiterhin unterstützen, indem wir ihre Rechte an geistigem Eigentum verteidigen.

Yaël Ossowski (@ YaelOss) ist stellvertretender Direktor des Consumer Choice Center, einer globalen Verbrauchervertretung.

Denk an die Kinder! Wie man Heilmittel für seltene Krankheiten und Kinderkrankheiten findet.

Die Europäische Kommission hat gerade eine veröffentlicht Arbeitsdokument Bewertung der EU-Strategien für Arzneimittel für seltene Leiden und Kinder. Lesen Sie hier, warum Forschungsanreize der Schlüssel zur Verlängerung des Lebens von Patienten sind:

EIN seltene Krankheit ein medizinischer Zustand ist, der die in Artikel 3 der Verordnung (EG) Nr. 141/2000 definierten Kriterien erfüllt; eine lebensbedrohliche oder chronisch schwächende Erkrankung, von der nicht mehr als 5 von 10.000 Personen in der EU betroffen sind. Obwohl sogenannte seltene Krankheiten pro Krankheit eine begrenzte Anzahl von Menschen betreffen, betreffen sie insgesamt eine Person von 17 Personen in Europa. Es gibt über 7.000 verschiedene seltene Krankheiten, an denen Patienten leiden.

Aufsichtsbehörden sehen ein „Ungleichgewicht zwischen Risiko und Ertrag“ für die Industrie, um Heilmittel und Behandlungen für diese Krankheiten zu finden. Daher haben die Regulierungsbehörden in den USA, Japan und der EU die Optionen für eine längere Marktexklusivität für Arzneimittel zur Behandlung von Krankheiten bei Kindern und seltenen Krankheiten erweitert. Im Jahr 2000 wurden die Verordnung (EG) Nr. 141/2000 und 2006 die Verordnung (EG) Nr. 1901/2006 von der Europäischen Kommission erlassen. Die „Standard“-Anreize, die der allgemeine Rechtsrahmen für Arzneimittel in der EU bietet, sind 10 Jahre Marktschutz und 20 Jahre Patentschutz. Für Kinder- und Orphan-Arzneimittel können Hersteller eine erweiterte Marktexklusivität beantragen.

Ziel dieser Strategie ist es, den Zugang der Patienten zu sicheren und erschwinglichen Arzneimitteln zu verbessern und zu beschleunigen und Innovationen in der pharmazeutischen Industrie der EU zu unterstützen. Das Hinzufügen einer verlängerten Exklusivität hat funktioniert: In den letzten 20 Jahren war ein massiver Anstieg von Orphan Drugs zu verzeichnen! Zwischen 2012 und 2017 gelangten im Vergleich zu 2000-2005 mehr als dreimal so viele Arzneimittel für seltene Leiden in die EU. Die EU-Kommission schätzt, dass durch mehr Anreize für diese Medikamente zwischen 200.000 und 440.000 zusätzliche qualitätsbereinigte Lebensjahre gewonnen wurden.

Ein zusätzlicher IP-Schutz für Orphan Drugs korreliert mit mehr Medikamenten, die auf den Markt kommen

Stimmen, die jetzt einen geringeren Schutz von Arzneimitteln für seltene Krankheiten und Kinderarzneimitteln fordern, wollen die Erfolge der letzten zwei Jahrzehnte zunichte machen. Die 142 zwischen 2000 und 2017 zugelassenen Arzneimittel für seltene Leiden haben bis zu 6,3 Millionen Patienten in der EU geholfen, ihre Gesundheitsprobleme zu heilen oder zu bewältigen.

Aber es gibt immer noch Millionen von Patienten, die auf einen Durchbruch warten, der bei der Behandlung ihrer seltenen oder pädiatrischen Krankheit helfen kann – dafür brauchen wir Anreize und keinen Populismus. Geistiges Eigentum ist der Schlüssel, um es dem Erfinder und seinen Investoren zu ermöglichen, sie für ihr enormes Risiko zu belohnen, das sie bei dem Versuch eingegangen sind, ein Heilmittel oder eine Behandlung für eine seltene Krankheit zu finden. Der Ansatz der EU zu Arzneimitteln für seltene Leiden und Kinderarzneimittel durch die Erhöhung der Anreize für Erfinder und Hersteller hat sich bewährt. Die Erfolge der letzten 20 Jahre sollten nicht durch populistische Forderungen nach einer Verstaatlichung von Forschung und geistigem Eigentum untergraben werden. Wenn uns Patienten mit seltenen Krankheiten am Herzen liegen, sollten wir die Bedeutung des Schutzes geistigen Eigentums nicht in Frage stellen, sondern ihn als Voraussetzung für zukünftige Innovationen sehen.

Etwas zusammenfassen: Denken Sie an die Kinder und medizinische Innovation ermöglichen!

Scrolle nach oben
de_DEDE