fbpx

Day: June 26, 2020

Rimuovere i bagagli a mano è una scelta insensata

“Ancora una volta l’Italia ha deciso una linea che non è condivisa da nessun altro stato europeo, e che provocherà solo disservizi e problemi ai viaggiatori. Per quanto lo scopo del provvedimento sia nobile, chiediamo un intervento del governo e degli organi competenti, affinché sia revocato il più presto possibile e venga invece presa una decisione a livello continentale sul modo migliore per gestire i bagagli a mano, promuovendo una linea comune tra gli stati membri dell’Unione Europea” Conclude Bertoletti. 

source http://meltwater.pressify.io/publication/5ef612a4fc36420004da1470/5aa837df2542970e001981f6

Rimuovere i bagagli a mano è una scelta insensata

“Ancora una volta l’Italia ha deciso una linea che non è condivisa da nessun altro stato europeo, e che provocherà solo disservizi e problemi ai viaggiatori. Per quanto lo scopo del provvedimento sia nobile, chiediamo un intervento del governo e degli organi competenti, affinché sia revocato il più presto possibile e venga invece presa una decisione a livello continentale sul modo migliore per gestire i bagagli a mano, promuovendo una linea comune tra gli stati membri dell’Unione Europea” Conclude Bertoletti. 

from Consumer Choice Center https://ift.tt/2BbaMA0

Pentingnya Perlindungan Hak Kekayaan Intelektual Untuk Mendorong Inovasi

Inovasi, terutama di bidang teknologi, merupakan hal yang sangat penting yang mendorong perkembangan peradaban manusia. Tanpa adanya inovasi, niscaya kita masih hidup seperti nenek moyang kita ribuan tahun yang lalu.

Berkat adanya inovasi, umat manusia bisa mengatasi berbagai permasalahan yang tidak mampu diselesaikan oleh leluhur kita. Melalui teknologi transportasi seperti kereta api dan pesawat terbang, batas-batas geografis tidak lagi menjadi halangan bagi manusia untuk bepergian dengan cepat.

Perkembangan teknologi di bidang medis telah memungkinkan kita memenangkan perang terhadap berbagai penyakit yang selama ribuan tahun menghantui kehidupan manusia, seperti campak, cacar, malaria dan polio. Selain itu, melalui perkembangan teknologi informasi, seperti telepon dan internet, untuk pertama kalinya dalam sejarah manusia, kita bisa berkomunikasi secara langsung dengan mereka yang tinggal ribuan kilometer dari rumah tempat kita tinggal.

Abad ke-21 ini bisa kita katakan sebagai abad inovasi teknologi, di mana kemajuan teknologi di berbagai bidang, terutama bidang medis dan teknologi informasi berkembang dengan pesat. Teknologi seperti smartphone dan transportasi online misalnya, merupakan hal yang bagi sebagian besar orang pada dekade 1990-an hingga awal dekade 2000-an, jauh di luar bayangan mereka.

Namun, inovasi tersebut tidak terjadi di seluruh negara dalam jumlah yang sama. Beberapa negara memiliki tingkat inovasi yang jauh melampaui negara-negara lainnya, dan menjadi pemimpin di bidang kemajuan teknologi.

Raksasa media Bloomberg misalnya, menerbitkan laporan tahunan mengenai Innovation Index untuk mengukur tingkat inovasi di suatu negara. Untuk mengukur tingkat inovasi tersebut, Bloomberg menggunakan tujuh indikator, yakni penemuan yang dipatenkan, jumlah personil riset, pendidikan tinggi, perusahaan teknologi, produktivitas, manufaktur dengan nilai lebih (value added manufactures), serta dana yang digunakan untuk riset dan pengembangan (Bloomberg, 18/01/2020).

Berdasarkan indikator tersebut, Bloomberg lantas memberikan nilai dari 0-100 bagi setiap negara. Pada indeks yang diterbitkan tahun 2020 ini, ada 95 negara yang diteliti. Sebagaimana yang mungkin sudah kita perkirakan, 20 negara dengan tingkat inovasi tertinggi didominasi oleh negara-negara Eropa Barat dan Skandinavia. Jerman sendiri merupakan negara yang menduduki peringkat pertama. (Bloomberg, 18/01/2020).

Melalui indeks tersebut, saya tertarik untuk melihat apakah ada relasi antara tingkat perlindungan Hak Kekayaan Intelektual (HAKI) di suatu negara dengan tingkat inovasi di negara tersebut. Untuk itu, saya mencoba membandingkan antara indeks yang diterbitkan oleh Bloomberg dengan indeks perlindungan HAKI.

Perlindungan HAKI sendiri di Indonesia masih merupakan persoalan yang sangat serius. Bila kita pergi ke berbagai pusat perbelanjaan di Jakarta atau kota-kota lainnya misalnya, dengan mudah kita bisa menemukan berbagai macam produk bajakan, baik musik, film, hingga barang-barang fashion.

Barang-barang tersebut dijual dengan bebas dan tidak ada aparat penegak hukum yang menindaknya. Padahal, Indonesia sendiri sudah memiliki jaminan hukum perlindungan Hak Kekayaan Intelektual. Dalam Pasal 1 Undang-Undang No. 28 tentang Hak Cipta misalnya, dinyatakan bahwa “Hak Cipta adalah hak eksklusif pencipta yang timbul secara otomatis berdasarkan prinsip deklaratif setelah suatu ciptaan diwujudkan dalam bentuk nyata tanpa mengurangi pembatasan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan” (Hukum Online, 2015).

Sehubungan dengan topik HAKI dalam tulisan ini, saya ingin merujuk pada International Intellectual Property Rights Index yang diterbitkan oleh Kamar Dagang Amerika Serikat (US Chamber of Commerce) pada tahun 2020. International Intellectual Property Rights Index sendiri merupakan indeks tahunan yang diterbitkan oleh Kamar Dagang Amerika Serikat untuk mengukur tingkat perlindungan HAKI di suatu negara.

Ada 9 indikator yang digunakan oleh US Chamber of Commerce dalam membuat indeks tersebut. Indikator tersebut adalah, perlindungan terhadap hak paten, hak cipta, merek dagang (trademarks), rahasia dagang (trade secrets), hak bagi pemilik HAKI untuk mengkomersialisasikan penemuannya, penegakan dari aparat penegak hukum, efisiensi dari institusi negara, serta ratifikasi dari negara tersebut terhadap Kovenan Perlindungan HAKI internasional (US Chamber of Commerce, 2020).

Hasilnya tidak mengejutkan. Dari 20 negara yang menduduki peringkat teratas dari indeks inovasi Bloomberg, 14 diantaranya juga menduduki 20 peringkat tertinggi dari indeks perlindungan HAKI yang dikeluarkan oleh Kamar Dagang Amerika Serikat. 14 negara tersebut diantaranya adalah Amerika Serikat, Britania Raya, Prancis, Jerman, Swedia, Jepang, Belanda, Irlandia, Swiss, Singapura, Italia, Korea Selatan, Australia, dan Israel (US Chamber of Commerce, 2020).

Hubungan antara perlindungan HAKI dan inovasi tentu bukan suatu hal baru yang saya temukan. Hubungan positif antara perlindungan HAKI dan inovasi merupakan hal yang sudah diketahui oleh banyak akademisi bertahun-tahun yang lalu.

Senior Fellow dari lembaga Center for Strategic and International Studies di Washington D.C., James A. Lewis misalnya, dalam jurnalnya yang berjudul “Intellectual Property Protection: Promoting Innovation in a Global Information Economy”, menulis bahwa perlindungan HAKI sangat krusial untuk mendorong inovasi. Lewis menulis bahwa, perlindungan terhadap HAKI merupakan hal yang sangat penting, terlebih lagi di dalam konteks ekonomi global yang bertumpu pada informasi, di mana penciptaan ide-ide baru merupakan aktivitas ekonomi yang paling bernilai tinggi (Lewis, 2008).

Lewis menulis bahwa, kegiatan inovasi merupakan sesuatu yang memiliki resiko tinggi. Setiap inovator, mendapatkan manfaat dari inovasi yang dibuatnya melalui penjualan produk inovasinya di masa depan. Tanpa adanya perlindungan terhadap HAKI, maka orang lain dapat dengan mudah mencuri hasil karya dari inovator tersebut, dan mendapatkan keuntungan dari ide orang lain tanpa menanggung resiko yang harus dihadapi oleh inovator karya tersebut (Lewis, 2008).

Tanpa adanya perlindungan bagi setiap orang atas ide dan hasil karyanya, maka hal tersebut akan semakin mengecilkan insentif bagi seseorang untuk berpikir kreatif dan berinovasi. Untuk apa seseorang besusah-susah mencari ide-ide baru, bila ada pihak lain yang bisa mendapat mendapat keuntungan dari mencuri hasil pemikiran orang yang memiliki ide orisinal tersebut?

Melalui perlindungan HAKI, setiap individu akan mendapatkan perlindungan untuk mendapatkan manfaat dari hasil karya dan kreatifitasnya. Dengan demikian, inovasi akan semakin meningkat karena setiap orang akan memiliki insentif yang lebih besar untuk membuahkan hasil karya baru yang akan sangat bermanfaat bagi umat manusia.

Originally published here.

Piden a AMLO reconsiderar la prohibición de cigarrillos electrónicos

CIUDAD DE MÉXICO (apro).—El Centro para la Elección de los Consumidores (CCC, por su siglas en inglés) hizo un llamado al gobierno de Andrés Manuel López Obrador a reconsiderar la prohibición de la importación y exportación de vaporizadores, a través de un decreto emitido el pasado 19 de febrero.

De acuerdo con la organización dicha medida va en contra de la necesidad de regular el mercado de dichos productos y, por el contrario, fomenta la distribución y venta de artículos ilegales, a través de cárteles y el crimen organizado.

El CCC, promotor de mercados reguladores en sector como alimentos, transportación y salud, alertó que las consecuencias de la disposición presidencial no terminan en el fomento de un mercado ilícito de sustancias y dispositivos de dudosa calidad, sino en el impacto que tendrán en los consumidores mexicanos.

“Ante la imposibilidad de comprar artículos legales y regulados, podrían caer en las garras de contrabandistas y adquirir productos que podrían provocarles enfermedades pulmonares e incluso la muerte, tal como sucedió en Estados Unidos en la segunda mitad del año pasado”, señaló en un comunicado.

Al respecto, la CCC recordó que la propia autoridad sanitaria de Estados Unidos afirmó categóricamente que la intoxicación y muertes de varios usuarios de cigarros electrónicos obedeció a la vaporización de líquidos ilícitos de THC provenientes del mercado negro.

Es decir, no respondió a la actividad propia del vapeo, sino al uso de sustancias prohibidas, lo cual podría ocurrir en México ante la negativa del gobierno por regular los vaporizadores, con todo y que se ha demostrado científicamente que son una auténtica opción para dejar el consumo de cigarros tradicionales.

Sobre este punto, la organización internacional destacó que el principal organismo de salud del Reino Unido, Public Health England, ha afirmado repetidas veces que el vapeo y el consumo de los cigarrillos electrónicos son un 95% menos perjudiciales que fumar, por lo cual los vaporizadores son parte de una política pública para combatir el tabaquismo en esa región.

La organización exhortó al gobierno mexicano a “impulsar la legalidad, escuchar las diferentes posturas y promover mercados regulados, con el objetivo de que los consumidores tengan acceso a productos de calidad y que no atenten en contra de su integridad”.

Además insistió en que el decreto presidencial mencionado causará exactamente lo que está tratando de prevenir: Más enfermedades pulmonares y constituirse en un programa de estímulo para los cárteles y el crimen organizado.

Originally published here.

El gobierno mexicano estimula a los cárteles y al crimen organizado al frenar regulación de mercados

Ciudad de México.- A través de disposiciones que obstaculizan la regulación de mercados, el gobierno de México fomenta la ilegalidad y estimula al crimen organizado, alertó el Centro para la Elección de los Consumidores (Consumer Choise Center).

Mediante un comunicado la organización, fundada en febrero de 2017 y cuyo objetivo es proteger los intereses de los consumidores en más de 100 países, lamentó que el gobierno del presidente Andrés Manuel López Obrador aplique medidas que atentan contra la libertad de elección de los consumidores e incluso contra la salud pública de México.
En ese sentido, la CCC, con oficiales centrales en Estados Unidos, Canadá y la Unión Europa, dijo que, por ejemplo, el decreto presidencial que se emitió el pasado 19 de febrero para prohibir la importación y exportación de vaporizadores va en contra de la necesidad de regular el mercado de dichos productos y, por el contrario, fomenta la distribución y venta de artículos ilegales, a través de cárteles y el crimen organizado.

La organización, promotora de mercados reguladores en sector como alimentos, transportación y salud, alertó que las consecuencias de la disposición presidencial no terminan en el fomento de un mercado ilícito de sustancias y dispositivos de dudosa calidad, sino en el impacto que tendrán en los consumidores mexicanos, quienes, ante la imposibilidad de comprar artículos legales y regulados, podrían caer en las garras de contrabandistas y adquirir productos que podrían provocarles enfermedades pulmonares e incluso la muerte, tal como sucedió en Estados Unidos en la segunda mitad del año pasado.

Al respecto, la CCC recordó que la propia autoridad sanitaria de Estados Unidos afirmó categóricamente que la intoxicación y muertes de varios usuarios de cigarros electrónicos obedeció a la vaporización de líquidos ilícitos de THC provenientes del mercado negro, es decir, no respondió a la actividad propia del vapeo, sino al uso de sustancias prohibidas, lo cual podría ocurrir en México ante la negativa del gobierno por regular los vaporizadores, con todo y que se ha demostrado científicamente que son una auténtica opción para dejar el consumo de cigarros tradicionales.
Sobre este punto, la organización internacional destacó que el principal organismo de salud del Reino Unido, Public Health England, ha afirmado repetidas veces que el vapeo y el consumo de los cigarrillos electrónicos son un 95% menos perjudiciales que fumar, por lo cual los vaporizadores son parte de una política pública para combatir el tabaquismo en esa región.
De igual manera, la CCC afirmó que a la misma conclusión ha llegado el Ministro de Salud de Nueva Zelanda y el organismo Health Canada, quienes han lanzado iniciativas públicas animando a los fumadores a pasarse al vapeo.

Sin embargo, la organización lamentó que, soslayando dichos argumentos, el gobierno mexicano determinó prohibir la importación y exportación de cigarros electrónicos, lo que implicará una serie de secuelas tanto sociales como económicas:

Contradictorio a la necesidad de fomentar mercados regulados y legales.
Restricción de elección para los consumidores mexicanos.
Riesgo de volver a fumar para quienes están en proceso de dejar el cigarro al utilizar vaporizadores.
Estímulo para los cárteles y el crimen organizado.

Debilita la salud pública de México.

Ante ello, la organización exhortó al gobierno mexicano en impulsar la legalidad, escuchar las diferentes posturas y promover mercados regulados, con el objetivo de que los consumidores tengan acceso a productos de calidad y que no atenten en contra de su integridad, pues afirmó que el decreto presidencial mencionado causará exactamente lo que está tratando de prevenir: Más enfermedades pulmonares y constituirse en un programa de estímulo para los cárteles y el crimen organizado.

El Consumer Choice Center (CCC), organización que defiende los intereses de los consumidores en más de 100 países, apoya la libertad de estilo de vida, la innovación, la privacidad, la ciencia y la elección del consumidor. Monitorea de cerca las tendencias regulatorias en ciudades como Ottawa, Washington, Bruselas, Ginebra y otros puntos críticos de regulación e informa y activa a los consumidores para luchar por #ConsumerChoice.

Originally published here.

[EU] Consultation on a new digital finance strategy for Europe / FinTech action plan – 2020

Introduction

Digitalisation is transforming the European financial system and the provision of financial services to Europe’s businesses and citizens. In the past years, the EU and the Commission embraced digitalisation and innovation in the financial sector through a combination of horizontal policies mainly implemented under the umbrella of the Digital Single Market Strategy, the Cyber Strategy and the Data economy and sectoral initiatives such as the revised Payment Services Directive, the recent political agreement on the crowdfunding regulation and the FinTech Action Plan. The initiatives set out in the FinTech Action Plan aimed in particular at supporting the scaling up of innovative services and businesses across the EU, for example through enhanced supervisory convergence to promote the uptake of new technologies by the financial industry (e.g. cloud computing) but also to enhance the security and resilience of the financial sector. All actions in the Plan have been completed.

The financial ecosystem is continuously evolving, with technologies moving from experimentation to pilot testing and deployment stage (e.g. blockchain; artificial intelligence; Internet of Things) and new market players entering the financial sector either directly or through partnering with the incumbent financial institutions. In this fast-moving environment, the Commission should ensure that European consumers and the financial industry can reap the potential of the digital transformation while mitigating the new risks digital finance may bring. The expert group on Regulatory Obstacles to Financial Innovation, established under the 2018 FinTech Action Plan, highlight these challenges in its report published in December 2019.

The Commission’s immediate political focus is on the task of fighting the coronavirus health emergency, including its economic and social consequences. On the economic side, the European financial sector has to cope with this unprecedented crisis, providing liquidity to businesses, workers and consumers impacted by a sudden drop of activity and revenues. Banks must be able to reschedule credits rapidly, through rapid and effective processes carried out fully remotely. Other financial services providers will have to play their role in the same way in the coming weeks.

Digital finance can contribute in a number of ways to tackle the COVID-19 outbreak and its consequences for citizens, businesses, and the economy at large. Indeed, digitalisation of the financial sector can be expected to accelerate as a consequence of the pandemic. The coronavirus emergency has underscored the importance of innovations in digital financial products services, including for those who are not digital native, as during the lockdown everybody is obliged to rely on remote services. At the same time, as people have access to their bank accounts and other financial services remotely, and as financial sector employees work remotely, the digital operational resilience of the financial sector has becoming even more important.

As set out in the Commission Work Programme, given the broad and fundamental nature of the challenges ahead for the financial sector, the Commission will propose in Q3 2020 a new Digital Finance Strategy/FinTech Action Plan that sets out a number of areas that public policy should focus on in the coming five years. It will also include policy measures organised under these priorities. The Commission may also add other measures in light of market developments and in coordination with other horizontal Commission initiatives already announced to further support the digital transformation of the European economy, including new policies and strategies on data, artificial intelligence, platforms and cybersecurity.


Response

Scroll to top
en_USEN