Perkembangan teknologi informasi yang semakin pesat merupakan hal yang sudah mengubah hidup miliaran orang di seluruh dunia, termasuk juga di Indonesia. Saat ini, hampir seluruh kegiatan dan keseharian yang dilakukan oleh masyarakat bisa dilakukan melalui internet secara daring, seperti memesan transportasi umum, mencari pekerjaan, menikmati tayangan film, hingga kegiatan jual beli barang yang sangat beragam melalui toko daring.
Adanya toko daring tentu merupakan hal yang sangat menguntungkan bagi jutaan konsumen di Indonesia. Melalui toko daring, konsumen memiliki pilihan barang yang sangat banyak dan beragam dari seluruh dunia, yang bisa didapatkan dengan cepat dan ringkas tanpa harus membuang-buang waktu pergi ke toko seperti di tahun-tahun sebelumnya. Tidak mengherankan, jumlah nilai transaksi di toko daring mencapai angka yang fantastis, hingga lebih dari 500 triliun rupiah pada tahun 2023 lalu (kemendag.go.id, 5/1/2024).
Semakin luasnya praktik jual beli online ini, meskipun membawa manfaat yang sangat luas kepada konsumen, hal ini juga memunculkan tantangan baru. Adanya kesempatan konsumen untuk membeli barang dari seluruh dunia membuat banyak pedagang lokal dalam hal ini juga harus bersaing dengan pedangang dari negara lain.
Untuk mengatasi hal tersebut, beberapa waktu lalu misalnya, Pemerintah Indonesia melalui Kementerian Perdagangan mengeluarkan aturan yang membatasi kebebasan konsumen di Indonesia untuk membeli barang dari luar negeri. Batasan tersebut dalam bentuk adanya nominal minimum yang diperbolehkan untuk pembelian tersebut, yakni sebesar USD 100 (cnbcindonesia.con, 27/09/2023).
Adanya aturan tersebut tentu sangat membatasi kebebasan konsumen Indonesia. Tidak jarang, ada barang tertentu yang tidak dijual di Indonesia, dan sangat dibutuhkan oleh seseorang, dan harganya tidak terlalu tinggi. Dengan demikian, melalui aturan tersebut, cara agar seseorang bisa mendapatkan barang tersebut adalah apabila ia membeli dalam jumlah besar sampai lebih dari USD 100.
Pihak yang paling dirugikan dari kebijakan ini tentu adalah konsumen menengah ke bawah. Kebebasan mereka untuk memilih produk menjadi sangat terbatas, dan bukan tdiak mungkin mereka akan dipaksa untuk membeli barang tertentu dengan kualitas yang berbeda dengan yang mereka inginkan dari dalam negeri, karena mereka tidak memiliki sumber daya bila harus membeli barang yang serupa dengan kualitas yang lebih baik dari luar negeri dalam jumlah yang banyak.
Tidak mengherankan, adanya aturan tersebut menimbulkan banyak kritik dari masyarakat, khususnya para pengguna dan konsumen toko daring. Tidak sedikit dari keluhan tersebut ditumpahkan melalui media sosial. Barang-barang yang dibeli tersebut akhirnya ditahan di bea cukai ketika masuk ke Indonesia (kumparan.com, 14/01/2024).
Adanya batasan minimum jumlah tersebut juga sangat mempengaruhi operasi berbagai toko daring di Indonesia. Shopee misalnya, yang merupakan salah satu toko daring terbesar di Indonesia, sejak aturan ini diberalakukan, beberapa waktu lalu akhirnya menutup halaman untuk pengguna dapat membeli barang dari luar negeri. Hal ini tentu sangat menyulitkan bagi konsumen (republika.co.id, 05/9/2023).
Selain itu, adanya aturan ini juga tidak akan membantu para pemilik usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) di Indonesia. Tidak sedikit misalnya, para pemilik UMKM yang memiliki model bisnis pre-order atau PO dari luar negeri, di mana mereka menyediakan beragam barang yang tidak bisa didapatkan di Indonesia. Adanya aturan tersebut tentu akan mematikan para pemilik usaha UMKM yang memiliki model bisnis tersebut.
Kebijakan pembatasan jumlah minimum pembelian barang dari luar negeri sendiri tentunya merupakan salah satu bentuk kebijakan proteksionisme. Sebagaimana dengan bentuk kebijakan proteksionisme lainnya, hal ini tentu berpotensi bisa menimbulkan berbagai kerugian, salah satunya misalnya yang paling nyata adalah terbentuknya kartel bisnis tertentu yang dapat mengatur harga dan tentunya sangat merugikan konsumen.
Adanya pembatasan minimum ini tentunya akan menguntungkan segelintir pemilik usaha tertentu karena pilihan konsumen akan semakin terbatas. Para konsumen tidak lagi memiliki pilihan untuk mendapatkan barang dari luar negeri dengan kualitas yang lebih baik dan harga yang paling murah. Belum lagi, adanya kebijakan ini juga berpotensi akan ditanggapi dengan kebijakan proteksionisme tandingan dari negara lain. Bila ada negara lain yang menerapkan kebijakan serupa untuk barang-barang ekspor dari Indonesia, tentu kerugian paling besar akan dirasakan oleh para pelaku usaha di Indonesia yang mengekspor barang-barang dagangan mereka.
Sebagai penutup, setiap aturan tentu akan ada unintended consequences yang muncul dari aturan tersebut. Mungkin niat dari pembuat kebijakan pembatasan ini adalah baik, tetapi niat baik saja tidak cukup agar suatu kebijakan dapat membawa manfaat besar bagi publik. Jangan sampai, adanya kebijakan yang diawali dari niat baik tersebut ujung-ujungnya justru menjadi kontraprodukti dan justru semakin mempersulit masyarakat untuk mengambil pilihan.
Originally published here