fbpx

Jour : 30 septembre 2021

Pentingnya Reformasi Regulasi Hak Kekayaan Intelektual di Indonesia

Perlindungan hak kekayaan intelektual merupakan salah satu permasalahan besar di negara kita. Lemahnya penegakan hukum untuk melindungi hak kekayaan intelektual membuat fenomena pembajakan sangat marak dan umum terjadi di Indonesia, baik secara offline maupun secara audacieux.

Kita tidak perlu pergi jauh-jauh untuk mengamati peristiwa tersebut. Bila kita pergi ke pusat perbelanjaan yang berada di dekat rumah kita, dengan mudah kita bisa menemukan berbagai produk bajakan yang dijual bebas, mulai dari produk-produk fashion, hingga produk-produk musik dan film. Hal yang sama juga bisa kita temukan dengan mudah di dunia maya.

Hal ini tentu merupakan masalah yang tidak kecil. Bila hak kekayaan intelektual tidak dilindungi, maka hal ini akan membawa kerugian yang besar bagi banyak pekerja kreatif dan inovator, khususnya mereka yang tinggal di Indonesia. Mereka menjadi tidak bisa mendapatkan manfaat ekonomi dari karya yang mereka buat dengan susah payah.

Tanpa adanya perlindungan hak kekayaan intelektual yang baik dan kuat, tentu industri kreatif menjadi sangat sulit atau bahkan hampir mustahil dapat berkembang.

Bila seorang inovator atau pekerja kreatif tidak bisa menikmati dan mendapatkan manfaat ekonomi dari karya yag dihasilkannya, maka tidak mustahil insentif mereka untuk berkarya akan semakin berkurang, karena karya yang mereka hasilkan dengan mudah bisa dicuri oleh pihak-pihak yang tidak bertanggung jaw.

Untuk itu, perlindungan hak kekayaan yang kuat menjadi hal yang sangat krusial yang harus ditegakkan, agar ekonomi kreatif dan inovasi di sebuah negara dapat semakin meningkat, termasuk juga tentunya di Indonesia. Dengan semakin berkembangnya ekonomi kreatif, tentu juga akan semakin banyak lapangan kerja yang terbuka, yang akan meningkatkan kesejahteraan.

Ekonomi kreatif sendiri memiliki peran yang penting dalam perekonomian Indonésie. Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik (BPS), industri kreatif merupakan salah satu sektor yang menjadi penopang pertumbuhan ekonomi nasional, dan telah menyumbangkan 7,44% Produk Domestik Bruto (PDB), dan menyerap 14,28 tenaga kerja yang ada di Indoensia (ekonomi.bisnis .com, 03/09/2021). Dengan demikian, industri kreatif adalah sekto yang sangat penting, dan bila sektor ini berkembang, maka jutaan masyarakat Indonesia yang mendapatkan manfaatnya.

Penguatan terhadap penegakan perlindungan hak kekayaan intelektual adalah hal yang sangat penting. Namun, hal tersebut bukanlah satu-satunya kebijakan penting yang harus diimplementasikan. Melindungi hak kekayaan intelektual para pekerja kreatif dan juga inovator, harus pula dibarengi dengan kepastian bahwa mereka bisa memanfaatkan kekayaan intelektual yang mereka miliki tersebut untuk mendapatkan biaya dan modal demi mengembangkan usaha yang mereka miliki.

Bila hak kekayaan intelektual para pekerja kreatif dilindungi, dan segala bentuk praktik pembajakan dapat ditindak tegas, namun mereka yang membuat karya dan memiliki kekayaan intelektual tersebut tidak bisa memanfaatkan kekayaan yang mereka miliki secara maksimal, makadu tentu kekayaan intuk mendongkre. Kalau demikian keadaannya, maka akan sangat sulit bagi para pekerja kreatif dan para inovator untuk bisa mendapatkan modal untuk mengembangkan usaha yang mereka miliki.

Untuk itu dibutuhkan reformasi yang sangat penting untuk memberikan kepastian agar para inovator dan pekerja kreatif bisa memanfaatkan kekayaan intelektual yang mereka miliki secara maksimal. Dengan demikian, mereka memiliki kesempatan yang lebih besar untuk mengembangkan usaha dan bisnis yang dijalankannya, yang tentunya juga akan semakin membuka lapangan kerja bagi banyak orang.

Beberapa pejabat negara dan pembuat kebijakan juga menaruh harapan atas perihal kebijakan reformasi tersebut. Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Menparekraf), Sandiaga Uno, misalnya, menyampaikan bahwa ia ingin agar reformasi perihal hak kekayaan intelektual itu untuk dipercepat. Salah satu yang paling penting adalah bagaimana kekayaan intelektual yang dimiliki tersebut bisa dijadikan sebagai agunan pinjaman (nasional.sindonews.com, 31/8/2021).

Menteri Sandiaga sendiri juga mengatakan bahwa, Kemenparekraf sedang menyiapkan rancangan peraturan untuk pmelaksanakan Undang-Undang Ekonomi Kreatif tahun 2019. Undang-undang tersebut mengatur skema pembiayaan yang basisnya pada kekayaan intelektual yang sudah didaftarkan ke Direktorat Jenderal Kekayaan INtelektual, Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia ( mediaindonesia.com, 26/4/2021).

Reformsi ini adalah hal yang sangat penting agar para pelaku ekonomi kreatif dan para inovator yang memiliki kekayaan intelektual tersebut dapat lebih mudah bila mereka ingin mendapatkan pembiayaan untuk dijadikan modal usaha, atau mengembangkan usaha yang dimiliki. Regulasi ini bila berhasil disahkan maka akan menjadi terobosan baru yang besar untuk mengembangkan industri kreatif di Indonesia.

Maka dari itu, perlindungan kekayaan intelektual yang kuat dan adanya reformasi regulasi yang memungkinkan para inovator dan pelaku industri kreatif untuk memanfaatkan kekayaan intelektual yang mereka miliki agar mampu membangun dan mengembangkan usahanya adalah dua hal yang tidak bisa dipisahkan. Agar kekayaan intelektual bisa dijadikan agunan pinjaman misalnya, tentu harus diikuti pula dengan perlindungan yang kuat agar kekayaan intelektual tersebut tidak bisa dicuri.

Sebagai penutup, kebijakan reformasi kekayaan intelektual ini merupakan hal yang sangat patut kita apresiasi. Diharapkan, dengan adanya reformasi regulasi ini, industri kreatif di Indonesia akan semakin berkembang, lapangan pekerjaan akan semakin meluas, dan Indonesia dapat menjadi negara yang semakin sejahtera.

Publié à l'origine ici

L'UE ne devrait pas céder aux groupes de pression qui demandent l'interdiction des produits chimiques dans les cosmétiques

Un rapide coup d'œil aux politiques de l'Union européenne montre une nette tendance à surréglementer, par précaution. Cela est particulièrement évident — bien que non limité à — dans le cas des biens de consommation et des pratiques agricoles modernes. Cependant, restreindre les OGM et les pesticides n'a pas suffi aux militants écologistes. Les produits chimiques dans les cosmétiques et les produits de soins personnels pourraient être les suivants.

De la même manière que les pesticides sont utilisés pour protéger les cultures, les produits chimiques contenus dans les cosmétiques préservent les produits de beauté, les gardent exempts de bactéries et de champignons et garantissent qu'ils durent plus longtemps. Les produits chimiques jouent un rôle important dans la rentabilité des cosmétiques. De plus, la plupart des produits chimiques sont utilisés à des niveaux sûrs et ne présentent aucun risque pour notre santé et notre bien-être. La concentration maximale autorisée de paraben, selon le Comité scientifique de l'UE pour la sécurité des consommateurs, est de 0,8. La plupart des produits de beauté utilisés sont bien en dessous de ce seuil. Les rouges à lèvres, par exemple, ne contiennent que jusqu'à 0,35 % de paraben et 0,5 % du produit chimique se trouve dans les huiles de bain, les comprimés et les sels.

Lisez entièrement l'article ici

Le pari mené par l'ONU pour freiner l'innovation dans le monde en développement ne fait que bloquer la prospérité

Pourquoi la « Convention de Stockholm » qui évite les risques approuve des interdictions nuisibles et freine les progrès là où ils sont le plus nécessaires.

Parmi les pays développés, l'un des moteurs les plus importants de la croissance économique et de la prospérité a été la capacité de nos innovateurs, scientifiques et entrepreneurs à fournir d'excellents produits aux consommateurs qui en ont besoin.

Nous n'avons qu'à penser à la avances dans la technologie des machines à laver, qui a libéré des heures de travail domestique, plastiques et les silicones, qui ont permis de produire des produits à moindre coût et de durer plus longtemps, et plus utilisation abondante de puces informatiques dans nos appareils, ce qui a permis une révolution « intelligente » dans les produits de consommation qui nous font gagner du temps et des efforts à la maison, ce qui alimente les révolutions de l'intelligence artificielle et de la technologie médicale.

Bien que ces innovations commencent également à atteindre les pays en développement, il existe des traités internationaux et des organismes de réglementation qui rendent plus difficile et plus coûteux la vente ou même l'accès à ces produits. Cela affecte considérablement la vie d'un consommateur et sa capacité à subvenir aux besoins de sa famille.

L'un de ces traités des Nations Unies est un pacte mondial peu connu connu sous le nom de Convention de Stockholm, qui vise à réglementer les substances chimiques durables ou « persistantes », et est devenu le régulateur mondial non officiel des produits industriels et de consommation et de leur composition.

De nombreuses substances et composés d'abord ciblé par la convention étaient les pesticides, les produits chimiques industriels et les sous-produits qui avaient des effets nocifs connus sur les humains ou sur l'environnement. Ceux-ci comprenaient l'aldrine, le chlordane et, plus controversé, le insecticide antipaludéen connu sous le nom de DDT.

L'idée principale derrière ces restrictions, et la convention des Nations Unies elle-même, est que ces composés mettent une éternité à se décomposer dans l'environnement, et finissent par pénétrer dans notre corps par la contamination des aliments ou de l'eau, et pourraient éventuellement constituer un danger pour les organismes.

Malheureusement, depuis le lancement de la convention en 2001, elle est passée de l'interdiction et de la restriction des substances dangereuses connues à l'application d'étiquettes prudentes ou d'injonctions complètes sur les produits chimiques utilisés dans la vie courante et avec aucun facteur de risque connu ou mesuré chez l'homme ou les espèces animales.

De plus, avec un budget international important et une surveillance limitée, les chercheurs ont noté comment la mise en œuvre financière de la convention a souvent poussé les pays en développement à adopter des restrictions ou des interdictions pour la seule garantie de financement, ce qui a été observé avec les traités liés à l'ONU sur produits de vapotage, et peut avoir quelques complications pour le commerce mondial.

Aujourd'hui dans sa 20e année, la convention s'est appuyée à plusieurs reprises sur le «principe de précaution” approche lorsqu'il s'agit de déterminer le risque, ce qui signifie que tout danger général, quel que soit le facteur de risque, doit être abandonné par excès de prudence. Cela néglige le cadre scientifique normal de l'équilibre entre le risque et l'exposition.

L'exemple de l'herbicide dichlorodiphényltrichloroéthane — connu sous le nom de DDT — présente l'un des cas les plus flagrants. Bien qu'il ait été banni dans de nombreux pays et blocs développés tels que les États-Unis et l'Union européenne, il est encore utilisé dans de nombreux pays en développement pour éliminer les insectes porteurs du paludisme et d'autres maladies. Dans ces pays, y compris l'Afrique du Sud et l'Inde, le mal possible est "largement dépassé» par sa capacité à sauver la vie d'enfants.

Le mécanisme actuel tient donc compte des souhaits des pays développés qui n'ont pas à faire face à des maladies tropicales comme le paludisme et impose cette norme à ceux qui le font. L'analyse scientifique trouvée dans les réunions mondiales de la Convention de Stockholm ne tient pas compte de ce facteur, et d'une foule d'autres.

Avec un principe de précaution comme celui-ci en place, y compris un processus mené davantage par la politique que par la science, on peut facilement voir comment la croissance économique peut être contrecarrée dans les pays qui ont encore accès aux produits que nous utilisons quotidiennement dans les pays développés.

Qu'il s'agisse de pesticides, de produits chimiques ménagers ou de plastiques, il est clair qu'un organisme de réglementation mondial pour réglementer ces substances est une force souhaitée pour le bien. Cependant, si une organisation internationale applique de mauvaises politiques sur les pays à revenu intermédiaire et faible, alors c'est un calcul qui nuit au progrès et à l'innovation potentiels dans le monde en développement.

Publié à l'origine ici

La fracture nucléaire en Europe

Les militants du climat s'opposent à son utilisation alors même que les alternatives entraînent une augmentation des émissions et une augmentation des prix de l'électricité.

La semaine dernière a été une grosse semaine pour les Fridays For Future, le groupe écologiste inspiré par Greta Thunberg. Thunberg a pris la parole lors d'un grand rassemblement à Berlin vendredi devant des centaines de milliers de followers, lançant ce qui semble être le grand retour du mouvement d'action pour le climat en Europe après des mois de restrictions sur les grands rassemblements en raison de la pandémie. En 2019, environ 6 millions de manifestants avaient rejoint le mouvement dans les rues, exigeant des changements politiques plus radicaux pour lutter contre le changement climatique. "Nous ne devons pas abandonner, il n'y a plus de retour en arrière maintenant", a déclaré Thunberg, appelant ses partisans à maintenir la pression sur les gouvernements européens.  

Mais un incident de la manifestation illustre un grand fossé en Europe sur la manière d'atteindre les objectifs du mouvement écologiste. Un écologiste pro-nucléaire a été violemment agressé par la foule environnante, faisant retirer et détruire son enseigne. Alors même que les militants pour le climat poussent à éliminer les combustibles fossiles à base de carbone, de nombreux membres du mouvement restent opposés à l'énergie nucléaire. 

Lisez entièrement l'article ici

Les arguments pour et contre les chargeurs universels

La Commission européenne pousse à établir l'USB-C en standard pour tous les téléphones

La Commission européenne est sous le feu du géant de la technologie Apple après avoir dévoilé son intention de faire des connecteurs USB-C le port de charge standard pour tous les téléphones et petits appareils électroniques vendus dans l'UE. 

L'organe exécutif du bloc "estime qu'un câble standard pour tous les appareils réduira les déchets électroniques", a rapporté France 24. Mais Apple et d'autres détracteurs affirment qu'"un chargeur à taille unique ralentirait l'innovation et créerait plus de pollution", poursuit le site d'information.

Les nouvelles règles pourraient "affecter l'ensemble du marché mondial des smartphones" si elles sont approuvées par le Parlement européen et les États membres de l'UE, qui abritent plus de 450 millions de personnes, dont "certains des consommateurs les plus riches du monde".

Lisez entièrement l'article ici

L'UE veut à nouveau unifier les chargeurs, en ciblant spécifiquement Apple

Il y a plusieurs années, l'Union européenne a annoncé qu'elle souhaitait unifier les chargeurs mobiles de tous les fabricants. L'objectif était d'éliminer les déchets électroniques, car auparavant, changer de téléphone signifie souvent obtenir un nouveau chargeur complètement différent. Mais, au moment où l'UE s'est impliquée, presque tous les grands fabricants utilisaient déjà le micro-USB. Maintenant, l'UE cherche à mettre à jour l'exigence, à moderniser pour USB-C et à supprimer la faille restante.

Quelle est la situation actuelle?

Actuellement, la réglementation européenne exige que tous les téléphones puissent se recharger via un chargeur universel (à l'origine micro-USB, mais USB-C est également éligible). Au moment de la réglementation d'origine, le seul grand fabricant à ne pas utiliser le port de chargement micro-USB était Apple, qui utilise son connecteur Lightning propriétaire. L'universalité du connecteur micro-USB est attrayante pour l'échange entre les téléphones, mais Apple a fait valoir que son connecteur Lightning lui donnait des capacités non offertes par le micro-USB.

Cet argument a permis à Apple de trouver un terrain d'entente avec les régulateurs de l'UE, en mettant un adaptateur micro-USB vers Lightning à la disposition de tous les propriétaires d'iPhone et d'iPad. Cela leur permettrait d'utiliser les chargeurs qu'ils possèdent déjà avec leurs nouveaux téléphones, ce qui est exactement ce que l'UE essayait d'accomplir. Mais, au cours des dernières années, les choses ont changé dans l'industrie, entraînant certains changements dans la réglementation.

Lisez entièrement l'article ici

Parlamento Europeu expressa preocupação a Lira e Pacheco com propriedade intelectual

Carta mostra apreensão com derrubada de veto ao trecho que exige que donos de patentes sejam obrigados a transferir o conhecimento

Parlement européen enviou nesta quinta-feira (23/9) uma carta ao Congresso em que mostra preocupação com a votação de um veto sobre propriété intellectuelle. O veto faz parte da lei assinada por Jair Bolsonaroneste mês para quebrar temporariamente patentes de vacinas e medicamentos para enfrentar emergências de saúde.

Na carta, enviada a Rodrigo Pacheco e Arthur Lira, o Parlamento Europeu se posiciona a favor da manutenção de um veto Bolsonaro ao trecho que exige que donos de patentes sejam obrigados a transferir o conhecimento das suas.

A avaliação é que, caso o veto seja derrubado, haverá uma violação de segredos industriais. A carta teve apoio do grupo internacional de defesa dos consumidores Consumer Choice Center et da Frente Parlamentar pelo Livre Mercado.

Lisez entièrement l'article ici

Le problème avec la politique des pesticides de l'EPA

Si vous êtes un consommateur régulier de mèmes, vous avez probablement entendu parler de l'atrazine, un herbicide largement utilisé. Le diffuseur de la théorie du complot Alex Jones a mentionné le produit chimique dans un segment désormais viral affirmant qu'il "rend la grenouille gay". Jones avait fondé ses affirmations sur les recherches d'un professeur de biologie de Berkeley nommé Tyrone Hayes. En 2002, Hayes a publié une étude qui prétendait trouver "des grenouilles hermaphrodites et démasculinisées après une exposition à l'herbicide atrazine à de faibles doses écologiquement pertinentes".

Bien que cela ait été déguisé en science et soit finalement devenu un mème, ces affirmations étaient non évalué par des pairs et Hayes n'a jamais fourni de données pour étayer ses conclusions. Curieusement, aucune des plus de 7 000 autres études scientifiques qui ont établi l'innocuité de l'atrazine n'ont jamais abouti à la même conclusion.

Cependant, cet herbicide a des opposants au-delà du domaine des théoriciens du complot, non pas à cause de ses caractéristiques inhérentes, mais parce que les militants écologistes tentent de plus en plus d'interdire tous les pesticides. Contrairement à l'Union européenne, les États-Unis ont maintenu une norme raisonnable sur les substances étudiées autorisées à être utilisées dans l'agriculture moderne parce que les États-Unis ne poursuivent pas l'objectif de promouvoir une politique de type « uniquement bio » . Malheureusement, cela semble changer.

Lorsque l'Environmental Protection Agency a réautorisé l'atrazine en 2019, elle l'a fait selon un mandat par la Loi fédérale sur les insecticides, les fongicides et les rodenticides pour tenir compte à la fois des risques et des avantages découlant de l'homologation. L'agence a reconsidéré le soi-disant niveau de préoccupation équivalent à la concentration, un seuil réglementaire conservateur destiné à protéger les écosystèmes aquatiques des dommages causés par l'herbicide. L'EPA a pratiquement réautorisé l'utilisation de l'atrazine par les agriculteurs après qu'une évaluation de l'EPA de 2016 a proposé d'abaisser le seuil de 10 parties par milliard à 3,4 parties par milliard. Au seuil de 3,4 ppb, l'atrazine ne peut pratiquement pas être utilisée, ce qui rend le CELOC si restrictif que la substance n'aurait pas été autorisée sur le marché intérieur.

Pour les agriculteurs, l'atrazine et d'autres herbicides tels que le glyphosate, le glufosinate et le 2,4-D jouent un rôle vital dans la destruction des mauvaises herbes qui, autrement, devraient être traitées par un travail accru du sol. Ce « travail du sol de conservation », comme on l'appelle, réduit l'érosion du sol et le ruissellement. L'augmentation du travail du sol serait, dans l'ensemble, pire pour l'environnement, car le travail du sol réduit également résidus de culture, qui aident à amortir la force des gouttes de pluie.

La lutte contre l'atrazine a entraîné la nouvelle EPA dans une bataille juridique. Suite à des poursuites intentées par des organisations environnementales contre la réautorisation de l'atrazine, l'EPA demande maintenant à la 9e Circuit Court of Appeals de San Francisco de s'instruire de reconsidérer l'évaluation précédente. Avec cette décision, l'EPA s'éloigne de l'approche scientifique de l'évaluation des risques et des avantages en contournant les périodes de réévaluation récurrentes. En choisissant un tribunal politiquement convenable pour permettre un "redémarrage" du processus, l'EPA suit la politique, pas la rigueur scientifique.

Ce n'est pas la première fois que l'EPA fait cela. Dans un mouvement tout aussi troublant, l'agence en mai utilisé un procès intenté par des organisations environnementales contre l'enregistrement du glyphosate pour demander à un 9e Circuit Court de dire à l'EPA de reconsidérer certaines décisions passées concernant l'impact écologique de l'herbicide largement utilisé. Recourir au système judiciaire pour revoir des décisions réglementaires établies risque de politiser un processus, en l'occurrence l'examen régulier de l'enregistrement des herbicides et des pesticides, qui est construit et conçu pour être apolitique et fonctionner de la même manière, peu importe qui fait partie de la White Maison.

Si l'objectif du gouvernement fédéral est de suivre une feuille de route à l'européenne pour augmenter l'agriculture biologique malgré le fait que seuls 4% des consommateurs américains demandent réellement ces produits, alors c'est une conversation politique qui devrait être ouverte et transparente.

Cependant, priver de plus en plus les agriculteurs conventionnels des outils essentiels dont ils ont besoin pour se protéger contre les menaces naturelles qui pèsent sur leurs cultures est un moyen détourné de nuire aux agriculteurs et aux consommateurs sans contribuer à une discussion fructueuse.

Ouvrir les vannes des volte-face administratives et une avalanche de procès ne profite qu'à quelques riches cabinets d'avocats. Imaginez la scène de l'agriculture biologique soumise au même genre d'examen minutieux. Serait-il productif pour une administration ultérieure et des ONG favorables à ses causes de s'attaquer sans relâche au sulfate de cuivre, un pesticide couramment utilisé en agriculture biologique ?

La diversité dans l'agriculture permet aux entrepreneurs agricoles de choisir les méthodes de production avec lesquelles ils se sentent le plus à l'aise tout en permettant aux consommateurs de choisir les denrées alimentaires qu'ils aiment le plus. Dans cette équation, le rôle des agences de protection de l'environnement est d'évaluer la science de manière impartiale, éloignée des priorités politiques du jour. Au moins à l'heure actuelle, c'est un objectif que l'EPA devrait adopter plutôt que de mettre de côté.

Publié à l'origine ici

Pourquoi les entreprises de Philadelphie devraient accueillir l'expansion d'Amazon

Le capitalisme de copinage est la véritable menace pour le succès des petites entreprises

La campagne d'embauche d'Amazon dans la région de Philadelphie, annoncé la semaine dernière, a généralement été accueilli avec approbation. Le maire de Philadelphie, Jim Kenney, a qualifié le projet d'Amazon d'embaucher 4 800 employés de "grand pas sur la voie de la reprise". Mais la deuxième plus grande entreprise du pays n'est pas sans critiques. La grandeur d'Amazon est considéré comme une raison suffisante pour justifier les soupçons et l'interr constantogation.

Mais notre tendance à associer le gros au mauvais est en partie basée sur faire croire. Les films dépeignent régulièrement des bosses, comme Jeff Bezos d'Amazon, comme des monstres (pensez à n'importe quel riche méchant d'un film Marvel), et les grands détaillants sont toujours dépeints comme engloutissant les petites boutiques (pensez à Tom Hanks dans Il y a un courrier pour vous ou Danny DeVito dans L'argent des autres).

Lisez entièrement l'article ici

proche
fr_FRFR