fbpx

Mês: AM62021 f22562021-06-03T00:22:56+00:00amquinta-feira

Perlindungan Hak Kekayaan Intelektual and Royalti para Pekerja Seni

Perlindungan Hak Kekayaan intelectual e pekerja seni adalah dua hal yang sangat terkait dan tidak bisa dipisahkan. Melalui perlindungan hak kekayaan intelectual, maka para pekerja seni, seperti musisi dan sineas, bisa menikmati manfaat dari karya yang telah mereka buat.

Tanpa adanya perlindungan terhadap hak kekayaan intelectual, hal tersebut tentu akan sangat merugikan para pekerja seni. Para pekerja seni tersebut berpotensi akan semakin sulit untuk mendapatkan manfaat dari karya yang mereka buat untuk menafkahi kehidupan mereka, karena setiap orang dapat bebas membajak atau menampilkan karya-karya mereka tanpa harus membayar para pekerja seni yang membuat karya tersebut.

Di era digital, perlindungan hak kekayaan intelectual terhadap pekerja seni tentu memiliki tantangan baru. Com base em tecnologia perkembangan, ajuste orang dapat dengan mudah membajak e memasarkan produk-product karya seni yang dibajak tersebut di dunia maya, untuk dinikmati dan disaksikan secara gratis oleh jutaan orang di seluruh dunia.

Namun, tantangan perlindungan hak kekayaan intelectual, khususnya di Indonesia, bukan hanya dari perkembangan dunia maya. Di sektor pelayanan, seperti rumah makan, kafe, karaoke, dan klub malam, kita bisa dengan mudah menemukan para pengelola tempat tersebut menampilkan música atau lagu tertentu untuk menghibur para pengunjugnya, namun tanpa memberi bayaran kepada para musisi yang membuat berbagai lagu yang dimainkan.

Hal ini tentu merupakan sesuatu yang perlu untuk diselesaikan. Terlebih lagi, karena yang menampilkan musik tersebut adalah tempat usaha yang bertujuan untuk mencari keuntungan.

Para uma reunião pessoal, em 30 de março de 2021, o presidente Joko Widodo mengeluarkan Peraturan Pemerintah Nomor 56 de março de 2021 em Pengelolaan Royalti Hak Cipta Lagu Dan/ Atau Music. Dalam Pasal 3 ayat 1 peraturan tersebut, tertulis secara eksplisit bahwa “Setiap orang dapat melakukan penggunaan secara komersial lagu dan/atau musik dalam bentuk layanan publik yang bersifat komersial dengan membayar royalti kepada pencipta, pemegang hak cipta, dan/atau pemilik hak (cnnindonesia, 04/05/2021).

Dalam peraturan tersebut, dijelaskan secara eksplisit juga dituliskan berbagai penggunaan musik atau lagu yang diharuskan untuk membayar royalti kepada para musisi yang membuat lagu tersebut. Diantaranya adalah seminar, konser, transportasi umum, pameran, nada tunggu telepon, pertokoan, bank, dan kantor, pusat rekreasi, penyiaran televisi dan radio, serta fasilitas hotel (cnnindonesia, 5/4/2021).

Adanya peraturan tersebut tentu merupakan hal yang patut kita apresiasi. Diharapkan, dengan adanya peraturan pemerintah yang mewajibkan para pemilik usaha, seperti rumah makan, untuk membayar royalti kepada para musisi, maka kesejahteraan musisi dapat lebih terjamin, e dan hak kekayaan intelectual yang mereka miliki terhadap karya yang mereka buat juga dapat semakin terjaga.

Hal ini semakin penting terutama pada saat pandemi COVID-19. Pandemi COVID-19 telah membuat industri music di Indonesia menjerit, karena para musisi tidak bisa tampil di depan public seperti tahun-tahun sebelumnya (voi.id, 16/7/2020).

Diharapkan, dengan adanya peraturan pemerintah tersebut, maka para musisi yang saat ini sedang mengalami kesulitan dapat terbantu,. Membuat musik, terlebih lagi yang sangat populer dan bisa dinikmati oleh banyak orang, bukanlah sesuatu yang mudah, dan dibutuhkan banyak usaha. Sudah selayaknya, para musisi tersebut bisa mendapatkan manfaat dari karya yang mereka buat.

Selain itu, argumen lain untuk membenarkan kebijakan pengelola usaha untuk memutar musik ou lagu tanpa royalti kepada para musisi adalah, tidak sedikit dari para pengelola yang memutar music tersebut melalui media streaming yang berbayar, seperti Spotify misalnya. Karena sudah membayar layanan streaming tersebut, maka dianggap hal tersebut adalah sesuatu yang cukup sehingga pembayaran royalti adalah sesuatu yang kurang diperlukan.

Pandangan ini merupakan sesuatu yang sangat keliru. Berbagai layanan streaming tersebut secara eksplisit menyatakan bahwa layanan mereka hanya bisa digunakan untuk tujuan personal, dan bukan kegiatan usaha. Berdasarkan ketentuan dari layanan streaming Spotify misalnya, dijelaskan secara eksplisit bahwa layanan mereka hanya bisa digunakan untuk hiburan pribadi dan bukan untuk penggunaan comercial. Com isso, o streaming de layanan não dura mais de 20 anos, publicando em tempo real, rádio independente, toko e rumah makan (support.spotify.com, 15/4/2021).

Melalui ketentuan tersebut, maka sudah jelas bahwa ketentuan tersebut sejalan dengan peraturan pemerintah yang dikeluarkan oleh Presiden Joko Widodo pada bulan Maret lalu. Menggunakan layanan streaming untuk kepentingan komersil merupakan sesuatu yang tidak bisa dibenarkan.

Sebagai penutup, hak kekayaan intelectual, termasuk juga tentunya karya-karya seni seperti musik, merupakan hal yang patut dilindungi oleh negara. Oleh karena itu, adanya peraturan pemerintah yang bertujuan untuk menegakkan perlindungan hak kekayaan intelectual adalah sesuatu yang harus kita apresiasi, agar para pekerja seni bisa mendapat perlindungan atas karya yang mereka buat. DIharapkan, indústria criativa, termasuk juga indústria musical, di Indonésia dapat semakin berkembang di masa yang akan datang.

Publicado originalmente aqui.

O sucesso da COVID nos Emirados Árabes Unidos e em Israel: lições para a UE

Agora, com a pandemia se aproximando do fim, é hora de reflexão e análise minuciosa dos estudos de caso emergentes.

Tanto os EUA quanto a UE tiveram dificuldade em ajustar seus sistemas de saúde à crise do COVID-19, ampliando efetivamente os testes desde o início e superando os encargos regulatórios pré-existentes. Países como Israel e os Emirados Árabes Unidos evitaram tais erros.

Com base nas descobertas do Consumer Choice Center publicado recentemente Índice de Resiliência Pandêmica 2021 See More, Israel e os Emirados Árabes Unidos foram considerados os países mais resistentes à pandemia. Ambos os países lideram os esforços globais de vacinação e testes. Em 31 de março de 2021, o número médio de testes diários realizados nos Emirados Árabes Unidos era de 8,29, quase três vezes maior do que na França, Finlândia, Irlanda e Portugal.

Desde o início da pandemia, os serviços de teste estão amplamente disponíveis nos Emirados Árabes Unidos. Usando as instalações e sistemas de teste mais atualizados, os Serviços de Saúde de Abu Dhabi (SEHA) e o Departamento de Saúde de Abu Dhabi implementam serviços de testes para impedir a propagação, e os testes a cada duas semanas foram incentivados. Em março de 2020, um enorme laboratório foi construído em apenas 14 dias para escalar o teste.

Os Emirados Árabes Unidos também alavancaram com sucesso as tecnologias digitais para combater a pandemia. Chat-bots, bem como vários aplicativos foram desenvolvidos e introduzidos para mitigar as consequências de um desastre de saúde. Por exemplo, foi disponibilizado o aplicativo “Médico para cada cidadão” para facilitar a comunicação entre o público e os médicos.

Israel é um claro vencedor quando se trata da velocidade das vacinações. Em 31 de março, 60,64 por cento da população de Israel recebeu pelo menos uma dose de vacina, que é principalmente a razão pela qual Israel lidera o Índice de Resiliência Pandêmica, a campanha de vacinação contra COVID de Israel começou 17 dias depois da do Reino Unido (o primeiro país do mundo a autorizar a vacina COVID-19 da Pfizer/BioNTech). Para comparação, a maioria dos países da UE levou mais de 20 dias a mais do que o Reino Unido para fazer isso. No caso da Holanda – 37 dias a mais.

Israel, por outro lado, não tem o maior número de leitos de UTI por 100 mil pessoas nem uma média muito alta de novos testes de COVID por mil pessoas. No entanto, o número de ventiladores disponíveis por 100 mil pessoas em Israel é de 40, muito maior do que, por exemplo, Polônia, Grécia, Letônia, Malta, Irlanda.

Os Emirados Árabes Unidos vêm em segundo lugar principalmente por causa de sua taxa de vacinação. Em 31 de março de 2021, os Emirados Árabes Unidos administraram 84 doses de vacinas para cada 100 pessoas. Em relação ao início da vacinação, os Emirados Árabes Unidos ultrapassaram a UE em termos de vacinação em cerca de 10 dias. O Reino Unido e os EUA (53 e 45 doses, respectivamente) seguem os Emirados Árabes Unidos. Os restantes países analisados estão significativamente atrasados.

No entanto, ninguém está realmente fora da pandemia, a menos que todos estejam fora. Israel e Emirados Árabes Unidos são as histórias de sucesso da pandemia, mas o resto do mundo precisa se atualizar para que todos possamos voltar à normalidade. A resiliência da saúde e, em particular, a capacidade de prever crises futuras e tomar as precauções necessárias são cruciais, e os erros da UE, como a lentidão no lançamento e teste de vacinas, provaram ser caros. No futuro, a União e os Estados membros precisam agir de maneira mais inteligente, seguindo o exemplo de Israel e dos Emirados Árabes Unidos.

Publicado originalmente aqui.

Propiedad intelectual, o direito que se debate no mundo pela liberação de patentes das vacunas

Organizaciones internacionales rechazaron las medidas propostas por la OMC. Se aceitar e aplicar, seria contraproducente: aprofundaria a crise e debilitaria as bases de sustentação ante uma futura pandemia.

O debate sobre o direito de propriedade intelectual foi posto à flor da pele com a pretensa iniciativa de liberar as patentes das vacunas.

No entanto, uma ação de tal magnitude poderia trazer um efeito contrário ao desejado, pois vulneraria os esforços de empresas por ter investido milhões de dólares em investigação e desenvolvimento.

Sobre este tópico, a Fundação Libertad y Progreso junto com outras 26 organizações internacionais rechazaron las medidas propostas ante a Organização Mundial del Comercio (OMC), tendentes a anular los derechos de propiedad intelectual (DPI). O resultado dessas medidas, se aceitas e aplicadas, seria contraproducente: aprofundaria a crise em que nos encontramos e debilitaria as bases de sustentação ante uma futura pandemia.

Segundo o Global Health Innovation Center da Duke University, o mundo se encaminhou para produzir 12.000 milhões de doses de vacinas distintas necessárias para levar a comunidade de rebaño (70% da população mundial). Uma visão massiva sobre os direitos de propriedade intelectual afetará os incentivos para esta produção e futuras investigações para o bem-estar da humanidade.

O respeito pelos direitos de propriedade intelectual é fundamental para acabar com a pandemia de Covid-19 e reativar a economia. A segurança jurídica não garantirá apenas a produção, mas também o acesso a vacinas.

Libertad y Progresso subscreve a declaração conjunta que estabelece os seguintes pontos:

*Os DPI são fundamentais para a produção de uma escala sustentável de vacinas;
*Los DPI são essenciais para I&D para futuras pandemias;
*A competência mundial, na produção local forjada, será a que manterá os preços baixos das vacinas;
*Uma suspensão do DPI não terá efeito sobre a produção de vacunas em caso de transferência tecnológica forçada, o que seria muito lento, estaria repleto de problemas legais e causaria muitos danos econômicos.

Em 20 de abril de 2021, havia 217 vacinas anti-Covid (além de mais de 600 tratamentos antivirais e terapêuticos) bajo desarrollo a nível mundial. Este mercado competitivo e inovador se encontra bajo riesgo com as iniciativas multilaterais anti-DPI. La escasez de vacunas en la Argentina y en otros países, no se hubiera producido o hubiera sido transitoria si los gobiernos respectivos hubieran atuado com diligência.

As organizações abaixo das firmas, fazem um chamado aos governos para que protejam o sistema de inovação que tem administrado múltiplas vacinas e medicamentos anti-Covid em tempo recorde. De não ser assim, a inversão futura para novos desenvolvimentos para enfrentar as novas cepas de Covid-19 e futuras pandemias será menor e, por fim, o custo humano será superior.

A declaração foi firmada pela Associação de Consumidores Livres da Costa Rica, Instituto de Soluções Alternativas do Paquistão, Centro Econômico Austríaco da Áustria, Instituto Econômico do Bay Area Council dos Estados Unidos, Centro Mackenzie de Liberdade Econômica do Brasil, Centro para Empresas Globais dos Estados Unidos Estados Unidos, Competere de Italia, Consumer Choice Center da Bélgica, Free Market Foundation de Sudáfrica, Fundación Eléutera de Honduras, Fundación IDEA de México, Galen Center for Health and Social Policy da Malásia, Geneva Network do Reino Unido, Imani Center for Policy and Education de Ghana, Information Technology and Innovation Foundation de los Estados Unidos, Instituto de Ciencia Política de Colombia, Instituto de Libre Empresa del Perú, Istituto Bruno Leoni de Italia, Istituto per la Competitivà (I-Com) de Italia, KSI Strategic Institute for Asia Pacific de Malasia Libertad y Desarrollo de Chile, Libertad y Progreso de Argentina, McDonald-Laurier Institute de Canadá, Mi Nimal Government Thinkers das Filipinas, Paramadina Public Policy Institute da Indonésia, Prime Institute do Paquistão e Property Rights Alliance dos Estados Unidos.

Publicado originalmente aqui.

Acabar com o monopólio de bebidas alcoólicas em Ontário seria vantajoso para todos

Repensar a LCBO poderia economizar uma quantia enorme de dinheiro para os contribuintes

Ontário está à beira de um precipício fiscal. Sob seu governo liberal anterior, a província tornou-se a mais endividado unidade sub-soberana do mundo. Infelizmente, a má formulação de políticas e a pandemia do COVID-19 apenas pioraram sua situação. A dívida de Ontário é agora superior a $404 bilhões, o que significa que a parcela de cada ontariano dessa dívida é de impressionantes $27.000.

Com o fim da pandemia, Ontário precisará de políticas ousadas para sair do buraco em que está. condição de monopólio.

Desfazer-se do LCBO e mudar para um modelo de varejo privado, de preferência sem limite, beneficiaria os consumidores, oferecendo-lhes mais opções e conveniência. Ontário atualmente tem o pior densidade de varejo de álcool no Canadá, principalmente porque a combinação de um monopólio do governo (LCBO) com um monopólio privado sancionado pelo governo (The Beer Store) limitou a escalabilidade do acesso ao varejo. Como resultado, Ontário tem apenas um ponto de venda de bebidas alcoólicas para cada 4.480 residentes. Em comparação, British Columbia tem uma loja para cada 2.741 residentes, Alberta uma para cada 1.897 residentes e Quebec uma loja para cada 1.047 residentes. Acabar com o monopólio da LCBO ajudaria a colocar Ontário em pé de igualdade com outras províncias.

Mais importante, repensar a LCBO poderia economizar uma quantia enorme de dinheiro para os contribuintes. Os custos operacionais da LCBO estão inchados. Com base em seu 2019 balanço financeiro anual, o custo médio de vendas, geral e administrativo (SG&A) por loja é de $1.515.000 por ano. Com 666 lojas corporativas, isso representa um gasto considerável para os contribuintes. Alternativas privadas, como varejistas privados de alto estoque em Alberta, custam significativamente menos para operar. Baseado no Alcanna 2019 relatório financeiro anual, o SG&A médio para uma loja privada comparável a uma LCBO é de apenas $676.000 por ano. Se pudéssemos estalar os dedos agora e fazer a transição completa da LCBO para fora do modelo operacional do governo, os contribuintes economizariam impressionantes $559 milhões por ano. Se o governo Ford está procurando por frutos fiscais acessíveis, é isso.

Sindicatos trabalhistas e outros apoiadores da distribuição nacionalizada de álcool obviamente teriam problemas com a eliminação completa da LCBO. Eles argumentarão que a privatização ameaçaria os empregos bem remunerados dos milhares de ontarianos que trabalham para a LCBO. Isso pode ser verdade, pois é improvável que varejistas privados exija que seus funcionários sejam membros do OPSEU, o Sindicato dos Empregados do Serviço Público de Ontário, que negociou salários bem acima das taxas de mercado para empregos comparáveis. Dito isso, existe uma solução de compromisso que expande a escolha do consumidor, mantém os empregos da LCBO e economiza milhões de dólares para os contribuintes. É impedir que a LCBO expanda suas operações e deixar que o setor privado preencha o vazio.

A cada ano, em média, a LCBO faz uma adição líquida de sete novas lojas em Ontário. Se a província simplesmente interrompesse a expansão da LCBO e deixasse o setor privado preencher a lacuna, os contribuintes economizariam cumulativamente $88 milhões após cinco anos. Na marca de 10 anos, esse número seria de $323 milhões. E essas economias são apenas as economias operacionais contínuas e não incluem as dezenas de milhões de dólares que a LCBO gasta para adquirir vitrines para expansão.

Essa solução de compromisso permitiria que os pontos de venda existentes da LCBO permanecessem operacionais, ao mesmo tempo em que permitiria mais acesso de varejo e um modelo híbrido avançando. Além da economia de custos, pode haver ganhos de receita. Modelos de varejo híbrido e privado para venda de álcool (como em BC e Alberta) na verdade geram mais álcool receita tributária per capita, mais um benefício para o erário público. Politicamente, esta solução de compromisso é um acéfalo. Aumentar o acesso, alimentar oportunidades de negócios privados, gerar mais receita e, ao mesmo tempo, manter o emprego atual da LCBO seria uma situação em que todos sairiam ganhando.

O governo Ford já lançou as bases para tal abordagem. Enterrada no cronograma de licenças e autorizações no orçamento de 2019, a província efetivamente abriu caminho para um mercado de álcool verdadeiramente livre e aberto em Ontário. A conta estados que “Uma pessoa pode solicitar ao Registrador uma licença para operar uma loja de varejo de bebidas alcoólicas, operar como atacadista ou entregar bebidas alcoólicas”.

Ontário abriu as portas para um modelo de varejo de álcool amigável ao consumidor que finalmente acabaria com o monopólio da LCBO. A privatização total seria melhor, mas se isso for politicamente muito grande, um acordo de livre entrada ainda beneficiaria todos os ontarianos. O governo criou a possibilidade de tal mudança. Para o bem dos consumidores e contribuintes, agora deve seguir em frente.

Publicado originalmente aqui.

Sustentabilidade: a batalha de palavras europeia

Isso significará algo diferente para todos.

A Estratégia Farm to Fork da União Europeia tenta promover a sustentabilidade no setor agrícola. Embora a sustentabilidade seja uma meta louvável em um sentido geral, ela possui uma ampla gama de significados e aplicações possíveis. As instituições da UE definiram adequadamente a palavra. 

É necessário estabelecer uma definição clara e precisa do que entendemos por sustentabilidade, pois somente isso nos permitirá estabelecer metas e objetivos concretos e desenvolver métricas claras e precisas para acompanhar nosso progresso em alcançá-los. A implicação da Comissão Europeia parece ser que a agricultura orgânica é essencialmente sinônimo de agricultura sustentável. Mas isso é uma mera suposição, feita sem referência a uma série de preocupações práticas e evitando qualquer exame científico real dos fatos. 

A página da Comissão Europeia para a agricultura sustentável elogia as melhorias em sustentabilidade feitas pela Política Agrícola Comum (PAC), mas não estabeleceu uma definição que corresponda aos objetivos alcançados pela política. A Estratégia Farm to Fork é um roteiro político que delineia certos objetivos numéricos, mas a afirmação de que esses objetivos são sustentáveis é meramente implícita. Para que os consumidores europeus entendam os objetivos da União Europeia no domínio da agricultura sustentável, precisamos estabelecer definições que descrevam concisamente o que é agricultura sustentável.

Em qualquer webinar ou mesmo a palavra sustentabilidade pode ser lançada sem sentido, muitas vezes apoiando a agenda do palestrante. Esse orador é muitas vezes um defensor da agroecologia ou do sistema de produção de alimentos que rejeita os avanços da agricultura moderna. E isso é um jogo justo; esses defensores têm que ter sua voz no processo democrático. Dito isso, muitas vezes eles estão cooptando um termo que ainda não foi bem definido. Você pode fazer o teste: pare um consumidor médio na rua e pergunte se devemos querer alimentos mais sustentáveis. Quem possivelmente discordaria disso? Sobre se devemos apoiar a alimentação sustentável sem definir o que isso significa, é como perguntar se devemos ou não querer comida “boa”. Teremos diferentes entendimentos do que isso implica. No setor orgânico, os padrões de sustentabilidade não seriam atendidos.

Pesquisas confiáveis estabeleceram que a mudança de toda a agricultura atual para a agricultura orgânica aumentaria as emissões de gases de efeito estufa (GEE) em até 70%. Os pesquisadores analisaram a mudança hipotética da produção agrícola galesa e inglesa para a orgânica e descobriram que a redução do rendimento das colheitas na agricultura orgânica aumentou a necessidade de importar alimentos do exterior. Incluindo os GEEs emitidos cultivando esses alimentos no exterior – uma parte da equação muitas vezes ignorada pelos defensores da agricultura orgânica – o total de GEEs emitidos aumentaria entre 21% no melhor cenário para um espantoso 70%, dependendo de quanto habitat natural e floresta tivessem que ser liberado para compensar o declínio causado pela mudança da Inglaterra e do País de Gales para a produção orgânica. Para a União Europeia, que visa uma meta de produção orgânica 25% na Europa, o impacto das importações do exterior seria ainda mais considerável. Embora o estudo assumisse que a Inglaterra e o País de Gales importariam a maioria dos alimentos extras de que precisavam da Europa, uma UE orgânica 25% compensaria seus déficits de produção importando alimentos cultivados em países menos desenvolvidos com métodos agrícolas consideravelmente menos eficientes, o que aumentaria significativamente emissões.

Então, enquanto estamos no negócio de definir sustentabilidade, por que não lidamos com os fatos e apenas com os fatos?

Publicado originalmente aqui.

A estratégia intervencionista de obesidade de Boris Johnson falhará. Precisamos de mais opções, não menos para emagrecer

A obesidade está aumentando como nunca antes. Mais de uma em cada quatro pessoas no Reino Unido agora é obesa, uma das forças motrizes por trás da taxa de mortalidade por Covid. No ano que antecedeu a pandemia, mais de um milhão de pessoas foram internadas em hospitais para tratamento relacionado à obesidade na Inglaterra.

Hospitalizações recordes devem ser um alerta. As autoridades de saúde pública, tanto em nível internacional quanto nacional, falharam em enfrentar a escala do desafio. A Public Health England e a Organização Mundial da Saúde são doutrinadas com visão de túnel intervencionista. Para eles, combater a obesidade é proibir coisas, tributá-las até que não existam, tentar manipular os consumidores com campanhas intrusivas e tentar envergonhá-los para que tomem “melhores decisões”. 

Os encarregados de abordar questões de saúde pública estão lendo o mesmo hinário cansado de políticas fracassadas. Eles estão apresentando ideias do século XX para lidar com os problemas do século XXI e seus fracassos têm consequências trágicas em enorme escala.

A manchete deste show terrível é o plano do governo de proibir anúncios de junk food. A política parece destinada a seguir em frente após ser incluída no Discurso da Rainha, apesar de extensas campanhas chamando a atenção para os problemas com uma abordagem excessivamente intrusiva, para a indústria de publicidade e todos os outros.

Minha mãe, uma imigrante mãe solteira da classe trabalhadora, administra uma pequena empresa de panificação em sua cozinha. Sob o plano de proibição de anúncios, minha mãe postando fotos de seus bolos no Instagram se tornará ilegal. E para quê? A própria análise do governo sobre a política constatou que ela removerá uma média de 1,7 calorias da dieta das crianças por dia – aproximadamente meio Smartie.

Questionado sobre o caso de uma padaria com conta no Instagram, o porta-voz do primeiro-ministro não soube dar garantias. Uma fonte do governo citada no Sunday Times no início deste ano disse: “haverá ressalvas – isso não se destina a pequenas empresas que anunciam bolos caseiros online. Destina-se aos gigantes da alimentação.” Ainda não está claro como uma proibição geral de um determinado tipo de publicidade pode ser legalmente direcionada a algumas empresas e não a outras.

A solução para a crise da obesidade está em mais liberdade de escolha, não menos. Mesmo esses gigantes do mal da alimentação estão respondendo à pressão pública, ansiosos para serem vistos fazendo um esforço nessa área. O McDonald's, por exemplo, está oferecendo cinco milhões de horas de treinamento de futebol em todo o Reino Unido. Até os pubs britânicos desempenham um papel importante, contribuindo com mais de £ 40 milhões todos os anos para esportes de base.

Quando as pessoas expressam sua preocupação em massa sobre uma questão específica, os atores privados se esforçam para se tornar úteis e fazer algo a respeito. Inúmeras empresas estão investindo voluntariamente em esquemas de estilo de vida saudável ou reduzindo suas próprias contribuições para a obesidade. A Tesco, por exemplo, traçou um plano ambicioso para aumentar a proporção de suas vendas de alimentos composta por produtos saudáveis para 65%, estabelecendo um exemplo para o resto da indústria à medida que o mercado muda.

As tentativas de centralizar as respostas às crises de saúde pública no governo e concentrar a responsabilidade em Whitehall falham consistentemente. A nova agenda radical da Tesco não foi motivada por burocratas da saúde pública, mas sim por demandas de seus próprios acionistas e pressão de concorrentes, incluindo Sainsbury's e Marks & Spencer. Enquanto a Public Health England está reprimindo anúncios de Marmite e fotos de cupcakes no Instagram, o grupo de pessoas que provavelmente faz mais do que qualquer outro para tornar a Grã-Bretanha mais saudável são os investidores corporativos privados.

As empresas e a escolha do consumidor são nossas aliadas, não nossas inimigas, na luta contra a obesidade. Em vez de tentar conter a maré, vamos aproveitar o poder do mercado para combater a obesidade.

Publicado originalmente aqui.

Україну названо найменш підготовленою країною до пандемії

Рейтинг Índice de Resiliência Pandêmica 2021.

Раніше цього місяця Consumer Choice Center опублікував свій перший Індекс стійкості до пандемії з метою аналізу готовності світових систем охорони здоров'я до кризи COVID-19. Індекс розглядає 40 країн через призму наступних факторів: схвалення вакцин, драйв вакцинації, а також кількість ліжок інтенсивної терапії та темпи тестування. Україна в ньому посіла останнє місце як найменш підготовлена до пандемії країна.

Стійкість країн була оцінена як найвища, вище середнього, середня, нижче середнього та найнижча. Ізраїль та Об'єднані Арабські Емірати очолили рейтинг, в той час, як більшість країн ЄС показали середній рівень готовності. Британія та США — вище середнього.

Нова Зеландія та Україна продемонстрували найнижчу стійкість. У випадку з Новою Зеландією, її відставання можна пояснити місцем розташування та строгим закриттяні к. Ч ч ч ч ч ч ч ч ч ч ч ч ч ч ч в в в вааааh блаh щата вааh блh баh бааh, иииа бааата сиаh, иита нхх land ситт счч сч сч с сч сч сч сч сч сч сч сч сч сч сч с с land ща A ба A, иаh,

Натомість у випадку з Україною — причини інші. Як пострадянська держава, яка пробиває шлях до ЄС, Україна не змогла провести ефективну реформор содзор . У поєднанні з корупцією, регуляторними бар'єрами для затвердження вакцин та неефективним управлінням, Україна не тільки не змогла на ранніх етапах ідентифікувати зростання рівня поширення ковіду та діяти відповідно, а й швидко адаптувати свою систему охорони здоров'я до новопосталих викликів.

Наприклад, Україні знадобилось на 84 дні більше ніж Великобританії і на більше ніж 50 днів більше ніж ЄС часу для того, щоб офіційно розпочати вакцинацію. Затримки більшою мірою є результатом недалекоглядності і відсутності антиковідної стратегії. Об'єднані Арабські Емірати, які є світовим лідером з вакцинації, розпочали перемовини з виробниками вакцин ще весною минулого року. Гірший ніж Україна за цим індикатором індексу результат має тільки Австралія, яка почала вакцинацію 25-го лютого 2021-го року, на день пізніше ніж Україна.

Боротьбу з вірусом також підриває мала підтримка вакцинації серед українського населення. Згідно з опитуванням, проведеним Національним харківським інститутом соціологічних досліджень Дослідженням, станом на грудень 2020-го року лише 21 відсоток українців хотіли вакцинуватись – 40 відсотків були проти.

Середня кількість щоденних тестів проведених в Україні на 100 тисяч населення (станом на 31 березня 2021-го року) – 0.51 – є однією з найнижчих у світі. Такий показник є у 4 рази нижчий за Британію, у 14 – за Словаччину, та у 11 – за Кіпр. Відповідно до результатів Індексу, тільки Індія та Бразилія тестують менше ніж Україна.

Стосовно кількості ліжок інтенсивної терапії, то Україна тут також на дні рейтингу. Перед початком ковіду в Україні було 4.1 ліжка на 100 тисяч населення. Для порівняння, в Польщі було 10.1, а в Росії – 8.3.

Враховуючи те, що є всі підстави очікувати набагато більше подібних пандемій у майбутньому, надзвичайно важливо задуматися про нашу здатність передбачати такі загрози, розпізнавати їх на ранніх термінах, реагувати, не вдаючись до паніки та поспішного прийняття рішень, уникати дефіциту засобів захисту, виявляти та коригувати регуляторні бар'єри та, загалом, підтримують стан готовності. Україна має багато чого повчитись в інших країн, і Індекс є яскравим свідченням того, що індійський сценарій пандемії є досить реальним для України, якщо ми не розв'яжемо фундаментальні проблеми в системі охорони здоров'я.

Publicado originalmente aqui.

Role para cima
pt_BRPT