fbpx

Jour : 2 mai 2022

Mewujudkan 2022 Sebagai Tahun Hak Cipta

Perlindungan hak cipta merupakan salah satu aspek yang tidak bisa dipisahkan untuk mendorong industri seni dan kreatif di sebuah negara, termasuk juga di Indonesia. Perlindungan hak cipta memberikan perlindungan terhadap para inovator dan pekerja industri kreatif dan seni agar karya mereka tidak disalahgunakan, dan juga agar mereka bisa mendapatkan manfaat dari karya yang dibuatnya.

Bila hak cipta dari sebuah karya dilindungi dengan baik, maka hal tersebut akan dapat mencegah pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab untuk membajak karya-karya tertentu yang sudah dengan susah payah dibuat oleh para pekerja seni dan industri kreatif, demi keuntungan mereka sendiri. Dengan demikian, para pekerja seni tidak akan mampu untuk mendapatkan manfaat, khususnya manfaat ekonomi, dari karya yang mereka buat.

Dengan demikian, hal ini tentu akan sangat merugikan para pekerja seni dan juga industri kreatif. Bila hal ini kerap dibiarkan, dan pembajakan semakin merajalela, tidak mustahil hal ini akan semakin mengurangi insentif seseorang untuk berkarya dan juga berinvestasi di industri seni dan industri kreatif di Indonesia, dan hal ini akan semakin mempersulit perkembangan industri seni dan industri nestri kreatif di.

Seiring dengan pertumbuhan teknologi, perlindungan hak cipta menemukan tantangan baru, salah satunya adalah dengan semakin pesatnya teknologi informasi, seperti koneksi internet yang semakin meluas. Tidak bisa dipungkiri, bahwa perkembangan teknologi telah membawa banyak manfaat besar bagi puluhan juta orang di Indonesia. Melalui internet misalnya, kita bisa dengan mudah mencari informasi dan belajar mengenai hal-hal baru.

Tetapi di sisi lain, tidak bisa dibantah juga bahwa perkembangan teknologi yang semakin besat juga membawa banyak tantangan lain yang harus kita selesaikan, salah satunya adalah pembajakan dan distribusi konten-konten bajakan, seperti musik dan film, yang semakin mudah. Dunia maya menjadi platform bagi berbagai toko audacieux untuk menjual produk-produk bajakan kepada jutaan konsomen dari seluruh penjuru negeri.

Untuk itu, berbagai upaya penegakan untuk mengimplementasikan perlindungan terhadap hak cipta harus segera dilakukan. Hal ini bisa dalam berbagai bentuk, salah satunya misalnya adalah dengan menutup berbagai website dan situs yang menyediakan berbagai layanan produk-produk bajakan seperti film dan musik. Hal ini sendiri sudah dilakukan oleh pemerintah Indonésie (cnnindonesia.com, 21/12/2019).

Tetapi, implementasi untuk penegakan perlindungan hak cipta tidak cukup dengan menutup platform atau menangkap para pelaku pembajakan. Implementasi ini juga harus diikuti dengan perbaikan sistem untuk memudahkan para pekerja seni dan kreatif di Indonesia untuk mendaftarkan karya yang mereka buat, agar hak ciptanya bisa dilindungi.

Untuk mencapai hal tersebut, Kementerian Hukum dan HAM Republik Indonesia, atau Kemenkumham mencanangkan tahun 2022 ini sebagai « Tahun Hak Cipta ». Salah satu upaya untuk mengimplementasikan program yang dicanangkan tersebut adalah melalui peluncuran aplikasi yang bernama Persetujuan Otomatis Pencatatan Hak Cipta (POPHC) di awal tahun ini (dgip.co.id, 6/1/2022).

DIlansir melalui website Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual Kemenkumham, POPHC sendiri merupakan sebuah sistem yang dibuat oleh kemenkumham, yang difungsikan untuk mempercepat proses perstujuan hak cipta. Sebelumnya, proses persetujuan ini memakan waktu kurang lebih 1 hari. Melalui POPHC, proses persetujuan hak cipta hanya butuh dalam waktu hitungan menit (dgip.co.id, 6/1/2022).

Selain ditujukan untuk mendorong kemajuan ilmu pengetahuan, seni, dan sastra, POPHC sendiri merupakan salah satu sistem yang dibuat dalam rangka untuk mendukung program Percepatan Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN). PEN sendiri merupakan salah satu rangkaian kegiatan yang dicanangkan pemerintah yang dimulai pada awal tahun 2020 lalu, untuk menanggulangi dampak negatif dari pandemi COVID-19 terhadap perekonomian (kemenkeu.go.id, 2020).

Sebagaimana kita tahu, pandemi COVID-19, yang saat ini masih berlangsung, telah membawa dampak yang sangat besar terhadap perekonomian di berbagai negara, termasuk juga sektor industri kreatif di Indonesia. Banyak para pekerja dan inovator di kreatif misalnya, yang tidak bisa mengadakan pertunjukan disebabkan karena pandemi tersebut.

Untuk itu, adanya sistem yang dapat membantu para pekerja dan inovator yang bergerak di industri kreatif merupakan sesuatu yang sangat penting, termasuk salah satunya dengan mempercepat proses pendaftaran hak cipta untuk mereka yang bekerja di industri kreatif. Dengan demikian, hak kekayaan intelektual yang mereka miliki atas karya yang dibuatnya bisa semakin terjaga.

Menteri Hukum dan HAM (Menkumham) Yasonna Laoly, juga mengatakan bahwa terdapat tren yang positif dari perkembangan ekonomi kreatif di Indonesia, dan hal ini menunjukkan potensi yang luar biasa dari ekonomi kreatif bagi ekonomi nasional di Indonesia. Salah satunya, hal ini bisa dilihat dari capaian distribusi royalti yang tinggi pada tahun 2020 sampai dengan pertengahan tahun 2021, yakni sebesar 51 miliar rupiah (kemenkeu.go.id, 2020).

Sebagai penutup, sistem yang ditujukan unutk mempercepat proses pendaftaran hak cipta merupakan salah satu hal yang sangat penting dalam rangka melindungi kekayaan intelektual yang dimiliki oleh para inovator dan pekerja kreatif di Indonesia. Semoga saja, melalui sistem POPHC, industri kreatif di Indoneia dapat semakin berkembang, dan kita dapat mewujudkan tahun 2022 sebagai tahun hak cipta.

Publié à l'origine ici

Macron n'aura que peu de temps pour savourer sa victoire

La défaite d'Emmanuel Macron contre Marine Le Pen lors de l'élection présidentielle française de dimanche a été une victoire de la modération sur l'extrémisme. Mais malgré le soupir de soulagement collectif de l'UE et de nombreux Occidentaux, le travail de Macron ne fait que commencer et le chemin à parcourir est semé d'obstacles. 

"Beaucoup de nos compatriotes ont voté pour moi non pas pour soutenir mes idées mais pour bloquer celles de l'extrême droite. Je tiens à les remercier et je sais que j'ai un devoir envers eux dans les années à venir », a déclaré Emmanuel Macron. 

La campagne du second tour de Macron a été portée par des électeurs modérés de gauche, qui voulaient empêcher une présidence Le Pen. Marine Le Pen est largement considérée comme stigmatisant les immigrés et les minorités religieuses, tout en s'opposant à l'Union européenne. Ces électeurs ont fait de lui l'un des rares présidents français à remporter un second mandat, mais sa marge de victoire - 58 % contre 41 % - n'était pas écrasante et le taux d'abstention de 28 % était le plus élevé depuis 1969.

Les plus fascinants sont les premiers chiffres sur le vote de dimanche, divisés par tranche d'âge et profession. Macron était largement soutenu par les électeurs âgés de 18 à 24 ans et de plus de 70 ans, tandis que Le Pen portait les 50 à 59 ans et était en tête à tête avec Macron dans la tranche d'âge des 25 à 34 ans. Le soutien de Le Pen provenait principalement des travailleurs et des employés du secteur privé, tandis que Macron a obtenu l'essentiel de son soutien des employés du gouvernement et des retraités. 

Lisez entièrement l'article ici

PLAN DE TRUDEAU POUR LE LOGEMENT GRIGNOTER AU LIEU DE MORDRE

Pour ceux et celles qui souhaitent un meilleur avenir, être propriétaire d'une maison a toujours été un mais principal à atteindre, surtout pour la génération des millénariaux.

Mais quand on regarde le prix des maisons qui gonflent, la concurrence massive dans l'achat des maisons et l'inflation qui gruge de plus en plus notre pouvoir d'achat, ce souhait n'est plus qu'un rêve.

Nous étions très content de voir que le logement figure au centre du budget du premier ministre libéral Justin Trudeau. Mais au lieu d'avancer de vraies réformes afin de donner à notre génération les meilleurs moyens de devenir propriétaire, nous ne voyons que des actions symboliques. 

Mettre fin à l'investissement étranger, taxer les logements vacants et accorder encore plus de crédits d'impôt à ceux qui achètent leur première maison pourrait faire plaisir à plusieurs, mais ne permet pas de livrer ce que tous les économistes sérieux nous recommandent : construire plus de maisons.

Il y a assez d'argent dans le système (encore plus avec l'inflation), mais il n'y a pas assez de construction de nouvelles maisons et de condos. L'offre est limitée, la demande est en croissance.

Or, le problème au Canada n'est pas la demande pour les propriétés résidentielles. C'est l'offre. Il n'y en a pas assez pour notre population croissantee.

Au mois de février, le prix moyen d'une maison au Québec a augmenté à 474 941 $, une hausse de 18,3 % comparée à 2021. Le prix moyen des maisons vendues à Montréal est de 18 % plus élevé et 12 % à Québec .

À Montréal, le prix moyen d'un appartement quatre et demi est de 1982 $, ce qui nécessite un salaire annuel de 89 000 $, tandis que le salaire moyen (avant impôt) ne représente que 56 220 $. 

Comme plusieurs autres l'ont reconnu, Montréal fait bonne figure, mais nous avons encore du travail à faire.

Au niveau fédéral, Ottawa aide les gens à épargner, mais ses politiques ne sont pas accordées sur l'augmentation de l'offre de logements. Le gouvernement fédéral cherche à créer un nouveau compte d'épargne libre d'impôt pour l'achat d'une première maison, qui combine les aspects fiscaux d'un CELI et d'un REER, permettant aux Canadiens de mettre plus de 40 000 $ dans leur compte, de déduire l'épargne de leurs revenus et de la retirer pour acheter une maison sans aucune obligation de remboursement.

Ils peuvent également doubler le crédit pour l'achat d'une première maison, qui passe de 5000 à 10 000 $. Bien que ces deux politiques affectent l'épargne des acheteurs, si elles ne s'attaquent pas au problème de l'insuffisance chronique de l'offre, elles ne font rien pour rendre les logements plus abordables. Au mieux, ces politiques choisiront ceux qui chercheront à franchiser la ligne d'arrivée, mais laisseront le marché immobilier de manière préventive.

D'autres politiques mises de l'avant par Ottawa, comme l'interdiction des offres à l'aveugle, ne font rien pour augmenter l'offre. William Strange, professeur d'analyse économique à l'Université de Toronto, explique qu'une interdiction des offres à l'aveugle ne réduirait pas les prix de manière significative et « qu'il n'y a aucune preuve économique que cela est important ». Les guerres d'offres sont un symptôme d'un marché de vendeurs extrême, et non la cause.

Le zonage d'exclusion est une politique qui vise à limiter le nombre de logements pouvant être intégrés sur une même propriété. Ces règles interdisent souvent les logements multifamiliaux ou fixent des exigences en matière de taille minimale des terrains. Ces restrictions finissent par limiter le nombre de logements disponibles dans une ville. 

Une interdiction de ce zonage donnerait aux propriétaires plus de liberté pour construire différents types de logements et augmenterait le parc immobilier. En plaçant fin au zonage d'exclusion, les grands centres urbains comme Montréal pourraient immédiatement permettre la construction d'un plus grand nombre de duplex et de petits appartements. 

C'est exactement ce qui se fait à l'étranger pour lutter contre la hausse des prix. 

Par exemple, l'Oregon a récemment adopté une loi qui abolit le zonage unifamilial pour toutes les communautés de plus de 10 000 habitants. Les propriétaires pourront ainsi construire différents types de logements, s'ils le souhaitent, ce qui augmentera considérablement l'offre de logements.

La Nouvelle-Zélande a accéléré le processus de restructuration de ses lois de zonage dans le but d'augmenter considérablement l'offre et d'exercer une pression à la baisse sur les prix. Le Brookings Institute, situé à Washington, décrit l'approche de la Nouvelle-Zélande en matière de logement comme un modèle idéal à suivre pour les autres pays.

Il reste beaucoup à faire si nous deviendrons un tel exemple à travers le monde. 

Les qualifiés canadiens doivent suivre l'exemple de ceux de l'étranger, et même à Montréal, et faire de la réforme du zonage une priorité essentielle pour s'attaquer à la crise du logement. 

Si notre génération souhaite le même niveau de richesse que celle de nos parents, nous aurions besoin de vraies réformes au lieu des mesurettes qui ne s'attaquent qu'aux symptômes.

Publié à l'origine ici

Une pénurie de semi-conducteurs est-elle imminente ?

Dans l'actualité de janvier fauché que les pénuries de puces informatiques ont coûté à l'économie américaine $240 milliards en 2021. La pénurie a fortement affecté l'industrie automobile, coûtant aux fabricants $210 milliards de revenus, car les voitures attendaient que les puces soient installées. Au-delà des véhicules, les semi-conducteurs sont un élément vital de l'économie, étant utilisés dans tout, des ordinateurs aux smartphones en passant par l'électronique grand public, les appareils électroménagers et l'équipement médical.

Heureusement pour les consommateurs, en réponse aux dommages économiques causés par les pénuries, Intel a annoncé qu'il construirait une usine de puces de $20 milliards dans l'Ohio pour aider à sécuriser les chaînes d'approvisionnement et à prévenir de nouvelles perturbations.

Malheureusement, ces efforts pourraient être limités si le Congrès procédait à des interdictions sévères des perfluoroalkyles (PFAS) figurant dans la PFAS Action Act. Les PFAS, un groupe de plus de 4 000 produits chimiques artificiels, constituent un élément essentiel du processus de production de semi-conducteurs, principalement en raison de leur résistance chimique et de leurs propriétés d'abaissement de la tension superficielle.

Le PFAS Action Act pourrait sérieusement compromettre la fabrication de puces et, en fin de compte, aggraver la pénurie de puces avant qu'elle ne s'améliore. Ces produits chimiques sont vitaux pour la production de semi-conducteurs, principalement l'utilisation de liquide de refroidissement, et si le Congrès continue de vouloir interdire les PFAS, les consommateurs seront dans un monde de problèmes.

Et nous savons qu'il s'agit d'un résultat prévisible de la politique PFAS autoritaire, car c'est exactement ce que nous voyons en Europe, où des responsables belges ont suspendu la production d'une usine chimique en réponse au durcissement des réglementations environnementales. Reportage effectué par Affaires Corée a souligné que les producteurs de semi-conducteurs n'ont plus que 30 à 90 jours d'inventaire de liquide de refroidissement avant de rencontrer de graves problèmes de production.

Si le Congrès continue sur la voie qu'il a empruntée, il est naïf de penser que des perturbations comme celle-ci ne se dirigent pas vers le marché américain, les consommateurs américains étant les plus touchés par le chaos.

Maintenant, cela ne veut pas dire que les producteurs de PFAS devraient pouvoir fonctionner sans aucun égard pour l'environnement et l'exposition aux PFAS. En fait, le contraire est vrai.

La réglementation des PFAS doit être effectuée du point de vue de l'eau potable, au lieu de déclarer tous les produits chimiques PFAS dangereux. Garantir des normes de production appropriées pour éviter les déversements ou les fuites aide à résoudre le problème de l'eau contaminée, tout en évitant les conséquences de l'interdiction totale des PFAS.

Ceci est particulièrement important dans le contexte des produits de consommation courante qui dépendent de ces produits chimiques dans le processus de fabrication. Si les normes de production des PFAS sont respectées et appliquées, nous pouvons résoudre le problème de l'eau potable tout en permettant l'utilisation des PFAS là où ils présentent peu ou pas de risque pour les consommateurs, comme la production de semi-conducteurs.

C'est l'acte d'équilibre que le Congrès doit prendre en compte lorsqu'il décide de la prochaine étape concernant les PFAS. Et, tout en essayant d'enfiler l'aiguille sur ce qu'est une réglementation appropriée, il doit évaluer la science émergente sur les PFAS, en évaluant non seulement les dangers, mais plus important encore, les niveaux d'exposition qui rendent les PFAS risqués pour les Américains et d'où viennent ces expositions.

Dans Décembre 2021, l'Université nationale australienne a publié une étude sur les PFAS. Les résultats fournissent des informations utiles sur ce sur quoi les efforts anti-PFAS devraient se concentrer. Pour évaluer les risques associés aux PFAS, trois communautés australiennes contaminées par les PFAS ont été choisies. L'une des principales conclusions était que l'exposition aux PFAS dans les communautés touchées provenait presque entièrement de l'eau et de la mousse anti-incendie. Ceux qui boivent de l'eau contaminée ou qui mangent des aliments cultivés localement qui sont contaminés sont les plus exposés aux problèmes de santé associés aux PFAS. Cela suggère que les processus de production médiocres comportent la plupart des risques, tandis que les risques associés aux articles de consommation et aux autres applications de PFAS sont limités.

Une approche de l'eau potable propre aux PFAS est tout à fait appropriée, mais y parvenir ne peut pas et ne devrait pas entraîner d'interdictions pures et simples de production. Si le Congrès peut affiner ses vues sur les processus de production appropriés, les consommateurs américains peuvent éviter la contamination de l'eau, sans le chaos d'une pénurie exacerbée de semi-conducteurs.

Publié à l'origine ici

Le copier-coller législatif européen sur la réforme agricole est un avertissement pour les États-Unis

La guerre n'est jamais un bon moment pour un "Je te l'avais bien dit !" Cela revient à faire un point sur la politique sur le dos de la souffrance de beaucoup.

Cela dit, la guerre de la Russie contre l'Ukraine a mis les cartes sur la table non seulement sur la dépendance énergétique de l'Europe, mais sur toute sa stratégie de développement durable.

Les militants ukrainiens ont souligné à quel point la dépendance de l'Europe vis-à-vis du pétrole et du gaz russes constitue un désastre de politique étrangère ; notamment pourquoi le revirement de politique de l'Allemagne a été si radical, sinon sans précédent.

Alors que tout le monde parle du gaz naturel et des prix à la pompe – maintenant aussi élevés que $10 par gallon dans certaines villes européennes, l'agriculture a été largement ignorée, voire négligée.

L'Europe est très dépendante des importations de produits alimentaires et de composants alimentaires en provenance de Russie et d'Ukraine. Par exemple, l'Ukraine représente 30% du commerce mondial de blé et d'orge ; 17% par rapport au maïs. L'Ukraine est également le principal partenaire commercial de l'UE pour le soja non OGM (utilisé comme alimentation animale) ainsi que pour 41% de colza et 26% de miel.

Les prix du blé et du maïs montent déjà en flèche dans le sillage de la guerre, surtout maintenant que l'Ukraine a interdit l'exportation de produits alimentaires.

Les agriculteurs ukrainiens sont confrontés à une situation désastreuse. La saison des récoltes sera inexistante pour beaucoup, car leurs champs de culture sont soit des zones de guerre, soit ils ont quitté ces champs à combattre dans la guerre. 

L'UE et les États-Unis ont sanctionné des dizaines de produits en provenance de Russie, dont les engrais ne sont pas les moindres. Pour le marché agricole européen, c'est particulièrement difficile.

Tout cela remet en question la réforme agricole européenne et sert de récit édifiant aux législateurs américains qui ont cherché à mettre en œuvre une « durabilité » similaire à d'autres occasions.

La « ferme à la fourchette » de l'UE stratégie est en chantier depuis quelques années; il représente les ambitions globales de durabilité du bloc : plus de production biologique, moins de terres agricoles, des réductions considérables de l'utilisation des pesticides.

Le paquet législatif est un tremplin pour le mouvement écologiste européen, même s'il continue de critiquer les législateurs européens pour ne va pas plus loin.

Maintenant que l'Europe est confrontée aux effets de la guerre en Ukraine, le plus grand groupe parlementaire du Parlement européen, le PPE (Groupe du Parti populaire européen) de centre-droit appelle à l'abandon de la stratégie. « Les objectifs [de la stratégie] doivent être revus, car en aucun cas l'Europe ne peut se permettre de produire moins », a récemment ajouté le président français Emmanuel Macron.

Macron met également en garde contre une "crise alimentaire profonde" dans les mois à venir.

La sortie du nucléaire de l'Allemagne n'a pas seulement provoqué les prix de l'électricité les plus élevés du monde développé et augmenté l'empreinte carbone du pays, elle a également accru la dépendance vis-à-vis des importations de gaz – en provenance de Russie.

Il semble que Bruxelles tentera désormais d'éviter une erreur similaire en ce qui concerne l'agriculture.

La pause « de la ferme à la fourchette » ne sera probablement que le début du changement agricole – alors que l'Europe manque d'aliments pour animaux sans OGM, la Commission européenne pourrait accélérer le processus d'autorisation du génie génétique en Europe.

À l'heure actuelle, très peu d'OGM sont autorisés sur le continent, en raison de la réglementation environnementale stricte de Bruxelles ; malgré les avis de la communauté scientifique.

La commission avait déjà fait allusion à un changement qui alignerait la législation européenne sur celle des États-Unis ou du Canada.

Au Congrès, la réglementation alimentaire en Europe a longtemps été vue, par certains, comme un exemple à suivre. Loi sur la protection des enfants américains contre les pesticides toxiques (PACTPA), un projet de loi présenté par Sens. Elizabeth Warren, D-Mass., Bernie Sanders, I-Vt., et Cory Booker, DN.J., réorganiserait complètement la façon dont l'Amérique approuve et autorise l'utilisation de pesticides lors de l'importation une approche « de précaution » qui a jusqu'ici freiné l'agriculture innovante en Europe.

En fait, ce projet de loi copierait et collerait les règles agricoles américaines avec celles qui existent en Europe. Une erreur capitale, comme le montre la crise actuelle en Europe.

Publié à l'origine ici

proche
fr_FRFR