fbpx

Pandemi COVID-19 saat ini masih menjadi salah satu permasalahan terbesar yang dihadapi oleh berbagai masyarakat di seluruh dunia. Setidaknya, sampai tanggal 24 November 2020, pandemi COVID-19 telah memakan korban jiwa hingga 1,4 juta orang di seluruh dunia, dan merupakan pandemi terburuk yang pernah dialami dunia pasca Flu Spanyol pada tahun 1919 – 1920 (worldometers.info, 24/11/2020).

Pandemi ini juga telah membuat miliaran orang di seluruh dunia menjadi tidak bisa menjalankan aktivitas kesehariannya. Berbagai perkantoran dan lembaga pendidikan tutup, dan memaksa jutaan pekerja dan pelajar untuk beraktivitas secara jarak jauh. Berbagai layanan jasa, seperti rumah makan, salon kecantikan, dan sarana hiburan juga dipaksa tutup oleh pemerintah di berbagai negara.

Oleh karena itu, pandemi ini bukan hanya mengambil korban jiwa, namun juga korban ekonomi. Miliaran pekerja, terutama yang bekerja di bidang jasa yang tidak bisa bekerja dari jarak jauh, harus menerima mereka diberhentikan karena tempat mereka bekerja tidak bisa lagi beroperasi. Berbagai pertokoan juga dipaksa tutup karena para konsumen cenderung untuk menyimpan uangnya demi persediaan di masa pandemi.

Dengan demikian, pengentasan pandemi COVID-19 merupakan hal yang sangat krusial dan harus bisa dicapai dengan secepat mungkin. Bila tidak, maka dampaknya bukan hanya jutaan orang kehilangan nyawa, namun puluhan juta lainnya akan terancam kehilangan mata pencaharian yang menghidupi keluarga mereka.

Satu-satunya cara yang paling ampuh untuk mengatasi pandemi tersebut tentu adalah dengan menemukan vaksin yang dapat mencegah penyebaran virus Corona. Tanpa adanya vaksin, segala usaha yang dilakukan pemerintah dalam upaya pencegahan, seperti social distancing, penggunaan masker, hingga lockdown secara nasional, tentu tidak akan optimal.

Akhir-akhir ini, beberapa perusahaan farmasi besar membuat klaim bahwa mereka telah berhasil menemukan vaksin yang terbukti efektif untuk mencegah penyebaran virus Corona. Perusahaan farmasi asal Amerika Serikat, Pfizer, pada bulan lalu mengabarkan bahwa mereka berhasil menemukan vaksin yang sudah teruji efektivitasnya hingga 95%. Selain itu, perusahaan AstraZeneca yang bekerja sama dengan Universitas Oxford juga mengabarkan bahwa mereka berhasil membuat vaksin yang teruji efektivitasnya hingga 90% (Zeenews.india.com, 23/11/2020).

Hal ini tentu merupakan perkembangan yang patut diapresiasi. Dengan adanya vaksin tersebut, diharapkan kita dapat menyelesaikan pandemi ini, sehingga ekonomi bisa berjalan kembali seperti sedia kala, dan kita semua bisa kembali beraktivitas seperti tahun-tahun sebelumnya.

Namun, beberapa kelompok kepentingan menginginkan pemerintah untuk mengatur secara ketat mengenai produksi dan distribusi dari vaksin tersebut. Di Eropa misalnya, beberapa kelompok kepentingan menginginkan adanya kebijakan seperti kontrol harga terhadap vaksin tersebut, salah satunya adalah dari organisasi Médecins Sans Frontières (MSF), atau yang juga dikenal dengan nama Doctor Without Borders (lek.com, 14/10/2020).

Diharapkan, melalui kebijakan kontrol harga tersebut, perusahaan farmasi tidak bisa menerapkan harga sekehendak diri mereka sendiri. Dengan demikian akses terhadap vaksin tersebut bisa semakin luas di masyarakat. Lantas, apakah kebijakan tersebut adalah sesuatu yang tepat.

Untuk menjawab pertanyaan tersebut, nyatanya, kebijakan kontrol harga atau price controls adalah kebijakan yang pernah dilakukan oleh beberapa negara Eropa beberapa dekade lalu. Pada dekade 1980-an, banyak negara Eropa yang menerapkan kontrol harga terhadap obat-obatan medis.

Hasilnya, inovasi obat-obatan medis di Eropa menjadi berkurang drastis. Pada tahun 1970-an, negara-negara Eropa memproduksi lebih dari 50% obat-obatan medis terbarukan. Namun, saat ini, setelah kebijakan kontrol harga terhadap obat-obatan medis, produksi tersebut menjadi menurun hingga 33% (mcall.com, 19/05/2020).

Berbeda dengan negara-negara Eropa, Amerika Serikat justru tidak menerapkan kebijakan kontrol harga terhadap obat-obatan medis.

Akibatnya, perusahaan-perusahaan farmasi memiliki insentif yang sangat tinggi untuk pindah, dan memproduksi obat-obatan baru di negeri Paman Sam tersebut. Saat ini, Amerika Serikat adalah negara yang menjadi pemimpin inovasi di bidang medis dan obat-obatan terbarukan (mcall.com, 19/05/2020).

Hal ini tentu adalah sesuatu yang berbahaya, terutama ketika dunia sangat membutuhkan produksi vaksin yang sangat berlimpah di masa pandemi sekarang ini. Kebijakan kontrol harga di Eropa telah terbukti mengurangi insentif para inovator untuk berinovasi memproduksi obat-obatan medis baru yang sangat dibutuhkan oleh dunia.

Pandemi COVID-19 saat ini merupakan tantangan kesehatan publik yang terbesar yang dialami oleh dunia. Untuk itu, para pembuat kebijakan harus sangat berhati-hati dalam menerapkan kebijakan terkait dengan vaksin dan obat-obatan medis yang sangat dibutuhkan untuk mengakhiri pandemi tersebut. Jangan sampai, kebijakan yang bertujuan untuk membuka akses seluas-luasnya terhadap obat-obatan dan produk-produk medis, justru berakhr pada berkurangnya insentif bagi para inovator untuk berinovasi dan berlomba-lomba untuk menyelesaikan pandemi ini.

Originally published here.

Share

Follow:

More Posts

Subscribe to our Newsletter

Scroll to top
en_USEN