Fathin Arif sebelumnya merupakan perokok berat. Sebelum menggunakan rokok elektrik, atau yang juga dikenal dengan vape, ia biasanya menghabiskan 1 hingga 2 bungkus rokok per hari. Setiap ia selesai makan misalnya, selalu diikuti dengan menghisap rokok.
Tetapi hal tersebut berubah ketika ia mencoba beralih ke rokok elektrik. Meskipun di awal terasa agak aneh, namun kini ia menjadi terbiasa. Salah satu niat awal Fathin untuk beralih vape adalah karena ia ingin mengurangi konsumsi rokok secara drastis. Setelah menggunakan vape selama enam bulan, ia merasa nafasnya terasa lebih lega dan lebih segar ketika bangun tidur (cnnindonesia.com, 5/10/2019).
Kisah hidup merokok Fathin Arif sebelum beralih ke vape tentu merupakan hal yang secara umum bisa kita temukan di Indonesia dengan mudah. Tidak mengherankan, Indonesia merupakan salah satu negara dengan jumlah populasi perokok terbesar di dunia. Berdasarkan data Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, pada tahun 2023 lalu saja, ada sekitar 70 juta jumlah perokok aktif di Indonesia, di mana hal ini tentunya akan menyebabkan masalah kesehatan yang serius (kemkes.go.id, 29/5/2024).
Dari jumlah tersebut, berdasarkan laporan dari The Global State of Tobacco Harm Reduction (GSTHR) tahun 2021, 48,6% perokok di Indonesia pada dasarnya ingin berhenti merokok. Sayangnya, bila kita melihat data dari Badan Pusat Statistik (BPS), mereka yang berhasil berhenti merokok jumlahnya sangat kecil, yakni hanya sekitar 0,3% saja (republika.co.id, 5/5/2021).
Angka 48,6% tentu bukan jumlah yang kecil. Bila perokok aktif di Indonesia bisa berkurang hampir setengahnya, hal ini tentu akan membawa dampak yang positif terhadap kesehatan publik di Indonesia, serta juga akan semakin mengurangi beban pemerintah untuk biaya kesehatan. Namun sayangnya, berbagai kebijakan tembakau di Indonesia fokusnya selalu pada upaya pembatasan, seperti larangan perusahaan rokok untuk memasang iklan di tempat tertentu, dan mengenakan cukai yang tinggi terhadap rokok. Kebijakan yang berfokus pada upaya harm reduction seakan kerap dipinggirkan oleh para pembuat kebijakan di Indonesia.
Padahal, kebijakan yang berfokus pada harm reduction merupakan hal yang sangat penting dalam upaya untuk mengurangi jumlah konsumsi rokok. Salah satunya adalah melalui produk nikotin alternatif seperti vape. Hal ini dikarenakan vape merupakan produk yang sudah terbukti 95% lebih tidak berbahaya bila dibandingkan dengan rokok konvensional yang dibakar.
Berdasarkan laporan yang dikeluarkan oleh lembaga kesehatan publik asal Inggris, Public Health England (PHE), rokok elektrik merupakan produk yang 95% jauh lebih tidak berbahaya dibandingkan dengan rokok konvensional yang dibakar (theguardian.com, 28/12/2018). Dengan demikian, lembaga kesehatan seperti National Health Service (NHS) di Britania Raya misalnya, mendorong para perokok untuk segera beralih ke rokok elektrik yang jauh lebih tidak berbahaya (nhs.uk, 10/10/2022).
Hal yang sama juga diadopsi oleh Swedia. Negara Skandinavia tersebut juga mengadopsi kebijakan harm reduction untuk mengatasi konsumsi rokok di negara tersebut. Dalam hal ini, pembuat kebijakan di Swedia mengadvokasi warganya untuk beralih kepada produk nikotin alternatif seperti snus, pouches, dan vape. Kebijakan tersebut menunjukkan hasil yag sangat positif. Tingkat perokok aktif di Swedia sebesar 7,8%, atau sekitar hanya sepertiga dari tingkat perokok rata-rata negara Uni Eropa. (antaranews.com, 25/3/2025).
Tidak hanya Inggris dan Swedia, berbagai negara lain juga mengambil langkah kebijakan yang berfokus pada harm reduction untuk mengatasi persoalan rokok. Selandia Baru misalnya, mengalami jumlah penurunan perokok aktif dari 12,2% di tahun 2018, menjadi 6,9% di tahun 2024 melalui promosi produk nikotin alternatif seperti vape. Selain itu, Jepang juga mengalami penurunan jumlah perokok hingga 43% dari tahun 2015 ke tahun 2020 karena banyak dari perokok tersebut beralih ke produk nikotin alteranatif. (antaranews.com, 25/3/2025).
Untuk itu, adanya upaya untuk membentuk penyeragaman kebijakan penanggulangan rokok dalam skala internasional seperti Framework Convention on Tobacco Control (FCTC) oleh Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) adalah langkah yang kurang tepat. Pakta tersebut sendiri berisi berbagai penduan dan juga kewajiban bagi negara-negara yang sudah meratifikasinya dalam upaya untuk mengurangi konsumsi rokok. Beberapa diantaranya adalah melalui pajak cukai yang tinggi, mendorong edukasi publik terkait dengan bahaya rokok, melarang seluruh iklan dan izin sponsor untuk perusahaan rokok secara komprehensif, implementasi larangan merokok di berbagai tempat seperti tempat kerja & transportasi publik, dan lain sebagainya (FCTC, May 2021).
Untungnya, Indonesia sendiri belum meratifikasi pakta yang dikeluarkan oleh WHO tersebut. Meskipun demikian, tidak sedikit pihak-pihak yang mengampanyekan pentingnya Indonesia untuk meratifikasi pakta tersebut. Kementerian Kesehatan misalnya, merupakan salah satu lembaga yang kerap mendorong agar Indonesia segera meratifikasi pakta tersebut (tirto.id, 25/3/2019).
Kebijakan kesehatan publik sendiri merupakan hal yang sangat kompleks yang memiliki situasi dan kondisi yang berbeda dari satu negara ke negara lain. Untuk itu, adanya otonomi setiap negara untuk menyusun kebijakan kesehatan publiknya masing-masing, termasuk juga kebijakan upaya pengendalian konsumsi rokok, adalah hal yang sangat penting. Jangan sampai, melalui pakta internasional tersebut, kedaulatan negara kita untuk menyusun kebijakan kesehatan publik Indonesia menjadi terancam. Terlebih lagi, upaya kebijakan yang berfokus pada harm reduction tidak menjadi hal yang diadopsi oleh FCTC.
Mengambil contoh dari kebijakan upaya pengendalian dampak buruk dari rokok di negara lain, adanya kebijakan yang berfokus pada harm reduction untuk mengurangi jumlah perokok aktif adalah hal yang sangat penting. Langkah ini sudah terbukti di berbagai negara seperti Britania Raya, Swedia, Jepang, dan Selandia Baru.
Hal ini bisa dilakukan dalam berbagai bentuk. Misalnya, dengan tidak menyamakan jumlah pajak cukai antara rokok konvensional dan juga produk nikotin alternatif di Indonesia, agar produk tersebut bisa semakin terjangkau, khususnya bagi masyarakat kelas menengah ke bawah, untuk membantu mereka berhenti merokok. Selain itu, upaya dari organisasi kesehatan untuk mengampanyekan dan menyarankan agar para perokok aktif segera beralih ke produk nikotin alternatif yang jauh lebih tidak berbahaya, seperti yang dilakukan oleh NHS di Britainia Raya, juga hal yang penting.
Bila Indonesia bisa menyusun kebijakan yang berfokus pada harm reduction, maka akan semakin banyak orang-orang seperti Fathin Arif yang beralih ke produk alternatif lain yang lebih tidka berbahaya. Terlebih lagi, mengingat hampir dari setengah perokok aktif di Indonesia pada dasarnya ingin berhenti mengonsumsi rokok.
Jangan sampai, kebijakan kesehatan pubik kita terjerumus ke dalam dogmatisme bahwa seakan hanya pelarangan dan pembatasan akses terhadap rokok saja yang bisa mengurangi jumlah perokok aktif. Sudah terbukti bahwa upaya kita dalam menanggulangi jumlah perokok gagal untuk mencapai hasil yang signifikan. Sudah waktunya, para pengambil kebijakan di Indonesia membuka diri terhadap berbagai inovasi dan solusi baru, salah satunya adalah upaya mengurangi jumlah perokok melalui kebijakan harm reduction dengan menggunakan produk-produk nikotin alternatif yang lebih tidak berbahaya.
Originally published here