Protes Anti Pajak dan Perlawanan Terhadap Kebijakan Sewenang-wenang

Beberapa waktu yang lalu, terjadi serangkaian protes besar yang terjadi di berbagai daerah di Indonesia. Protes tersebut terjadi secara spontan dan banyak diinisiasi oleh para pedagang kecil. Penyebab utama dari banyaknya demo besar tersebut antara lain adalah adanya kebijakan sepihak untuk meningkatkan pajak daerah, yang dikenakan oleh pemerintah daerah di banyak tempat di Indonesia.

Di kota Pati, Jawa Tengah misalnya, beberapa waktu lalu terjadi demonstrasi besar-besaran yang dilakukan oleh berbagai lapisan masyarakat, mulai dari pedagang, aktivis, dan lain sebagainya. Demonstrasi besar-besaran ini muncul disebabkan karena kebijakan dari bupati Pati, Sudewo, yang menerapkan kebijakan kenaikan pajak bumi dan bangunan (PBB) sebesar 250% (jawapos.com, 13/8/2025).

Bupati Sudewo sendiri menyatakan bahwa kenaikan yang ia terapkan ini disebabkan Pati memiliki pendapatan keuangan yang sangat terbatas. Misalnya, pajak daerah merupakan salah satu sumber utama begi pendapatan daerah di Indonesia, dan untuk di daerah Pati sendiri, pendapatan pemerintah daerah dari pajak daerah hanya sebesar 14%, dari pendapatan, sementara anggaran untuk pegawai saja mencapai 47% dari keseluruhan anggaran pemerintah daerah Pati (cnnindonesia.com, 14/8/2025).

Pada akhirnya, karena demonstrasi yang semakin meluas, bupati Pati sendiri membatalkan kebijakan kenaikan pajak bumi dan bangunan tersebut. Tetapi, masyarakat Pati sendiri tidak puas, dan menuntut agar bupati mereka mengundurkan diri dari jabatannya sesegera mungkin. Langkah ini yang belum diambil dan disetujui oleh bupati tersebut.

Tidak hanya di Pati, di kota Cirebon misalnya, demonstrasi muncul karena pemerintah kota tersebut menerapkan kenaikan pajak secara mendadak  hingga 1.000 persen. Hal ini tentu merupakan kebijakan yang sewenang-wenang dan sangat memberatkan masyarakat. Salah satu warga kota Cirebon misalnya, menyatakan kepada media bahwa tahun lalu ia hanya membayar pajak rumahnya sebesar 6,5 juta rupiah, sementara saat ini ia terancam harus membayar pajak bumi dan bangunan kepada pemerintah kota Cirebon sebesar 65 juta rupiah, atau naik 10 kali lipat (tempo.co, 15/8/2025).

Menanggapi protes dari warga tersebut, walikota Cirebon Effendi Edo justru merespon dengan menyatakan bahwa akan memberikan diskon pajak sebesar 50% kepada warga di kotanya. Ia sendiri meyatakan bahwa akan mengevaluasi kebijakan kenaikan pajak secara sangat drastis tersebut (kompas.com, 18/8/2025).

Sementara itu, di kota Bone, provinsi Sulawesi Selatan, terdapat juga kejadian yang serupa, di mana pajak bumi dan bangunan di daerah tersebut tahun ini dinaikkan sebesar 300% (liputan6.com, 19/8/2025). Menanggapi hal ini, warga Bone menyatakan bahwa kenaikan ini tidak proporsional, dan juga tidak mempertimbangkan daya beli masyarakat Bone di tengah masalah ekonomi yang melanda. Karena adanya protes besar dari warga tersebut, pemerintah daerah kabupaten Bone memutuskan untuk menunda kenaikan pajak tersebut. (tempo.co, 20/8/2025).

Adanya berbagai upaya dari pemerintah daerah untuk menaikkan pajak daerah secara signifikan tersebut tentu merupakan hal yang sangat mengkhawatirkan. Untungnya, penduduk yang tinggal di daerah-daerah tersebut tidak takut dan berani melawan. Tidak hanya menuntut aturan tersebut dicabut, mereka seperti warga Pati juga menuntut agar bupati di daerahnya untuk mundur. Terkait dengan bupati Pati misalnya, belakangan akhirnya muncul dugaan pemimpin daerah tersebut melakukan tindakan korupsi (detik.com, 2/5/2025).

Meski sorotan publik dan media tertuju pada aksi massa, yang lebih penting untuk dilihat  adalah akar munculnya kebijakan tersebut. Kenaikan pajak ekstrem mencerminkan adanya ketidakefisienan dari manajemen fiskal daerah. Beban pendanaan birokrasi yang membengkak sering kali ditutupi lewat pungutan kepada masyarakat, bukan lewat perbaikan efisiensi. Struktur belanja yang gemuk, misalnya lebih dari 40% anggaran digunakan untuk gaji pegawai di beberapa daerah, menekan ruang fiskal untuk pembangunan infrastruktur dan layanan publik.

Kenaikan pajak yang mendadak juga mengganggu daya beli masyarakat. Bagi kelas menengah bawah, lonjakan pajak bumi dan bangunan (PBB) langsung menggerus pendapatan disposabel, sementara kelompok paling miskin merasakan dampak paling berat. Hal ini berpotensi memperlebar ketimpangan dan menghambat mobilitas sosial. Pajak properti yang diterapkan tanpa mempertimbangkan kemampuan bayar dapat bersifat regresif, membebani rumah tangga dengan aset tetapi pendapatan terbatas.

Selain itu, kepastian hukum dan tata kelola yang buruk meningkatkan risiko distorsi terhadap investasi dan pembangunan. Kebijakan yang berubah drastis tanpa partisipasi publik menciptakan ketidakpastian bagi pemilik usaha kecil maupun pengembang perumahan. Alih-alih menciptakan iklim yang kondusif bagi pertumbuhan ekonomi daerah, langkah-langkah ini justru bisa menghambat penciptaan lapangan kerja dan memperlambat pertumbuhan usaha, baik sektor informal maupun formal.

Solusi yang diperlukan bukan sekadar menunda kenaikan pajak, tetapi mereformasi tata kelola keuangan daerah. Pemerintah daerah perlu mengefisienkan belanja rutin dan melakukan reformasi birokrasi agar anggaran publik tidak terserap habis oleh belanja pegawai. Disiplin fiskal, transparansi, serta mekanisme konsultasi publik sebelum menetapkan tarif pajak dapat mengurangi resistensi sosial sekaligus menjaga legitimasi kebijakan.

Sebagai penutup, adanya berbagai tindakan protes besar-besaran yang dilakukan oleh warga di berbagai daerah tersebut tentunya harus menjadi peringatan besar, baik bagi pemerintah pusat atau daerah, agar jangan memberlakukan aturan yang sewenang-wenang terhadap masyarakat. Bila hal tersebut tetap dilakukan, maka jangan kaget bila kebijakan tersebut akan direspon dengan protes dan demonstrasi besar-besaran oleh warga yang menjadi korban.

Protes yang muncul di Pati, Cirebon, dan Bone menjadi cerminan bahwa masyarakat semakin peka terhadap kebijakan yang dianggap tidak adil. Pemerintah pusat dan daerah perlu belajar, beban fiskal tidak bisa diletakkan secara sepihak di pundak warga, apalagi melalui kebijakan yang mendistorsi pembangunan dan kesejahteraan. Reformasi struktural dan dialog yang inklusif akan lebih efektif daripada kebijakan reaktif yang memicu gelombang ketidakpuasan.

Originally published here

Share

Follow:

Other Media Hits

Subscribe to our Newsletter