Indonesia merupakan salah satu negara dengan pertumbuhan ekonomi yang sangat pesat. Tidak hanya pertumbuhan ekonomi, Indonesia juga merupakan salah satu negara dengan jumlah penduduk terbesar di dunia, dan mengalami pertumbuhan penduduk yang bergerak naik. Pada tahun 2013 lalu misalnya, jumlah penduduk Indonesia sebesar 248 juta jiwa. 10 tahun kemudian, di tahun 2023 lalu, jumlah tersebut meningkat menjadi 278 juta jiwa (dataindonesia.id, 9/11/2023).
Tidak hanya jumlah penduduk yang besar, Indonesia juga merupakan negaar dengan ekonmoi yang terus tumbuh, dengan pertumbuhan ekonomi rata-rata 5% per tahun dari sejak tahun 1998 (katadata.co.id, 21/5/2018). Adanya jumlah penduduk yang besar tersebut, ditambah dengan pertumbuhan ekonomi dan penduduk yang positif, tentu menyediakan pasar konsumen yang luar biasa, dan bisa menarik banyak pelaku usaha.
Namun di sisi lain, fenomena tersebut juga memunculkan tantangan baru. Tidak sedikit berbagai pelaku usaha dan pedagang yang tidak bertanggung jawab, yang mengambil keuntungan melalui kerugian yang dialami oleh konsumennya.
Untuk mengatasi hal tersebut, Indonesia sendiri sudah memiliki kerangka hukum yang ditujukan untuk melindungi hak-hak konsumen Indonesia dari berbagai praktik yang tidak bertanggung jawab yang dilakukan oleh pelaku usaha. Salah satu kerangka hukum tersebut adalah Undang-Undang No. 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.
Dalam Undang-Undang tersebut dijelaskan mengenai beberapa hak konsumen yang harus dilindungi. Beberapa diantaranya adalah hak katas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai barang atau jasa yang dijual, hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang atau jasa yang digunakan, dan juga hak untuk mendapatkan advokasi dan perlindungan apabila terjadi sengketa. Selain itu, diatur juga hak konsumen untuk mendapatkan kompensasi dan anti rugi apabila barang atau jasa yang diterima tidak sesuai (nasional.kompas.com, 29/4/2022).
Adanya Undang-Undang ini tentu merupakan sesuatu yang sangat penting untuk memberi kenyamanan dan keamanan bagi para konsumen di Indonesia. Sayangnya, tidak sedikit para konsumen yang masih belum tahu mengenai hak-hak mereka yang dijamin oleh Undang-Undang.
Padahal, kesadaran mengenai hal ini adalah sesuatu yang sangat penting, untuk mencegah terjadinya penyelewengan dari pelaku usaha yang bisa sangat merugikan konsumen. Pada tahun 2016 lalu misalnya, dari survei yag dilakukan oleh Kementerian Perdagangan Indonesia, baru sekitar 22,2% penduduk Indonesia yang mengetahui dan kenal mengenai institusi perlindungan konsumen, tapi masih belum tahu mengenai fungsi dan peranannya (money.kompas.com, 26/4/2016).
Melalui Indeks Keberdayaan Konsumen (IKK) yang dikeluarkan oleh Kementerian Perdagangan Indonesia misalnya, menunjukkan bahwa Indonesia masih berada di posisi yang cukup rendah. IKK sendiri dipahami sebagai indeks yang digunakan untuk mengukur tingkat keberdayaan konsumen, diantaranya adalah kesadaran dan pemahaman konsumen terhadap haknya, seperti hak untuk mendapatkan ganti rugi apabila menerima produk yang tidak sesuai, dan lain sebagainya.
IKK Indonesia berada di angka 41,7%, dan menunjukkan konsumen di Indonesia cukup mampu untuk menggunakan haknya untuk menentukan pilihan barang terbaik, meskipun hal tersebut baru tercapai di kota besar. Posisi yang baik, disampaikan oleh Wakil Ketua Komisi I Badan Perlindungan Konsumen Nasional, harusnya IKK Indonesia bisa mencapai skor 80-100 (liputan6.com, 7/10/2020).
Disampaikan oleh Wakil Ketua Badan Perlindungan Konsumen Indonesia misalnya, ada beberapa sebab mengapa perlindungan hak konsumen di Indonesia belum maksimal, diantaranya adalah peraturan yang berbelit dan juga masih rendahnya kesadaran mengenai perlindungan hak konsumen di Indonesia. Dengan demikian, adanya reformasi aturan yang berbelit saja tidak cukup. Dibutuhkan pula sosialisasi dan juga edukasi publik mengenai hak yang dimiliki konsumen di Indonesia (money.kompas.com, 21/4/2019).
Saat ini, sudah ada beberapa inisiatif yang dilakukan oleh beberapa lembaga, termasuk juga lembaga di tingkat daerah. Beberapa waktu lalu misalnya, Walikota Kediri memperkenalkan kepada warganya mengenai Unit Pelaksana Teknis (UPT) Perlindungan Konsumen di kota tersebut. Lembaga ini memiliki tugas untuk melaksanakan pengawasan terhadap barang dan jasa yang beredar, dan juga konsumen bisa melakukan pengaduan apabila terdapat keluhan yang dialami (kedirikota.go.id, 17/1/2022).
Adanya upaya edukasi ini tentu merupakan hal yang cukup penting. Adanya upaya untuk mensosialisasikan kepada konsumen mengenai hak mereka yang dijamin oleh undang-undang bukan hanya akan membuat konsumen menjadi lebih berdaya, tetapi juga berpotensi dapat meningkatkan kepercayaan antara konsumen dan juga penjual. Dengan konsumen semakin mengetahui haknya, maka ia akan bisa semakin percaya diri untuk melakukan transaksi, dan juga memiliki kepercayaan kepada penyedia barang/jasa yang ia konsumsi karena para konsumen bisa melakukan berbagai langkah apabila produk yang ia dapatkan tidak sesuai.
Sebagai penutup, Indonesia memiliki potensi konsumen yang sangat besar. Mengingat besarnya potensi konsumen di Indonesia, tetapi pada saat yang sama kesadaran mengenai hak konsumen di Indonesia masih rendah. Melalui berbagai upaya dan sosialisasi tersebut, diharapkan kesadaran konsumen mengenai haknya dapat meningkat. Dengan demikian, semoga skor Indeks Keberdayaan Konsumen di Indonesia dapat semakin meningkat.
Originally published here