Pentingnya Menghapuskan Kuota Impor Bahan Bakar

Beberapa waktu terakhir para pengguna kendaraan di seluruh Indonesia dikejutkan dengan fenomena kelangkaan bahan bakar di berbagai tempat pengisian bensin swasta. Bensin yang selama ini selalu tersedia mendadak menjadi kosong sama sekali, tidak ada satu liter pun yang bisa dibeli oleh masyarakat. Satu-satunya bahan bakar yang bisa dibeli adalah bahan bakar Diesel.

Di berbagai tempat di Indonesia, khususnya di daerah perkotaan besar, tempat pengisian bensin swasta memang kerap menjadi alternatif bagi para pengguna transportasi untuk mendapatkan bahan bakar, selain perusahaan milik negara Pertamina. Banyak dari perusahaan bensin swasta tersebut yang menawarkan kualitas bensin yang, di mata masyarakat, lebih baik dari yang ditawarkan oleh perusahaan milik negara. Selain itu banyak pengisian bahan bakar swasta tersebut yang memberikan fasilitas lebih, seperti poin diskon, layanan membersihkan kaca mobil gratis, dan lian sebagainya.

Permintaan terhadap bahan bakar swasta kian meningkat tahun ini ketika terbongkarnya kasus penyelewengan komposisi bahan bakar yang dilakukan oleh perusahaan milik negara Pertamina. Dalam kasus tersebut, terkuak bahwa terdapat praktik penyelewengan di mana bensin kualitas rendah Pertalite, yang memiliki oktan RON 90, dioplos menjadi bensin kualitas menengah Pertamax, yang memiliki oktan RON 92 (tempo.co, 26/2/2025).

Adanya kasus tersebut tentu jelas merupakan hal yang harus dikecam dan sangat merugikan para konsumen. Penipuan dalam bentuk penyelewengan kualitas bahan bakar tidak hanya akan merugikan konsumen karena harus membayar lebih untuk kualitas bensin yang lebih rendah, tetapi juga berpotensi besar akan merusak mesin kendaraan yang mereka miliki.

Sebagai akibat dari praktik kriminal tersebut, beberapa petinggi perusahaan dan anak perusahaan Pertamina akhirnya ditetapkan menjadi tersangka oleh aparat penegak hukum. Mereka yang ditetapkan menjadi tersangka diantaranya adalah direktur utama anak perusahaan Pertamina, berbagai vice president, dan para petinggi perusahaan lainnya. Selain itu, ada pula tersangka yang saat ini masih menjadi buron di luar negeri dan belum ditangkap (kompas.com, 12/7/2025).

Karena adanya skandal tersebut permintaan terhadap bahan bakar dari perusahaan swasta meningkat sangat tajam dan pesat. Akibatnya ketersediaan bahan bakar yang dimiliki oleh perusahaan swasta tersebut menjadi habis jauh lebih cepat, Namun, setelah habis, perusahaan bahan bakar swasta tersebut tidak bisa mengimpor untuk menambahkan pasokan bahan bakar yang mereka miliki.

Impor bahan bakar di Indonesia untuk perusahaan bahan bakar swasta memang sangat diatur ketat oleh pemerintah dalam bentuk kuota impor. Kuota impor yang diberikan tersebut bervariasi untuk setiap perusahan. Di tahun 2025 ini misalnya, British Petroleum (BP) mendapatkan kuota 97.107 kiloliter (kl) untuk RON 92, dan 11.863 kl untuk RON 98. Sementara itu, Shell mendapatkan 329.704 kl untuk RON 92, 119.601 kl untuk RON 95, dan 38.678 kl untuk RON 98 (bloombergtechnoz.com, 1/10/2025).

Untuk mengatasi habisnya ketersediaan pasokan bahan bakar yang dimiliki oleh perusahaan bahan bakar milik swasta tersebut, bukannya membuka kuota impor, pemerintah justru meminta para perusahaan swasta penyedia bahan bakar tersebut untuk melakukan impor bahan bakar melalui perusahaan bahan bakar milik negara, Pertamnia (kompas.com, 8/10/2025).

Tawaran yang disampaikan pemerintah tersebut dengan “memaksa” perusahaan penyedia bahan bakar swasta untuk mengimpor melalui Pertamina akhirnya ditolak, salah satunya karena bensin yang dijual Pertamina mengandung etanol sebesar 3,5%. Penolakan tersebut merupakan sesuatu yang wajar dan bisa diterima, mengingat bahwa setiap perusahaan bahan bakar swasta memiliki racikan bahan bakar mereka masing-masing, dan bila mereka dipaksa membeli dari Pertamina pasti akan merusak racikan bahan bakar yang telah dibuat oleh perusahaan tersebut (kompas.id, 2/10/2025).

Selain itu, tidak hanya persoalan etanol dan racikan bahan bakar yang berebeda, kepercayaan masyarakat terhadap Pertamina sendiri menurun karena adanya kasus penyelewengan bahan bakar yang dilakukan, di mana turunnya kepercayaan masyarakat tersebut diakui oleh Pertamina sendiri (antaranews.com, 20/9/2025). Bila berbagai perusahaan penyedia bahan bakar swasta tersebut dipaksa untuk mengimpor melalui Pertamina, maka bisa dipastikan kepercayaan masyarakat terhadap kualitas bahan bakar yang dijual juga akan menurun, mengingat skandal besar yang belum lama terjadi.

Dengan demikian, diprediksi bahwa, bila keran kuota impor tidak dibuka lagi, maka ketersediaan bahan bakar di perusahaan swasta akan kosong sampai dengan tahun 2026 (bloombergtechnoz.com, 21/10/2025). Bila hal ini terjadi, tentu hal ini bukan hanya akan merugikan konsumen, tetapi juga sangat merugikan perusahaan, dan tidak mustahil akan menimbulkan banyak dampak negatif seperti pemberhentian karyawan dan lain sebagainya.

Untuk itu, solusi paling mudah dan bisa segera dilakukan untuk mengatasi permasalahan tersebut adalah dengan menghapuskan kuota impor, dan membuka keran impor untuk bahan bakar selebar-lebar dan sebebas-bebasnya, dan biarkan para konsumen untuk bisa bebas memilih penjual bahan bakar mana yang akan mereka pilih. Dengan menghapuskan kuota impor, maka hal ini akan melahirkan kompetisi yang sehat di sektor penyediaan bahan bakar, yang akan sangat menguntungkan jutaan konsumen bahan bakar di Indonesia.

Kuota impor bahan bakar di Indonesia saat ini bisa kita lihat dengan terang benderang digunakan oleh pemerintah untuk mempertahankan praktik kartel dalam bentuk monopoli melalui perusahaan milik negara. Tanpa adanya kompetisi bebas, maka tidak akan ada insentif bagi pelaku monopoli untuk berinovasi dan mencegah berbagai praktik tidak terpuji yang sangat merugikan konsumen.

Skandal penyelewengan komposisi bahan bakar yang sangat besar dan ramai diperbincangkan dan diberitakan media misalnya, bayangkan bila perusaahaan swasta yang melakukan hal tersebut, dan perusahaan swasta tersebut bukan kroni pemerintah, pasti akan langsung mengalami kebangkrutan. Sebaliknya, perusahaan milik negara yang melakukan tindak kriminal tidak akan terkena dampak yang signifikan karena dilindungi oleh pemerintah dan konsumen dipaksa untuk membeli bahan bakar dari perusahaan milik negara tersebut.

Selama beberapa bulan setelah skandal tersebut terkuak, masyarakat khususnya yang tinggal di kota-kota besar “cukup beruntung”, karena mereka memiliki pilihan untuk membeli bahan bakar melalui perusahaan lain, tetapi belum lama ini pilihan tersebut akhirnya hilang karena ketersediaan bahan bakar perusahaan swasta yang habis. Kuota impor bahan bakar dalam hal ini justru menghukum perusahaan-perusahaan swasta yang jujur dan melayani konsumennya dengan baik, dan memberi hadiah kepada perusahaan milik negara yang terbukti melakukan tindakan kriminal yang merugikan konsumen.

Tidak hanya menghukum perusahaan swasta yang melayani konsumennya dengan baik, pemerintah dalam hal ini juga menghukum jutaan konsumen bahan bakar di seluruh Indonesia. Pada saat yang sama, pemerintah juga memaksa masyarakat untuk membeli bahan bakar dari perusahaan yang telah terbuti melakukan tindak kriminal.

Hal lain yang sangat penting diperhatikan, bila pemerintah saat ini ingin mendapatkan pemasukan yang meningkat, dengan melarang perusahaan bahan bakar swasta untuk melakukan impor tentu akan membuat perusahaan tersebut tidak bisa beroperasi dengan baik, dan tidak bisa membayar pajak yang sesuai kepada pemerintah. Hampir semua perusahaan penyedia bahan bakar swasta di Indonesia adalah perusahaan multinasional, seperti Shell dan British Petroleum, dan bila perusahaan tersebut bisa beroperasi dengan baik, maka mereka juga akan memberikan sumbangan pajak yang besar untuk membiayai program yang dicanangkan oleh pemerintah.

Sebagai penutup, kuota impor merupakan kebijakan yang hanya akan menyuburkan praktik kartel yang akan sangat merugikan konsumen. Terlebih lagi bila sektor yang dikenakan kuota tersebut merupakan sektor yang sangat esensial seperti bahan bakar. Jangan sampai, kepentingan publik untuk mendapatkan bahan bakar yang terjangkau dan berkualitas menjadi dikorbankan dengan mengatasnamakan “semangat nasionalisme” dan “kedaulatan ekonomi”, yang di mana dalam praktiknya hanya menguntungkan segelintir kroni yang memiliki kedekatan dengan pemerintah dan para pengambil kebijakan.

Originally published here

Share

Follow:

Other Media Hits

Subscribe to our Newsletter