Penegakan Hukum yang Tegas Terhadap Premanisme untuk Melindungi Pelaku Usaha dan Konsumen

Premanisme tidak bisa dipungkiri merupakan salah satu permasalahan besar yang terjadi di berbagai wilayah di Indonesia. Di berbagai daerah, kita bisa dengan mudah menemukan kasus praktik premanisme yang menyasar berbagai kalangan, diantaranya adalah para pemilik usaha dan juga investor.

Para pemilik usaha tersebut kerap menjadi sasaran praktik premanisme dalam berbagai bentuk, seperti dimintai “uang keamanan”, minta untuk diberikan pengelolaan lahan parkir, dan lain sebagainya. Di area stasiun Bekasi di Jawa Barat misalnya, para pedagang “diharuskan” membayar uang sebesar 2.000 rupiah per hari, hingga ratusan ribu rupiah per bulan kepada para preman di area tersebut (kompas.id, 18/2/2025).

Bila para pemilik usaha tersebut menolak memberikan uang yang diminta misalnya, maka tidak jarang diikuti dengan ancaman fisik dan perusakan properti. Tidak jarang juga tindakan premanisme tersebut dilakukan dalam bentuk penutupan paksa tempat usaha yang tidak bersedia membayar, sehingga usaha tersebut tidak bisa mendapatkan pendapatan dari konsumen.

Adanya praktik premanisme seperti ini tentu merupakan tindakan melawan hukum dan harus ditindak. Berdasarkan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) pasal 368 misalnya, dinyatakan dengan jelas bahwa “Barang siapa dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum, memaksa orang lain dengan kekerasan atau ancaman kekerasan untuk memberikan suatu barang, yang seluruhnya atau sebagian adalah milik orang itu atau milik orang lain, atau untuk memberi utang atau menghapuskan piutang, diancam karena pemerasan dengan pidana penjara paling lama sembilan tahun” (beritasatu.com, 15/5/2025).

Namun yang amat disayangkan bahwa, masih sangat banyak tindakan premanisme ini yang kerap dibiarkan oleh para aparat penegak hukum. Mereka bisa dengan bebas meminta uang yang diesertai dengan ancaman kepada para pemilik toko dan juga rumah makan di sekitar mereka. Dengan demikian, tidak sedikit para pemilik usaha yang lebih memilih “jalan damai” dengan memberikan uang, dibandingkan dengan risiko usaha mereka dirusak dan dihancurkan.

Adanya fenomena ini tentu merupakan sesuatu yang sangat memprihatinkan dan harus segera diatasi. Bila praktik premanisme ini tidak segera ditindak, maka tentu akan semakin merugikan para pelaku usaha, dan membuat investor juga enggan untuk menginvestasikan dan membangun usaha, seperti toko dan pabrik, di wilayah tersebut.

Hal ini diungkapkan oleh Ketua Umum Himpunan Kawasan Industri (HKI), yang menyatakan bahwa terdapat kerugian hingga ratusan triliun akibat invesrasi yang batal di berbagai kawasan industri. Para investor tersebut membatalkan investasinya dikarenakan kelompok preman yang memaksa untuk diikutsertakan dalam proses pembangunan dan pengoperasian pabrik industri (tempo.co, 12/5/2025).

Perusahaan kendaraan listrik asal Vietnam, VinFast, misalnya, menjadi salah satu perusahaan yang menjadi korban. Ketika sedang membangun pabrik pertamanya di Indonesia, yang berlokasi di kota Subang, provinsi Jawa Barat, terjadi berbagai gangguan dari para preman dan geng yang beroperasi di sekitar pabrik tersebut. Padahal, diestimasi pabrik tersebut akan membuka antara 1.000 — 3.000 lapangan kerja secara langsung. Belum lagi lapangan kerja tidak langsung yang akan muncul, seperti pemasok komponen, logistik, dan juga infrastruktur. Kalau hal ini dibiarkan terjadi tentu ribuan pekerja menjadi pihak yang sangat dirugikan (merdeka.com, 25/4/2025).

Kejadian yang serupa juga muncul di provinsi dan daerah lainnya, seperti yang terjadi di kebupaten Barito Selatan, provinsi Kalimantan tengah. Dalam beberapa waktu terakhir terdapat berbagai aksi premanisme yang merugikan para pelaku usaha. Salah satu contohnya adalah tindakan yang dilakukan oleh sekelompok preman yang menyegel sebuah pabrik milik PT Bumi Asri Pasaman dengan memaksa mereka memberi uang 1,4 miliar rupiah (metronews.com, 21/5/2025).

Tidak mengherankan bila misalnya, lembaga riset seperti The Heritage Foundation dari Amerika Serikat, memberikan skor yang sangat rendah untuk perlindungan hak kepemilikan di Indonesia, hanya 38,8 dari 100 (heritage.org, February 2025). Bila hal ini terus dibiarkan, maka tentu hal ini akan mengganggu iklim usaha yang sehat dan persaingan yang bebas di Indonesia. Investor akan ragu dan malas menginvestasikan uangnya, dan akan membawa dampak yang sangat negatif terhadap banyak hal seperti pembukaan lapangan kerja. Tindakan yang dilakuan oleh para preman ini tidak hanya merugikan para pelaku usaha, tetapi juga para pekerja yang mencari nafkah dari tempat usaha tersebut.

Padahal, pemerintah sekarang menerapkan target pertumbuhan ekonomi yang sangat tinggi, yakni hingga 8 persen per tahun (nusabali.com, 23/6/2025). Target pertumbuhan 8 persen tentu bukan angka yang kecil, dan bila aktivitas premanisme yang sangat mengganggu iklim investasi dan kegiatan usaha tidak kunjung diselesaikan, maka tentu akan sulit untuk angka tersebut bisa tercapai.

Sebagai penutup, pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan pembukaan lapangan kerja yang besar hanya bisa memungkinkan apabila ada iklim investasi yang baik dan persaingan yang sehat. Salah satu aspek yang sangat penting untuk menciptakan kondisi tersebut adalah melalui penegakan hukum yang tegas terhadap berbagai tindakan kriminal, termasuk juga berbagai aktivitas premanisme.

Originally published here

Share

Follow:

Other Media Hits

Subscribe to our Newsletter