fbpx

Hak kekayaan intelektual (HAKI) merupakan hal yang sangat penting untuk dilindungi untuk mendorong inovasi di berbagai bidang. Tanpa adanya perlindungan HAKI, maka akan makin kecil pula insentif yang dimiliki oleh para individu untuk berkarya, karena setiap orang dapat dengan mudah mencuri ide dan hasil karya yang mereka buat untuk mendapatkan keuntungan materi.

Salah satu inovasi yang paling penting untuk didorong di era perkembangan teknologi yang makin pesat seperti saat ini adalah ekonomi kreatif. Istilah “ekonomi kreatif” (creative economy) sendiri merupakan istilah yang diperkenalkan oleh penulis dan akademisi asalh Britania Raya, John Howkins, yang mendefinisikan ekonomi kreatif sebagai sistem ekonomi di mana aktivitas yang dilakukan dan nilai yang diciptakannya didasari pada ide dan kreativitas, dan bukan pada sumber daya tradisional seperti tanah buruh, dan modal. (Howkins, 2001).

Howkins sendiri mendasari gagasanya mengenai ekonomi kreatif dengan melihat fenomena yang terjadi di Amerika Serikat pada akhir dekade 1990-an, di mana banyak perusahaan baru yang tumbuh dengan bertumpu dari eksplorasi dan pengembangan ide-ide kreatif. Perusahaan-perusahaan ini umumnya adalah perusahaan-perusahaan teknologi yang revolusioner, yang melakukan disrupsi terhadap berbagai sektor-sektor konvensional.

Badan Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Bekraf) sendiri membagi ada 16 sektor ekonomi kreatif di Indonesia. Bidang-bidang tersebut antara lain adalah (1) aplikasi dan pengembangan permainan, (2) arsitektur, (3) desain produk, (4) fashion, (5) desain interior, (6) desain komunikasi visual, (7) seni pertunjukan, (8) film, animasi dan video, (9) fotografi, (10) kriya, (11) kuliner, (12) musik, (13) penerbitan, (14) periklanan, (15) seni rupa, dan (16) televisi dan radio (Elshinta.com, 30/08/2018).

Namun, perkembangan industri ekonomi kreatif, yang sangat penting untuk menopang ekonomi Indonesia di masa depan, juga bukan tantangan. Salah satu tantangan terbesar bagi pelaku industri ekonomi kreatif adalah masih rendahnya perlindungan hak kekayaan intelektual (HAKI) terhadap karya yang mereka buat. Hal ini tentunya memiliki dampak yang negatif, di mana praktik-praktik pembajakan yang akan sangat merugikan para pelaku usaha kreatif akan makin mudah dilakukan dengan rendahnya pendaftaran terhadap HAKI.

Catatan Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2019, misalnya, hanya ada 11,05% pelaku sektor ekonomi kreatif yang memiliki HAKI, dari 8,2 juta pelaku usaha yang bergerak di sektor industri tersebut. Ini berarti hanya sekitar 900.000 para pelaku usaha sektor industri kreatif yang memiliki HAKI atas karyanya.

Hal ini salah satu sebabnya karena kurangnya pengetahuan dan kesadaran. Hal ini mendorong Bekraf untuk makin mendorong para pelaku ekonomi kreatif untuk mendaftarkan karyanya agar bisa menjadi aset di masa depan (Indopolitika, 27/10/2019).

Salah satu upaya dari Bekraf untuk mendorong dan menyosialisasikan pentingnya HAKI kepada para pelaku industri kretif adalah melalui program pendaftaran HAKI yang tidak dipungut biaya, yang diberlakukan di berbagai daerah. Melalui program ini, diharapkan akan makin banyak para pelaku industri kreatif yang mendaftarkan karya-karya yang mereka buat (Kliklegal.com, 2017).

Akan tetapi, pendaftaran HAKI oleh pelaku ekonomi kreatif juga tentu harus diikuti degan penegakan hukum yang jelas dan kuat. Apabila makin banyak para pelaku ekonomi kreatif yang mendaftarkan karyanya kepada pemerintah, namun tidak diikuti dengan perlindungan yang kuat atas HAKI tersebut, maka tentu pendaftaran tersebut menjadi sia-sia belaka.

Bila kita ke pertokoan atau pusat perbelanjaan di berbagai daerah, misalnya, kita bisa dengan mudah menemukan berbagai produk kreatif bajakan yang dijual bebas dengan harga murah. Produk-produk tersebut bukan saja hasil karya para produsen dan seniman luar negeri, namun tak jarang juga dari dalam negeri.

Hal tersebut tentu akan sangat merugikan para pekerja kreatif yang menghasilkan karya-karya tersebut. Mereka menjadi tidak bisa mendapatkan manfaat finansial dari karya-karyanya. Bagi para pelaku usaha kreatif, untuk membuat karya tertentu, tentunya dibutuhkan waktu yang tidak sedikit dan usaha yang besar.

Bila kita tidak memberikan perlindungan HAKI terhadap para pekerja industri kreatif, maka mereka tidak akan dapat memiliki kontrol atas karya yang mereka buat dengan menggunakan kreativitas yang mereka miliki. Setiap orang bisa mengopi dan menjiplak brand atau produk yang mereka hasilkan, dan tentunya insentif seseorang untuk menggunakan kreativitasnya akan makin berkurang. Hal ini tentu merupakan sesuatu yang berbahaya, mengingat bahwa industri ekonomi kreatif merupakan sektor industri yang makin terus berkembang dari tahun ke tahun.

Industri ekonomi kreatif sendiri, di Indonesia, merupakan sektor yang mengalami pertumbuhan yang sangat pesat dari tahun ke tahun. Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik (BPS) pada 2010, kontribusi industri ekonomi kreatif di Indonesia adalah 528 triliun rupiah. Angka ini menjadi meningkat di tahun 2014 menjadi 784 triliun rupiah (Rahman, 2018).

Pada 2015, kontribusi industri kreatif di Indonesia terhadap Gross Domestic Products (GDP) mencapat 852 triliun rupiah, dan di tahun 2016 dan 2017, angka tersebut tidak juga menurun. Kontribusi industri kreatif di Indonesia pada 2016 adalah 922 triliun rupiah, dan mencapai 990 triliun rupiah di tahun 2017, atau sekitar 7,4% dari total GDP Indonesia (Rahman, 2018).

Angka tersebut tentu adalah jumlah yang tidak kecil dan sangat besar. Industri kreatif merupakan sektor yang mengalami pekembangan yang sangat pesat dan terus tumbuh dari waktu ke waktu.

Untuk itu, perlindungan terhadap HAKI, khususnya untuk para pelaku industri kreatif merupakan sesuatu yang sangat penting agar industri kreatif di Indonesia dapat makin bertumbuh ke depannya, yang tentunya akan membawa manfaat yang sangat besar bagi perekonomian dan peningkatan kesejahteraan negara kita.

Selain itu, kontribusi industri ekonomi kreatif di Indonesia yang terus meningkat di Indonesia juga membawa dampak yang sangat positif terhadap meningkatnya tenaga kerja di sektor tersebut. Berdasarkan data dari Kementerian Sekretariat Negara Republik Indonesia, pada 2016, sektor ekonomi kreatif di Indonesia sudah menyediakan 16,2 juta lapangan kerja bagi tenaga kerja Indonesia. Angka ini meningkat menjadi 16,4 juta lapangan kerja di tahun 2017 (Kementerian Sekretariat Negara Republik Indonesia, 2018).

Sebagai penutup, untuk itu, perlindungan hak kekayaan intelektual adalah hal yang sangat esensial untuk mendorong perkembangan dan kemajuan ekonomi kreatif di Indonesia. Pemerintah harus bisa memberi perlindungan dan menjaga para pekerja kreatif atas karya yang mereka buat.

Originally published here.


The Consumer Choice Center is the consumer advocacy group supporting lifestyle freedom, innovation, privacy, science, and consumer choice. The main policy areas we focus on are digital, mobility, lifestyle & consumer goods, and health & science.

The CCC represents consumers in over 100 countries across the globe. We closely monitor regulatory trends in Ottawa, Washington, Brussels, Geneva and other hotspots of regulation and inform and activate consumers to fight for #ConsumerChoice. Learn more at consumerchoicecenter.org

Share

Follow:

More Posts

Subscribe to our Newsletter

Scroll to top
en_USEN

Follow us

Contact Info

WASHINGTON

712 H St NE PMB 94982
Washington, DC 20002

BRUSSELS

Rond Point Schuman 6, Box 5 Brussels, 1040, Belgium

LONDON

Golden Cross House, 8 Duncannon Street
London, WC2N 4JF, UK

KUALA LUMPUR

Block D, Platinum Sentral, Jalan Stesen Sentral 2, Level 3 - 5 Kuala Lumpur, 50470, Malaysia

© COPYRIGHT 2024, CONSUMER CHOICE CENTER