Nasionalisme ekonomi merupakan salah satu gagasan yang secara politik sangat popular di berbagai negara di dunia. Tidak sedikit kalangan yang berpandangan bahwa nasionalisme ekonomi merupakan solusi yang bisa melahirkan kemajuan dan membawa kesejahteraan bagi negara mereka.
Secara umum, nasionalisme ekonomi dipahami sebagai sebuah gagasan di mana pemerintah sebuah negara harus memprioritaskan para pelaku dalam negeri dalam bentuk kebijakan intervensionis. Kebijakan intervensionis ini bisa dalam berbagai bentuk, seperti kebijakan tarif, diskriminasi harga, kuota impor, subsidi bagi pelaku usaha dalam negeri, dan lain sebagainya.
Di Indonesia sendiri misalnya, kebijakan yang bernuansa nasionalisme ekonomi merupakan hal yang sangat umum di banyak sektor. Di bidang pangan misalnya, pemerintah Indonesia memberlakukan kebijakan kuota impor untuk membatasi peredaran bahan-bahan pangan di pasar dalam negeri, seperti daging dan juga nasi. Selain itu, kebijakan nasionalisme ekonomi lainnya yang cukup dikenal di Indonesia dibidang industri adalah Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN).
TKDN sendiri merupakan ketentuan persentase dari komponen berbagai produksi dalam negeri di Indonesia. Pemerintah Indonesia dalam hal ini memberikan ketentuan mengenai berapa besar persentase komponen dari dalam negeri untuk produk-produk tertentu yang beredar di pasar Indonesia (sucofindo.com, 3/7/2023).
Tingkat persentase TKDN yang ditetapkan oleh pemerintah sendiri sangat beragam, dan disesuaikan dengan tingkat prioritasnya. Tingkat prioritasi yang lebih tinggi berarti pemerintah menetapkan persentase yang tinggi juga dan begitu juga sebaliknya.
Untuk sektor alat keseharan misalnya, ditetapkan prioritas >60%. Hal ini berarti untuk alat-alat tersebut, minimum 60% komponennya harus dari bahan-bahan atau diolah di dalam negeri. Sektor lain seperti alat-alat pertanian misalnya, ditetapkan prioritas >43%, sementara untuk industri listrik nasional ditetapkan nilai prioritas sebesar >40% (sucofindo.co.id, 3/7/2023).
Bagi para pendukungnya, dan juga pengambil kebijakan yang menyetujui implementasi hal tersebut, ada beberapa manfaat yang diklaim bisa kita dapatkan dari penerapan TKDN. Beberapa diantaranya adalah adanya TKDN dianggap bisa membuka lapangan kerja baru melalui semakin banyaknya usaha dalam negeri, bisa mendukung ekonomi dalam negeri, dan juga bisa meningkatkan rasa bangga masyarakat terhadap produk yang dibuat di Indonesia (sucofindo.co.id, 3/7/2023).
Klaim ini, bila dilihat secara singkat, sepertinya terlihat masuk akal. Dengan mewajibkan produk-produk atau industri tertentu untuk menggunakan kompoenen dalam negeri, hal ini dianggap akan membawa dampak positif terhadap industri dan juga usaha yang ada di Indonesia.
Namun, pada penerapannya tidak sebaik yang dibayangkan. Dalam banyak kasus, TKDN justru kerap menjadi bottleneck yang menghambat kemajuan dan perkembangan industri dalam negeri di Indonesia di berbagai bidang, diantaranya seperti sektor penerbangan dan juga energi.
Kewajiban menggunakan komponen dalam negeri misalnya, justru mengganjal sejumlah proyek pembangkit listrik yang dijalankan melalui Perusahaan Listrik Negara (PLN). Hal ini dikarenakan, banyak dari proyek tersebut mendapatkan pendanaan dari luar negeri, yang nilainya mencapai 51,5 triliun rupiah, dan dijadwalkan bisa beroperasi pada tahun 2026 mendatang (industri.kontan.co.id, 25/1/2024).
PLN menjelaskan bahwa Kementerian Perindustrian dalam hal ini tidak mau melonggarkan aturan TKDN untuk pembiayaan luar negeri. Beberapa proyek pembangkit listrik yang terhambat tersebut diantaranya adalah Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) Upper Cisokan PS, Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) Matenggeng PS, Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP) Ulumbu, dan lain sebagainya (industri.kontan.co.id, 25/1/2024).
Secara total, ada sekitar 20 pembangkit listrik yang menjadi terhambat karena jumlah komponennya tidak sesuai dengan aturan TKDN, dan hampis emua pembangkit listrik tersebut merupakan pembangkit yang menggunakan energi terbarukan (cnbcindonesia.com, 29/5/2024). Pihak yang paing dirugikan dari adanya hal tersebut tentu adalah masyarakat yang menjadi tidak bisa mendapatkan manfaat dari pembangkit tersebut.
Tidak hanya sektor energi, TKDN juga menjadi penghambat terhadap industri penerbangan. Hal ini dikarenakan banyak dari perusahaan penerbangan di Indonesia yang kesulitan untuk mengimpor suku cadang pesawat yang disebabkan adanya aturan TKDN. Belum lagi, pemerintah juga mengenakan pajak impor terhadap komponen suku cadang pesawat, yang tentunya berperan terhadap tingginya harga tiket untuk penerbangan dalam negeri di Indonesia (majalah.tempo.co, 30/6/2024).
Adanya aturan TKDN untuk industri penerbangan ini dimaksudkan untuk membantu dan mendukung industri komponen dalam negeri. Tetapi kenyataannya, banyak industri komponen di dalam negeri tersebut yang belum siap, dan hal ini semakin menyulitkan para pelaku usaha penerbangan yang ada di Indonesia (majalah.tempo.co, 30/6/2024).
Kembali dengan pembahasan sebelumnya terkait dengan manfaat, berdasarkan beberapa kasus di atas, dalam praktiknya kebijakan TKDN justru berpotensi menghasilkan dampak yang kontraproduktif dari yang diinginkan. Bila sektor industri seperti sektor energi terbarukan menjadi terhambat misalnya, karena investasi dan pendanaan luar negeri susah untuk masuk, maka akan semakin sedikit lapangan kerja yang akan terbuka bagi masyarakat.
Selain itu, mendukung industri dalam negeri, tetapi bila industrinya belum siap, seperti industri komponen suku cadang pesawat, tentunya akan membawa dampak yang negatif. Hal ini akan menyusahkan para pelaku industri lainnya yang sangat bergantung pada industri tersebut.
Sebagai penutup, kebijakan regulasi dengan menetapkan jumlah minimum komponen dalam negeri yang tertuang dalam TKDN merupakan bentuk kebijakan nasionalisme ekonomi yang keliru dan merugikan banyak pihak. Sudah seharusnya, di era globalisasi yang semakin pesat, kita meninggalkan berbagai kebijakan yang menutup diri, dan mengadopsi langkah kebijakan ekonomi yang semakin terbuka.
Originally published here