Industri vape atau rokok elektrik saat ini menjadi salah satu industri yang mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. Saat ini, kita bisa dengan mudah menemukan berbagai orang yang menggunakan vape atau rokok elektrik dalam keseharian mereka, khususnya kita yang tinggal di kota-kota besar di seluruh Indonesia.
Pada tahun 2018 lalu misalnya, jumlah pengguna vape atau rokok elektrik di Indonesia adalah sebesar 1,2 juta. Berdasarkan data dari Kementerian Perindustrian, angka tersebut meningkat signifikan pada tahun 2020, menjadi 2,2 juta pengguna vape yang ada di Indonesia (vapemagz.co.id, 24/01/2021).
Semakin pesatnya industri vape yang ada di Indonesia ini juga tentunya membawa dampak terhadap perekonomian, salah satunya pembukaan lapangan kerja. Pada tahun 2022 kemarin misalnya, berdasarkan data dari Asosiasi Personal Vaporizer Indonesia (APVI), terdapat lebih dari 100 distributor atau agen dan 200 produsen vape yang ada di Indonesia. Hal tersebut telah mampu menyerap sekitar 80.000 sampai dengan 100.000 tenaga kerja (liputan6.com, 13/6/2022).
Akan tetapi, tentunya tidak sedikit pihak-pihak yang memiliki kekhawatiran dan pandangan negatif terhadap semakin meningkatnya industri vape tersebut. Beberapa organisasi medis di Indonesia misalnya, meminta pemerintah untuk melarang peredaran vape karena dianggap sama berbahayanya dengan rokok konvensional yang dibakar. Tidak hanya itu, beberapa waktu lalu misalnya, Wakil Presiden Republik Indonesia, Maaruf Amin, juga menyatakan bahwa vape atau rokok elektrik bisa dilarang bila terbukti berbahaya (cnnindonesia.com, 27/01/2023).
Padahal, sudah beberapa tahun yang lalu, lembaga kesehatan dari beberapa negara di dunia sudah mengeluarkan laporan yang menyatakan bahwa vape atau rokok elektrik merupakan produk yang jauh lebih tidak berbahaya bila dibandingkan dengan rokok konvensional yang dibakar. Sangat penting dicatat bahwa, jauh lebih tidak berbahaya bukan berarti tidak ada bahayanya sama sekali. Bahaya tetap ada, tetapi jauh lebih kecil, dan oleh karena itu bisa digunakan sebagai produk alternatif.
Lembaga kesehatan publik asal Inggris, Public Health England (PHE) misalnya, pada tahun 2015 lalu, mengeluarkan laporan yang menyatakan bahwa vape atau rokok elektrik merupakan produk yang 95% lebih aman bila dibandingkan dengan rokok konvensional yang dibakar. Untuk itu, Pemerintah Inggris menganjurkan konsumsi vape sebagai salah satu langkah yang bisa digunakan oleh warganya yang menjadi perokok, untuk membantu mereka menghentikan kebiasaan merokoknya yang sangat berbahaya bagi kesehatan (theguardian.com, 28/12/2018).
Pemerintah Inggris juga memberlakukan berbagai kebijakan yang ditujukan untuk membantu warganya berhenti merokok. Negara kerajaan tersebut sendiri memiliki jumlah perokok yang tidak sedikit. Pada tahun 2021 lalu misalnya, diestimasikan ada sekitar 6,6 juta populasi perokok aktif yang ada di Inggris, yang merupakan sekitar 13,3% dari populasi (ons.gov.uk, 6/12/2022).
Ada beberapa program yang dilaksanakan oleh pemerintah Inggris untuk menanggulangi kenaikan dan mengurangi jumlah populasi perokok aktif yang ada di negara tersebut. Salah satunya adalah, pada bulan April lalu, pemerintah Inggris mengumumkan akan mengesahkan program baru, yakni dengan memberikan alat vape bebas nikotin gratis kepada 1.000.000 perokok aktif yang ada di negara tersebut (filtermag.org, 13/4/2023).
Tidak hanya melalui pemberian alat vape gratis, pemerintah Inggris juga akan menyediakan program untuk mengubah kebiasaan para perokok untuk berhenti merokok dan beralih ke produk alternatif lain yang lebih aman. Program ini sendiri rencananya akan dilaksanakan selama dua tahun, dan dikhususkan kepada komunitas-komunitas yang rentan terhadap adiksi rokok, seperti komunitas berpenghasilan rendah dan kelompok-kelompok marjinal.
Tujuan utama dari program ini sendiri adalah menjadikan Inggris sebagai negara dengan tingkat perokok yang sangat rendah. Angka yang menjadi target dari program ini sendiri adalah, jumlah populasi perokok di Inggris bisa mencapai di bawah 5% pada tahun 2030.
Langkah yang dilakukan oleh pemerintah Inggris ini tentu merupakan sesuatu yang sangat patut untuk diapresiasi, dan juga bisa dijadikan contoh kebijakan yang bisa diberlakukan oleh negara-negara lain, terutama negara-negara dengan jumlah perokok aktif yang tinggi. Indonesia sendiri, sebagai salah satu negara dengan jumlah perokok aktif tertinggi di dunia, justru sepertinya memberlakukan kebijakan yang terbalik dari apa yang dilakukan oleh Inggris terkait dengan kebijakan harm reduction.
Pada akhir tahun lalu misalnya, pemerintah memutuskan untuk meningkatkan cukai cairan vape di Indonesia sebesar 15%. Hal ini tentu niscaya akan meningkatkan harga rokok elektrik yang dijual di Indonesia, dan akan lebih sulit untuk menarik para konsumen, khususnya mereka yang masuk dalam kelompok menengah ke bawah yang mendominasi populasi perokok aktif yang ada di Indonesia.
Sebagai penutup, sebagai salah satu negara dengan jumlah perokok terbesar di dunia, sudah seharusnya Indonesia memberlakukan kebijakan yang berfokus pada harm reduction. Sehubungan dengan hal tersebut, langkah kebijakan yang diambil oleh pemerintah Inggris bisa menjadi salah satu contoh kebijakan yang bisa dijadikan acuan.
Originally published here