Indonesia merupakan salah satu negara berkembang dengan jumlah populaasi yang sangat besar. Tidak mengerankan, bila hal tersebut tentunya menjadi potensi pasar yang sangat besar, dan tidak sedikit para pelaku usaha dari luar negeri yang berlomba-lomba berupaya untuk bisa menjual barang-barang yang mereka produksi kepada konsumen di Indonesia.
Para produsen tersebut meliputi berbagai sektor, mulai dari pakaian, kendaraan bermotor, hingga barang-barang elektronik. Tidak mengherankan bila banyaknya barang-barang luar negeri di Indonesia ini memunculkan kritik dari sebagian pihak, yang mengganggap hal tersebut dapat mengancam produsen dalam negeri.
Untuk itu, tidak sedikit pihak-pihak tersebut yang mengadvokasi adanya kebijakan dari pemerintah untuk memerlukan kebijakan yang membatasi peredaran barang-barang luar negeri tersebut di Indonesia. Belum lama ini misalnya, pemerintah melalui Kementerian Perindustrian (Kemenperin) mengeluarkan Peraturan Menteri (Permen) Perindustrian Nomor 6 tahun 2024 tentang Tata Cara Penerbitan Pertimbangan Teknis Impor Produk Elektronik.
Adanya peraturan Menteri tersebut sendiri merupakan pengejewantahan dari perintah langsung Presiden Joko Widodo kepada kementerian terkait untuk memperketat impor di berbagai jenis komoditas, salah satunya adalah barang-barang elektronik. Dalam aturan tersebut, Kemenperin membatasi impor 78 jenis barang elektornik yang sangat beragam, seperti AC, televisi, mesin cuci, kulkas, laptop, rice cooker, dan lain sebagainya (cnbcindonesia.com, 11/4/2024).
Dengan kata lain, melalui aturan tersebut, maka para importir barang-barang elektronik harus terlebih dahulu meminta izin kepada kementerian terkait untuk mendatangkan barang-barang tersebut dari luar negeri. Setelah itu, kementerian terkait akan menerbitkan pertimbangan teknis apakah akan menyetujui permintaan yang diajukan dengan menerbitkan Persetujuan Impor (PI) (kemendag.go.id, 15/4/2024).
Sontak, munculnya aturan ini menimbulkan kritik dari berbagai pihak, khususnya organisasi yang berfokus pada penelitian kebijakan ekonomi dan perdagangan. Adanya kebijakan ini tentunya bukan hanya akan mempersulit para pedagang di Indonesia untuk mendapatkan barang-barang tersebut, tetapi juga para konsumen karena ketersediaan barang-barang tersebut tentunya akan semakin sedikit.
Tidak bisa dipungkiri bahwa, produsen manufaktur produk-produk elektronik dalam negeri bukan tanpa masalah. Ada berbagai tantangan yang harus bisa diatasi oleh para pelaku usaha dan produsen produk-produk elektronik dalam negeri, seperti dari sisi kualitas dan lain sebagainya.
Tetapi adanya kebijakan pembatasan impor tentu bukan solusi yang tepat. Lembaga peneliti ekonomi Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) misalnya, menilai kebijakan pembatasan impor ini sebagai “jalan pintas” karena belum mampu untuk membangun industri barang-barang elektronik domestik yang kompetitif (bbc.com, 12/4/2024).
Yang memprihatinkan, kebijakan “jalan pintas” ini memang harus diakui bukan sesuatu yang jarang diambil. Karena tidak mau mengalami kesulitan, sering kali para pembuat kebijakan membuat aturan bernuansa “jalan pintas” secara cepat yang seakan bisa menyelesaikan berbagai persoalan yang ingin diatasi.
Bila hal ini dilakukan, tentu kebijakan ini akan membawa dampak negatif yang tidak kecil. Bila kita belum bisa membangun industri yang kompetitif di dalam negeri, dan impor dibatasi, maka konsumen menjadi pihak yang paling dirugikan, karena pilihan menjadi semakin sedikit, dan juga mereka akan dipaksa untuk membeli produk dengan kualitas yang tidak mereka inginkan. Belum lagi, hal ini juga akan berpotensi memunculkan kartel industri yang tentunya juga akan sangat merugikan konsumen.
Selain itu, peneliti dari lembaga riset Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) mengatakan bahwa, industri lokal di Indonesia dalam hal ini siap untuk memproduksi barang elektronik untuk konsumen kelas menengah ke bawah. Hal ini mencakup berbagai macam barang-barang elektronik seperti kulkas dan juga pendingin ruangan (AC) kategori low-end dengan harga yang terjangkau (bbc.com, 12/4/2024).
Hal ini tentu jauh berbeda dengan berbagai barang elektronik high-end yang menggunakan teknologi mutakhir dan memiliki harga yang cukup tinggi. Barang-barang high-end tersebut saat ini masih sangat sulit untuk bisa diproduksi di dalam negeri. Dengan demikian, setiap produsen memiliki pangsa pasarnya masing-masing.
Tidak hanya merugikan konsumen, adanya kebijakan ini juga akan berdampak pada sisi pelaku usaha, khususnya para pemasok produk, seperti para pemilik toko elektronik. Asosiasi Industri Perangkat Telematika Indonesia (AIPTI) misalnya, menyatakan bahwa adanya aturan ini akan membuat importir produk menjadi semakin mengecil, yang akan mengganggu pasokan barang (cnbcindonesia.com, 29/4/2024).
Belum lagi, Indonesia dalam hal ini juga sudah tergabung ke beberapa perjanjian perdagangan bebas (free trade agreement) dengan beberapa negara lain seperti ASEAN — China Free Trade Agreement dan juga ASEAN – Japan Comprehensive Economic Partnership (AJCEP). Dengan demikian, pemerintah tidak bisa semuanya menetapkan aturan pembatasan impor dengan alasan untuk melindungi produk dalam negeri.
Sebagai penutup, kebijakan proteksionis secara umum, termasuk juga kebijakan proteksi barang-barang elektronik, merupakan langkah yang akan berpotensi membawa kerugian. Hal ini tidak hanya menimpa konsumen, tetapi juga terhadap berbagai pemilik usaha di Indonesia, diantaranya adalah para pedagang dan pemasok barang elektornik. Dengan demikian, kebijakan tersebut berpotensi akan menguntungkan industri tertentu di dalam negeri, sementara di saat yang sama juga membawa dampak negatif terhadap sektor usaha lainnya.
Selain itu, upaya untuk meningkatkan kualitas produk-produk dalam negeri harus lah dilakukan melalui kebijakan yang mendorong adanya persaingan bebas dan juga menjaga hak konusmen untuk bebas memilih produk yang mereka inginkan. Adanya kebijakan proteksionisme justru juga berpotensi akan semakin memperburuk kualitas produk dalam negeri, seperti yang terjadi pada industri otomotif di India, Negara tersebut memberlakukan kebijakan proteksionisme terhadap industri otomotifnya, sementara itu kita ketahui bahwa hampir tidak ada industri otomotif India yang bisa bersaing di pasar dunia (autocarindia.com, 10/4/2022).
Untuk membuat produk barang dengan kualitas yang baik dan bisa dijangkau oleh banyak konsumen bukan merupakan sesuatu yang mudah. Dibutuhkan banyak pengetahuan mengenai (know-how) dibalik pembuatan produk tersebut, dan hal itu tidak bisa didapatkan secara instan melalui kebijakan pembatasan perdagangan dan proteksionisme.
Originally published here