Beberapa waktu lalu, Pemerintah Amerika Serikat mengeluarkan kebijakan tarif yang dikenakan kepada berbagai negara di seluruh dunia. Negara-negara yang dikenakan tarif tersebut bukan hanya negara-negara yang selama ini dianggap sebagai lawan atau musuh Amerika, tetapi juga negara-negara sahabat, seperti Jepang dan negara-negara Eropa.
Tarif yang dikenakan tersebut bervariasi, dengan angka minimum 10%. Jepang dan Inggris misalnya, dikenakan tarif terbaru sebesar 10%, untuk barang-barang yang didatangkan dari negara tersebut. Sementara itu, China, yang merupakan salah satu negara yang saingan Amerika, dikenakan tarif yang sangat tinggi, hingga 145% (bbc.com, 10/4/2025).
Indonesia sendiri juga tidak terlepas dari kebijakan tarif yang dikenakan oleh Pemerintah Amerika Serikat. Sebelumnya, Pemerintah Negeri Paman Sam mengenakan tarif sebesar 32% untuk barang-barang yang didatangkan dari Indonesia ke Amerika Serikat, setelah itu diubah menjadi 10% (bbc.com, 10/4/2025).
Untuk menghadapi tarif tersebut, berbagai negara mengambil langkah yang berbeda-beda. China misalnya, mengambil langkah retaliasi untuk menanggapi tarif yang dikenakan oleh Presiden Amerika Serikat tersebut. China dalam hal ini mengenakan tarif impor balasan sebesar 125% untuk barang-barang dari negeri Paman Sam. Setelah negosiasi, akhirnya kedua negara sepakat untuk menurunkan tarif, dari 145% menjadi 30%, dan China dari 125% menjadi 10% (bbc.com, 2/6/2025).
Indonesia sendiri menanggapi tarif yang dikenakan Pemerintah Amerika Serikat dengan tidak melakukan retaliasi (cnbcindonesia.com, 9/4/2025). Sri Mulyani misalnya, yang menjabat sebagai menteri keuangan sampai dengan bulan September lalu, menyatakan bahwa ada beberapa langkah yang diambil oleh Indonesia dalam menghadapi tarif tersebut. Beberapa hal tersebut diantaranya adalah penyesuaian melalui penurunan tarif bea masuk produk dari Amerika, meningkatkan impor dari Amerika Serikat seperti peralatan teknologi, penyesuaian regulasi non-tarif seperti kuota impor dan kebijakan Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN) (idnfinancalis.com, 25/4/2025).
Secara umum, langkah yang diambil Pemerintah Indonesia dalam menghadapi tarif ini merupakan sesuatu yang patut untuk diapresiasi. Berbeda dengan negara lain yang justru menanggapi kebijakan tarif dari Amerika Serikat melalui retaliasi, Indonesia justru menanggapi kebijakan tarif tersebut kebijakan seperti menurunkan bea masuk produk Amerika, dan juga penyesuaian regulasi yang sangat menghambat kebebasan ekonomi seperti kebijakan kewajiban Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN) untuk produk-produk tertentu.
Kebijakan retaliasi tarif untuk menghadapi kebijakan tarif yang dikenakan oleh negara lain tentu bukan merupakan kebijakan yang tepat, dan justru akan merugikan konsumen dan juga produsen dalam negeri. Melalui kebijakan tarif yang berbalas, maka konsumen akan membayar biaya yang lebih tinggi untuk produk yang mereka gunakan, dan produsen yang membutuhkan bahan baku atau teknologi dari luar negeri untuk memproduksi barangnya juga harus membayar biaya yang lebih tinggi.
Tidak bisa dipungkiri bahwa, kebijakan tarif merupakan salah satu kebijakan yang dikritik dan dipandang buruk oleh hampir semua ekonom di dunia (reason.com, 24/4/2025). Kebijakan tarif yang diberlakukan oleh Amerika Serikat telah menimbulkan dampak negatif bagi konsumen dan produsen di dalam negeri.
Pada bulan Mei tahun ini misalnya, Amerika dilanda inflasi kenaikan harga sebesar 2,4%, naik dari bulan sebelumnya 2,3% (theguardian.com, 11/6/2025). Perusahaan manufaktur di Amerika Serikat juga mengalami kerugian besar setelah Pemerintah Amerika Serikat mengimplementasikan kebijakan tarifnya, di mana berdasarkan data dari Bureau of Labor Statistics, terjadi sekitar 1.000 pemecatan di sektor manufaktur di Amerika Serikat pada bulan April lalu (nbcnews.com, 8/5/2025).
Kebijakan tarif yang dimaksudkan untuk mengembalikan industri ke dalam negeri justru menunjukkan hasil sebaliknya. Banyak perusahaan manufaktur Amerika yang harus mengeluarkan uang dan biaya lebih meningkatnya biaya bahan baku impor, sehingga tujuan untuk memperkuat industri domestik menjadi semakin sulit tercapai (theguardian.com, 29/7/2025).
Tingkat kenaikan harga yang pesat yang disebabkan oleh perang dagang yang dilancarkan ini tentunya memiliki dampak yang sangat signifikan dan terasa langsung oleh para konsumen di negeri Paman Sam. Tidak hanya konsumen, perusahaan global juga diperkirakan terkena “badai” sebesar 35 miliar dollar karena kebijakan tarif yang dikenakan (reuters.com, 21/10/2025).
Ekspor dari perusahaan Amerika Serikat juga diprediksi akan menurun sebagai akibat dari kebijakan tarif yang dikenakan. Diprediksi, ekspor perusahaan Amerika Serika akan menurun sebesar 17%. Kebijakan perang dagang juga akan mengurangi output ekonomi negeri Paman Sam tersebut sebesar 1,6% (kielinstitut.de, 30/4/2025).
Kebijakan tarif merupakan salah satu bentuk kebijakan proteksionis yang sangat merugikan, dan kerena itu harus dihindari. Hal ini termasuk juga kebijakan tarif retaliasi, yang dikeluarkan untuk merespon tarif yang dikenakan oleh negara lain. Kebijakan tarif retaliasi justru akan merugikan masyarakat kita sendiri dan berpotensi besar bisa menghambat kegiatan produksi yang bahan-bahan mentah serta peralatannya didapatkan dari luar negeri.
Hal ini semakin krusial mengingat Indonesia merupakan negara berkembang yang sangat membutuhkan pertumbuhan ekonomi yang sangat pesat. Belum lagi, berdasarkan Badan Pusat Statistik Indonesia, pada tahun 2025, masih ada lebih dari 60% penduduk Indonesia yang berada di bawah ambang purchasing power parity USD 6,85 per hari (bps.go.id, 2/5/2025).
Kebijakan proteksionisme sudah terbukti membawa banyak kerugian bagi para konsumen di Indonesia, khususnya mereka yang berasal dari kelas menengah ke bawah. Proteksionisme di bidang pangan misalnya, berdasarkan riset dari lembaga think tank Center for Indonesia Policy Studies (CIPS) menunjukkan bahwa, bila hambatan impor pada bahan pangan seperti beras dan daging dihapuskan misalnya, maka dapat menurunkan tingkat kemiskinan sampai dengan 2,83%, dan juga akan meningkatkan daya beli masyarakat (cips-indonesia.org, 23/10/2025).
Selain itu, kebijakan perang dagang yang dilancarkan juga akan membawa dampak yang negatif terhadap perekonomian Indonesia. Pada bulan April lalu, Menteri Keuangan memaparkan bahwa karena perang dagang berpotensi akan mengurangi pertumbuhan ekonomi Indonesia sampai dengan 0,5% (cnnindonesia.com, 10/4/2025).
Dengan demikian, langkah kebijakan ekonomi yang lebih terbuka, salah satunya adalah melalui kebijakan untuk menurunkan tarif impor merupakan hal yang harus dilakukan untuk meningkatkan daya beli konsumen dan masyarakat akan mendapatkan barang dengan harga yang lebih kompetitif. Melalui penurunan tarif impor terhadap barang-barang dari Amerika Serikat misalnya, barang elektronik seperti laptop dan smartphone, pakaian, dan sepatu (kompas.com, 16/7/2025). Tidak hanya itu, konsumen di Indonesia juga akan mendapatkan prduk-produk pertanian dengan harga yang lebih terjangkau (hukumonline.com, 22/7/2025).
Berkaca dari yang terjadi di Amerika Serikat, bila Indonesia mengeluarkan kebijakan retaliasi dan juga membelakukan kebijakan tarif secara luas, maka yang paling dirugikan adalah konsumen kelas menegah ke bawah dan juga para pekerja. Konsumen akan merasakan kenaikan harga kebutuhan mereka sehari-hari, dan juga para pekerja akan terancam terkena pemecatan dan lapangan kerja yang berkurang karena output ekonomi yang mengecil.
Sebagai penutup, langkah pemerintah Indonesia untuk tidak merespon kebijakan tarif yang dikenakan oleh Pemerintah Amerika Serikat sejauh ini sudah berada di jalur yang tepat, karena tidak memberlakukan kebijakan retaliasi. Pemerintah justru merespon tarif tersebut dengan kebijakan yang mengarah ke ekonomi yang lebih terbuka, seperti penurunan tarif bea masuk dan juga menyesuaikan kembali kebijakan regulasi non-tarif yang berpotensi besar dapat menghambat produksi dan merugikan konsumen di Indonesia.
Originally published here