Author: Haikal Kurniawan

Kebijakan Kontrol Harga Penerbangan dan Persaingan Bebas di Indonesia

Indonesia merupakan salah satu negara dengan luas wilayah terluas di dunia. Tidak hanya itu, berbeda dengan negara-negara besar lainnya, seperti Rusia, Amerika Serikat, dan Brazil, Indonesia merupakan negara kepulauan yang terdiri dari belasan ribu pulau, yang tersebar di seluruh wilayah Nusantara.

Dengan kondisi geografis tersebut, ditambah kenyataan bahwa Indonesia memiliki jumlah populasi yang sangat besar (270 juta jiwa), hal ini memberi tantangan transportasi yang tidak mudah untuk bepergian dan berpindah tempat. Untuk itu, untuk perjalanan antar pulau, sarana transportasi udara menjadi satu-satunya sarana transportasi yang memadai.

Perjalanan transportasi selain melalui udara, seperti melalui laut misalnya, sangat memakan waktu yang lama. Untuk perjalanan dari ibukota Jakarta ke kota Medan di pulau Sumatra misalnya, bila menggunakan sarana transportasi laut, bisa memakan waktu hingga 3 hari. Sementara itu, dengan menggunakan pesawat hanya memakan waktu sebesar 2,5 jam.

Namun, dunia transportasi udara di Indonesia juga bukan tanpa permasalahan. Salah satu masalah besar terkait dengan penerbangan di Indonesia adalah biaya yang tinggi, khususnya apabila dibandingkan dengan perjalanan internasional dari Jakarta ke negara-negara tetangga.

Untuk perjalanan dari Jakarta ke Bali misalnya, harga tiketnya bisa sebesar 1,1 juta rupiah untuk sekali perjalanan, sementara dari Jakarta ke Singapura hanya sekitar 650 ribu rupiah. Padahal, kedua perjalanan tersebut memakan waktu yang sama, sekitar 1,5 jam (tirto.id, 4/10/2024).

Ada beberapa hal yang membuat hal tersebut terjadi. Salah satunya misalnya adalah harga avtur di Indonesia yang cenderung lebih mahal bila dibandingkan dengan negara-negara tetangganya. Selain itu, terdapat pula biaya-biaya tambahan lainnya yang harus dibayarkan kepada pemerintah, seperti pajak pertambahan nilai, iuran wajib asuransi jasa raharja, dan biaya lainnya (bbc.com, 17/7/2024).

Selain itu, hal lain yang memiliki pengaruh terhadap tingginya harga tersebut adalah kebijakan kontrol harga yang diadopsi oleh pemerintah, dalam bentuk tarif batas atas dan juga batas bawah. Dalam hal ini, kebijakan tersebut diterapkan terhadap tiket perjalanan domestik di Indonesia, tetapi tidak diterapkan di penerbangan internasional ke luar negeri.

Terkait dengan hal tersebut, tarif batas atas dipahami sebagai tarif maksimal yang bisa biaya dikenakan oleh maskapai penerbangan kepada konsumen, sementara tarif bawah adalah tarif minimum. Komponen untuk menentukan batas tarif tersebut terdiri dari banyak hal, seperti biaya gaji kru dan karyawan, biaya asuransi, bahan bakar, jasa navigasi penerbangan, biaya catering penerbangan, dan lain sebagainya (masyarakathukumudara.or.id, 8/6/2019).

Adanya penyesuaian harga tersebut tentunya akan memiliki dampak negatif dalam bentuk mengurangi kompetisi yang dapat menguntungkan konsumen. Lembaga riset Institute for Development of Economics and Finance (Indef) misalnya, menyatakan bahwa bila tarif batas tersebut dicabut, maka hal tersebut akan membawa penyesuaian harga yang lebih sesuai, dan akan mengembalikan pasar maskapai penerbangan di Indonesia agar semakin kompetitif (idntimes.com, 18/6/2019).

Hal ini bisa dilihat misalnya dari adanya grouping dan joint operation yang dilakukan oleh 7 maskapai terbesar di Indonesia (kompas.com, 21/12/2022). Hal ini sangat berbeda dengan penerbangan internasional di Indonesia yang lebih beragam dan mampu berkompetisi lebih bebas antar sesama maskapai penerbangan internasional, dan maka dari itu bisa menyediakan tiket dengan harga lebih murah dibandingkan dengan penerbangan domestik.

Salah satu CEO dari perusahaan penerbangan Air Asia yang beroperasi di Indonesia, Tony Fernandes, misalnya, juga menyampaikan bahwa regulasi harga tiket terhadap penerbangan domestik di Indonesia dapat membunuh bisnis. Ia mengatakan, kebijakan pemerintah yang sampai mengatur harga tarif tiket pesawat merupakan sesuatu yang berlebihan, dan sebaiknya setiap maskapai bisa menentukan harga tiket mereka masing-masing (cnnindonesia.com, 4/7/2019).

Air Asia Indonesia misalnya, juga menjelaskan bahwa, karena adanya kebijakan kontrol harga melalui tarif batas bawah dan batas atas yang diterapkan oleh Kementerian Perhubungan untuk penerbangan domestik, mereka tidak bisa menentukan harga yang sesuai dengan mekanisme pasar. Misalnya, untuk penerbangan internasional dari Jakarta ke Kuala Lumpur, Air Asia bisa menerapkan tarif 600 ribu rupiah, tetapi sewaktu-waktu maskapai tersebut bisa menurunkan harga hingga 100 — 200 ribu rupiah demi menarik penumpang. Hal ini yang tidak bisa dilakukan untuk penerbangan domestik (goodstats.id, 17/7/2024).

Sudah menjadi pengetahuan umum bahwa, kebijakan kontrol harga dalam hal apa pun, termasuk juga tentunya penerbangan, merupakan kebijakan yang kontra produktif. Adanya kontrol harga batas atas bisa memberi sinyal yang salah kepada produsen, bahwa demand dari tiket tersebut dianggap tidak sebanyak yang diperkirakan, yang menyebabkan terjadinya kelangkaan. Sebaliknya, adanya kontrol harga dalam bentuk batas bawah bisa menyebabkan oversupply, dan dalam kasus perusahaan jasa seperti penerbangan, hal ini juga akan merugikan konsumen karena seharusnya mereka bisa membeli tiket dengan harga yang lebih rendah (economicshelp.org, 17/3/2022).

Aspek lain yang sangat terkait dengan hal tersebut adalah, adanya kontrol tarif harga pesawat di Indonesia bukan hanya akan merugikan para konsumen maskapai penerbangan, tetapi juga berpotensi merugikan para pelaku usaha lokal yang tersebar di seluruh Indonesia. Adanya tarif penerbangan ke luar negeri yang lebih murah tentu memberi insentif lebih bagi para wisatawan Indonesia untuk menghabiskan waktu dan uangnya di luar negeri, dibandingkan dengan daerah wisata di dalam negeri.

Hal ini diakui oleh salah satu wisatawan asal Jakarta misalnya. Ia menyampaikan bahwa, pemerintah sering menyampaikan pentingnya untuk melestarikan wisata dalam negeri. Ia sendiri sebenarnya sangat berminat untuk berwisata dan berjalan-jalan di dalam negeri, tetapi adanya tiket yang mahal kerap mengurungkan niatnya melakukan hal tersebut. Akan lebih efisien bila uang liburannya digunakan untuk mengunjungi negara-negara tetangga seperti Singapura, Malaysia, dan Thailand karena harga tiket pesawat yang lebih murah (bbc.com, 17/7/2024).

Oleh karena itu, adanya kebijakan kontrol harga seperti harga batas bawah misalnya, juga berpotensi akan menimbulkan supply yang berlebihan yang berdampak pada pemborosan terhadap perusahaan penerbangan domestik yang beroperasi di Indonesia. Setiap maskapai penerbangan pasti mengeluarkan biaya operasional yang tidak kecil, seperti untuk bahan bakar misalnya. Dalam hal ini, maskapai tersebut harus tetap mengeluarkan biaya yang tinggi, dan juga waktu penerbangan yang lama, meskipun tidak mendapatkan potensi penumpang seperti para wisatawan secara maksimal.

Dalam pembuatan kebijakan regulasi misalnya, tidak jarang pihak yang diberikan perhatian oleh pemerintah adalah dari sisi pelaku usaha, terlebih lagi bila pelaku usaha tersebut merupakan pelaku usaha besar. Padahal peran dan suara konsumen sangat penting untuk didengar karena mereka juga menjadi pihak yang akan terkena dampak langsung dari kebijakan regulasi tersebut. Hal ini diakui oleh lembaga Badan Perlindungan Konsumen Nasional (BPKN) bahwa dalam penyusunan kebijakan seringkali hak-hak konsumen tidak diakomodasi (cnbcindonesia.com, 8/4/2019).

Sebagai penutup, kebijakan kontrol harga merupakan salah satu kebijakan ekonomi paling kontraproduktif yang kerap diambil oleh berbagai pemerintahan di seluruh dunia, termasuk juga di Indonesia. Bila kita ingin semakin melestarikan dan mengembangkan industri pariwisata dalam negeri, sudah seharusnya kebijakan kontrol harga atas tiket tersebut dicabut, agar terjadi persaingan bebas, dan harga tiket pesawat bisa semakin terjangkau bagi para konsumen dan turis domestik di Indonesia.

Originally published here

Pentingnya Mempermudah Izin Usaha di Indonesia

Izin usaha merupakan salah satu faktor penting yang mempengaruhi tingkat investasi dan pembukaan lapangan kerja di suatu negara. Negara yang memiliki kebijakan ramah terhadap izin usaha tentu akan memberikan insentif bagi para investor dan pelaku bisnis untuk menaruh uang dan membuka usaha di tempat tersebut.

Sebaliknya, negara atau wilayah yang memiliki serangkaian aturan dan regulasi yang menyulitkan seseorang untuk membuka usaha tentu akan memiliki dampak yang negatif terhadap pertumbuhan ekonomi dan inovasi. Mereka yang memiliki modal akan memilih untuk menginvestasikan uangnya di tempat lain, dan bukan tidak mungkin juga talenta-talenta yang ada di negara tersebut akan pergi untuk membukan usaha dan berinovasi di negara luar.

Di Indonesia sendiri, diskursus mengenai sulitnya membuka usaha merupakan hal yang sangat umum dibicarakan, dan menjadi pengetahuan umum. Proses yang berbelit-belit, dan juga pendaftaran yang memakan jangka waktu lama, merupakan beberapa contoh umum yang menghambat pembukaan usaha di Indonesia.

Untuk mendirikan usaha di Indonesia misalnya, dibutuhkan banyak izin dari berbagai lembaga pemerintah. Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), Dinas Perdagangan, Dinas Lingkungan Hidup, serta kantor pajak dan tenaga kerja merupakan beberapa lembaga negara yang harus dimintai izinnya oleh pelaku usaha demi mendapatkan berbagai izin, seperti izin prinsip, izin lokasi, izin mendirikan bangunan (IMB), izin lingkungan, dan izin operasional. Belum lagi, izin ini juga berlapis tidak hanya di tingkat pusat, tetapi juga tingkat daerah seperti kota dan provinsi (seputarbirokrasi.com, 5/12/2024).

Masalah ini diakui oleh banyak pihak, bahkan oleh mantan kepala negara. Presiden ke-7 Indonesia, Joko Widodo misalnya, mengakui bahwa ketika masih menjadi pengusaha, dia juga harus mengalami berbagai kesulitan ketika mengajukan izin usaha. Bila tidak memiliki izin usaha, tentu akan sangat sulit bagi pemilik usaha untuk menjalankan dan mengembangkan usahanya karena ia tidak akan bisa mendapatkan pinjaman kredit dari bank (cnnindonesia.com, 13/7/2022).

Hal yang serupa juga disampaikan oleh banyak pelaku usaha, bahkan oleh pengusaha besar sekali pun. Direktur Utama Maspion Group misalnya, menyampaikan bahwa Indonesia memiliki masalah terkait dengan berbelitnya proses perizinan usaha. Adanya proses yang berlapis dan juga pembaruan izin berkala setiap tahun atau beberapa tahun merupakan beberapa isu yang harus dihadapi pelaku usaha (olenka.id, 31/12/2024).

Bila hal ini diakui oleh pelaku usaha yang besar, maka hal ini tentu akan semakin membebani pelaku usaha tingkat kecil dan menengah. Hal ini bisa dilihat dari jumlah kredit yang dikeluarkan oleh bank untuk kepentingan usaha misalnya. Dari 6.000 triliun rupiah dana yang dikeluarkan oleh sektor perbankan untuk usaha di Indonesia, kurang dari 20%-nya yang terserap untuk usaha level mikro, kecil, dan menengah. Hal ini disebabkan para pemilik usaha tersebut tidak memiliki izin usaha karena izin yang sangat berbelit dan panjang (kompas.com, 12/8/2021).

Kamar Dagang provinsi Kepulauan Riau misalnya, menyampaikan bahwa untuk mengurus Persetujuan Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang (PKKPR) misalnya, yang merupakan salah satu syarat dasar izin berusaha, memiliki proses yang sangat lambat hingga sampai 1 tahun. Belum lagi persetujuan lainnya, seperti persetujuan teknis (Pertek) yang memakan waktu tidak sebentar (batampos.co.id, 7/10/2024).

Terlebih lagi, kepulauan Riau merupakan provinsi perbatasan yang dekat dengan negara tetangga seperti Singapura dan juga negara bagian Johor, Malaysia. Adanya izin yang berbelit tentu akan semakin membuat investor enggan untuk menanamkan uangnya ke Indonesia, dan akan memiliki negara lain (batampos.co.id, 7/10/2024).

Untuk itu, adanya reformasi untuk mengubah dan mempercepat proses perizinan usaha adalah hal yang penting, Proses yang berbelit dan ditangani oleh berbagai lembaga pemerintah misalnya, dapat disederhanakan di satu pintu saja, dan dipercepat dengan melalui berbagai langkah seperti pemanfaatan sarana teknologi informasi, dan lain sebagainya.

Bila hal ini tetap dibiarkan, maka yang akan mengalami kerugian adalah berbagai lapisan masyarakat. Para pelaku usaha akan sangat sulit untuk membuka dan menjalankan bisnis. Akibatnya, lapangan kerja juga akan semakin sedikit, yang akan menyulitkan upaya untuk menurunkan pengangguran. Selain itu, konsumen juga akan terkena dampak karena akan semakin sedikit kompetisi dan mereka hanya akan bergantung ke sedikit perusahaan saja yang sudah established dan tidak memiliki kompetitor yang mampu bersaing.

Sebagai penutup, kemudahan izin usaha merupakan aspek yang sangat penting untuk pertumbuhan ekonomi, meningkatkan inovasi, dan juga membuka banyak lapangan kerja baru. Bila izin untuk membuka usaha malah dipersulit, maka dampak negatifnya tidak hanya akan semakin sedikit pelaku usaha yang dapat membuka bisnis baru, tetapi juga akan merugikan konsumen karena pilihan mereka untuk mendapatkan barang terbaik dengan harga yang terjangkau menjadi semakin sedikit.

Originally published here

Bahaya Kebijakan Larangan Impor Pangan 2025

Kebijakan terkait pangan kerap menjadi topik yang penuh dengan pro dan kontra. Tidak bisa dipungkiri bahwa, kebijakan pangan merupakan hal yang sangat sensitif, dan memiliki dampak yang besar pada hampir seluruh lapisan masyarakat. Oleh karena itu, para politisi hampir pasti menjadikan kebijakan pangan fokus utama dalam platform kebijakan kampanye yang mereka lakukan untuk mendapatkan suara masyarakat.

Umumnya, platform kebijakan pangan yang kerap diadvokasi para politisi di Indonesia selalu memiliki corak nasionalisme dan kedaulatan pangan. Beberapa waktu lalu misalnya, dalam rapat terbatas di Istana Negara, presiden Prabowo Subianto menyatakan bahwa Indonesia akan menghentikan impor pangan di tahun 2025 dengan capaian target sekitar tahun 2027 (bisnis.com, 30/12/2024).

Kebijakan pelarangan impor sendiri merupakan salah satu kebijakan yang kerap menimbulkan kontroversi, karena berpotensi besar akan membawa dampak negatif terhadap konsumen, seperti kenaikan harga dan dampak lainnya. Hal ini semakin krusial mengingat barang yang dikenakan merupakan produk pangan yang sangat esensial. Oleh karena itu, tidak sedikit pihak yang mengungkapkan kekhawatiran dari kebijakan penutupan impor pangan ini.

Pengajar dan peneliti Universitas Islam Indonesia (UII) misalnya, mengatakan bahwa ada beberapa risiko yang akan terjadi dan harus diperhitungkan dari keputusan untuk menutup impor pangan. Aspek permintaan dan penawaran misalnya, akan berpotensi menjadi tidak seimbang (tempo.co, 10/1/2025).

Untuk bahan pangan seperti jagung misalnya, di tahun 2024 lalu sebesar 19,5 juta ton, sementara kebutuhan domestik di tahun ini diperkirakan berjumlah 21 juta ton. Demikian juga produksi garam domestik misalnya, yang tahun lalu hanya 2 juta ton, sementara proyeksi kebutuhan dalam negeri tahun 2025 mencapai 4,2 juta ton. Dengan demikian, kebijakan penutupan impor pangan juga akan membuat harga pangan mengalami inflasi, dan akan menambahkan beban masyarakat berpenghasilan rendah (tempo.co, 10/1/2025).

Selain itu, yang sangat penting untuk diperhatikan adalah kita akan bergantung pada produksi pangan lokal yang sangat rentan terhadap berbagai faktor, seperti bencana alam dan dampak perubahan iklim. Curah hujan di Indonesia yang tidak menentu akan menghasilkan kekeringan dan juga bisa menurunkan hasil panen (tempo.co, 10/1/2025).

Pada 2024 lalu misalnya, Indonesia sempat mengalami penurunan produksi beras, dari 31,10 juta ton di tahun 2023 misalnya, menjadi 30,62 juta ton di tahun 2024. Penurunan ini disebabkan karena ada faktor iklim, salah satunya adalah El Nino yang berkepanjangan. Apabila kita hanya mengandalkan produksi dalam negeri, maka kita akan bergantung pada kondisi iklim tersebut di Indonesia (cnnindonesia.com, 4/2/2025).

Dampak dari pelarangan impor pangan juga tidak hanya dirasakan oleh konsumen dalam negeri, tetapi juga oleh sektor industri. Bila industri pengolahan pangan tidak bisa menggunakan bahan pangan impor, seperti garam misalnya, maka biaya produksi akan semakin meningkat. Dengan demikian, bukan tidak mungkin akan terjadi pemutusan hubungan kerja (PHK) massal, dan daya saing Indonesia dengan negara tetangga seperti Thailand dan Vietnam menjadi semakin berkurang (tirto.id, 10/1/2025).

Untuk komoditas jagung misalnya, bukan hanya menjadi komoditas yang dikonsumsi oleh konsumen, tetapi juga digunakan oleh para peternak untuk pakan hewan-hewan ternak mereka khususnya ayam. Jika impor jagung ditutup, dan ketersediannya menajdi berkurang, maka harga pakan ternak tersebut akan menjadi meningkat, dan juga akan berpengaruh pada produk-produk turunannya, seperti telur dan daging ayam (tempo.co, 8/1/2025).

Kita sendiri juga bisa belajar dari pengalaman kegagalan kebijakan larangan impor pangan yang pernah dilakukan beberapa tahun lalu. Peneliti dari Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia mengungkapkan bahwa, pada tahun 2016 lalu pemerintah Indonesia pernah melarang impor jagung (tirto.id, 10/1/2025). Akibatnya, jagung mengalami kelangkaan, dan setelah terjadi protes, pemerintah memutuskan kembali untuk membuka keran impor tanpa kuota di tahun 2019 (antaranews.com, 4/2/2019).

Belum lagi, saat ini pemerintah telah melaksanakan program makan siang gratis untuk seluruh sekolah di Indonesia, yang juga merupakan salah satu janji program presiden saat kampanye tahun lalu. Program makan siang gratis di sekolah-sekolah tersebut tentu merupakan program yang membutuhkan sumber daya yang sangat besar, untuk bisa dinikmati oleh seluruh anak sekolah di Indonesia.

Dengan demikian, program makan siang gratis ini berpotensi besar akan berkontribusi pada kenaikan harga pangan di Indonesia. Bila impor pangan ditutup, maka ketersediaan pangan di pasar berpotensi akan semakin berkurang, dan harga pangan akan semakin melonjak naik (sindonews.com, 15/8/2024).

Sebagai penutup, ketersediaan pangan dengan harga yang terjangkau untuk masyarakat tentu harus menjadi fokus utama para pemangku kebijakan ketika merumuskan kebijakan terkait pangan. Jangan sampai, karena upaya untuk swasembada pangan, lantas masyarakat, khususnya yang berpenghasilan menengah ke bawah, dan juga para pekerja industri, yang terkena dampak negatif dari kebijakan tersebut.

Originally published here

Bahaya Kebijakan Regulasi Minuman Beralkohol yang Terlalu Ketat

Kebijakan terkait dengan minuman beralkohol kerap menjadi isu yang menimbulkan pro dan kontra di berbagai negara di dunia. Aspek kesehatan hingga dampak sosial dari minuman beralkohol kerap menjadi fokus utama dalam kebijakan minuman beralkohol yang diterapkan di berbagai tempat.

Di Indonesia misalnya, aturan yang memberlakukan regulasi ketat terkait minuman beralkohol merupakan hal yang bisa kita temukan dengan mudah. Berdasarkan penelitian dari lembaga independen Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD), setidaknya ada 428 peraturan daerah di Indonesia yang meregulasi peredaran minuman beralkohol, di mana 11% dari aturan tersebut mencantumkan pelarangan total (kppod.org, 2021).

Salah satu aturan tersebut yang paling dikenal adalah peraturan Qanun di provinsi Aceh, yang merupakan provinsi yang menerapkan hukum Syariah di Indonesia. Dalam aturan yang diberlakukan sejak tahun 2003 tersebut, seluruh kegiatan produksi dan konsumsi minuman beralkohol dilarang dan diberi sanksi yang keras (kompas.com, 28/6/2022).

Daerah lain misalnya, yang menerapkan varian lain dari regulasi ketat untuk minuman beralkohol adalah kabupaten Sleman. Di daerah tersebut misalnya, minuman beralkohol hanya bisa dijual di hotel mewah minimum yang berbintang 4 dan hanya boleh diminum di tempat. Selain itu, pasar swalayan besar seperti Hypermart juga bisa menjual minuman tersebut tetapi hanya yang golongan A (alkohol maksmium 5%) seperti bir (mediacenter.slemankab.go.id, 2/8/2024).

Adanya berbagai aturan tersebut, mulai dari regulasi sangat ketat hingga pelarangan total, dimaksudkan untuk mengurangi insentif seseirang untuk mengonsumsi minuman beralkohol. Tetapi, justru berdasarkan penelitian yang sudah dilakukan, regulasi minuman beralkohol yang terlalu ketat malah menimbulkan dampak yang kontra produktif dan menimbulkan efek yang negatif dan membahayakan. Dengan regulasi yang terlalu ketat hingga pelarangan total, maka hal ini akan semakin menyuburkan peredaran produk-produk ilegal yang sangat berbahaya.

Lembaga riset Center for Indonesian Policy (CIPS) misalnya, melakukan riset dampak dari aturan tersebut di 6 kota di Indonesia. Hasil dari riset tersebut menemukan bahwa, meskipun ada pemberlakuan aturan pelarangan peredaran minuman beralkohol, hal tersebut tidak membuat penduduk yang tinggal di kota tersebut menjadi berhenti mengonsumsi produk tersebut.

Bedasarkan wawancara misalnya, di kota Palembang, rata-rata konsumsi alkohol dengan volume ABV yang tinggi (spirits) dan bir masing-masing adalah 3,7 liter per tahun. Sementara itu, di kota lain sepeeti malang misalnya, konsumsi rata-rata per tahun sekitar 1,8 liter untuk bir, dan 2,5 liter untuk spirits (cips-indonesia.org, 2016).

Namun, dari konsumsi alkohol tersebut tidak semuanya dari produk yang legal. Tidak sedikit konsumen yang justru beralih ke minuman alkohol ilegal, atau yang dikenal juga dengan istilah minuman beralkohol oplosan. Tidak jarang, konsumsi minuman ilegal ini berakibat fatal hingga menyebabkan kematian. Dalam 9 bulan pertama tahun 2016 saja, tercatat ada sekitar 127 jiwa melayang karena konsumsi minuman beralkohol oplosan yang ilegal (cips-indonesia.org, 2016).

Hal ini terus berlanjut hingga tahun-tahun sebelumnya. Belum lama ini misalnya, terjadi kejadian yang memprihatinkan, di mana ada sekitar 3 pemuda di kota Sukabumi di provinsi Jawa Barat yang meninggal setelah mengonsumsi minuman beralkohol ilegal yang sangat berbahaya. Mereka sempat dicoba dibawa ke rumah sakit terdekat, tetapi nyawanya tidak bisa diselamatkan (detik.com, 27/6/2024).

Kejadian memprihatinkan seperti ini tentunya bukan hanya terjadi di Indonesia, dan ada banyak pelajaran yang bisa kita ambil dari negara-negara lain. Amerika Serikat misalnya, pada tahun 1920-1933 juga melarang minuman beralkohol, yang dikenal dengan nama prohibition era. Tetapi hal ini justru tidak membuat masyarakat Amerika berhenti mengonsumsi minuman beralkohol, dan justru menyuburkan peredaran minuman ilegal yang diproduksi oleh kelompok kriminal terorganisir seperti kelompok mafia (theguardian.com, 26/8/2012).

Selain itu, aspek lain yang juga sangat penting untuk diperhatikan adalah, korban dari adanya aturan larangan minuman beralkohol adalah kalangan kelas menengah ke bawah. Kelompok tersebut sangat rentan untuk menjadi korban dari minuman beralkohol ilegal karena keterbatasan ekonomi yang mereka miliki, dan mereka tidak sanggup untuk membeli minuman beralkohol yang legal, yang hanya dijual di hotel mewah saja misalnya dengan harga yang sangat tinggi (dw.com, 23/4/2018).

Dengan demikian, adanya aturan regulasi yang terlalu ketat hingga pelarangan dalam implementasinya merupakan aturan yang diskriminatif terhadap kalangan yang tidak mampu dan menengah ke bawah. Masyarakat yang dari kelas menengah ke atas memiliki sumber daya untuk membeli produk minuman beralkohol yang legal dengan harga yang tinggi, atau pergi ke wilayah lain yang memperbolehkan peredaran produk tersebut, di mana hal tersebut tidak bisa dilakukan oleh mereka yang dari kelas menengah ke bawah.

Sebagai penutup, adanya regulasi minuman beralkohol tentu merupakan hal yang perlu, sebagaimana yang diberlakukan di negara-negara lain. Namun, hal tersbeut harus berfokus pada keamanan dan keselamatan konsumen, serta memastikan produk tersebut tidak dikonsumsi oleh anak-anak di bawah umur. Jangan sampai, aturan yang terlalu ketat justru menimbulkan dampak yang kontra produktif yang membahayakan.

Originally published here

Biaya Tarif Impor Tinggi dan Proteksionisme

Kebijakan yang mendukung globalisasi dan ekonomi terbuka saat ini seakan mengalami penurunan popularitas. Di berbagai negara, kelompok populis mendapatkan peningkatan suara, dan tidak sedikit yang berhasil memenangkan pemilu.

Globalisasi dan perdagangan bebas dianggap oleh sebagian pihak sebagai akar dari segala masalah ekonomi yang menimpa para pekerja dan pelaku usaha di berbagai negara. 

Untuk itu, kebijakan ekonomi terbuka harus dibatasi melalui berbagai kebijakan proteksionis, seperti tarif dan juga kuota, dengan dalih untuk melindungi kepentingan dalam negeri.

Tidak hanya di Amerika Serikat, Indonesia sendiri juga mengalami gelombang peningkatan skeptisisme hingga penolakan terhadap kebijakan ekonomi terbuka dan perdagangan bebas. 

Dengan mudah kita bisa menemukan berbagai politisi dan para pembuat kebijakan yang menolak keras kebijakan tersebut, dan mendukung adanya pembatasan perdagangan bebas.

Beberapa waktu lalu misalnya, muncul wacana mengenai kebijakan untuk menerapkan biaya tarif yang tinggi terhadap barang-barang impor, khususnya dari China. Tidak tanggung-tanggung, tarif yang dikenakan cukup tinggi, hingga mencapai 200 persen, untuk menyikapi banjirnya barang-barang dari China di tanah air (cnnindonesia, 5/7/2024).

Barang-barang yang berasal dari China tersebut sangat beragam, dan kebanyakan merupakan barang-barang konsumsi sehari-hari seperti pakaian dan produk-produk tekstil. Tidak hanya itu, barang-barang yang menjadi bahan industri seperti baja misalnya, juga berpotensi akan terkena biaya tarif sebesar 200 dari pemerintah (cnnindonesia, 5/7/2024).

Wacana mengenai kebijakan tersebut sendiri pada awalnya memang digaungkan pada saat pemerintahan Presiden Joko Widodo, di beberapa bulan terakhir pemerintahan Beliau. Pada bulan Oktober lalu, Indonesia melantik presiden baru, yakni Prabowo Subianto. Namun, belum ada pernyataan eksplisit dari pemerintahan yang baru untuk menganulir atau membatalkan kebijakan tersebut.

Selain itu, penting untuk dicatat bahwa banyak pejabat tinggi seperti menteri yang sebelumnya menjabat di bawah Presiden Joko Widodo yang sekarang juga kembali menjabat. Oleh karena itu, wacana kebijakan tarif tersebut merupakan hal yang masih memiliki kemungkinan untuk diterapkan.

Adanya wacana mengenai kebijakan penerapan tarif 200% tersebut tentu merupakan hal yang sangat patut untuk kita perhatikan, karena dampaknya akan terasa langsung bagi banyak lapisan masyarakat. Kebijakan ini tidak hanya berdampak kepada jutaan konsumen, tetapi juga ke berbagai pelaku usaha di Indonesia.

Barang-barang tekstil dari China yang terancam terkena tarif misalnya, bukan hanya barang-barang produksi, tetapi juga barang-barang konsumsi. Semakin meningkatnya harga barang-barang tekstil seperti pakaian yang disebabkan oleh tarif yang tinggi tentu akan semakin menambahkan beban bagi dompet konsumen di Indonesia, karena mereka harus membayar harga jauh lebih tinggi (kompas.com, 4/7/2024).

Tidak hanya dari sisi konsumen, para pelaku usaha yang bergerak di bidang penjualan pakaian misalnya, juga akan mengalami tantangan yang berat. Saat ini, tidak sedikit dari pedagang tersebut yang mendapatkan marjin keuntungan dari omset yang sangat kecil dari barang yang dijualnya. Pedagang pakaian di pasar Tanah Abang misalnya, yang merupakan salah satu pasar terbesar di Jakarta, mengalami pendapatan yang terus menurun hingga hanya mendapatkan omset sekitar 2-3 juta rupiah per hari (sindonews.com, 13/8/2024).

Dari angka omset tersebut, margin yang didapatkan rata-rata pedagang pakaian di pasar diperkirakan sekitar 20-30%, atau sekitar 400-900 ribu per hari (cekbeli.com, 8/1/2025). Adanya biaya tarif yang sangat tinggi tentu akan semakin memperkecil marjin tersebut, dan tidak mustahil akan mengancam berbagai pedagang pakaian di Indonesia untuk gulung tikar.

Wacana mengenai kebijakan untuk menerapkan tarif yang tinggi ini juga mendapat respon kritik di parlemen dari beberapa anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Salah satu anggota komisi 6 DPR misalnya, mengatakan bahwa kebijakan ini tidak menjamin akan menekan jumlah barang impor, dan justru akan berpotensi meningkatkan peredaran barang-barang impor ilegal (liputan6.com, 1/7/2024).

Dari aspek diplomasi, kebijakan pengenaan tarif yang tinggi untuk barang-barang impor dari China tentu menimbulkan risiko yang tidak kecil. Lembaga think tank peneliti ekonomi dan politik Center for Strategic and International Studies (CSIS) misalnya, kebijakan ini berpotensi bisa menjadi boomerang bagi perekonomian Indonesia (tempo.co, 1/7/2024).

Indonesia misalnya, merupakan salah satu negara anggota World Trade Organization (WTO). Penerapan kebijakan untuk mengenakan tarif yang tinggi tersebut berpotensi akan membuat Indonesia digugat oleh negara-negara anggota WTO lainnya, seperti China, atau pun negara lain yang barang ekspornya ke Indonesia dikenakan tarif yang tinggi oleh pemerintah (tempo.co, 1/7/2024).

Selain itu, bukan tidak mungkin pula, kebijakan tarif ini akan menimbulkan tindakan pembalasan dari negara lain seperti China untuk menerapkan tarif yang tinggi bagi barang-barang dari Indonesia. Dengan demikian, hal ini berpotensi akan menimbulkan lanskap perang dagang baru, yang tentunya tidak akan menguntungkan siapa pun, dan justru akan merugikan para konsumen dan juga berbagai pelaku usaha (tempo.co, 1/7/2024).

Hal yang harus menjadi fokus Indonesia harusnya adalah bukan membatasi perdagangan dan menerapkan kebijakan proteksionisme yang ketat, melainkan harus beruapaya untuk memperkuat kualitas dan daya saing industri domestik. Hal ini mencakup berbagai langkah, seperti inovasi, meningkatkan teknologi, dan juga mengembangkan keterampilan.

Sebagai penutup, di era globalisasi dan interdependesi ekonomi antar negara yang semakin kuat, tentu Indonesia harus mampu berkompetisi dengan negara-negara lain untuk menyediakan produk dan jasa yang inovatif dna berkualitas. Hal tersebut tentu harus dicapai dengan memperbaiki kualitas manusia agar dapat semakin inovatif dan meningkatkan keterampilan, bukan dengan menutup dan membatasi perdagangan yang nantinya akan menimbulkan dampak yang kontraproduktif.

Originally published here

Kenaikan PPN dan Dampaknya untuk Konsumen di Indonesia

Beberapa waktu lalu, pemerintah Indonesia bersama dengan lembaga legislasi Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), memutuskan untuk meningkatkan tingkat pajak pertambahan nilai (value-added tax / PPN) di Indonesia dari 11% ke 12%. Keputusan ini diambil oleh para pengambil kebijakan diantaranya untuk meningkatkan pendapatan negara guna untuk membiayai program sosial yang semakin meningkat (cnbcindonesia.com, 25/11/2024).

Adanya aturan ini sendiri terhitung cukup cepat diimplementasikan. Bila sesuai dengan rencana dan tidak ada halangan yang besar, aturan kenaikan PPN ini akan diterapkan pada awal tahun depan, yakni di bulan Januari 2025, dan tentunya akan membawa dampak yang tidak kecil terhadap pelaku usaha dan juga konsumen di Indonesia.

Sebenarnya kebijakan untuk meningkatkan PPN di Indonesia ini bukan sesuatu yang baru, dan juga sudah dilakukan dalam belum lama ini. Pada tahun 2022 lalu misalnya, pemerintah juga mengambil keputusan untuk meningkatkan PPN di Indonesia dari yang sebelumnya 10% menjadi 11% (cnbcindonesia.com, 16/3/2022).

Pemerintah sendiri menjustifikasi kebijakan tersebut sebagai langkah yang tepat untuk menjaga kesehatan Anggaran Pendapatan dan Belanja Nasional (APBN). Sebagaimana yang disampaikan oleh menteri keuangan misalnya, bahwa menjaga kesehatan APBN merupakan hal yang harus dilakukan, terutama ketika terjadi hal-hal seperti krisis dan pandemi yang membutuhkan APBN yang besar (cnbcindonesia.com, 14/11/2024).

PPN sendiri merupakan salah satu bentuk pajak yang paling umum diterapkan di berbagai negara di dunia, dan dampaknya cukup terasa langsung. Pajak penghasilan misalnya, umumnya dikenakan langsung secara otomatis saat pekerja menerima gaji dari perusahaan. Sementara itu, PPN merupakan pajak yang terlihat jelas dan dirasakan pada saat ketika konsumen membayar barang atau jasa tertentu yang ia beli.

Adanya aturan ini sontak menimbulkan kontroversi dan juga pertentangan dari berbagai kalangan, termasuk juga para pelaku usaha. Kamar Dagang dan Industri Indonesia (Indonesia Chamber of Commerce & Industry / KADIN) misalnya, mendesak pemerintah untuk setidaknya menunda kenaikan PPN yang baru sebesar 12%.

KADIN menyatakan bahwa pemerintah perlu mempertimbangkan kondisi ekonomi dan juga daya beli masyarakat yang saat ini sedang menurun. Bila PPN naik ke 12%, maka para pelaku usaha akan terpaksa meningkatkan harga jual barang, yang tentunya akan menambahkan beban kepada konsumen (rmol.id, 30/11/2024).

Bukan hanya itu, bila PPN ini ditingkakan, maka biaya material dan juga jasa konstruksi proyek akan meningkat. Dengan demikian, yang paling merasakan dampaknya adalah para pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) karena margin mereka berpotensi besar akan semakin kecil (rmol.id, 30/11/2024).

Tidak hanya KADIN, organisasi Asosiasi Pengurus Ritel Indonenesia (Aprindo) misalnya, juga menyatakan peningkatan PPN ini akan memberatkan para pembeli. Saat ini, karena daya beli masyarakat yang semakin menurun, terjadi pergeseran orientasi konsumen, yang cenderung memilih produk dengan harga yang lebih murah dan ukuran yang lebih kecil (tempo.co, 17/11/2024).

Untuk produk air minum misalnya, untuk produk yang dengan harga 10% di bawah cenderung lebih laku, dan orientasi konsumen yang loyal sudah bergeser. Adanya kebijakan untuk meningkatkan PPN ini tentu akan menjadi tantangan yang tidak ringan yang harus dihadapi para pelaku usaha ritel (tempo.co, 17/11/2024).

Merespon berbagai kritik dan juga keberatan yang diajukan tersebut, pemerintah sendiri memberi keterangan bahwa kenaikan PPN dari 11% menjadi 12% tidak akan dikenakan secara membabi buta. Kenaikan ini hanya akan dikenakan kepada barang-barang konsumen yang masuk kategori mewah (cnbcindonesia.com, 14/11/2024).

Sehubungan dengan hal tersebut, ekonom dan pakar kebijakan publik UPN Veteran Jakarta mengatakan bahwa harus ada batasan yang jelas mengenai definisi dari barang mewh yang dimaksud. Jangan sampai, bila tidak ada batasan yang jelas, maka barang-barang konsumen yang juga dikonsumsi secara luas oleh masyarakat juga masuk ke dalam kategori tersebut (antaranews.com, 9/12/2024).

Bukan tidak mungkin misalnya, barang-barang seperti barang elektronik dengan kualitas yang tinggi bisa masuk ke dalam kategori tersebut. Bila hal ini terjadi, maka kelas menengah juga akan mengalami kesulitan untuk mendapatkan barang tersebut, yang mereka butuhkan untuk mengerjakan pekerjaan mereka sehari-hari (antaranews.com, 9/12/2024).

Tidak hanya konsumen, pihak pedagang pun tentu juga akan mengalami beban yang bertambah dari kebijakan kenaikan PPN ini. Para penjual elektronik di Mall Mangga Dua misalnya, yang merupakan salah satu pusat perbelanjaan terbesar di Jakarta yang menyediakan berbagai alat-alat elektronik, mengatakan bahwa mereka terkena hantaman yang besar sebelumnya karena pandemi. Bila kebijakan kenaikan PPN ini diberlakukan maka hal tersebut akan menjadi hantaman bertubi (kumparan.com, 1/12/2024).

Bahan-bahan pangan yang dianggap premium juga masuk dalam kategori produk yang menjadi target dari kenaikan PPN 12%. Beberapa bahan pangan tersebut diantaranya adalah beras berkualitas tinggi, buah-buahan premium, dan juga ikan yang berkualitas tinggi, seperti ikan salmon dan tuna (suara.com, 18/12/2024).

Padahal, konsumen dari bahan-bahan pangan yang masuk ke dalam kategori “mewah” atau premium tersebut tidak hanya dikonsumsi oleh kalangan yang berpenghasilan tinggi. Tidak sedikit pula kalangan kelas menengah di Indonesia yang menjadi konsumen dari produk-produk makanan tersebut, dan kenaikan PPN ini tentu juga akan meningkatkan beban kalangan tersebut.

Dengan demikian, maka pada dasarnya pihak yang berpotensi paling terkena dampak dari kenaikan PPN, meskipun dalam jumlah kecil, adalah orang-orang yang memiliki penghasilan menengah ke bawah. Hal ini termasuk juga orang tua penerima dana pensiun karena mereka hanya mendapatkan sepersekian dari gaji pokok ketika bekerja.

Sangat mungkin bahwa, orang-orang yang berpenghasilan tinggi dan menengah ke atas lebih banyak mengonsumsi barang-barang yang masuk ke dalam kategori “barang premium.” Namun, persentase kenaikan harga yang disebabkan oleh PPN tersebut sangat kecil bila dibandingkan dengan penghasilan besar yang mereka dapatkan.

Sebagai penutup, kebijakan publik yang memiliki dampak langsung yang sangat signifikan kepada masyarakat seperti kenaikan PPN tentu merupakan hal yang harus melibatkan banyak pihak. Jangan sampai, tujuan pemerintah untuk meningkatkan pendapatan demi membiayai berbagai program sosial justru menjadi kontraproduktif dan menambahkan beban kepada masyarakat, baik konsumen maupun produsen.

Originally published here

Pelarangan iPhone 16 dan Pentingnya Kebijakan Ekonomi Terbuka

Beberapa waktu lalu, Indonesia berhasil menjalankan salah satu agenda demokrasi yang sangat penting, yakni pergantian kekuasaan secara damai. Prabowo Subianto dilantik secara resmi sebagai presiden Indonesia ke-8 menggantikan Presiden Joko Widodo, pada tanggal 20 Oktober 2024.

Dalam berbagai kampanyenya, Presiden Prabowo kerap mengkampanyekan pertumbuhan ekonomi & pengentasan kemiskinan yang pesat. Tidak mengherankan bahwa, di awal pemerintahannya, presiden memiliki berbagai agenda untuk melakukan perjalanan kenegaraan ke luar negeri dan mengunjungi beberapa negara sahabat untuk menjalin hubungan dagang yang lebih erat dan meningkatkan investasi.

Di sisi lain, sejalan dengan pemerintahan sebelumnya, pendekatan perdagangan yang cenderung proteksionis merupakan langkah yang diambil dalam rangka untuk meningkatkan perekonomian Indonesia. Hal ini sendiri mencakup berbagai hal, seperti pengelolaan sumber daya mineral, pembatasan penjualan produk manufaktur dari luar negeri, dan lain sebagainya. Langkah juga dibela oleh Presiden Prabowo sebelum beliau menjabat sebagai kepala negara, dan masih menjadi Menteri Pertahanan (cnbcindonesia.com, 16/5/2024).

Terkait dengan pembatasan penjualan barang manufaktur dari luar negeri misalnya, beberapa waktu lalu, pemerintah Indonesia mengeluarkan larangan untuk peredaran produk terbaru Apple, iPhone 16, untuk diperjualbelikan di dalam negeri. Masyarakat tetap bisa menggunakan gadget tersebut jika memmbelinya di luar negeri, tetapi tidak boleh sampai diperjualbelikan di tanah air (kompas.com, 6/11/2024).

Pemerintah dalam hal ini menjustifikasi pelarangan peredaran produk tersebut karena produk terbaru Apple tersbeut belum memenuhi ketentuan Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN) yang ditetapkan oleh pemerintah. Dalam hal ini, Apple belum memenuhi ketentuan minimum 40% komponen dalam negeri yang terdapat di produk iPhone 16 untuk bisa diperjualbelikan di Indonesia (kompas.com, 31/10/2024).

Menanggapi hal tersebut, pihak Apple sendiri sudah mencoba mengirim surat kepada lembaga terkait, dalam hal ini Kementerian Perindustrian RI. Dalam suratnya, pihak Apple mengajak kementerian tersebut untuk mengadakan pertemuan, namun hingga saat ini masih belum jelas tanggal pastinya kapan pertemuan antara pihak pemerintah dan Apple akan dilakukan (kompas.com, 31/10/2024).

Adanya aturan ini tentu merupakan bentuk kebijakan yang membatasi kebebasan konusmen untuk memilih produk sesuai dengan kebutuhan dan keinginan mereka. Dengan adanya larangan produk manufaktur tertentu untuk beredar, maka pihak yang paling terbebani adalah dari sisi konsumen, yang semakin sulit untuk bisa mendapatkan produk tersebut serta harus mengeluarkan biaya yang lebih mahal.

Dampak dari pelarangan tersebut bagi konsumen tentu bukan hanya saja terkait dengan kesulitan untuk mendapatkan produk dan biaya tambahan yang dikeluarkan, tetapi juga untuk akses terhadap perangkat pendukung yang sangat dibutuhkan, misalnya bila ada masalah dari gadget tersebut. Salah seorang pengguna iPhone 16 terbaru yang tinggal di kota Tangerang misalnya, harus melakukan perjalanan bolak balik dari Indonesia ke Malaysia untuk mengklaim gadget yang baru dibelinya karena tidak sesuai ekspektasi (tribunnews.com, 11/11/2024).

Hal tersebut tentunya merupakan hal yang bisa dimitigasi bila kebijakan proteksi terhadap produk iPhone 16 tidak diambil. Konsumen yang mendapati membeli produk yang tidak sesuai bisa mengklaim dengan mudah melalui distributor dan toko-toko di dalam negeri sebagaimana gadget-gadget lainnya.

Tidak hanya itu, pihak lain yang berpotensi dirugikan dari kebijakan ini tentunya adalah para pelaku usaha dan distributor gadget yang ada di Indonesia, yang berpontensi kehilangan banyak pemasukan karena mereka tidak bisa menjual produk gadget dengan peminat yang besar di Indonesia. Bila warga Indonesia terpaksa membeli produk tersebut dari luar negeri, maka hal tersebut sama saja dengan menghilangkan pendapatan yang harusnya bisa dinikmati oleh para distributor di tanah air.

Penerapan kebijakan pelarangan produk tertentu juga berpotensi besar bisa meningkatkan penjualan produk ilegal di pasar. Terlebih lagi, bila produk yang dilarang tersebut merupakan produk dengan brand ternama dan memiliki banyak peminat di Indonesia. Bila produk ilegal meningkat, tentu hal ini bukan hanya merugikan konsumen dan pedagang jujur & beroperasi sesuai dengan kerangka hukum, tetapi juga bisa menguntungkan pihak-pihak pedagang gelap yang tidak bertanggung jawab.

Kebijakan pelarangan produk manufaktur dari luar negeri sendiri juga berpotensi bisa memberi sinyal yang negatif terhadap para pelaku usaha luar negeri, dan juga para pengambil kebijakan dari negara lain. Bisa jadi, dengan diberlakukannya kebijakan pelarangan produk, produk Indonesia juga bisa berpotensi mengalami kesulitan untuk masuk ke negara lain.

Selain itu, sangat penting untuk diingat bahwa, perusahaan multinasional besar seperti Apple tidak bisa membuat produk yang sangat diminati dan membangun brand yang sangat kuat dalam jangka waktu yang singkat. Dibutuhkan waktu bertahun-tahun untuk melakukan riset dan pengembangan, dan jangan sampai nanti ketentuan 40% komponen dalam negeri justru berkonsekuensi pada kualitas produk yang akan digunakan oleh para konsumen.

Sebagai penutup, kebijakan ekonomi yang nasionalis dalam bentuk proteksi dan pembatasan peredaran produk tertentu merupakan hal yang mengandung banyak unintended consequences. Melalui kebijakan tersebut, pihak yang paling dirugikan tentunya adalah para konsumen di dalam negeri dan juga para pelaku usaha dan distributor produk gadget di tanah air.

Selain itu, tidak hanya dari sisi konsumen, adanya kebijakan untuk membatasi produk konsumen dari luar negeri di Indonesia berpotensi bisa menimbulkan sentimen yang negatif dari para pelaku usaha dari negara lain. Dengan adanya aturan demikian, bukan tidak mungkin langkah dan misi pemerintah untuk membangun hubungan dagang dan ekonomi dengan negara lain bisa terganggu dan terganjal, dan nantinya juga bisa berpengaruh pada pelaku usaha dalam negeri yang ingin merambah pasar internasional.


Originally published here

Peluang Perdagangan Bebas untuk UMKM di Indonesia

Era globalisasi yang semakin pesat saat ini telah membawa perubahan besar bagi kehidupan banyak penduduk dunia di berbagai aspek. Perkembangan teknologi informasi yang semakin pesat, perjalanan internasional yang semakin murah & pesat, serta perdagangan antarnegara yang semakin masif merupakan salah satu dampak dari globalisasi yang semakin berkembang.

Berbagai dampak tersebut tentu membawa pengaruh yang sangat signifikan terhadap kehidupan masyarakat di berbagai belahan dunia. Dengan semakin pesatnya perkembangan teknologi informasi, kita bisa semakin mudah dan cepat dalam mencari dan mendapatkan berbagai informasi.

Tetapi di sisi lain, tidak sedikit juga sebagian pihak yang menunjukkan sikap negatif dari dampak globalisasi. Dampak globaliasai terhadap perdagangan misalnya, dianggap berpotensi besar akan merugikan banyak pelaku usaha dalam negeri yang harus bersaing dengan berbagai pelaku usaha dari luar.

Untuk itu, tidak sedikit kalangan yang mengadvokasi agar pemerintah menerapkan kebijakan proteksionisme dan pembatasan impor di berbagai sektor. Hal ini dianggap dapat mencegah kerugian yang akan dialami oleh pelaku usaha dalam negeri dari kompetisi dengan perusahaan internasional.

Padahal, adanya perdagangan bebas juga berpotensi mendatangkan banyak manfaat dan kesempatan bagi para pelaku usaha di Indonesia, termasuk juga para pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM). Dalam hal ini, para pelaku usaha di Indonesia bisa memiliki kesempatan untuk mengakses pasar yang jauh lebih besar dan luas di luar negeri untuk memasarkan produk-produk mereka.

Perjanjian perdagangan bebas antara Indonesia dan Korea Selatan misalnya, telah menandatangani kesepakatan perdagangan bebas. Kesepakatan tersebut tertuang dalam Indonesia-Korea Comprehensive Economic Partnership Agreement (IK-CEPA), dan tentunya berpotensi besar membuka ruang yang sangat luas bagi para pelaku usaha di Indonesia.

Disampaikan oleh wakil Menteri perdagangan, perserujuan tersebut dapat meningkatkan peluang para pelaku usaha UMKM untuk meraih pasar di Korea Selatan. Hal ini dikarenakan para pelaku usaha tersebut dapat mengekspor produk mereka ke Korea Selatan dengan tarif nol persen (kemendag.go.id, 17/9/2021).

Melalui perjanjian tersebut, setidaknya ada lebih dari 11 ribu jenis produk Indonesia yang bisa dipasarkan di Korea Selatan dengan tarif nol persen, Dari banyaknya produk tersebut, diprediksi ada berbagai produk dari Indonesia yang berpotensi besar mengalami peningkatan ekspor ke Korea Selatan, diantaranya adalah sepeda, sepeda motor, aksesori sepeda motor, rumput laut, olahan ikan, produk pakaian seperti kaos kaki, dan lain sebagainya (kemendag.go.id, 17/9/2021).

Tidak hanya perdagangan bebas dengan Korea Selatan, Masyarakat Ekonomi ASEAN (ASEAN Economic Community), merupakan sebuah visi besar untuk mendirikan area perdagangan bebas di wilayah Asia Tenggara antara negara-negara ASEAN. Adanya Masyarakat Ekonomi ASEAN ini memberikan peluang yang besar bagi para pelaku usaha di Indonesia untuk meluaskan pasarnya.

Kepala Pusat Studi ASEAN Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Gadjah Mada (UGM) misalnya, mengatakan bahwa UMKM di Indonesia menjalankan peran strategis sebagai aktor utama dalam Masyarakat Ekonomi ASEAN MEA). Hal ini dikarenakan UMKM di Indonesia berkontribusi terhadap lebih dari 60% produk domestik bruto Indonesia (ugm.ac.id, 30/7/2020).

Melalui MEA, para pelaku usaha di Indonesia akan mendapatkan berbagai manfaat, tidak hanya melalui perluasan akses pasar di dalam pangsa pasar tunggal, tetapi juga transfer teknologi dan juga harmonisasi kebijakan dan standar di berbagai sektor. Adanya hermonisasi kebijakan tentunya juga sangat bermanfaat dalam menarik investasi untuk menanamkan modal yang mereka miliki ke negara kita (asean2023.id, 7/7/2023).

Tidak hanya perdagangan bebas dengan negara-negara Kawasan Asia, adanya perjanjian perdagangan bebas dengan negara-negara di benua lain juga sangat berpotensi membawa manfaat bagi banyak pelaku usaha di Indonesia. Duta BEsar Indonesia untuk Kanada misalnya, menyampaikan bahwa adanya perjanjian perdagangan bebas dapat mempermudah UMKM di Indonesia untuk mengakses pasar Kanada. Tidak hanya Kanada, adanya perjanjian tersebut juga memberikan potensi pada UMKM di Indonesia untuk mengakses pasar negara lain di Amerika Utara, seperti Amerika Serikat (antaranews.com, 24/8/2020).

Bila Indonesia dan Kanada menandatangani perjanjian perdagangan bebas, maka para pelaku usaha di Indonesia bisa lebih bebas dalam memasarkan berbagai produk unggulan mereka seperti alas kaku, produk pakaian, dan perabotan tanpa tarif. Adanya tarif ini tentu menjadi penghalang untuk lebih banyak UMKM di Indonesia bisa memperluas pasar bagi produk-produk mereka di Kanada (antaranews.com, 24/8/2020).

Kisah sukses para pelaku usaha UMKM untuk memasarkan produk-produk mereka ke luar negeri merupakan hal yang tidak sedikit, dan tentunya bisa sangat menginspirasi. Produk mie telur asal kota Sidoardjo misalnya, sudah berhasil menembus pasar luar negeri seperti Arab Saudi, dan juga sudah mendapatkan izin dari lembaga regulator makanan dan obat Amerika Serikat (Food and Drugs Administration) untuk dijual ke negeri Paman Sam tersebut (alamisharia.co.id, 6/4/2023).

UMKM asal Bali, Bandar Mina misalnya, juga merupakan salah satu contoh kisah sukses UMKM Indonesia yang produknya. Berhasil menembus pasar internasional. UMKM tersebut menjual produk-produk ikan kerapu baik yang masih segar atau pun produk olahannya, dan produk-produknya sudah dijual di berbagai negara seperti China, Thailand, Jepang, Korea Selatan, dan Amerika Serikat (alamisharia.co.id, 6/4/2023).

Gendhis Bag, yang memproduksi berbagai jenis tas dari bahan-bahan alami seperti bamboo, rumput laut, dan rotan asal kota Yogyakarta juga merupakan salah satu contoh kisah sukses UMKM di Indonesia dalam menembus pasar internasional. Produk-produk dari UMKM tersebut sudah mencapai berbagai negara seperti Amerika Serikat, Jepang, Malaysia, dan Spanyol (mebiso.com, 2/8/2024).

Beberapa contoh kisah kesuksesan UMKM asal Indonesia di atas tentu hanya segelintir dari banyak kisah sukses lainnya. Bila ada semakin banyak negara atau wilayah regional yang menjalin perdagangan bebas dengan Indonesia, tentu potensi pasar yang bisa dijangkau oleh para pelaku UMKM di Indonesia akan semakin luas. Dengan demikian, usaha-usaha tersebut bisa semakin berkembang dan membuka semakin banyak lapangan pekerjaan untuk masyarakat.

Perdagangan bebas tentu bukan hal yang patut ditakuti apalagi ditolak keras. Melalui perdagangan bebas, seperti di kawasan Asia Tenggara saja misalnya dalam kerangka Masyarakat Ekonomi ASEAN, terdapat peluang potensi yang sangat besar yang bisa diambil oleh Indonesia. Indonesia merupakan negara penyumbang GDP terbesar di ASEAN, dan berpotensi besar sebagai gerbang bagi perusahaan multinasional yang ingin merambah pasar di Asia Tenggara (hsbc.co.id, 19/6/2024).

Terkait dengan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) misalnya, Indonesia memiliki jumlah UMKM terbesar di kawasan Asia Tenggara. Adanya perdagangan bebas di kawasan ASEAN tentu akan memberikan potensi yang sangat besar bagi para pelaku usaha UMKM tersebut untuk memperluas pasar mereka (liputan6.com, 22/7/2024).

Sebagai penutup, dengan adanya perdagangan bebas, maka bukan hanya konsumen yang mendapatkan manfaat melalui semakin banyak pilihan, tetapi para pelaku usaha dalam negeri juga akan mendapatkan manfaat melalui potensi pasar yang lebih luas. Hal ini tentunya berlaku bukan hanya perdagangan bebas dengan negara-negara mitra di kawasan Asia Tenggara, tetapi juga negara-negara mitra di kawasan belahan dunia lainnya.

Originally published here

Kebijakan TKDN dan Hambatan Kebebasan Berusaha di Indonesia

Nasionalisme ekonomi merupakan salah satu gagasan yang secara politik sangat popular di berbagai negara di dunia. Tidak sedikit kalangan yang berpandangan bahwa nasionalisme ekonomi merupakan solusi yang bisa melahirkan kemajuan dan membawa kesejahteraan bagi negara mereka.

Secara umum, nasionalisme ekonomi dipahami sebagai sebuah gagasan di mana pemerintah sebuah negara harus memprioritaskan para pelaku dalam negeri dalam bentuk kebijakan intervensionis. Kebijakan intervensionis ini bisa dalam berbagai bentuk, seperti kebijakan tarif, diskriminasi harga, kuota impor, subsidi bagi pelaku usaha dalam negeri, dan lain sebagainya.

Di Indonesia sendiri misalnya, kebijakan yang bernuansa nasionalisme ekonomi merupakan hal yang sangat umum di banyak sektor. Di bidang pangan misalnya, pemerintah Indonesia memberlakukan kebijakan kuota impor untuk membatasi peredaran bahan-bahan pangan di pasar dalam negeri, seperti daging dan juga nasi. Selain itu, kebijakan nasionalisme ekonomi lainnya yang cukup dikenal di Indonesia dibidang industri adalah Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN).

TKDN sendiri merupakan ketentuan persentase dari komponen berbagai produksi dalam negeri di Indonesia. Pemerintah Indonesia dalam hal ini memberikan ketentuan mengenai berapa besar persentase komponen dari dalam negeri untuk produk-produk tertentu yang beredar di pasar Indonesia (sucofindo.com, 3/7/2023).

Tingkat persentase TKDN yang ditetapkan oleh pemerintah sendiri sangat beragam, dan disesuaikan dengan tingkat prioritasnya. Tingkat prioritasi yang lebih tinggi berarti pemerintah menetapkan persentase yang tinggi juga dan begitu juga sebaliknya.

Untuk sektor alat keseharan misalnya, ditetapkan prioritas >60%. Hal ini berarti untuk alat-alat tersebut, minimum 60% komponennya harus dari bahan-bahan atau diolah di dalam negeri. Sektor lain seperti alat-alat pertanian misalnya,  ditetapkan prioritas >43%, sementara untuk industri listrik nasional ditetapkan nilai prioritas sebesar >40% (sucofindo.co.id, 3/7/2023).

Bagi para pendukungnya, dan juga pengambil kebijakan yang menyetujui implementasi hal tersebut, ada beberapa manfaat yang diklaim bisa kita dapatkan dari penerapan TKDN. Beberapa diantaranya adalah adanya TKDN dianggap bisa membuka lapangan kerja baru melalui semakin banyaknya usaha dalam negeri, bisa mendukung ekonomi dalam negeri, dan juga bisa meningkatkan rasa bangga masyarakat terhadap produk yang dibuat di Indonesia (sucofindo.co.id, 3/7/2023).

Klaim ini, bila dilihat secara singkat, sepertinya terlihat masuk akal. Dengan mewajibkan produk-produk atau industri tertentu untuk menggunakan kompoenen dalam negeri, hal ini dianggap akan membawa dampak positif terhadap industri dan juga usaha yang ada di Indonesia.

Namun, pada penerapannya tidak sebaik yang dibayangkan. Dalam banyak kasus, TKDN justru kerap menjadi bottleneck yang menghambat kemajuan dan perkembangan industri dalam negeri di Indonesia di berbagai bidang, diantaranya seperti sektor penerbangan dan juga energi.

Kewajiban menggunakan komponen dalam negeri misalnya, justru mengganjal sejumlah proyek pembangkit listrik yang dijalankan melalui Perusahaan Listrik Negara (PLN). Hal ini dikarenakan, banyak dari proyek tersebut mendapatkan pendanaan dari luar negeri, yang nilainya mencapai 51,5 triliun rupiah, dan dijadwalkan bisa beroperasi pada tahun 2026 mendatang (industri.kontan.co.id, 25/1/2024).

PLN menjelaskan bahwa Kementerian Perindustrian dalam hal ini tidak mau melonggarkan aturan TKDN untuk pembiayaan luar negeri. Beberapa proyek pembangkit listrik yang terhambat tersebut diantaranya adalah Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) Upper Cisokan PS, Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) Matenggeng PS, Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP) Ulumbu, dan lain sebagainya (industri.kontan.co.id, 25/1/2024).

Secara total, ada sekitar 20 pembangkit listrik yang menjadi terhambat karena jumlah komponennya tidak sesuai dengan aturan TKDN, dan hampis emua pembangkit listrik tersebut merupakan pembangkit yang menggunakan energi terbarukan (cnbcindonesia.com, 29/5/2024). Pihak yang paing dirugikan dari adanya hal tersebut tentu adalah masyarakat yang menjadi tidak bisa mendapatkan manfaat dari pembangkit tersebut.

Tidak hanya sektor energi, TKDN juga menjadi penghambat terhadap industri penerbangan. Hal ini dikarenakan banyak dari perusahaan penerbangan di Indonesia yang kesulitan untuk mengimpor suku cadang pesawat yang disebabkan adanya aturan TKDN. Belum lagi, pemerintah juga mengenakan pajak impor terhadap komponen suku cadang pesawat, yang tentunya berperan terhadap tingginya harga tiket untuk penerbangan dalam negeri di Indonesia (majalah.tempo.co, 30/6/2024).

Adanya aturan TKDN untuk industri penerbangan ini dimaksudkan untuk membantu dan mendukung industri komponen dalam negeri. Tetapi kenyataannya, banyak industri komponen di dalam negeri tersebut yang belum siap, dan hal ini semakin menyulitkan para pelaku usaha penerbangan yang ada di Indonesia (majalah.tempo.co, 30/6/2024).

Kembali dengan pembahasan sebelumnya terkait dengan manfaat, berdasarkan beberapa kasus di atas, dalam praktiknya kebijakan TKDN justru berpotensi menghasilkan dampak yang kontraproduktif dari yang diinginkan. Bila sektor industri seperti sektor energi terbarukan menjadi terhambat misalnya, karena investasi dan pendanaan luar negeri susah untuk masuk, maka akan semakin sedikit lapangan kerja yang akan terbuka bagi masyarakat.

Selain itu, mendukung industri dalam negeri, tetapi bila industrinya belum siap, seperti industri komponen suku cadang pesawat, tentunya akan membawa dampak yang negatif. Hal ini akan menyusahkan para pelaku industri lainnya yang sangat bergantung pada industri tersebut.

Sebagai penutup, kebijakan regulasi dengan menetapkan jumlah minimum komponen dalam negeri yang tertuang dalam TKDN merupakan bentuk kebijakan nasionalisme ekonomi yang keliru dan merugikan banyak pihak. Sudah seharusnya, di era globalisasi yang semakin pesat, kita meninggalkan berbagai kebijakan yang menutup diri, dan mengadopsi langkah kebijakan ekonomi yang semakin terbuka. 

Originally published here

Barang Elektornik dan Kebijakan Proteksi di Indonesia

Indonesia merupakan salah satu negara berkembang dengan jumlah populaasi yang sangat besar. Tidak mengerankan, bila hal tersebut tentunya menjadi potensi pasar yang sangat besar, dan tidak sedikit para pelaku usaha dari luar negeri yang berlomba-lomba berupaya untuk bisa menjual barang-barang yang mereka produksi kepada konsumen di Indonesia.

Para produsen tersebut meliputi berbagai sektor, mulai dari pakaian, kendaraan bermotor, hingga barang-barang elektronik. Tidak mengherankan bila banyaknya barang-barang luar negeri di Indonesia ini memunculkan kritik dari sebagian pihak, yang mengganggap hal tersebut dapat mengancam produsen dalam negeri.

Untuk itu, tidak sedikit pihak-pihak tersebut yang mengadvokasi adanya kebijakan dari pemerintah untuk memerlukan kebijakan yang membatasi peredaran barang-barang luar negeri tersebut di Indonesia. Belum lama ini misalnya, pemerintah melalui Kementerian Perindustrian (Kemenperin) mengeluarkan Peraturan Menteri (Permen) Perindustrian Nomor 6 tahun 2024 tentang Tata Cara Penerbitan Pertimbangan Teknis Impor Produk Elektronik.

Adanya peraturan Menteri tersebut sendiri merupakan pengejewantahan dari perintah langsung Presiden Joko Widodo kepada kementerian terkait untuk memperketat impor di berbagai jenis komoditas, salah satunya adalah barang-barang elektronik. Dalam aturan tersebut, Kemenperin membatasi impor 78 jenis barang elektornik yang sangat beragam, seperti AC, televisi, mesin cuci, kulkas, laptop, rice cooker, dan lain sebagainya (cnbcindonesia.com, 11/4/2024).

Dengan kata lain, melalui aturan tersebut, maka para importir barang-barang elektronik harus terlebih dahulu meminta izin kepada kementerian terkait untuk mendatangkan barang-barang tersebut dari luar negeri. Setelah itu, kementerian terkait akan menerbitkan pertimbangan teknis apakah akan menyetujui permintaan yang diajukan dengan menerbitkan Persetujuan Impor (PI) (kemendag.go.id, 15/4/2024).

Sontak, munculnya aturan ini menimbulkan kritik dari berbagai pihak, khususnya organisasi yang berfokus pada penelitian kebijakan ekonomi dan perdagangan. Adanya kebijakan ini tentunya bukan hanya akan mempersulit para pedagang di Indonesia untuk mendapatkan barang-barang tersebut, tetapi juga para konsumen karena ketersediaan barang-barang tersebut tentunya akan semakin sedikit.

Tidak bisa dipungkiri bahwa, produsen manufaktur produk-produk elektronik dalam negeri bukan tanpa masalah. Ada berbagai tantangan yang harus bisa diatasi oleh para pelaku usaha dan produsen produk-produk elektronik dalam negeri, seperti dari sisi kualitas dan lain sebagainya.

Tetapi adanya kebijakan pembatasan impor tentu bukan solusi yang tepat. Lembaga peneliti ekonomi Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) misalnya, menilai kebijakan pembatasan impor ini sebagai “jalan pintas” karena belum mampu untuk membangun industri barang-barang elektronik domestik yang kompetitif (bbc.com, 12/4/2024).

Yang memprihatinkan, kebijakan “jalan pintas” ini memang harus diakui bukan sesuatu yang jarang diambil. Karena tidak mau mengalami kesulitan, sering kali para pembuat kebijakan membuat aturan bernuansa “jalan pintas” secara cepat yang seakan bisa menyelesaikan berbagai persoalan yang ingin diatasi.

Bila hal ini dilakukan, tentu kebijakan ini akan membawa dampak negatif yang tidak kecil. Bila kita belum bisa membangun industri yang kompetitif di dalam negeri, dan impor dibatasi, maka konsumen menjadi pihak yang paling dirugikan, karena pilihan menjadi semakin sedikit, dan juga mereka akan dipaksa untuk membeli produk dengan kualitas yang tidak mereka inginkan. Belum lagi, hal ini juga akan berpotensi memunculkan kartel industri yang tentunya juga akan sangat merugikan konsumen.

Selain itu, peneliti dari lembaga riset Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) mengatakan bahwa, industri lokal di Indonesia dalam hal ini siap untuk memproduksi barang elektronik untuk konsumen kelas menengah ke bawah. Hal ini mencakup berbagai macam barang-barang elektronik seperti kulkas dan juga pendingin ruangan (AC) kategori low-end dengan harga yang terjangkau (bbc.com, 12/4/2024).

Hal ini tentu jauh berbeda dengan berbagai barang elektronik high-end yang menggunakan teknologi mutakhir dan memiliki harga yang cukup tinggi. Barang-barang high-end tersebut saat ini masih sangat sulit untuk bisa diproduksi di dalam negeri. Dengan demikian, setiap produsen memiliki pangsa pasarnya masing-masing.

Tidak hanya merugikan konsumen, adanya kebijakan ini juga akan berdampak pada sisi pelaku usaha, khususnya para pemasok produk, seperti para pemilik toko elektronik. Asosiasi Industri Perangkat Telematika Indonesia (AIPTI) misalnya, menyatakan bahwa adanya aturan ini akan membuat importir produk menjadi semakin mengecil, yang akan mengganggu pasokan barang (cnbcindonesia.com, 29/4/2024).

Belum lagi, Indonesia dalam hal ini juga sudah tergabung ke beberapa perjanjian perdagangan bebas (free trade agreement) dengan beberapa negara lain seperti ASEAN — China Free Trade Agreement dan juga ASEAN – Japan Comprehensive Economic Partnership (AJCEP). Dengan demikian, pemerintah tidak bisa semuanya menetapkan aturan pembatasan impor dengan alasan untuk melindungi produk dalam negeri.

Sebagai penutup, kebijakan proteksionis secara umum, termasuk juga kebijakan proteksi barang-barang elektronik, merupakan langkah yang akan berpotensi membawa kerugian. Hal ini tidak hanya menimpa konsumen, tetapi juga terhadap berbagai pemilik usaha di Indonesia, diantaranya adalah para pedagang dan pemasok barang elektornik. Dengan demikian, kebijakan tersebut berpotensi akan menguntungkan industri tertentu di dalam negeri, sementara di saat yang sama juga membawa dampak negatif terhadap sektor usaha lainnya.

Selain itu, upaya untuk meningkatkan kualitas produk-produk dalam negeri harus lah dilakukan melalui kebijakan yang mendorong adanya persaingan bebas dan juga menjaga hak konusmen untuk bebas memilih produk yang mereka inginkan. Adanya kebijakan proteksionisme justru juga berpotensi akan semakin memperburuk kualitas produk dalam negeri, seperti yang terjadi pada industri otomotif di India, Negara tersebut memberlakukan kebijakan proteksionisme terhadap industri otomotifnya, sementara itu kita ketahui bahwa hampir tidak ada industri otomotif India yang bisa bersaing di pasar dunia (autocarindia.com, 10/4/2022).

Untuk membuat produk barang dengan kualitas yang baik dan bisa dijangkau oleh banyak konsumen bukan merupakan sesuatu yang mudah. Dibutuhkan banyak pengetahuan mengenai (know-how) dibalik pembuatan produk tersebut, dan hal itu tidak bisa didapatkan secara instan melalui kebijakan pembatasan perdagangan dan proteksionisme.

Originally published here

Pendidikan Terjangkau dan Bekualitas serta Kebebasan Untuk Konsumen

Pendidikan merupakan salah satu aspek yang paling fundamental untuk menunjang dan mendukung kemajuan sebuah negara. Adanya masyarakat yang memiliki pendidikan yang baik merupakan modal manusia (human capital) yang sangat penting, karena melalui pendidikan, maka masyarakat akan memiliki tidak hanya keterampilan untuk bekerja, tetapi juga kemampuan untuk mengolah informasi dengan baik.

Tanpa adanya pendidikan yang baik, tentunya akan sangat sulit bagi masyarakat bisa berkembang dan beradaptasi dengan perkembangan teknologi. Untuk itu, kebijakan mengenai pendidikan umumnya merupakan salah satu kebijakan paling krusial yang sangat diperhatikan oleh negara.

Di Indonesia sendiri, isu pendidikan juga menjadi isu yang kerap menjadi perbincangan dan perhatian berbagai kalangan. Hal ini meliputi berbagai hal, mulai dari permasalahan biaya yang tinggi, gaji tenaga pendidik yang masih terlalu kecil, hingga permasalahan akses yang jauh dan sulit bagi para siswa untuk mencapai sekolah, khususnya siswa yang tinggal di daerah terpencil.

Isu mengenai ketimpangan akses misalnya, merupakan salah satu masalah yang menjadi fokus untuk diatasi Bagi banyak anak-anak Indonesia, khususnya yang dari kelas menengah ke bawah, pendidikan merupakan pintu bagi mereka untuk keluar dari kemiskinan dan menaiki tangga sosial. Bila mereka tidak mendapatkan akses terhadap pendidikan yang memadai, tentu akan sulit bagi mereka untuk memiliki masa depan yang lebih baik

Beberapa waktu lalu, untuk mengatasi masalah tersebut, Menteri Pendidikan Republik Indonesia (Mendikbud) mengeluarkan aturan baru untuk mengatur zonasi sekolah negeri di Indonesia (sindonews.com, 30/4/2024). Tidak mengherankan, adanya aturan ini menimbulkan pro dan kontra. Salah satu alasan keberatan sebagian pihak, khususnya dari anak dan orang tua adalah, anak-anak yang mendapatkan nilai tinggi namun tinggalnya tidak di wilayah yang terdapat sekolah favorit, maka terpaksa harus memilih sekolah lain yang berada di dekat rumahnya.

Besarnya masalah akses pendidikan di Indonesia tersebut tentu akan sulit bila kita hanya bergantung pada pemerintah saja. Untuk itu, tidak sedikit dari pihak-pihak penyelenggara pendidikan swasta yang berinisiatif untuk mendirikan mengembangkan sekolah swasta berkualitas tinggi dengan harga yang terjangkau untuk masyarakat.

Bahkan, tidak sedikit dari sekolah-sekolah tersebut yang tidak meminta bayaran sama sekali untuk siswa yang memang berasal dari keluarga menengah ke bawah. Berdasarkan penelitian tahun 2016 terkait dengan sekolah swasta terjangkau di Jakarta misalnya, ada 9 sekolah yang diteliti yang, antara hanya mengenakan biaya sekitar 30.000 — 130.000 rupiah, atau sekitar 2 — 10 USD per bulan hingga keringanan gratis untuk siswa dari keluarga menengah ke bawa, atau tidak mengenakan biaya sama sekali. (Center for Indonesian Policy Studies, 2016).

Hasil dari sekolah swasta tersebut terbukti memuaskan. Nilai matematika dari para siswa di sekolah swasta terjangkau tersebut misalnya, bisa melampaui nilai para siswa di sekolah negeri di Jakarta dengan rata-rata 23,84%. Sekolah-sekolah tersebut juga memiliki kelebihan dibandingkan dengan sekolah negeri, yakni mereka memiliki kebebasan untuk mengelola sumber daya finansial yang mereka miliki dengan cara yang efisien.

Selain itu, berbagai sekolah swasta terjangkau untuk anak-anak di daerah terpencil dan berasal dari keluarga kelas menengah ke bawah juga hadir di berbagai wilayah di Indonesia, seperti Aceh, Lampung, Jawa Tengah, Sulawesi Utara, dan juga Nusa Tenggara Timur. Anak-anak yang belajar dan dididik di sekolah-sekolah tersebut hasilnya juga bisa bersaing, bahkan lebih baik dari sekolah negeri.

Tidak hanya di pendidikan dasar misalnya, di pendidikan menengah, berbagai sekolah swasta berkualias juga tersebar di seluruh Indonesia. Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) Wisudha Karya di kota Kudus misalnya, merupakan sekolah SMK yang memiliki fokus pada bidang robotik dan teknologi. Sekolah ini juga telah mendulang berbagai prestasi dan telah bekerja sama dengan berbagai perusahaan besar seperti perusahaan otomotif Jepang, Mitsubishi (betanews.id, 25/4/2021).

Kerja sama antara sekolah swasta dengan pelaku industri, terlebih lagi industri besar misalnya, merupakan salah satu inovasi dari sekolah swasta yag harus diapresiasi, karena hal ini akan mempermudah para alumni untuk masuk ke dunia kerja. Dengan demikian, para siswa, khususnya dari kalangan menengah ke bawah bisa lebih mudah untuk mengalami mobilitas sosial ke atas, dan membantu keluarga mereka.

Ini lah salah satu kelebihan utama sekolah swasta dibandingkan dengan sekolah negeri. Karena tidak mendapatkan dana yang pasti pemerintah, hal ini mendorong dan memberi insentif kepada setiap sekolah swasta untuk melakukan berbagai inovasi dan memperbaiki kurikulum serta program dan fasilitas untuk menarik para orangtua mendaftarkan anak-anak mereka di sekolah tersebut.

Sebagai penutup, dibandingkan dengan “memaksa” para orangtua untuk mendaftarkan anak mereka di sekolah tertentu sesuai wilayah tempat mereka tinggal, sudah semestinya pemerintah memperluas kebebasan bagi para orangtua untuk memilih sekolah bagi anak mereka, termasuk juga tentunya sekolah swasta berkualitas.

Melalui sekolah swasta terjangkau, yang diuntungkan juga bukan hanya para orang tua dan anak-anak dari keluarga kelas menengah ke bawah karena mereka memiliki lebih banyak pilihan. Masyarakat secara umum juga akan diuntungkan karena dengan demikian kompetisi akan semakin sehat dan kuat antar lembaga pendidikan, yang tentunya akan meningkatkan inovasi mengenai cara dan metode terbaik untuk mendidik dan mencerdaskan anak-anak Indonesia.

Originally published here

Tingginya Harga Beras di Indonesia

Beras merupakan bahan makanan pokok yang sangat penting bagi jutaan penduduk di Indonesia. Oleh karena itu, politik kebijakan terkait dengan beras kerap menjadi isu yang sangat sensitif, karena kebijakan tersebut akan membawa dampak yang sangat besar bagi keseharian jutaan orang di Indonesia.

Terkait dengan kebijakan beras, salah satu aspek yang paling menjadi perhatian adalah ketersediaan beras yang bisa diakses oleh masyarakat. Sebagai salah satu negara penghasil beras terbesar di dunia, tidak mengherankan kalau banyak orang yang berharap adanya pasokan beras yang cukup sehingga mudah diakses oleh seluruh lapisan masyarakat.

Untuk tujuan tersebut, pemerintah memberlakukan serangkaian kebijakan, salah satunya adalah yang dikenal dengan kebijakan swasembada. Swasembada ini menitikberatkan pada kemampuan negara untuk bisa memenuhi kebutuhan pangan secara mandiri (self-sufficient), misalnya melalui pembatasan atau pelarangan impor. Tetapi, kebijakan yang diambil ini bukan tanpa konsekuensi, salah satunya adalah terkait dengan harga yang harus dibayarkan oleh masyarakat.

Bila dibandingkan negara-negara tetangga misalnya, yang juga menjadikan beras sebagai bahan pangan pokok mereka, harga beras di Indonesia termasuk salah satu yang tertinggi. Berdasarkan data bulan Februari lalu misalnya, harga beras di Indonesia berkisar Rp.18.000-18.500 per kilogram. Harga ini jauh di atas negara tetangga, seperti di Malaysia, yang bila dikonversi dengan rupiah, harga beras di negara tersebut sekitar Rp.6.240-9.984 per kilogram, sementara di Singapura sekitar Rp12.324 per kilogram (cnnindonesia.com, 20/2/2024).

Sementara itu, di negara tetangga lainnya, seperti Vietnam dan Thailand misalnya, yang juga merupakan negara penghasil beras di Kawasan Asia Tenggara, harga beras di kedua negara tersebut juga jauh di bawah Indonesia. DI Thailand misalnya, harga beras yang dijual sebesar 9.417 per kilogram, dan juga 9.091 kilogram di Vietnam (conversation.com, 27/5/2024).

Hal ini semakin memprihatinkan mengingat bahwa beberapa negara tetangga kita di atas memiliki tingkat penghasilan yang lebih tinggi daripada Indonesia. Malaysia misalnya, memiliki tingkat pendapatan per kapita 3 kali lipat lebih tinggi bila dibandingakan dengan Indonesia (statista.com,  4/7/2024). Selain itu, kalau Singapura tidak perlu dibahas lagi. Negara kota tersebut merupakan salah satu negara dengan tingkat pendapatan 17 kali lipat lebih tinggi dibandingkan dengan negara kita (statista.com, 4/7/2024).

Harga beras yang lebih murah, dan juga penghasilan yang lebih tinggi, membuat para penduduk di negara-negara tetangga kita di atas memiliki pendapatan yang siap dibelanjakan (disposable income) yang lebih tinggi, Dengan demikian, mereka memiliki uang yang lebih untuk untuk digunakan atau ditabung. Tingginya harga beras di Indonesia dibanding dengan negara-negara lain tentunya berpotensi membuat masyarakat Indonesia memiliki disposable income yang lebih kecil dibandingkan dengan penduduk di negara-negara lain di ASEAN.

Terkait dengan hal ini, para pembuat kebijakan di Indonesia sepertinya juga menyadari adanya fakta tersebut, dan memberi justifikasi bahwa penting agar bisa menyenangkan semua pihak, salah satunya adalah melalui kontrol harga. Padahal, adanya kebijakan dari pemerintah untuk mengontrol harga merupakan hal yang tidak tepat karena bisa merusak mekanisme permintaan dan penawaran, dan juga sangat sulit bagi pemerintah untuk bisa memiliki seluruh informasi yang cukup agar bisa menentukan harga komoditas tertentu dengan tepat.

Terkait dengan menjaga kepentingan produsen misalnya, hal ini tentu merupakan sesuatu yang penting, tetapi bukan berarti hal tersebut harus mengorbankan hak dari konsumen untuk mendapatkan bahan pokok pangan yang sangat penting seperti beras dengan harga yang murah. Thailand misalnya, juga merupakan salah satu negara negara produsen nasi terbesar di Asia Tenggara. Tetapi di negara tersebut, harga beras bisa lebih murah karena proses pengolahan beras di Thailand bisa lebih efisien dengan bantuan teknologi (finance.detik.com, 9/7/2019).

Tidak hanya mampu menyediakan beras dengan harga yang lebih terjangkau, penggunaan teknologi yang inovatif juga membuat kualitas beras menjadi lebih baik, seperti tidak cepat busuk, dan lain sebagainya. Hal ini diakui sendiri oleh Direktur Utama Bulog, yang memiliki peran untuk mengelola ketersediaan bahan pangan esensial di Indonesia, seperti beras, gula, terigu, dan lain sebagainya (merdeka.com, 17/1/2022).

Selain itu, sebagaimana yang sudah dibahas sebelumnya, kebijakan pembatasan impor juga berkontribusi terhadap permasalahan tersebut. Hal ini dikarenakan kebijakan pangan yang berdaulat merupakan salah satu platform kebijakan yang sangat popular di Indonesia, dan didukung oleh tidak hanya sedikit pihak.

Tetapi tentunya hal ini merupakan pandangan yang sangat keliru. Ekonom Universitas Institut Pertanian Bogor (IPB) misalnya, Manuntun Hutagol, menyatakan bahwa yang menjadi masalah bagi para petani di Indonesia adalah para petani diharuskan menjual gabahnya langsung ketika dipanen (republika.id, 1/2/2024).

Hal ini dikarenakan para petani di Indonesia banyak yang petani kecil dan tidak memiliki akses terhadap kredit bank, sehingga harus meminjam uang kepada rentenir. Agar bisa melunasi hitang tersebut, mereka akhirnya diharuskan untuk menjual hasil panennya dengan cepat. Apabila pemerintah melalui Bulog tidak memiliki cukup gudang untuk membeli hasil panen tersebut, maka hasil panen petani tersebut akan dijual kepada para agen dan operator penggilingan padi dengan harga murah.

Dengan dilarangnya impor beras, maka yang menguasai pasar beras di Indonesia adalah para pedagang dan agen serta para operator penggilingan padi dalam negeri. Mereka bisa mengendalikan harga beras di pasar, dan juga mendapat untung besar dengan cara membeli beras dengan harga rendah dari petani dan menjualnya dengan harga yang tinggi kepada konsumen (republika.id, 1/2/2024).

Oleh karena itu, kebijakan penutupan impor beras merupakan kebijakan yang keliru dan tidak tepat, dan justru membawa masalah seperti tingginya harga beras di Indonesia bagi para konsumen. Persaingan pasar yang bebas merupakan cara yang efektif agar pra produsen mengutamakan efisiensi dalam kegiatan produksinya.

Sebagai penutup, beras merupakan bahan pangan yang sangat esensial bagi masyarakat Indonesia. Dengan demikian, adanya kebijakan pangan dan pertanian beras yang tepat adalah hal yang sangat penting untuk diperhatikan oleh para pembuat kebijakan, dan harus memfokuskan pada puluhan juta rakyat yang menjadi konsumen dan mengonsumsi nasi setiap hari untuk memenuhi kebutuhan nutrisi mereka. Jangan sampai kebijakan yang dikeluarkan justru merugikan masyarakat hanya untuk menguntungkan segelintir pihak.

Originally published here

en_USEN

Follow us

WASHINGTON

712 H St NE PMB 94982
Washington, DC 20002

BRUSSELS

Rond Point Schuman 6, Box 5 Brussels, 1040, Belgium

LONDON

Golden Cross House, 8 Duncannon Street
London, WC2N 4JF, UK

KUALA LUMPUR

Block D, Platinum Sentral, Jalan Stesen Sentral 2, Level 3 - 5 Kuala Lumpur, 50470, Malaysia

OTTAWA

718-170 Laurier Ave W Ottawa, ON K1P 5V5

© COPYRIGHT 2025, CONSUMER CHOICE CENTER

Also from the Consumer Choice Center: ConsumerChamps.EU | FreeTrade4us.org