Toko daring kini menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan jutaan warga Indonesia. Melalui platform e-commerce, masyarakat dapat memenuhi berbagai kebutuhan sehari-hari, mulai dari bahan pokok hingga barang elektronik dan rumah tangga. Jumlah pengguna toko daring di Indonesia mencapai 178,94 juta jiwa pada tahun 2022 dan diperkirakan meningkat menjadi 244,67 juta pada 2027. Dengan nilai transaksi mencapai 476,3 triliun rupiah pada 2023, sektor ini telah menjadi tulang punggung perekonomian digital nasional. (detik.com, 5/11/2023).
Dengan besarnya transaksi dan pengguna toko daring tersebut, platform ini juga menyediakan kesempatan bagi baanyak para pedagang di Indonesia untuk menjajakan dagangannya. Pada tahun 2023 lalu saja misalnya, berdasarkan Badan Pusat Statistik (BPS), ada sekitar 2,99 juta pelaku usaha e-commerce yang ada di Indonesia, yang merupakan 37,79% dari total pelaku usaha di dalam negeri (indonesiabaik.id, 26/3/2024).
Beberapa waktu lalu, melihat besarnya potensi dan perkembangan toko daring yang sangat pesat, pemerintah melalui Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan, menyampaikan bahwa akan mengenakan pajak sebesar 0,5% bagi para pelaku usaha toko daring di Indonesia yang memiliki omzet antara 500 juta sampai dengan 4,8 miliar dalam satu tahun (detik.com, 1/7/2025).
Sontak aturan ini mendapatkan banyak kritik dari berbagai pihak, salah satunya adalah dari Asosiasi E-commerce Indonesia (idEA), di mana idEA meminta bahwa aturan pajak yang baru tersebut untuk diterapkan dengan berhat-hati. Implementasi dari aturan ini tentu akan berdampak langsung pada jutaan penjual di Indonesia, khususnya para pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah (tempo.co, 30/6/2025).
Tidak hanya dari pihak asosiasi, para pedagang online juga banyak bersuara untuk menanggapi kebijakan pajak baru yang dikenakan pemerintah tersebut. Misalnya Fina, salah satu pedagang daring dari Kalimantan, mengatakan bahwa yang paling terkena dampak dari kebijakan ini adalah pedagang kecil, dibandingkan dengan pedagang besar yang sudah memiliki nama dan memiliki pelanggan yang tetap (detik.com, 27/6/2025).
Untuk bisa bertahan dan beradaptasi misalnya, para pedagang online harus lebih gencar dalam promosi dan meningkatkan pelayanan, ang tentunya akan meningkatkan jam kerja. Fina sendiri mengakui bahwa selain melalui upaya promosi yangs emakin gencar, para pedagang online yang tidak besar juga harus lebih banyak memberikan promosi kepada konsumen dan juga mengecilkan ukuran kemasan produk (detik.com, 27/6/2025).
Di luar kebijakan pajak, para pelaku usaha juga beroperasi dalam kondisi pasar yang tidak selalu mudah. Survei Penjualan Eceran yang dikeluarkan oleh Bank Indonesia misalnya, menunjukkan penjualan eceran pada Juli 2025 secara bulanan menurun. Penurunan ini tampak dari Indeks Penjualan Riil (IPR) yang turun 4,1 persen secara bulanan (kompas.id, 12/9/2025).
Indeks Keyakinan Konsumen (IKK) pada Agustus 2025 lalu misalnya, memiliki skor sebesae 117,2. Indeks Keyakinan Konsumen tersebut turun 0,9 persen dibanding bulan sebelumnya yang mencapai 118,1. Angka itu berada di titik terendah dalam tiga tahun terakhir, syakni ejak September 2022 yang mencapai angka yang sama, yakni 117,2 (kompas.id, 12/9/2025).
Selain itu, dari sisi perusahaan misalnya, seperti platform e-commerce, penerapan pajak baru juga dapat memengaruhi dinamika bisnis. Untuk menyesuaikan diri, platform-platform ini bisa saja mengenakan biaya tambahan kepada para penjual, baik melalui potongan komisi yang lebih tinggi maupun biaya layanan yang meningkat. Dalam rantai ekonomi digital, beban ini akan berantai, dari perusahaan ke penjual, lalu ke konsumen. Pada akhirnya, seluruh ekosistem e-commerce akan menjadi tertekan.
Penerapan kebijakan ekonomi tidak bisa dipandang semata-mata dari sisi fiskal untuk meningkatkan pemasukan negara sebanyak-banyaknya. Harus ada keseimbangan antara kebutuhan negara dan kemampuan masyarakat untuk menanggung beban tersebut. Jika tidak, tujuan jangka panjang berupa pertumbuhan ekonomi berkelanjutan akan sulit tercapai.
Tidak bisa kita lupakan bahwa, pemerintah memiliki target yang tinggi terkait dengan pertumbuhan ekonomi, hingga mencapai 8% (detik.com, 4/2/2025). Target untuk mencapai pertumbuhan yang tinggi tersebut tentu akan sulit untuk dicapai bila ada kebijakan yang memberatkan para pelaku usaha. Terlebih lagi jika pelaku usaha yang terkena dampak tersebut merupakan sektor usaha yang besar dan melibatkan banyak anggota masyarakat seperti sektor usaha e-commerce.
Dengan demikian, pemerintah perlu membuka ruang dialog yang lebih luas dengan para pemangku kepentingan, mulai dari asosiasi e-commerce, pelaku UMKM, hingga konsumen. Suara mereka penting untuk memastikan kebijakan pajak yang diterapkan benar-benar adil dan proporsional. Dalam situasi ekonomi yang masih penuh ketidakpastian, kehati-hatian dalam mengambil kebijakan menjadi kunci agar tidak menghasilakn dampak yang negatif.
Setiap kebijakan publik, terlebih lagi yang berdampak besar bagi masyarakat, tentu harus dirumuskan dengan melibatkan semua pihak. Jangan sampai kebijakan tersebut justru akan membebankan masyarakat, sepeti para pelaku usaha misalnya, yang menjadi tulang punggung ekonomi nasional. Sudah seharusnya, suara-suara dari para pelaku usaha, termasuk juga di sektor e-commerce juga didengar dan dijadikan sebagai bahan pertimbagan yang penting dalam pengambilan keputusan.
Originally published here