Apresiasi Kebijakan Penghapusan Kuota Impor Daging

Persoalan mengenai pangan saat ini masih menjadi persoalan yang tidak kecil di Indonesia. Sebagai negara dengan status masih negara berkembang, persoalan mengenai nutrisi, khususnya nutrisi minimum yang dikonsumsi oleh anak-anak di Indonesia, masih menjadi tantangan yang berat. Data Survei Kesehatan Indonesia tahun 2023 misalnya menunjukkan prevalensi anak-anak di bawah usia 5 tahun yang mengalami stunting di Indonesia masih berada pada angka 21,5% (tempo.co, 28/9/2024).

Salah satu sumber nutrisi yang sangat penting untuk memenuhi kebutuhan, terlebih lagi bagi anak-anak yang masih berada dalam masa pertumbuhan, adalah protein hewani yang umumnya berasal dari daging hewan. Konsumsi masyarakat Indonesia terhadap nutrisi yang berasal dari hewan masih cukup rendah.

Merujuk pada laporan OECD–FAO tahun 2024, konsumsi daging sapi nasional hanya 2,27 kg/kapita/tahun, sementara rata-rata dunia sebesar 6,298 kg/kapita/tahun. Hal serupa juga terlihat pada konsumsi daging kambing yang hanya 0,43 kg/kapita/tahun dibanding rata-rata dunia 1,78 kg/kapita/tahun, serta konsumsi daging ayam sebesar 8,54 kg/kapita/tahun, jauh di bawah rata-rata dunia 14,9 kg/kapita/tahun (Indonesia.go.id, 15/6/2024).

Angka konsumsi yang rendah ini dapat dipahami mengingat daging merupakan salah satu sumber pangan dengan harga relatif tinggi. Harga daging sapi di Indonesia misalnya dapat mencapai 130.000 rupiah per kg, atau sekitar USD 90 (finance.detik.com, 30/4/2025).

Sementara itu, pendapatan per kapita Indonesia pada Oktober 2025 berada pada kisaran USD 5.070, atau sekitar USD 422 per bulan (imf.org, 2025). Dengan demikian, kebijakan yang dapat membuat harga pangan bernutrisi tinggi seperti daging menjadi lebih terjangkau merupakan hal yang sangat penting. Bila harga daging dibiarkan semakin meningkat, maka semakin sedikit warga yang dapat mengonsumsinya, dan upaya pengentasan kekurangan nutrisi akan semakin sulit.

Salah satu faktor penting yang harus diperhatikan adalah jumlah ketersediaan daging di pasar. Mengikuti hukum permintaan dan penawaran, bila jumlah ketersediaan daging semakin sedikit dan tidak mampu memenuhi kebutuhan masyarakat, maka harga daging akan meningkat, dan pihak yang dirugikan adalah masyarakat kelas menengah ke bawah.

Upaya memastikan ketersediaan daging dapat ditempuh melalui berbagai cara, mulai dari meningkatkan produksi dalam negeri hingga impor dari luar negeri. Namun, persoalan mengenai pangan dan impor merupakan isu sensitif di Indonesia. Tidak sedikit pihak, mulai dari politisi hingga kelompok masyarakat tertentu, yang mengusung gagasan kemandirian pangan dan menganggap bahwa sektor pangan adalah sektor yang harus sebisa mungkin dilindungi.

Pandangan tersebut sering mendorong pengambil kebijakan untuk memberlakukan pembatasan impor yang sangat ketat. Pada tahun 2014 misalnya, Presiden Joko Widodo pernah menyatakan bahwa ia akan mendorong penghentian impor daging sapi ke Indonesia (merdeka.com, 20/12/2014).

Akibat kebijakan pembatasan tersebut, harga daging sapi menjadi sulit dijangkau banyak kalangan. Pada tahun 2023, harga daging sapi per kilogram di Indonesia mencapai 137.500 rupiah, sementara harga di Malaysia hanya 88.799 rupiah (cnnindonesia.com, 10/1/2023). Selisih harga yang signifikan ini memperlihatkan dampak langsung dari pasokan yang terbatas di dalam negeri.

Pandangan seperti ini membuat para pengambil kebijakan untuk mengambil langkah yang buruk seperti memberlakukan pembatasan impor sektor pangan yang sangat ketat. Pada tahun 2014 lalu misalnya, presiden Joko Widodo, yang saat itu masih menjabat, mengatakan bahwa ia akan mendorong untuk menghentikan impor produk daging sapi ke Indonesia (merdeka.com, 20/12/2014).

Akibat kebijakan pembatasan tersebut, tentunya harga daging sapi menjadi sulit dijangkau oleh banyak kalangan. Pada tahun 2023 lalu misalnya, harga daging sapi di Indonesia jauh lebih mahal dibanding negara tetangga kita seperti Malaysia. Harga daging sapi per kilogram di Indonesia mencapai 137.500 rupiah per kg, sementara harga di Malaysia hanya 88.799 rupiah per kg (cnnindonesia.com, 10/1/2023).

Untungnya, beberapa waktu lalu pemerintah Indonesia di bawah kepemimpinan Presiden Prabowo Subianto memutuskan untuk menghapus kuota impor berbagai komoditas yang menyangkut hajat hidup orang banyak, termasuk daging sapi. Secara ekonomi, kebijakan ini merupakan langkah yang logis mengingat kuota impor selama ini menciptakan keterbatasan pasokan yang mendorong harga menjadi semakin tinggi. Dengan dihapusnya kuota, pasokan dapat lebih mudah menyesuaikan kebutuhan pasar sehingga harga memiliki peluang lebih besar untuk turun dan menjadi lebih terjangkau.

Dukungan dari berbagai asosiasi pelaku usaha juga memperlihatkan bahwa kebijakan ini sejalan dengan kebutuhan industri. Gapuspindo, misalnya, mengapresiasi penghapusan kuota impor karena selama ini mekanisme kuota dianggap menimbulkan distorsi dan tidak memberikan kepastian bagi pelaku usaha. Bila pasokan dapat bergerak lebih fleksibel dan tidak dibatasi oleh kuota, maka struktur biaya dan rantai pasok dapat menjadi lebih efisien. Pada akhirnya, konsumen akan merasakan dampaknya melalui harga yang lebih stabil (tempo.co, 27/6/2025).

Hal serupa disampaikan oleh Asosiasi Peternak Sapi Perah Indonesia (APSPI). Dukungan tersebut menunjukkan bahwa pasar yang lebih terbuka justru dapat membantu meningkatkan produktivitas sektor peternakan. Dengan akses yang lebih mudah terhadap bahan baku dan input lainnya, pelaku usaha dapat meningkatkan kapasitas dan kualitas produksi, yang kemudian berkontribusi pada penguatan industri susu nasional (tempo.co, 27/6/2025).

Selain itu, analisis dari Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) menekankan bahwa penghapusan kuota impor harus dibarengi dengan penyederhanaan regulasi dan peningkatan transparansi. Kedua hal tersebut penting agar proses impor dapat berjalan lebih cepat dan responsif terhadap kebutuhan masyarakat. (cips-indonesia.org, 2/5/2025).

Hal ini relevan terutama jika melihat data Badan Pusat Statistik (BPS) yang menunjukkan bahwa produksi domestik daging sapi pada tahun 2024 sebesar 478,85 ribu ton masih jauh di bawah kebutuhan nasional yang mencapai 680,02 ribu ton. Selama kesenjangan ini tidak dapat dipenuhi oleh produksi dalam negeri, pembatasan impor hanya akan memperburuk kondisi pasar dan membebani konsumen dengan harga yang semakin mahal (cips-indonesia.org, 2/5/2025).

Dengan demikian, dukungan berbagai asosiasi tersebut menunjukkan bahwa kebijakan kuota impor selama ini tidak efektif dalam menjaga ketersediaan pangan. Sebaliknya, kuota justru memperkecil ketersediaan daging di pasar dan meningkatkan harga. Oleh karena itu, keputusan pemerintah untuk menghapus kuota merupakan langkah penting untuk memastikan ketersediaan daging yang lebih optimal dan akses pangan bergizi yang lebih merata bagi masyarakat.

Sebagai penutup, kebijakan pembatasan impor, terutama untuk komoditas esensial seperti bahan pangan, merupakan hal yang berbahaya dan harus dihindari. Pembatasan impor berpotensi besar memperkecil ketersediaan barang di pasar dan membuat semakin sedikit masyarakat yang mampu memperolehnya. Oleh karena itu, kebijakan untuk menghapus kuota impor merupakan langkah yang sangat penting untuk dilakukan demi memastikan akses pangan bergizi yang lebih terjangkau bagi seluruh masyarakat Indonesia.

Originally published here

Share

Follow:

Other Media Hits

Subscribe to our Newsletter