Day: November 19, 2020

Wielka Brytania bije kolejne rekordy w walce z nałogiem tytoniowym

Najnowsze badania YouGov zlecone przez Action on Smoking and Health w Wielkiej Brytanii dowiodły, że 58% dorosłych waperów to byli palacze a odsetek tych, którzy również są palaczami tytoniu, sukcesywnie spada i w tym roku osiągnął 38%.

Ponadto, 60% dorosłych użytkowników e-papierosów zadeklarowało, że głównym powodem, dla którego przerzucili się na vaping była troska o własne zdrowie.

Sceptycy próbują podważać badanie przedstawiając e-papierosy jako świeży produkt kierowany do konsumentów tytoniu otwierając w ten sposób nową drogę do uzależnienia.

Zupełnie innego zdania jest Maria Chaplia współpracowniczka ds. Europejskich w Consumer Choice Center, która mówi: „Tak jak substytuty cukru pomagają ludziom zmniejszyć spożycie cukru, tak e-papierosy pomagają ludziom rzucić palenie”, „Nie obwiniamy substytutów cukru za zwiększone spożycie cukru, ale zrobienie tego w przypadku e-papierosów wydaje się dopuszczalne”.

Pani Chaplia zwraca w swojej wypowiedzi na dość istotny aspekt, mianowicie zamiast skupić się na walce i ucieczce od tytoniowego uzależnienia za wszelką cenę, rozważmy zasadność stosowanych metod. Pamiętajmy, że co roku na świecie umiera 8 milionów palaczy dlatego każda szeroko rozpowszechniona metoda na zerwanie z nałogiem tytoniowym jest bardzo ważna i ma znaczenie.

Originally published here.

Piano Ue contro il cancro, il Parlamento dà spazio alla sigaretta elettronica

Pietro Fiocchi (FdI), membro della Commissione parlamentare che sta stilando un rapporto per il piano, assicura che vi sarà un paragrafo sul vaping.

Di Barbara Mennitti| SIGMAGAZINE

Il rapporto che lo Special Committee on cancer del Parlamento europeo consegnerà alla Commissione come contributo per il Piano contro il cancro includerà un paragrafo sulla sigaretta elettronica. A rivelarlo è stato l’europarlamentare italiano Pietro Fiocchi (Fratelli d’Italia), durante un incontro organizzato questa mattina dalla sede a Bruxelles della Camera di commercio britannica, incentrato proprio sul Beating Cancer Plan dell’Unione europea. Sottotitolo dell’evento, prevenire è meglio che curare e proprio sugli strumenti e le best practice in materia di prevenzione verteva l’intervento di Fiocchi. Il parlamentare italiano, che è relatore ombra della Commissione speciale sul cancro dell’Europarlamento ha aggiunto che “è importante che il paragrafo sul vaping contenga le cose giuste”, cioè presumibilmente che tratti la sigaretta elettronica come strumento di riduzione del danno da fumo.

Read the full article here.

Putting a price on the European Green Deal

A Commission impact assessment lays out what happens if the EGD is implemented, and it does not look good, writes the Consumer Choice Center’s Bill Wirtz.

The European Green Deal (EGD) is one of the cornerstones of the Von der Leyen Commission. It is hardly controversial to say that European policymakers have responded to public pressure with more environmentally friendly policies, which have, in turn, created heated debates over many other EU policies, ranging from CAP reform to the EU-Mercosur free trade agreement or the reform of the Emissions Trading System.

The EGD is ambitious – it seeks out to reach zero net emissions by 2050, with “economic growth decoupled from resource use“. It intends to do so through structural reform in the field of agriculture, decarbonising the energy sector, and laying out new taxation schemes to avoid unsustainable imports into Europe. However, the appropriate question is: at what cost? The additional expenditure for the European Union per year (between 2020 and 2030) will be a whopping €260bn. But it does not stop there.

At the end of September, the European Commission released an impact assessment that answers this question. This document has largely remained uncommented by Commission officials, or in the broader media landscape, which is surprising because it contains crucial data points. For once, in most models laid out in the assessment, GDP is expected to shrink. This is in close relationship with declines in employment, consumption, and exports. The latter will be particularly devastating for countries that heavily rely on export industries, which employ people with limited re-employment opportunities. As service industries – such as the financial sector – will be less affected, this will widen the opportunity gap in the labour market.

“We should be transparent about the effects of the European Green Deal, especially if it implies a worsened situation for consumers”

Another weight on existing inequalities will be rising energy prices for consumers. As the German energy shift (Energiewende) has shown already, a quick change to renewable energy sources, arrived through subsidisation programmes, has sharply increased consumer energy prices. The Commission’s impact assessment recognises that, though in a way that puts into question their consideration of the importance of social sustainability: “A drawback from a social perspective are the higher energy prices for consumers.” Calling it a “drawback” hardly does the immense cost for low-income consumers any justice.

A common narrative in the debate surrounding the EGD is that environmental policy shifts enable job and wealth creation. EGD Commissioner Frans Timmermans likes to talk about “green jobs”, referring to the opportunities created by the Commission’s plans. Instead of the COVID-19 crisis giving him pause, Timmermans says that “our response to the COVID-19 crisis allows us to save jobs not for years but for decades to come, and create new jobs. We may never again spend as much to reboot our economy – and I sure I hope we will never again have to.” Will he reconsider now that the impact assessment of his own Commission revealed three weeks after his speech that the cost for this strategy is significant? You would be courageous to hold your breath.

Given the current situation surrounding COVID-19, as GDP contraction expectations approach those of the 2008 financial crisis, we cannot adopt these kinds of policies without proper consideration. Some will claim that the price is that the noble goal justifies the means, but in any way, we should be transparent about the effects of the European Green Deal, especially if it implies a worsened situation for consumers. We owe it to the principles of transparency and accountable governance.

Originally published here.

Apakah Vape yang Mengandung Perasa Mempengaruhi Seseorang Untuk Merokok?

Vape atau rokok elektonik saat ini merupakan produk yang sudah digunakan oleh jutaan konsumen, terutama di kota-kota besar. Di berbagai kota, dengan mudah kita bisa menemukan pertokoan yang menjual produk-produk rokok elektonik dengan berbagai merek.

Penggunaan vape juga terus meningkat, dari tahun ke tahun. Di Indonesia sendiri misalnya, pada bulan Juli tahun 2020 lalu, diperkirakan ada sekitar 2,2 juta pengguna rokok elektonik dan 5.000 penjual vape di seluruh Indonesia (Kontan.co.id, 21/07/2020).

Namun, fenomena ini juga bukan berarti tidak menimbulkan pro dan kontra. Tidak sedikit pihak-pihak yang menyatakan sangat keberatan dan mengkritik fenomena meningkatnya penggunaan vape. Salah satu alasan yang kerpa digunakan adalah, rokok elektrik merupakan produk yang dapat menjadi pintu masuk bagi rokok tembakau konvensional yang dibakar.

Oleh karena itu, banyak pihak yang cemas dan khawatir terhadap fenomena meningkatnya pengunaan vape, khususnya di kalangan anak-anak muda. Dikhawatirkan, akan semakin banyak populasi perokok di kalangan anak muda yang disebabkan oleh penggunaan rokok elektrik, yang tentunya akan semakin banyak menimbulkan penyakit kronis seperti kanker dan serangan jantung.Lantas, apakah pandangan tersebut sesuatu yang tepat? Apakah vape merupakan gateway drugs bagi penggunaan rokok konvensional?

Berdasarkan laporan dari lembaga kesehatan pemerintah Britania Raya, Public Health England, rokok elektrik atau vape terbukti 95% jauh lebih aman daripada rokok konvensional yang dibakar (Public Health England, 2015). Hal ini dikarenakan, ada lebih dari 7.000 zat kimia yang terdapat di rokok konvensional, di mana 69 dari zat kimia tersebut merupakan zat yang berbahaya dan dapat menimbulkan kanker.

Hal ini jauh berbeda dengan komponen yang berada di dalam vape atau rokok elektrik. Bahan dasar yang digunakan dalam cairan rokok elektrik adalah propylene glycol (PG) dan vegetable glycerin (VG), yang merupakan zat umum yang digunakan untuk memberikan perasa dalam berbagai makanan, salah satunya adalah kue (American Lung Association, 20/08/2019).

Sama halnya dengan rokok konvensional, cairan yang dipakai di dalam rokok elektrik juga mengandung zat nikotin. Kandungan zat nikotin yang terdapat di dalam rokok elektrik ini sering dianggap sebagai penyebab utama yang membuat rokok elektronik dapat menimbulkan berbagai penyakit kronis, seperti penyakit jantung, dan rokok elektrik berpotensi besar akan membuka pintu bagi para penggunanya untuk menggunakan rokok konvensional yang dibakar.Namun pandangan tersebut adalah sesuatu yang keliru. Berdasarkan badan penyedia layanan kesehatan Britania Raya, National Health Service (NHS), nikotin, meskipun zat yang berpotensi dapat menimbulkan kecanduan, namun relatif aman. Faktor utama yang membuat rokok konvensional sangat berbahaya bagi kesehatan dan dapat menimbulkan berbagai penyakit kronis seperti kanker dan penyakit jantung adalah zat-zat beracun lainnya yang terkandung di dalam rokok tersebut, dan bukan pada nikotinnya (National Health Service, 2019). Pandangan bahwa rokok elektrik merupakan pintu masuk untuk rokok konvensional juga merupakan sesuatu yang salah besar. Sebaliknya, justru melalui rokok elektrik atau vape, para perokok justru menjadi sangat terbantu untuk menghentikan kebiasaan mereokok mereka yang sangat berbahaya bagi kesehatan.

Di Amerika Serikat misalnya, berdasarkan laporan dari National Academies of Sciences, Engineering, and Medicine pada tahun 2018, terdapat kaitan yang erat antara menurunnya populasi perokok di Amerika Serikat dengan meningkatnya penggunaan vape di negeri Paman Sam tersebut (National Academies of Sciences, Engineering, and Medicine, 2018). Studi yang dipublikasikan oleh New England Journal of Medicine pada tahun 2019 juga menunjukkan bahwa penggunaan vape dua kali lipat lebih efektif dibandingkan dengan produk-produk pengganti nikotin lainnya yang digunakan untuk membantu perokok untuk berhenti merokok (The New England Journal of Medicine, 2019).

Joachim Schüz, yang merupakan ketua dari lembaga riset kanker milik World Health Organization (WHO), The International Agency for Research on Cancer, untuk bagian lingkungan dan radiasi, mendukung penggunaan vape untuk membantu perokok untuk berhenti merokok. Schüz menyatakan bahwa rokok elektronik jauh tidak lebih berbahaya dibandingkan dengan rokok konvensional (Consumer Choice Center, 2020).

Sebagai penutup, kebijakan pelarangan vape atau kebijakan yang membatasi pilihan rokok elektrik yang dapat dikonsumsi oleh konsumen merupakan kebijakan yang sangat berbahaya. Hal ini akan semakin mempersulit para perokok untuk berhenti merokok, yang tentunya juga akan semakin sulit untuk mereduksi berbagai penyakit yang sangat berbahaya yang disebabkan oleh penggunaan dan konsumsi rokok seperti kanker dan penyakit jantung.

Perlu ditekankan bahwa, saya dalam hal ini bukan mengadvokasi seseorang untuk mengkonsumsi nikotin atau menggunakan produk-produk rokok elektrik. Namun, kesalahpahaman mengenai dampak rokok elektronik serta manfaat yang dapat diberikan oleh produk tersebut kepada konsumen adalah hal yang sangat penting untuk dikoreksi dan diluruskan.

Tidak ada manfaatnya bagi para otoritas kebijakan kesehatan publik atau pemerintah untuk menakut-nakuti warganya terhadap produk-produk rokok elektrik. Hal ini justru sangat berbahaya karena akan membuat para perokok enggan untuk berpindah ke rokok elektrik yang jauh lebih aman, yang dapat membantu mereka untuk hidup lebih sehat dan terhindar dari berbagai penyakit kronis.

Originally published here.

Departemen Kesehatan Pennsylvania Mengadakan Pertemuan Virtual Mengatasi Risiko Vaping

Departemen Kesehatan Program Narkoba dan Alkohol berkolaborasi di bawah kepemimpinan Menteri Kesehatan, Rachel Levine, mengadakan sebuah pertemuan virtual membahas tentang mengatasi risiko vaping bersama dengan Gubernur Demokrat, Tom Wolf.

“Ribuan orang di Pennsylvania menjadi korban produk tembakau dan vaping yang dipasarkan secara terang-terangan dan tidak menyadari dampak kesehatan yang signifikan seperti kecanduan nikotin dan penyakit terkait paru-paru. Saya bangga melihat para ahli, kelompok advokasi, dan otoritas lokal berkumpul untuk membahas tantangan dan menemukan peluang untuk mengatasi epidemi vaping,” kata Levine.

Dalam pertemuan ini memang tidak ada presentasi khusus mengenai pengurangan dampak buruk. Acara tersebut hanya diskusi bagaimana para ahli menyikapi kekhawatiran di antara produk bebas rokok dan pendukung pengurangan bahaya tembakau yang akan dihadapi di masa depan.

Consumer Choice Center, menerbitkan whitepaper yang mengindeks status vaping di semua 50 negara bagian di Amerika Serikat. Untuk menentukan peringkat setiap negara bagian, pusat tersebut menciptakan sistem penilaian yang mempertimbangkan peraturan seperti pembatasan rasa, pajak nikotin, tembakau, dan kebijakan penjualan produk vaping secara online.

Menurut sistem poin negara bagian, 0 hingga 10 poin yang diterima memberikan nilai “F” untuk negara bagian. 11 sampai 20 poin adalah nilai “C”. Negara-negara dengan skor antara 21 dan 30 telah menerima nilai “A”. Pennsylvania, berdasarkan indeks vaping Consumer Choice Center, diberi peringkat dengan nilai “C”.

Originally Published here.

en_USEN

Follow us

WASHINGTON

712 H St NE PMB 94982
Washington, DC 20002

BRUSSELS

Rond Point Schuman 6, Box 5 Brussels, 1040, Belgium

LONDON

Golden Cross House, 8 Duncannon Street
London, WC2N 4JF, UK

KUALA LUMPUR

Block D, Platinum Sentral, Jalan Stesen Sentral 2, Level 3 - 5 Kuala Lumpur, 50470, Malaysia

OTTAWA

718-170 Laurier Ave W Ottawa, ON K1P 5V5

© COPYRIGHT 2025, CONSUMER CHOICE CENTER

Also from the Consumer Choice Center: ConsumerChamps.EU | FreeTrade4us.org