fbpx

Giorno: 15 febbraio 2021

Industri Vape e Lapangan Kerja dell'Indonesia

Industri rokok elektronik, atau yang dikenal dengan nama vape, merupakan salah satu industri yang kini terus berkembang di berbegai negara di dunia, termasuk juga dell'Indonesia. Bagi kita yang tinggal di wilayah urban di kota-kota besar misalnya, dengan mudah kita bisa menemukan berbegai orang yang menggunakan rokok elektronik, khususnya mereka yang berasal dari kalangan muda.

Konsumen vape dell'Indonesia sendiri bukan dalam jumlah yang sedikit. Pada tahun 2020 lalu misalnya, berdasarkan daya dari Asosiasi Vaper Indonesia (AVI), setidaknya ada 2 juta masyarakat Indonesia yang secara aktif mengkonsumsi rokok elektronik (rm.id, 24/4/2020).
Meningkatnya pengguanan vape dell'Indonesia sendiri bisa kita lihat disebabkan oleh berbegai hal. Fino a quando non ci sono titoli di coda, rokok elektronik menyediakan berbegai fitur yang tidak disediakan oleh berbegai produk rokok convenzionale. Salah satunya adalah, rasa yang sangat variatif, seperti rasa buah-buahan, yang jarang atau bahkan mustahil bisa kita dapatkan di produk-produk rokok yang dibakar convenzionale. Hal ini tentu membuat vape memiliki daya tarik tersendiri, terutama bagi kalangan muda yang tinggal di perkotaan.

Namun, tidak semua orang menyambut baik adanya fenomena tersebut. Berbagai kalangan dell'Indonesia mengadvokasi e mendukung agar seluruh produk vape dell'Indonesia dapat dilarang secara penuh.

Organisasi dokter di Indonesia, Ikatan Dokter Indonesia (IDI) misalnya, mengadvokasi dan menuntut pemerintah agar segera melarang seluruh produk rokok elektronik. IDI beralasan bahwa rokok elektronik dianggap sebagai produk yang berahaya bagi kesehatan, dan tidak jauh berbeda dari rokok konvensional yang dibakar (CNN Indonesia, 24/9/2019).

Meskipun demikian, penelitian oleh lembaga kesehatan dari berbegai negara di dunia justru menunjukkan hasil yang sebaliknya. Pada tahun 2015 lalu misalnya, lembaga kesehatan public asal Inggris, Public Health England (PHE), mengeluarkan laporan yang menyatakan bahwa rokok electronic merupakan product yang jauh lebih aman bila dibandingkan dengan rokok yang dibakar convenzionale, yakni hingga 95% lebih aman (gov.uk, 19/8/2015).

Hal ini tentu merupakan sesuatu yang sangat positivo. Bila semakin banyak para konsumen rokok yang dapat beralih e dan berpindah ke produk-produk rokok elektronik yang terbukti jauh lebih aman dibandingkan dengan rokok konvensional, maka tentu akan lebih sedikit orang-orang yang terkena penyakit cronis, e biaya kesehatan juga menjadi dapat ditekan e menu.

Untuk itu, kebijakan pelarangan vape, seperti yang diadvokasi oleh IDI e berbegai lembaga lainnya, adalah kebijakan yang tidak tepat e justru akan membawa banyak kerugian. Questo tipo di attività per l'Indonesia potrebbe anche essere considerato un prodotto mencari che richiede molto tempo a qualsiasi persona, che potrebbe essere considerato come membahayakan mereka. Belum lagi, pelarangan tersebut tidak mustahil akan memunculkan berbegai produk-produk ilegal yang justru sangat berbehaya bagi konsumen.

Selain itu, yang tidak kalah pentingnya adalah, industri vape di negeri kita sendiri sudah menyumbangkan banyak lapangan kerja bagi masyarakat Indonesia. Berdasarkan data dari Asosiasi Personal Vaporizer Indonesia (APVI) misalnya, pada tahun 2020 lalu, setidaknya ada 50.000 orang yang secara langsung bekerja di industri rokok elektronik di Indonesia (vapemagz.co.id, 6/6/2020).

Angka ini, berdasarkan data APVI, belum termasuk tenaga kerja yang bekerja di berbegai toko retail rokok elektronik di seluruh Indonesia. APVI memperkirakan, bahwa setidaknya ada 3.500 toko retail rokok elektronik yang tersebar di seluruh nusantara. 2.300 diantara toko tersebut setidaknya tersebar di pulau Jawa, semntara sisanya tersebar di berbegai pulau lainnya, seperti Kalimanta, Sumatera, Bali, dan Sulawesi (vapemagz.co.id, 6/6/2020).

Hal ini tentu merupakan perkembangan yang pesat, mengingat industri vape merupakan industri yang tergolong baru berkembang dell'Indonesia. Industri rokok elektronik di Indonesia sendiri baru berkembang setidaknya sejak 4 tahun terakhir, atau sejak tahun 2017. Pada tahun 2017 misalnya, pengguna vape di Indonesia berjumlah 900.000 pengguna. Angka tersebut meningkat menjadi 1,2 juta pengguna pada tahun 2019, dan 2,2 juta pengguna pada tahun 2020 (vapemagz.co.id, 6/6/2020).

Hal tersebut tentunya menunjukkan peningkatan yang cukup pesat. Bisa dipastikan, di tahun-tahun setelahnya, industri vape atau rokok elektronik dell'Indonesia akan terus meningkat, yang pastinya akan semakin meningkatkan lapangan kerja. Questo demikian, kebijakan pelarangan vape dell'Indonesia tentu bukan saja merupakan kebijakan yang dapat membahayakan konsumen, namun juga akan menutup lapangan kerja banyak orang, serta akan menutup pintu pembukaan lapangan kerja lain, yang sangat dibutuhkan oleh banyak masyarakat dell'Indonesia.

Semakin meningkatnya penggunaan vape atau rokok elektronik ini juga telah menyumbang pendapatan cukai yang tinggi bagi pemerintah. Pada tahun 2019 saja misalnya, industri rokok elektronik telah menyumbangkan setidaknya 427 miliar rupiah. Angka ini tentu merupakan jumlah yang sangat besar, dan bisa digunakan oleh pemerintah untuk membiayai berbegai program-program publik (vapemagz.co.id, 6/6/2020).

Sebagai penutup, industri vape telah menyumbang banyak tenaga kerja dan juga pendapatan cukai yang tidak sedikit bagi pemerintah e negara Indonesia. Belum lagi, produk rokok elektronik merupakan produk sudah terbukti jauh lebih aman bila dibandingkan dengan rokok yang dibakar convenzionale tentu merupakan ha yang sangat positivo. Questo tipo di svapo è stato progettato per essere utilizzato in modo indipendente da altri tipi di contenuti che hanno già avuto problemi con il tempo, karena bukan hanya o semakin membahayakan kesehatan publik, ma non è ancora possibile negare il pendapatan, e può anche essere utilizzato per ottenere banyak orang.

Originariamente pubblicato qui.

L'audace piano climatico di Biden non dovrebbe vietare la plastica

Come previsto, l'amministrazione Biden aveva solo pochi giorni e aveva già esercitato il potere della penna. Il primo giorno, il presidente Biden ha emesso 17 azioni esecutive su questioni che vanno dai soccorsi per il COVID19 alla riforma dell'immigrazione. Le principali tra queste erano le azioni sulla politica climatica, destinate a essere una pietra angolare dell'agenda di Biden.

Tutto in un giorno, il presidente Biden ha nuovamente impegnato gli Stati Uniti nell'Accordo sul clima di Parigi e ha revocato i permessi per il progetto del gasdotto Keystone XL, la cui quarta fase dovrebbe essere completata per trasporto petrolio dall'Alberta, Canada a Steele City Nebraska al ritmo di 500.000 barili di petrolio al giorno per 20 anni.

Gli attivisti per il clima hanno applaudito le prime azioni del presidente, ma stanno spingendo per di più. Da parte sua, il gruppo di attivisti Pace verde vuole che Biden dichiari guerra totale alla plastica, sostenendo progetti di legge come il “Liberati dalla legge sull'inquinamento da plastica.” Per non essere da meno, il Times di Los Angeles il comitato editoriale ha sollecitato restrizioni sulla plastica monouso in tutte le future politiche sul cambiamento climatico. 

Il Congresso ha anche aggiunto alcuni nuovi guerrieri di plastica alla sua tabella dei posti a sedere. Il nuovo senatore degli Stati Uniti. Jon Osoff (D-GA) ha condotto una campagna per un divieto federale generale sulla plastica, mentre il senatore degli Stati Uniti nominato Alex Padilla (D-CA) è stato il architetto del divieto del sacchetto di plastica della California del 2014. 

Sebbene non ci siano dubbi che l'amministrazione Biden metterà la plastica nel mirino, dovremmo chiederci se i divieti sulla plastica siano, nel complesso, positivi per l'ambiente e il clima.

Se ci preoccupiamo per l'ambiente, molte delle prove portate alla luce da altri paesi ci indirizzano nella direzione opposta. 

Quando la Danimarca ha preso in considerazione il divieto dei sacchetti della spesa in plastica monouso, i suoi studi hanno scoperto che erano di gran lunga superiori rispetto alle alternative. I danesi sono arrivati a questo conclusione sulla base di 15 parametri ambientali, tra cui il cambiamento climatico, la tossicità, l'esaurimento dell'ozono, l'esaurimento delle risorse e l'impatto sull'ecosistema. Hanno calcolato che i sacchetti di carta dovrebbero essere riutilizzati 43 volte per avere lo stesso impatto totale di un sacchetto di plastica. Per il cotone, le cifre erano ancora peggiori. Un sacchetto di cotone deve essere riutilizzato 7.000 volte, mentre una versione organica dovrebbe essere utilizzata 20.000 volte per essere alla pari con un sacchetto di plastica monouso. I modelli di utilizzo dei consumatori mostrano chiaramente che se l'ambiente è la nostra preoccupazione, vietare i sacchetti di plastica è un netto negativo.

Oltre alle borse, c'è anche un valido argomento da dimostrare che altre materie plastiche possono essere vantaggiose dal punto di vista ambientale rispetto alle alternative. Ricercatori a Svizzera, esaminando i contenitori per alimenti per bambini, ha concluso che l'uso della plastica rispetto al vetro ha ridotto le emissioni fino al 33% grazie al suo peso più leggero e ai minori costi di trasporto. La stessa metrica si applica anche a tutto, dagli imballaggi alimentari ai beni di consumo di tutti i giorni. 

Pertanto, limitare la plastica spingerebbe senza dubbio i consumatori verso alternative ad alto impatto, il che va contro gli obiettivi di sostenibilità e riduzione dei rifiuti.

Questo non vuol dire negare il grave problema della cattiva gestione dei rifiuti di plastica. Infatti, se Biden vuole agire per rimuovere i rifiuti di plastica dal nostro ambiente, dovrebbe prendere in considerazione pratiche di riciclo innovative che si stanno dimostrando efficaci, come la depolimerizzazione chimica. 

Questo è il processo di riciclaggio avanzato, in cui la plastica viene scomposta e riutilizzata in nuovi prodotti. Ci sono progetti innovativi in corso in tutto il Nord America guidati da scienziati e imprenditori, prendendo semplici plastiche, alterandone i legami chimici e riutilizzandole in granuli di resinapiastrelle per la tua casa, e persino asfalto stradale. Questo approccio consente all'innovazione di risolvere i rifiuti di plastica, crea posti di lavoro e lo fa con un impatto ambientale minimo.

Ma per chi riconosce le potenzialità di questa innovazione, rimane ancora il problema delle microplastiche, che spesso finiscono nelle nostre fonti idriche. Fortunatamente, scienziati avere una risposta anche qui. 

Utilizzando l'ossidazione elettrolitica, i ricercatori sono riusciti ad "attaccare" le microplastiche, scomponendole in C02 e molecole d'acqua, il tutto senza sostanze chimiche aggiuntive. Qui, l'amministrazione Biden potrebbe abbracciare la scienza che rende queste tecnologie scalabili e sostenibili.

Se il presidente Biden vuole ascoltare l'appello dell'azione per il clima, ha tutti gli strumenti a sua disposizione per farlo. Ma piuttosto che approvare divieti di plastica costosi e inefficaci, dovremmo guardare a innovatori e scienziati che stanno offrendo una terza via sui rifiuti di plastica. Sarebbe una vera approvazione della scienza per il 21° secolo.

David Clement è il direttore degli affari nordamericani con il Centro di scelta dei consumatori

Originariamente pubblicato qui.

Michael Bloomberg fa impazzire la missione statale della tata dell'OMS

Michael Bloomberg potrebbe avere una reputazione domestica come sindaco di una grande città per tre mandati dalla parlantina dura che ha fatto esplodere centinaia di milioni in un condannato campagna presidenziale, ma in tutto il mondo i suoi soldi parlano.

Per anni, la sua organizzazione benefica Bloomberg Philanthropies ha erogato miliardi di dollari a cause globali vicine e care al cuore del miliardario: cambiamento climatico, sanità pubblica, istruzione e arte. Di conseguenza, nel mondo in via di sviluppo, le donazioni private di Bloomberg lo hanno spinto in una sorta di governo privato spavaldo.

Quando lui vietato grandi bibite a New York City, stava solo iniziando. "Mayor Big Gulp" ha ambizioni globali. Che sia in Giappone, India, Perù o Filippine, Bloomberg's penzoloni di denaro gratuito ha portato ad aumentare le aliquote fiscali su prodotti di consumo come bibite e sigarette, fornendo rigore intellettuale per severi divieti e restrizioni su alcol e dispositivi di vaporizzazione e convincendo i ministri della salute ad accettare restrizioni pubblicitarie sui cereali per bambini.

Grazie al suo baule da guerra statale, Bloomberg lo era di nome questa settimana al terzo mandato come "Ambasciatore globale per le malattie non trasmissibili e le lesioni" dell'Organizzazione mondiale della sanità, una missione che ha finanziato personalmente per molti anni. Mentre Bloomberg's recenti investimenti nella risposta e nella ricerca COVID-19 sono lodevoli, la sua missione decennale di esportare lo stato balia all'estero tramite il soft power dell'OMS è dannosa, per non dire paternalistica. E l'OMS ha contribuito a gettare i semi per l'attuale pandemia più di quanto sappiamo.

L'OMS è sempre stata una burocrazia gonfia costi di viaggio di lusso altissimi e un'allergia a seria riforma. Ma era dell'OMS fallimenti nell'epidemia di Ebola del 2013 che ha iniziato a far luce su come si fosse persa. L'organizzazione lo ha ammesso solo sei anni fa. L'epidemia di Ebola "è servita a ricordare che il mondo, inclusa l'OMS, è mal preparato per un'epidemia ampia e prolungata", ha affermato. dichiarato.

Mentre l'inefficienza era il principale colpevole, non è difficile vedere come l'OMS sia stata sfocata. La missione strisciante dell'OMS, concentrandosi maggiormente sulle tasse sulla soda e rendendo illegali le sigarette elettroniche nei paesi del terzo mondo, il tutto finanziato dalle iniziative di Bloomberg, aiuta a spiegare la tiepida risposta allo scoppio del coronavirus in Cina, che ha portato al presidente Donald Trump ritiro gli Stati Uniti dall'ente sanitario nel 2020. Presidente Biden invertito quella decisione nei suoi primi giorni in carica, senza nemmeno una cortese richiesta di riforma.

I vari passi falsi dell'OMS nella corsa alla pandemia, insieme alla sua missione vacillante di proteggerci dalle epidemie globali, è una delle ragioni principali per cui dovremmo opporci all'espansione globale dello stato balia di Bloomberg. Anche ora, l'ente di beneficenza di Bloomberg sta incanalando milioni nelle agenzie sanitarie di paesi come le Filippine e India, il tutto in cambio di specifici divieti e restrizioni sui prodotti di consumo, che hanno messo in discussione l'influenza della portata del miliardario. Quella portato Il primo ministro indiano Narendra Modi ha deciso di tagliare alcuni cordoni della borsa di Bloomberg nel 2014 e ha scatenato la recente indagini nelle losche donazioni di Bloomberg alla FDA delle Filippine.

Queste azioni non solo sono elogiate dall'OMS, ma sono agevolate e rese necessarie per ricevere eventuali fondi futuri. È qui che l'OMS ci sta portando fuori strada. Piuttosto che dotare medici e sistemi sanitari per combattere la prossima pandemia, le tasche profonde di Bloomberg sostituiscono l'OMS come agente di polizia globale che impone tasse sulla soda, divieti sul tabacco e restrizioni sui dispositivi di svapo nei paesi in via di sviluppo.

La missione globale di bambinaia di Bloomberg crea problemi per la salute pubblica, ed è ancora più preoccupante per la prospettiva di un'epidemia globale che farebbe sembrare indolori i blocchi di COVID-19.

Yaël Ossowski (@Yael Oss) è vicedirettore del Centro di scelta dei consumatori, un gruppo globale di difesa dei consumatori.

Originariamente pubblicato qui.

Descrizione
it_ITIT