Monat: 13J

Pentingnya Peneliti Indonesien Meneliti Kebijakan Harm Reduction di Negara Lain

Rokok Elektrik, atau yang dikenal juga dengan nama vape, saat ini merupakan produk yang digunakan oleh banyak orang di seluruh dunia, termasuk juga di Indonesia. Kita, khususnya yang tinggal di wilayah perkotaan, tentu sudah tidak asing lagi melihat penggunaan rokok elektrik di berbagai tempat.

Indonesien sendiri memiliki jumlah populasi pengguna vape yang tidak kecil. Tercatat pada tahun 2022 lalu misalnya, Indonesien memiliki sekitar 2,2 juta pengguna vape, di mana angka ini merupakan peningkatan sebesar 40% dari tahun 2021 (ekonomi.bisnis.com, 18.7.2022).

Jumlah pengguna di atas 2 juta orang tentu bukan merupakan angka yang kecil. Dengan besarnya jumlah pengguna vape tersebut, tentu ada alasan yang beragam yang membuat para konsumen untuk menggunakan produk tersebut. Mulai dari alasan finansial, bahwa secara total biaya vape lebih murah dibandingkan rokok, hingga vape digunakan sebagai alat yang dapat membantu para penggunanya untuk mengurangi atau berhenti merokok.

Vape atau rokok elektrik sendiri memang sudah menjadi salah satu alat yang difungsikan untuk membantu para perokok untuk mengurangi hingga menghentikan kebiasaan merokoknya. Inggris misalnya, melalui National Health Service (NHS), telah merekomendasikan rokok elektrik sebagai alat untuk membantu para perokok untuk berhenti merokok (nhs.uk, 10.10.2022).

Di sisi lain, tidak sedikit pula pihak-pihak yang memiliki tanggapan negatif terhadap fenomena meningkatnya pengguna vape di Indonesia. Mereka yang memiliki sikap sangat kontra, umumnya berpandangan bahwa vape atau rokok elektrik merupakan produk yang sangat berbahaya bagi kesehatan publik sehingga harus dilarang, atau setidaknya diregulasi secara sangat ketat.

Beberapa lembaga kesehatan dunia sendiri justru telah menyatakan bahwa rokok elektrik atau vape merupakan produk yang lebih aman dibandingkan rokok konvensional yang dibakar. Lembaga kesehatan öffentlich asal Inggris, Public Health England, misalnya, pada tahun 2015 lalu, mengeluarkan laporan yang menyatakan bahwa vape merupakan produk yang 95% lebih tidak berbahaya bila dibandingkan dengan rokok konvensional yang dibakar (theguardian.com, 28/1 2/2018).

Itulah sebabnya, vape cukup sering digunakan sebagai alat untuk membantu kebijakan harm reduction dari rokok. Schadensminderung sendiri merupakan serangkaian kebijakan atau program yang ditujukan untuk mengurangi steamak negatif dari penggunaan produk tertentu yang berbahaya, seperti rokok misalnya.

Menjadikan vape atau rokok elektrik sebagai alat untuk membantu program dan kebijakan harm reduction sendiri mungkin merupakan sesuatu yang belum terlalu akrab di telinga öffentlich. Tidak bisa dipungkiri, salah satu penyebab utama dari hal ini adalah masih banyak pihak-pihak yang memiliki pandangan bahwa vape merupakan produk yang sama bahayanya, atau bahkan jauh lebih berbahaya, dari rokok konvensional yang dibakar.

Untuk itu, sangat penting bagi para peneliti dan juga para pembuat kebijakan untuk bekerja sama dan saling bertukar pengalaman dengan para peneliti dan juga pembuat kebijakan harm reduction di negara lain. Indonesien sendiri sebenarnya sudah memiliki potensi untuk melakukan hal tersebut.

Beberapa waktu lalu misalnya, ada peneliti asal Indonesien yang memaparkan penelitian mengenai pengurangan bahaya tembakau di sebuah konferensi di ibukota Filipina, Manila. Dalam konferensi tersebut, tim peneliti dari Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Padjadjaran (FKG UNPAD) memaparkan mengenai penelitian mereka mengenai masalah tingkat merokok yang tinggi di Indonesia dan Damaknya terhadap kesehatan, khususnya terhadap kesehatan gigi dan mulut.

Dalam pemaparannya, tim FKG UNPAD menyatakan bahwa terdapat perbedaan profil risk pengguna vape dan produk tembakau yang dipanaskan dengan rokok konvensional. Risiko vape dan tembakau yang dipanaskan terhadap kesehatan lebih rendah bila dibandingkan dengan rokok (tribunnews.com, 24.3.2023).

Selain itu, dipaparkan juga oleh tim tersebut bahwa produk vape dan tembakau yang dipanaskan memiliki peran potensial untuk membantu para perokok aktif untuk mengurangi kebiasaan merokoknya. Tidak hanya itu, tim dari FKG UNPAD tersebut juga melakukan studi yang mengevaluasi penggunaan vape dan tembakau yang dipanaskan secara jangka panjang, yang juga berkolaborasi dengan berbagai peneliti dari negara lain seperti Italia, Polandia, dan Moldova (tribunnews.com, 24/3/2023 ).

Adanya peran aktif para peneliti Indonesia di konferensi international dan juga kerja sama dengan peneliti dari negara lain tentu merupakan hal yang patut untuk diapresiasi dan didukung. Permasalahan kesehatan publik yang disebabkan oleh rokok tentu bukan hanya masalah besar yang melanda Indonesien, tetapi juga masalah besar yang dialami oleh banyak negara di dunia.

Sebagai penutup, rokok merupakan salah satu masalah kesehatan öffentlich terbesar von Indonesien saat ini, mengingat bahwa Indonesien merupakan salah satu negara dengan prevalensi perokok dewasa tertinggi di dunia. Melalui kerjasama dan kolaborasi penelitian tersebut, diharapkan akan tercipta ekosistem penelitian mengenai program dan kebijakan harm reduction yang lebih comprehensif, dan para peneliti dan pembuat kebijakan di Indonesia bisa saling belajar satu sama lain dan bertukar pengalaman dengan para peneliti dan pembuat kebija kan dari negara-negara lag .

Ursprünglich veröffentlicht hier

L'INCOHÉRENCE DES SUBVENTIONS EN EUROPA

Nous devons revenir aux principes fondateurs du marché commun.

Selon une tendance que j'ai décrite à plusieurs reprises in La Chronique Agora, les pays européens s'orientent de plus en plus vers des modèles de subventionnement de l'industrie, dans le but de s'aligner sur les très vastes projets des États-Unis visant à soutenir les transits économiques respektueuses du climat. Cela a créé une situation dans laquelle l'Union européenne punit les États qui soutiennent leur industrie nationale, mais les incite également à le faire.

Prenons un exemple dans lequel la Commission européenne applique strictement les règles anti-subventions de l'Union.

La Commission européenne vient de décider, à juste titre, que les aides d'État accordées par l'Italie à la compagnie aérienne en schwierige Alitalia (qui a depuis fait faillite et s'est rebaptisée « ITA Airways ») n'étaient pas konform aux regles de l’UE. Rome a accordé à la compagnie aérienne über insgesamt 1,3 Milliarden Euro an Prêts in den Jahren 2017 und 2019 – Selon Bruxelles – sans indication palpable que the compagnie serait en mesure de rembourser les prêts ; 400 Millionen Euro von ce prêt doivent maintenant être remboursés aux contribuables italiens, a statué la Commission. Als Gegenstück bestätigt ITA Airways, dass es nicht verantwortlich für die gesammelten Daten von Alitalia ist, was bedeutet, dass Rom keine Wahrscheinlichkeit hat, dass es sich um eine Entscheidung handelt.

« La solution à long terme ne réside pas dans les subventions publiques », erklärt Ebba Bush, Vizepremierministerin und Ministerin für suédoise Angelegenheiten, Befragung über EU-Projekte mit erhöhter Berücksichtigung von Subventionen für die Bekämpfung der amerikanischen Inflation (IRA). Certaines des plus grandes économies européennes, telles que la France et l'Allemagne, ont fait pression en faveur d'un assouplissement des règles de l'Union en matière d'aides d'État afin de rester compétitives au niveau mondial dans les secteurs verts . Des pays plus petits, dont la Suède, qui versichert la présidence tournante du Conseil, ont toutefois averti que le marché intérieur pourrait être menacé si Bruxelles permettait de donner trop d'argent aux plus grandes économies de l'Union.

L'assouplissement des règles relatives aux aides d'État a été motivé par la forte augmentation des prix de l'énergie et le risque de voir l'industrie européenne se déplacer vers les États-Unis en réponse à l'IRA, qui est entré en vigueur en août 2022 et offre des subventions d'une valeur de 369 milliards de dollar for les « investissements verts », à la suite de quoi les entreprises envisagent de se délocaliser vers les États-Unis.

Margrethe Vestager, Vize-Commissaire de l'UE, bekräftigt, qu'il est essentiel de préserver l'intégrité du marché unique de l'UE. « Quoi que nous fassions, nous devons éviter une course aux subventions », at-elle ajouté. Die Kommission schlägt vor, die Berechnung der Beihilfen für die Staatshilfe, die Anerkennung von Genehmigungen und den Erfolg der Anwendung der vorübergehenden Krise und des Übergangs zu vereinfachen – adopté à la suite de l'invasion de l'Ukraine par la Russie – afin de „soutenir toutes les sources d'énergie renouvelables possibles“.

Cet encadrement schlagen également une vor « Option temporaire très exceptionnelle d'aide d'alignement ». Le projet suggère que les États membres soient autorisés à égaler les subventions offertes par les pays tiers, afin de garantir que les investissements ne soient pas « injustement détournés vers le plus offrant en dehors de l'Europe ». Les dispositions ne s'appliquent qu'aux secteurs impactés par l'IRA, et des conditions strictes seraient imposées, notamment si le projet profite à plus d'un État member, a indiqué Mme Vestager.

Même en prétendant qu'il y aura des contrôles stricts sur l'utilisation des aides d'État, la Commission européenne a des antécédents plutôt Occasionnels en ce quiconcern l'application de règles strictes (Alitalia est l'une d'entre elles) . En général, Bruxelles énumère toutes sortes de raisons exceptionnelles pour lesquelles un paquet particulier d'un milliard d'euros a été approuvé et, dans le cas de COVID-19, a emprunté des sommes incroyables sur le dos des contribuables de l'UE.

En théorie, l'Union européenne s'efforce de créer un marché exempt de distorsions anticoncurrentielles, mais en réalité, elle ne fait pas grand-chosé pour y parvenir. L'IRA américain a touché un point sense : non seulement l'Europe peut revenir au protectionnisme, mais elle peut aussi le faire en pretendant le faire au nom du développement Durable. Après tout, nous diront les bureaucrates, quel meilleur scénario qu'une guerre commerciale qui protège l'environnement ?

Voici les principaux problèmes liés à l'ouverture des portes de l'État dans l'UE :

  • bien que plafonnée à 150 millions d'euros par entreprise, l'aide ne tient pas compte de la taille et des concurrents européens, ce qui signifie qu'elle bénéficiera de manière disproportionnée aux grandes entreprises par rapport aux PME ;
  • les pays les plus pauvres de l’UE – même s’ils sont autorisés – ne sont tout simplement pas en mesure d’accorder autant d’aides d’État qu’un pays comme l’Allemagne, ce qui crée de nouveaux déséquilibres sur le marché ;
  • les grandes entreprises sont également en mesure d'augmenter leurs subventions sur plusieurs continents, car l'UE autorise le dépassement du plafond s'il existe un risque palpable de voir les investissements quitter le marché unique.

Nous devons revenir aux principes fondateurs du marché commun : le libre-échange, l'absence de distorsions du marché dues à des normes réglementaires injustes pour les produits et les services, et l'absence de subventions. Nous ne pouvons tout simplement pas nous le permettre, tant sur le plan financier qu'économique.

Ursprünglich veröffentlicht hier

Sen. CRUZ, KOLLEGEN WIEDER EINFÜHREN, UM DIE CHEMIESTEUER ZU BESEITIGEN

WASHINGTON, D.C – US-Senator Ted Cruz (R-Texas), John Kennedy (R-La.), Mike Lee (R-Utah) und John Barrasso (R-Wy.) haben heute den Chemical Tax Repeal Act wieder eingeführt, um die Superfund-Steuer abzuschaffen auferlegt durch das Infrastrukturinvestitions- und Beschäftigungsgesetz. Sen. Cruz hat diesen Gesetzentwurf zuvor eingebracht 2021.

Das Infrastrukturgesetz von 2021 erlegte Steuern im Wert von rund $15 Milliarden auf 42 verschiedene Chemikalien, kritische Mineralien und metallische Elemente auf, die die Bausteine gängiger Haushaltsgegenstände wie Kunststoffe, Gummi, Beton, Seife, Glühbirnen und Elektronik sind. Texas beheimatet vierzig Prozent der Chemiefabriken des Landes und wäre von dieser Steuer stark betroffen.

Bei der Wiedereinführung sagte Senator Cruz: 

„Die Inflation ist unter Präsident Biden in die Höhe geschossen, und seine Chemikaliensteuer würde die Dinge nur noch schlimmer machen. Diese Steuer erhöht die Preise für texanische und amerikanische Hersteller und treibt die Preise für Haushaltsgegenstände des täglichen Bedarfs in die Höhe. Die Abschaffung dieser Steuer würde denen zugutekommen, die am stärksten von Washingtons außer Kontrolle geratenen, inflationstreibenden Ausgaben betroffen sind: amerikanische Familien und Menschen mit festem Einkommen.“

Der stellvertretende Direktor der Verbraucherschutzgruppe Consumer Choice Center, Yaël Ossowski, sagte:

„In einer Zeit anhaltender Inflation und eskalierender Handelskriege müssen wir alles tun, um die Belastungen und Kosten für die Verbraucher zu verringern. Die Abschaffung der Steuern auf notwendige Chemikalien und Komponenten – allesamt entscheidend für die amerikanische Fertigung, die heimische Produktion und den verstärkten Wettbewerb – ist eine großartige Maßnahme, die das Leben der Verbraucher erheblich erleichtern wird. Wir loben alle Bemühungen, die dazu beitragen, Produkte und Dienstleistungen für amerikanische Familien erschwinglicher zu machen.“

Lesen Sie den vollständigen Text hier

Großbritannien verteilt eine Million Vape-Starterkits an Raucher, die aufhören wollen

Das Gesundheitsministerium wird die Kits im Rahmen einer neuen Anti-Raucher-Kampagne verteilen, die Pläne für ein Vorgehen gegen illegale Vape-Verkäufe beinhaltet. 

Während offizielle britische Gesundheitsgruppen wie Public Health England (PHE) und Action on Smoking and Health (ASH) immer wieder versichern, dass dies der Fall ist keine Teenie-Epidemie Der Guardian argumentiert zwar für die Vorteile von Vapes für die Raucherentwöhnung, hat aber gerade einen Artikel veröffentlicht, in dem er behauptet, dass das Dampfen von Teenagern eine „Katastrophe für die öffentliche Gesundheit“ sei.

„Ich mache mir Sorgen, dass wir mit einer Generation von Kindern, die nikotinsüchtig sind, in eine Katastrophe der öffentlichen Gesundheit hineinschlafwandeln“, sagte Prof. Andrew Bush, ein beratender pädiatrischer Thoraxarzt an den Krankenhäusern Royal Brompton und Harefield, as zitiert vom Guardian. Der Artikel fuhr fort, eine Reihe von Eltern zu zitieren, die ihre Besorgnis über die Dampfgewohnheiten ihrer Kinder äußern.

Unterdessen zitierte das Consumer Choice Center (CCC) einen Bericht der Action on Smoking and Health (ASH) aus dem Jahr 2021, in dem das Dampfverhalten von Jugendlichen im Vereinigten Königreich untersucht wurde, und stellte fest, dass eine überwältigende Mehrheit (83%) von Teenagern und Pre-Teens im Alter zwischen 11 Jahren und 18, haben noch nie E-Zigaretten probiert oder auch nur davon gehört. Dieser Befund ist seit 2017 konstant.

Lesen Sie den vollständigen Text hier

Online-Sicherheitsbedenken sollten keinen Überwachungszustand ermöglichen

Bei den Olympischen Spielen 2012 in London formulierte Sir Tim Berners-Lee, Schöpfer des World Wide Web, die Botschaft „Das ist für alle“. Und damals fühlten sich die digitalen Möglichkeiten grenzenlos an. Jetzt, etwas mehr als ein Jahrzehnt später, könnte diese Nachricht lauten: „Das ist für alle – Aufsicht und Genehmigung ausstehend“.

In der Tat, Vorschläge zur technischen Rechenschaftspflicht und hochkarätige Anhörungen mit Silicon's Finest waren letztes Jahr reichlich vorhanden und dieses Jahr zeigt keine Anzeichen einer Verlangsamung. Regierungsbeamte beider Parteien haben nachweislich a unendliches Interesse sich in die Online-Anonymität einzumischen, wie der kürzlich vorgeschlagene RESTRICT Act zeigt.

RESTRICT steht für Restricting the Emergence of Security Threats that Risk Information and Communication Technology – der Name ist Programm. 

Im Wesentlichen verleiht dieses Gesetz dem Handelsministerium die Befugnis, in alle Daten von Benutzern einzugreifen und jede Aktivität auf der Grundlage einer möglichen Bedrohung zu verfolgen – und jede vom Kongress abgeleitete Missbilligung einer Einmischung kann nur im Nachhinein vorgebracht werden. Wenn das unverhältnismäßig klingt, lies es selbst.

Während andere vorgeschlagene Rechnungen, wie Abschnitt 230, (zu Unrecht) Dienstleister und Social-Media-Netzwerke zur Zielscheibe der Regulierung gemacht hat, gilt der RESTRICT Act für alle.

Unter dem RESTRICT Act würden alle internetbasierten Interaktionen und Transaktionen überwacht und geprüft, weshalb einige den RESTRICT Act als „Patriot Act 2.0“ bezeichnet haben. Eine solche Behauptung ist jedoch zu freundlich, da die 'schleichen und gucken“ Ansätze, die nach dem Patriot Act erlaubt waren, verblassen im Vergleich zu der ständigen Überwachung von Online-Angelegenheiten, die der RESTRICT Act ermöglichen würde.

Es ist auch erwähnenswert, dass der Patriot Act im Jahr 2005 auslaufen sollte, aber wie viele Regierungsprogramme unter dem USA Freedom Act von 2015 erhalten geblieben ist und derzeit weiterlebt. Und obwohl der USA Freedom Act ein geplantes Ablaufdatum hatte für 2020 hängt es auch noch.

Es scheint unwahrscheinlich, dass der RESTRICT Act aufgrund seiner extremen Natur wirklich an Bedeutung gewinnen wird, aber Vorschläge wie diese dienen als Prototypen oder Konzepttests für das, was als nächstes kommen könnte – und seltsamere Dinge sind passiert.

Es war beispielsweise erst etwas mehr als ein Jahr her, als die Biden-Administration das Desinformation Governance Board, auch bekannt als „Wahrheitsministerium“, ins Leben rief. Nina Jankowicz, die ernannte „Desinformationszarin“, ging viral auf TikTok mit einer überarbeiteten (und verspotteten) Wiedergabe von „Supercalifragilisticexpialidocious“, und es folgte schnell eine Gegenreaktion, da das Board offensichtlich zu Orwellianisch war, als dass die amerikanische Öffentlichkeit es ertragen könnte. 

Auch die Bundesländer mischen mit. Nehmen Sie zum Beispiel die kürzliche Verabschiedung eines durch den Gesetzgeber von Arkansas Gesetzentwurf „Online-Jugendschutz“., die sich selbst spiegelt ein Gesetz, das Utah verabschiedet hat Im vergangenen Monat. 

Arkansas Social Media Safety Act, unterzeichnet von Gouverneur Sanders, verlangt von allen Online-Nutzern den Nachweis, ob sie für bestimmte Plattformen und Inhalte altersgerecht sind, was die Erhebung biometrischer und personenbezogener Daten zur Identitätsprüfung erforderlich macht. 

Jede Online-Anonymität oder der Anschein von Datenschutz wurde vom Staat im Namen des Schutzes von Kindern aufgehoben. Yaël Ossowski, stellvertretende Direktorin der Verbraucherschutzgruppe Consumer Choice Center, zu Recht behauptet dass die Regierung nun bereit ist, „der letzte Schiedsrichter darüber zu sein, ob junge Menschen überhaupt auf das Internet zugreifen“. 

Die Fähigkeit (und Verantwortung) der Eltern, eine Rolle im digitalen Leben ihrer Kinder zu spielen, wird an Regierungsbürokraten delegiert, und es wird nicht lange dauern, bis andere staatliche Gesetzgeber diesem Beispiel folgen. Connecticut sieht aus der nächste sein.

Was wirklich beunruhigend an diesen Gesetzen ist, ist, dass sie staatliche Übergriffe an Orten ermöglichen, die der Markt bereits bietet Lösungen für die Online-Kindersicherheit. Bedenken hinsichtlich der Datenverwaltung und des Datenzugriffs haben dazu geführt, dass die Cybersicherheit zu den größten gehört am schnellsten wachsenden Märkte, mit lukrative Stellen für angehende Informationsanalysten und Data Scientists. 

Wie es der Zufall will, hat kein Geringerer als Sir Tim Berners-Lee gestartet ein Dezentralisierungsprojekt um das Datenrechtemanagement anzugehen. Seiner ist einer von viele Initiativen das sollte durch Benutzerinteressen motiviert und unbelastet bleiben politische Einmischung

Das belegen historische und empirische Beweise eine dezentrale Wirtschaft führt zu Fortschritt und Wohlstand, also sollten wir unsere digitale Wirtschaft mit dem gleichen Ansatz ermöglichen. 

Ursprünglich veröffentlicht hier

Die Fair-Share-Forderungen von Kommissar Breton richten sich an den falschen Adressaten

Der Vorschlag der EU, Plattformen dazu zu bringen, zur Entwicklung digitaler Infrastrukturen beizutragen, mag vernünftig und einfach erscheinen, um Telekommunikationsbetreibern zu helfen, aber er würde mehr Probleme schaffen, als er löst.

Im vergangenen Mai schlug Kommissar Breton vor, Plattformen zur Entwicklung digitaler Infrastrukturen wie 5G-Netze beizutragen, was auf gemischte Reaktionen stieß. Einige Stimmen in der Telekommunikationsbranche argumentieren, dass Inhaltsanbieter und Streaming-Plattformen nicht ihren „fairen Anteil“ für die Nutzung der Netzwerke zahlen, die ihre Inhalte übertragen. Sie weisen auf den hohen Traffic hin, der von Streaming-Diensten generiert wird, was ihre Infrastruktur und Ressourcen belastet.

Dies ist jedoch nicht wahr. Die Umsetzung dieser Fair-Share-Regeln würde zu höheren Verbraucherkosten führen, da Unternehmen wie Netflix, Disney, Sky – NowTV und das italienische Mediaset Play für Breitbandnetze zahlen müssten.

Der Kampf um „Fair Share“-Beiträge hat ein massives Problem auf dem europäischen Konnektivitätsmarkt offenbart: Von Telekommunikationsanbietern wird erwartet, dass sie Europas Datenautobahnen ausbauen, aber es fehlt ihnen an Kapital, um dies schnell zu tun. Der Mangel an Geld verschafft den europäischen Volkswirtschaften einen Wettbewerbsnachteil, und es muss etwas getan werden. Leider sehen Kommissar Breton und seine Verbündeten in einigen alten Telekommunikationsunternehmen den Schuldigen in einer wachsenden Gruppe von Anbietern digitaler Inhalte.

Die Umsetzung dieser Fair-Share-Regeln würde zu höheren Verbraucherkosten führen, da Unternehmen wie Netflix, Disney, Sky – NowTV und das italienische Mediaset Play für Breitbandnetze zahlen müssten.

Das Argument, dass Inhaltsanbieter ihren gerechten Anteil für die Netznutzung nicht zahlen wollen, hält einer Überprüfung nicht stand. Denn Internetdienstanbieter, denen in vielen Mitgliedsstaaten die Infrastruktur gehört, dürfen Dienste oder Datenverkehr außer aus Sicherheitsgründen nicht blockieren, dank Verordnung 2015/2120, die sogenannte Open-Internet-Verordnung.

Die Anwendung des Fair-Share-Gedankens auf Streaming-Dienste würde dieser Bestimmung zuwiderlaufen, da einige Anbieter für die Netznutzung zahlen müssten, wodurch sie gegenüber anderen anders behandelt würden.

Telekommunikationsanbieter berechnen den Verbrauchern den Netzzugang und die Daten; Daher werden sie bereits für die Nutzung ihrer Infrastruktur entschädigt. Anstatt Inhaltsanbietern unfaire Gebühren aufzuerlegen, könnte die EU mit den Mitgliedstaaten zusammenarbeiten, um die Kosten für Frequenzlizenzen zu senken, d. h. die Gebühren, die Telekommunikationsunternehmen für den Zugriff auf das für die Übertragung drahtloser Signale erforderliche Funkfrequenzspektrum zahlen.

Diese Gebühren können in vielen Mitgliedsstaaten exorbitant teuer sein. Einige erinnern sich vielleicht noch daran, dass Deutschland im Jahr 2000 das 3G/UMTS-Spektrum für insgesamt 50 Milliarden Euro versteigert hat. Das sind 620 Euro pro in Deutschland ansässigen Telekommunikationsunternehmen, die weniger hatten, um die benötigte Dateninfrastruktur aufzubauen. Eine Senkung oder sogar vollständige Abschaffung dieser Gebühren würde Telekommunikationsanbietern mehr Kapital verschaffen, sodass sie in die Infrastruktur investieren und ihre Dienste verbessern könnten.

Im Moment wird Spektrum normalerweise nur für zwei Jahrzehnte „verschenkt“. Ein ordnungsgemäßes Eigentum und funktionierende Sekundärmärkte für Frequenzen in der gesamten EU würden auch mehr Dynamik in unseren Konnektivitätsmarkt bringen. Trotz der Rhetorik, dass das Ende des Roamings innerhalb der EU uns zu einem Binnenmarkt für Konnektivität geführt hat, ist Europa noch weit von einem harmonisierten Telekommunikationsmarkt entfernt. Die Schaffung eines wettbewerbsfähigen europäischen Konnektivitäts- und Telekommunikationsmarktes könnte höhere Renditen bringen als Bretons Versuch, überwiegend in den USA ansässige Inhaltsplattformen zu besteuern. Dies wiederum würde den Verbrauchern zugutekommen, indem der Wettbewerb erhöht, die Preise gesenkt und die Qualität der Telekommunikationsdienste verbessert würden.

Der Kampf um „Fair Share“-Beiträge hat ein massives Problem auf dem europäischen Konnektivitätsmarkt offenbart: Von Telekommunikationsanbietern wird erwartet, dass sie Europas Datenautobahnen ausbauen, aber es fehlt ihnen an Kapital, um dies schnell zu tun

Auch wenn der Vorschlag der EU, Plattformen zur Entwicklung digitaler Infrastrukturen beizutragen, vernünftig und einfach erscheinen mag, um Telekommunikationsbetreibern zu helfen, würde er mehr Probleme schaffen als lösen. Der Hunger einiger Mitgliedstaaten nach Einnahmen hat die Konnektivität der EU und das verfügbare Kapital für bedeutende Investitionen in die Netzinfrastruktur massiv lahmgelegt. Die Rechnung für Frequenzauktionen bezahlen die Verbraucher immer noch durch himmelhohe Preise für Mobilfunktarife in Deutschland und anderen Ländern wie Großbritannien. Auf der anderen Seite werden den Mitgliedsstaaten im Baltikum lediglich zwischen 5 und 35 Euro pro Bürger in Rechnung gestellt, sodass den Netzbetreibern das nötige Geld für den Aufbau der Infrastruktur bleibt.

Die finanziellen Schwierigkeiten der Telekommunikationsbranche lassen sich besser angehen, indem die Kosten für Frequenzlizenzen gesenkt werden, anstatt den Inhaltsanbietern unfaire Gebühren aufzuerlegen. Ein neuer Ansatz für Frequenzen würde den Verbrauchern zugute kommen, indem der Wettbewerb erhöht, die Preise gesenkt und die Qualität der Telekommunikationsdienste verbessert würden.

Ursprünglich veröffentlicht hier

QUAND LES VICTIMES DES LOIS ANTI-CARBONE PRENNENT LE POUVOIR

La victoire électorale du parti des agriculteurs néerlandais préfigure les prochaines batailles environnementales en Europe.

Le Mouvement des agriculteurs citoyens néerlandais (BBB) a remporté une grande victoire lors des élections provinciales du pays, le 15 mars dernier. Mit 19.36% der Stimme und 139 von 572 Siegen im Jeu, il est devenu, 4 ans après sa création, le plus puissant parti du pays au niveau local.

Le 30 mai prochain, lors des élections sénatoriales, il devrait obtenir environ 15 des 75 sièges de la Première Chambre (équivalente à notre Sénat), gagnant ainsi une place majeure dans l'échiquier politique national. Il pourra ainsi saper les effort du gouvernement du Premier Minister Mark Rutte, dont la coalition reste majoritaire dans la Seconde Chambre (équivalente à notre Assemblée nationale).

A l'origine d'une protestation

Le BBB n'a été créé qu'en 2019, mais il a bénéficié d'un soutien populaire à la suite de la decision du gouvernement de réduire considérablement les émissions d'azote en fermant environ un tiers des yields agricoles néerlandaises. Et sa victoire dans les urnes n'est probablement qu'un debut.

Au cours de l'été dernier, les agriculteurs néerlandais ont protesté contre la politique prévue par le gouvernement en bloquant des routes et des aéroports, et en jetant du fumier sur les fonctionnaires. Die Regierung von La Haye ist verpflichtet, die Richtlinien der EU zu erlassen und die Azote-Emissionen von 50 % von 2030 zu reduzieren Beispiel Lorsque le fumier est déposé.

Les Pays-Bas, ainsi que le Danemark, l'Irlande et la région flamande de la Belgique, bénéficiaient d'exemptions Concern les plafonds fixés par l'UE pour le fumier en raison de leur faible superficie, mais cette exemption est sur le point de prendre fin pour les agriculteurs néerlandais.

Le gouvernement de Mark Rutte entend réduire les émissions en rachetant les éleveurs, meme si ces derniers n'ont guère manifesté d'intérêt pour les cartes-cadeaux.

Le BBB ist eine Kritik für seine Positionen gegen Einwanderung und seine Feindseligkeit in der Anerkennung der UE, mehr Erfolg in den Sondages, aber keine großartige Wahl, um mit einem Glanz im Pays-Bas zu glänzen. En fait, ce scrutin a non seulement attiré de nouveaux électeurs qui ont utilisé les élections provinciales comme un sondage sur le gouvernement, mais il a également porté un coup important aux partis d'extreme droite qui ont subi de lourdes pertes, notamment le « Foorum vor Democratie » (15. Sitzungen, contre 86 en 2019).

Europäisches Symptom

Le gouvernement néerlandais n'a donc que deux options. Prétendre qu'il s'agit d'une phase politique temporaire, Exploiter le fait que ce nouveau parti fera inévitablement des erreurs de communication, et Continuer sur la meme voie… ou en changer. Il semble que cette dernière option devienne inévitable, et pas seulement parce que le gouvernement a besoin de l'approbation de la Première Chambre pour ses objectifs de réduction d'émissions d'azote.

S'il est possible que la coalition de M. Rutte trouve des voix à l'extrême-gauche, cette stratégie ne serait pas sans inconvénients. Les sénateurs verts et d'extrême gauche sont anfälligs de soutenir les objectifs de la réduction des émissions d'azote, mais aussi de demander des objectifs encore plus ambitieux pour l'avenir, ce qui ne ferait qu'aggraver le climat politique.

Le Premier Minister Mark Rutte, Obername „Teflon Mark“ (für die Überwachung mehrerer politischer Krisen im Laufe des 13. Mandatsjahres), ist eine Konfrontation mit den Möglichkeiten der Mitglieder einer viergliedrigen Koalition, die vor Gericht steht Prozessus.

Les événements politiques qui se déroulent aux Pays-Bas sont un symptôme de ce qui risque de se produire dans toute l'Europe. L'agriculture, un domaine habituellement réservé aux debats politiques obscurs et aux réunions de Commissions qui durent des heures et font bailler, est en train de devenir un élément central des ambitions vertes de l'Europe. Le secteur agricole est indéniablement responsable d'une grande partie des émissions de gaz à effet de serre, mais il s'est retrouvé injustement ciblé par des règles simplistes.

Des verspricht Unhaltbares

La politique néerlandaise d'élimination progressive d'un tiers des Exploitations Agricoles est née du constat que le seul moyen réaliste de réduire les émissions de manière fiable serait de réduire considérablement les secteurs de l'aviation et de la construction, deux secteurs que les Pays -Bas ne peuvent pas se permettre de manière réaliste compte tenu de leur activité économique.

La décision de cibler les agriculteurs en dernier recours est emblematique de l'approche européenne qui suscitera beaucoup d'hostilité : c'est l'histoire parfaite pour créer des mouvements populistes.

Au cours de la dernière décennie, l'Europe a fait des promesses ambitieuses en matière d'objectifs d'émissions, mais maintenant que l'UE et ses États membres sont konfrontiert à la réalité de la manière dont ces objectifs seront atteints, il est wahrscheinlich que les choosese gâtent.

Die Strategie « Farm-to-Fork » de l'Union européenne connaît le même sort : le commissaire à l'Agriculture de la Commission européenne, Janusz Wojciechowski, a déclaré qu'il pensait que cette stratégie désavantage injustement les Etats membres d'Europe de l'Est. Ce même commissaire est pourtant censé défendre les politiques de réduction des pesticides, des engrais et de l'utilisation des terres agricoles.

Selon une étude d'impact réalisée par l'USDA, cette stratégie entraînerait une baisse de la production agricole umfassen Entre 7 und 12%. Dans le meme temps, la baisse du PIB de l'UE représenterait 76% de la baisse du PIB mondial. Les ménages à faibles revenus, qui souffrent déjà de l'inflation, subiraient une pression encore plus forte et seraient très probablement politisés.

Ces dernières années ont vu défiler de jeunes activities climatiques qui ont dressé des listes de demandes politiques ambitieuses. Dans les années à venir, ce seront les manifestations de ceux qui devront les financer.

Ursprünglich veröffentlicht hier

Das Schnäppchen des Teufels bei der Eliminierung von PFAS

Per- und Polyfluoralkylsubstanzen (PFAS) waren in letzter Zeit landesweit Schlagzeilen in den Zeitungen. Staaten wie Maine haben Regeln und Vorschriften durchgesetzt, um das Vorhandensein von PFAS in Konsumgütern zu begrenzen; Die EPA empfohlene PFAS-Wassergrenzwerte, die nahe Null liegen, und Sammelklagen haben sich verwickelt Produzenten.

PFAS, eine vielfältige Gruppe von künstlichen Chemikalien, die in allen Bereichen von der Mikrochipherstellung bis hin zu Arzneimitteln und medizinischen Implantaten verwendet werden, sind, um es milde auszudrücken, unter Beschuss. Tatsächlich kündigte das in St. Paul ansässige Unternehmen 3M als Reaktion auf den wachsenden Druck in Dezember dass es anstrebe, den Markt ganz zu verlassen, in der Hoffnung, bis 2025 überhaupt keine PFAS mehr zu produzieren.

Kritiker des derzeitigen regulatorischen Ansatzes für PFAS haben davor gewarnt, dass die Produktion von PFAS in den USA vollständig eingestellt würde erstellen enorme Lieferkettenunterbrechungen für alltägliche Konsumgüter und erstellen eine lange Liste von externen Effekten. Tatsächlich scheint es, dass die US-Abgeordnete Betty McCollum die Schrift an der Wand und die Katastrophe sieht, die sich entfalten wird, wenn die USA überhaupt kein PFAS produzieren. Die demokratische Kongressabgeordnete aus dem vierten Bezirk von Minnesota erklärt dass 3M den Markt verlässt, stellt ein nationales Sicherheitsrisiko dar, vor allem wegen der Bedeutung von PFAS für die Chipproduktion. Der Kongress und die Biden-Regierung stellten $53 Milliarden bereit, um die Chipproduktion in den USA zu steigern, in der Hoffnung, die Abhängigkeit der USA von China für Chips zu beenden.

Hier wird die PFAS-Debatte geopolitisch. McCollum ging so weit zu sagen, dass die Biden-Regierung 3M vorschreiben könnte, weiterhin PFAS zu produzieren, und das Verteidigungsproduktionsgesetz anwenden könnte, das von privaten Unternehmen verlangt, die Bedürfnisse der Regierung zu priorisieren.

Auf der einen Seite haben wir also Regierungsbehörden, die PFAS in den USA erheblich einschränken, während der Kongress diesen Bemühungen entgegenwirken könnte, zu verlangen, dass PFAS weiterhin im Inland produziert werden. Es scheint, dass die Gesetzgeber beginnen zu erkennen, dass das Auslaufen der PFAS-Produktion in den USA die Nachfrage nach PFAS entlang der Lieferkette nicht beseitigt, was bedeutet, dass beispielsweise Hersteller von Mikrochips diese Chemikalien importieren müssen, um einen Produktionsengpass zu vermeiden . Dies ist keine leichte Aufgabe, wenn man bedenkt, dass in 2019, das letzte Mal, als Produktionsdaten verfügbar waren, produzierten die USA im Inland 625 Millionen Pfund PFAS, wobei nur 54 Millionen Pfund importiert wurden. Ein Fehlbetrag von 571 Millionen Pfund ist eine beträchtliche Summe.

Und woher würden US-Chiphersteller PFAS importieren, wenn die US-Produktion eingestellt würde? Ironischerweise müssten die US-Chiphersteller den Großteil dieses Fehlbetrags aus China importieren, was den Zweck der Verlagerung der Chipproduktion in den USA vollständig untergräbt abschalten. Große koreanische Chiphersteller wie Samsung und SK Hynix kauften PFAS von chinesischen Lieferanten, um die Produktion zu vermeiden Mangel.

Es ist sicherlich sehr sinnvoll, sich in Bezug auf Chips von China abzukoppeln, insbesondere angesichts der zunehmenden Spannungen über Taiwans Autonomie und Bidens Verpflichtung, Taiwan militärisch zu verteidigen, falls die Volksrepublik China einmarschiert. Das wird immer wahrscheinlicher, da Chinas Präsident Xi Jinping Chinas Militär anweist, sich auf eine Invasion vorzubereiten 2027.

Wenn US-Chiphersteller letztendlich PFAS importieren müssen, um Chips herzustellen, werden die USA den Tisch für ein Szenario bereiten, das der Abhängigkeit Europas von russischem Gas unheimlich ähnlich ist. Falls oder wenn China in Taiwan einmarschiert, würden sich die USA in einem aktiven bewaffneten Konflikt mit einem Land befinden, das heute der Hauptlieferant von lebenswichtigen Materialien für Mikrochips ist. In diesem Szenario enden diese Importe wahrscheinlich, entweder durch eine Entscheidung Chinas oder durch Sanktionen gegen China, wodurch die Lieferkette zum Erliegen kommt.

Und die Kosten dafür wären astronomisch. Beispielsweise kostete der Chip-Mangel die US-Wirtschaft im Jahr 2021 $240 Milliarden. Der Mangel traf die Autoindustrie stark und kostete die Hersteller $210 Milliarde im Umsatz, da Autos auf vielen Plätzen warteten, bis Chips installiert wurden. Eine echte landesweite Chipknappheit, nicht nur bei Autos, sondern bei allen Produkten, die auf Chips angewiesen sind, wäre so kostspielig, dass eine tatsächliche Prognose schwierig ist.

Letztendlich muss die PFAS-Politik die vollständige Betrachtung von Kosten und Nutzen unter Berücksichtigung der aufkommenden geopolitischen Diskussion umfassen. Es muss einen Weg nach vorne geben, der eine verantwortungsvolle Produktion ermöglicht, sauberes Trinkwasser sicherstellt und gleichzeitig eine Knappheit an Chips im Großhandel und das daraus resultierende Chaos vermeidet.

Ursprünglich veröffentlicht hier

Wie ein schwedischer Widerstand gegen ätherische Öle den Verbrauchern schaden würde

Ganz gleich, ob Sie diesen Sommer vor dem Ausgehen Parfüm oder ein Mückenschutzmittel auftragen, Sie können dabei ätherische Öle verwenden. Die konzentrierten Pflanzenextrakte werden nicht nur bei Wellness-Bloggern im Haushalt vielfach eingesetzt – sie erfrischen Ihre Wäsche, behandeln Ihre Akne und wehren Fruchtfliegen ab. Doch aufgrund der neuen EU-Vorschriften könnte die Verwendung ätherischer Öle erheblich beeinträchtigt werden. Die schwedische Präsidentschaft der Europäischen Union hat die Chance, Insektenstiche von unseren Sommern fernzuhalten.

Die EU-Chemikalienagentur ECHA hat Pläne angekündigt, ihre Bewertungen chemischer Verbindungen (einschließlich einfacher Pflanzenextrakte) von einer risikobasierten Bewertung auf eine gefahrenbasierte Bewertung umzustellen. Der Unterschied ist nicht nur semantischer Natur. In der Risikokommunikation bedeuten „risk“ und „hazard“ in der englischen Sprache unterschiedliche Bedeutungen.

Nehmen wir das Beispiel, einfach draußen zu sein. Die Sonne stellt eine Gefahr dar, da sie durch ihr UV-Licht nicht nur einen Sonnenbrand verursacht, sondern auch schwerwiegendere Erkrankungen wie Hautkrebs verursachen kann. Menschen begegnen dieser Gefahr, indem sie ihre Exposition begrenzen, indem sie beispielsweise im Schatten stehen, einen Sonnenschirm mitbringen oder Sonnencreme auftragen. Die Gleichung lautet somit: Risiko = Gefahr x Exposition. Die Frage jeder Risikobewertung lautet daher: Wie wahrscheinlich ist es, dass ein bestimmtes Produkt negative Auswirkungen auf seine Benutzer hat?

Wenn Sie eine gefahrenbasierte Herangehensweise an das Leben anwenden würden, würden Sie Angst vor Autos auf Straßen haben, die Sie nicht überqueren, sich unter Flugzeugen ducken, die in normaler Höhe fliegen, oder, ganz offen gesagt, überhaupt nicht nach draußen gehen. Leider beabsichtigt die ECHA, diesen offensichtlich übervorsichtigen Ansatz auch auf ätherische Öle anzuwenden, indem sie sie als gefährlich einstuft. Die Behörde hat einen Anreiz, ätherische Öle gemäß der Klassifizierungs-, Kennzeichnungs- und Verpackungsverordnung (CLP) ((EG) Nr. 1272/2008) zu bewerten, was bedeutet, dass sie entweder Warnschilder anbringen müssen, die auf die Gefahr hinweisen, oder dass ihnen der Verkauf untersagt wird.

Wie bei allem macht die Dosierung den Unterschied. Während ein Glas Wasser vollkommen sicher ist, kann der Konsum von mehr als fünf Litern in weniger als einer Stunde tatsächlich durch eine Wasservergiftung zum Tod führen. Dasselbe gilt auch für ätherische Öle: Mückenschutzmittel sind zwar für den Menschen völlig unbedenklich und für Mücken (glücklicherweise) sehr unangenehm, können aber giftig sein, wenn man sie trinkt. Während diese Tatsache für Verbraucher offensichtlich erscheint und ihnen auch empfohlen wird, ätherische Öle oder Chemikalien wie Reinigungsmittel von Kindern fernzuhalten, scheint sie den Aufsichtsbehörden zu entgehen, die glauben, dass es sich um einen gefährlichen Stoff handelt.

Wenn Verbraucher keinen Zugang zu ätherischen Ölprodukten haben oder von deren Verwendung abgeschreckt werden, werden sie wahrscheinlich auf künstliche und möglicherweise schädlichere Alternativen umsteigen, wie etwa Insektenschutzmittel, die Diethyltoluamid, bekannt als DEET, enthalten kann das menschliche Nervensystem beeinflussen und negativ auf Pflanzen und Tiere auswirken.

Warnhinweise können die Sichtweise der Verbraucher auf die von ihnen gekauften Produkte nachhaltig beeinflussen. Wenn ätherische Öle durch ungerechtfertigte Gefahrenkennzeichnungen unterdrückt werden, könnte dies die Verbraucher zu schlechteren Alternativen verleiten und sich auf eine ebenfalls wichtige Branche auswirken. Im Jahr 2022 übertraf der weltweite Marktwert ätherischer Öle die Marke 24 Milliarden Euro. Im Jahr 2021 exportierte Frankreich über 450 Millionen Euro im Wert von ätherischen Ölprodukten. Dies bedeutet, dass die derzeit von der schwedischen Ratspräsidentschaft unterstützte Regulierung nicht nur Verbraucher in der EU und in Schweden gleichermaßen betreffen würde, sondern auch die eigene dynamische und sich entwickelnde Industrie dieses Landes untergraben würde.

Chemiepolitik ist nerdig und sicherlich nicht so verlockend wie das ätherische Öl, aus dem unsere Parfüme hergestellt werden. Dennoch ist es wichtig, die Regulierungsbehörden daran zu erinnern, dass ein paternalistischer und gefahrenbasierter Ansatz bei ihrer Klassifizierung weder notwendig noch praktikabel ist. Die politischen Entscheidungsträger müssen die Risiken und Vorteile jedes Produkts abwägen und entsprechend handeln. In diesem Fall bedeutet entsprechendes Handeln, NICHT alles, was ätherische Öle enthält, als gefährlich zu kennzeichnen, vor allem weil dies bei mäßigem Gebrauch nicht der Fall ist.

Ursprünglich veröffentlicht hier

Illinois erwägt ein Vape-Verbot im öffentlichen Raum

Staatssenatorin Julie Morrison hat sich bemüht, dem ein Ende zu bereiten Tabakkonsum von Jugendlichen seit Eintritt in die Generalversammlung. 2019 verabschiedete sie ein Gesetz, das die staatliche Altersgrenze für Tabak auf 21 Jahre heraufsetzte. Und nachdem sie sich intensiv gegen das Rauchen eingesetzt hatte, wandte sie sich den Dampfern zu.

Der bestehende Smoke Free Illinois Act des Bundesstaates verbietet seit 2007 das Rauchen in der Öffentlichkeit und innerhalb von 15 Fuß von Eingängen. Als dieses Gesetz jedoch in Kraft trat, verwendeten die meisten Menschen brennbaren Tabak, und jetzt möchte Morrison es durch Senat Bill 1561 auf das Dampfen ausdehnen. Last Jahr hat sie auch eine einschränkende Maßnahme eingeführt Vermarktung von Dampfproduktendamit es Minderjährige nicht anspricht.

Inzwischen war im Jahr 2022 Senat Bill 3854 eingeführt aromatisierte Produkte zu verbieten, darunter THC-Dampfgeräte, Heat-not-burn-Systeme und Kautabakprodukte. Als Antwort auf dieses Gesetz und im Einklang mit den Argumenten von Experten für die Reduzierung von Tabakschäden sagte Elizabeth Hicks von der Analystin für US-Angelegenheiten beim Consumer Choice Center, dass die Verabschiedung eines Geschmacksverbots für Dampfprodukte nur ehemalige Raucher zum Rauchen zurückführen werde.

Lesen Sie den vollständigen Text hier

Beschleunigen Sie die Umsetzung der MACPC-Änderungen, um die Rechte der Flugverbraucher zu stärken

Das Consumer Choice Center (CCC) fordert die malaysische Luftfahrtkommission (Mavcom) auf, die Änderungen des malaysischen Verbraucherschutzkodex (MACPC) unverzüglich umzusetzen, die im ersten Quartal 2023 umgesetzt werden sollen, um die Rechte der Flugnutzer zu verbessern.

Der Vertreter des malaysischen Verbraucherwahlzentrums, Tarmizi Anuwar, sagte: „Probleme im Zusammenhang mit
Verbraucher wie Flugverspätungen und -annullierungen, Erstattungsmethoden und überfällige Informationen
Fristen, Fahrgastrechte und Gutscheineinlösung sind seit dem ernster geworden
Ausbruch von Covid-19. Obwohl die Pandemie beendet ist, tritt dieses Problem immer noch auf und
erfordert sofortige Maßnahmen von Mavcom, um die Rechte der Luftfahrtverbraucher zu verbessern.“

Allein im Jahr 2022 hat Mavcom insgesamt 8.789 Fälle von Beschwerden von Kunden erhalten
wobei die drei häufigsten Beschwerden Erstattungen, verlorenes, beschädigtes und verspätetes Gepäck beinhalten und
Flugausfälle. Dies ist der höchste Beschwerdefall seit seiner Einführung im Jahr 2016.

Tarmizi sagte auch, dass die Verzögerung bei der Umsetzung der MACPC-Änderung verursachen kann
Die Zahl der Kundenbeschwerden und -probleme wird in diesem Jahr aufgrund der zunehmen
Entwicklung der internationalen und inländischen Passagiere sowie die Zunahme der Flugzeuge
Betrieb einschließlich der Wiederaufnahme verschiedener Flugrouten nach der Pandemie.

„Airline-Verbraucher in Malaysia haben dieses Problem seit Jahren und Veränderungen durchgemacht
kann nicht länger gewartet werden. Es ist darauf zu achten, dass die Änderung regulierungsfähig ist
Fluggesellschaften zur Einhaltung von Servicequalitäts- und Sicherheitsstandards zum Schutz der Verbraucher. Mit der Zunahme des internationalen und inländischen Flugbetriebs in Malaysia darf diese Änderung des MACPC nicht übersehen werden, da es zu weiteren technischen Problemen kommen könnte.“

„Wenn ein Flug storniert wird, sollten die Verbraucher die Möglichkeit haben, entweder eine vollständige Rückerstattung zu erhalten oder
ein Reisegutschein für die Umbuchung auf einen neuen Flug in der Zukunft. Während der Reisegutschein nicht sein sollte
auf eine bestimmte Reise oder ein bestimmtes Ziel beschränkt, sollte aber auf dem Wert der Reise oder des Ziels basieren.
Dies gibt den Verbrauchern eine bessere Wahl, um eine Entscheidung zu treffen, als dies Fluggesellschaften tun
Entscheidungen im Namen der Verbraucher“, sagte Tarmizi.

Hinsichtlich der Erstattungsfrist für Tickets, die aufgrund des Verbrauchers keinen Erstattungswert haben
den Flug aufgrund der Verspätung oder Annullierung des Fluges durch die Fluggesellschaft antreten können, es
soll von 30 Tagen auf 10 Tage verkürzt werden.

Es gibt viele Beschwerden über Verspätungen von Fluggesellschaften und die Schwierigkeiten, die Verbraucher bekommen
Rückerstattungen, auch wenn der Fehler nicht auf ihrer Seite lag. Um sicherzustellen, dass die Benutzer nicht belastet werden
durch ungewollte Situationen sollte die Rückzahlungsfrist auf 10 Tage verkürzt werden. Das ist ein
angemessene Zeit, um sicherzustellen, dass die Fluggesellschaften für die Abwicklung von Erstattungsansprüchen der Benutzer verantwortlich sind
wenn ein Flug gestrichen wird“, schloss er.

Kommentar des CCC zur Konsultation der Europäischen Union zur Zukunft des elektronischen Kommunikationssektors und seiner Infrastruktur

Am 26. April 2023 reichte das Consumer Choice Centre Kommentare zur Sondierungskonsultation der Europäischen Kommission zur Zukunft des elektronischen Kommunikationssektors ein. Dazu gehören Kommentare und Gedanken zum vorgeschlagenen „Fair Share“-Vorschlag, der von einigen EU-Mitgliedstaaten verbreitet wurde.

Die Kommentare können hier gelesen werden voll hier.

de_DEDE

Folge uns

WASHINGTON

712 H St NE PMB 94982
Washington, DC 20002

BRÜSSEL

Rond Point Schuman 6, Box 5 Brüssel, 1040, Belgien

LONDON

Golden Cross House, Duncannon Street 8
London, WC2N 4JF, Großbritannien

KUALA LUMPUR

Block D, Platinum Sentral, Jalan Stesen Sentral 2, Level 3 – 5 Kuala Lumpur, 50470, Malaysia

OTTAWA

718-170 Laurier Ave W Ottawa, ON K1P 5V5

© COPYRIGHT 2025, VERBRAUCHERWAHLZENTRUM

Ebenfalls vom Consumer Choice Center: ConsumerChamps.EU | FreeTrade4us.org