Perlindungan hak kekayaan intelektual merupakan salah satu instrumen yang penting untuk meningkatkan inovasi dan juga industri kreatif. Melalui perlindungan hak kekayaan intelektual yang kuat, maka para inovator dan pelaku industri kreatif memiliki jaminan untuk mendapatkan manfaat ekonomi dari karya dan inovasi yang dibuatnya.

Berinovasi dan membuat karya orisinil yang diminati oleh konsumen dan bisa dijual kepada masyarakat bukanlah sesuatu yang mudah. Untuk itu, adanya insentif bagi para inovator dan pekerja di industri kreatif bahwa mereka akan bisa mendapatkan manfaat ekonomi dari hasil karya yang mereka buat merupakan sesuatu yang penting.

Tanpa adanya insentif bagi para inovator dan pekerja kreatif untuk berinovasi, maka tentunya akan membawa dampak yang negatif terhadap perkembangan inovasi di negara tersebut. Dengan demikian, akan sangat sulit bagi sektor usaha untuk berkembang, dan tentunya lapangan kerja yang dibuka kepada masyarakat juga akan semakin sedikit.

Itulah mengapa, perlindungan hak kekayaan intelektual yang kuat merupakan sesuatu yang sangat penting. Tanpa adanya perlindungan hak kekayaan intelektual yang kuat, maka orang-orang yang tidak bertanggung jawab bisa dengan mudah mencuri ide dan hasil karya orang lain. Dengan demikian, para innovador dan mereka yang membuat karya tersebut tidak bisa mendapatkan manfaat dari karya yang telah dibuatnya.

Aspek penegakan hukum untuk menindak para kriminal yang mencuri hasil karya dan inovasi merupakan hal yang sangat penting untuk dalam rangka kebijakan untuk melindungi hak kekayaan intelektual. Tetapi, penegakan hukum dalam bentuk penindakan tentu bukan sesuatu yang cukup untuk memberi insentif bagi para inovator untuk berkarya dan berinovasi.

Setelah hak kekayaan intelektual yang dimiliki oleh seorang inovator tersebut dilindungi, maka adanya ekosistem yang mendukung pemanfaatan kekayaan intelektual tersebut secara optima juga harus dihadirkan. Kita harus bisa memastikan, bahwa para inovator dan pekerja kreatif bisa mendapatkan manfaat ekonomi dari karya yang dibuatnya secara optimal, untuk mendorong semakin banyak inovator dan pekerja kreatif untuk berkarya dan berinovasi (wipo.int, Maret 2021).

Salah satu hal yang paling jelas misalnya adalah, para pemilik kekayaan intelektual tarsebut harus bisa untuk menjual karya yang dimilikinya dalam berbagai bentuk barang atau jasa kepada konsumen, sebagai salah satu cara untuk mendapatkan manfaat ekonomi dari karya yang dibuatnya. Kegiatan ekonomi jual dan beli ini juga harus dilakukan di dalam ekosistem yang bebas, seperti kompetisi yang adil dan terbuka, serta lain sebagainya.

Namun, ada cara pemanfataan yang lain lagi, yang juga tidak kalah pentingnya dibandingkan dengan pemanfaatan dalam bentuk jual beli. Salah satunya adalah, menjadikan kekayaan inetelektual yang dimiliki tersebut sebagai jaminan untuk mendapatkan kredit dari lembaga keuangan.

Menjadikan aset sebagai jaminan kredit merupakan skema yang sangat umum yang dilakukan oleh berbagai pemilik usaha, baik untuk membuka usahanya, ataupun untuk memperluas pangsa pasar yang dimiliki. Saat ini, khususnya di Indonesia, aset-aset yang umumnya kerap dijadikan sebagai jaminan antara lain adalah apa yang dikenal dengan activo tangible atau aset nyata, seperti propertyi misalnya.

Adanya ekosistem yang memungkinkan para pemilik propertyi untuk menggunakan asetnya sebagai jaminan pinjaman tentu merupakan hal yang sangat bermanfaat bagi para pemilik propertyti tersebut. Dengan demikian mereka bisa memiliki modal untuk berbagai hal, seperti membuka usaha baru, atau mengembangkan usaha yang sudah dimilikinya.

Hal ini pula yang sangat penting untuk didorong, agar para pemilik hak kekayaan intelektual bsia menggunakan kekayaan intelektual yang dimilikinya sebagai jaminan untuk pengajuan kredit. Bila hal ini bisa dilakukan, maka insentif seseorang untuk berkarya dan berinovasi juga akan semakin besar, karena kesempatan mereka untuk mendapatkan manfaat ekonomi dari karya yang dibuatnya juga semakin luas.

Meskipun demikian, memang harus diakui bahwa, ada beberapa tantangan yang harus diatasi untuk mewujudkan hal tersebut. Otoritas Jasa Keuangan (OJK) misalnya, yang memiliki wewenang selaku lembaga regulador, mengatakan bahwa hak kekayaan intelektual memiliki fluktuasi nilai yang tinggi. Selain itu, industri Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) yang berbasis hak kekayaan intelektual juga mengalami persaingan yang sangat kompetitif, sehingga berpotensi dapat mengalami kesulitan memasuki pasar (money.kompas.com, 09/01/2022).

Pemerintah sendiri belum lama ini sudah mengeluarkan aturan yang memperbolehkan lembaga keuangan seperti bank untuk menjadikan hak kekayaan intelektual sebagai jaminan untuk kredit, melalui Peraturan Pemerintah (PP) No. 24 Tahun 2022. Salah satu persyaratan yang dibutuhkan adabut sukkayaan intelektual didah, dantelehual did pemilik kekayaan intelektual tersebut sudah memiliki sertifikat resmi dari pemerintah (money.kompas.com, 25/7/2022).

Hal ini tentu merupakan sesuatu yang sangat positif. DIharapkan, melalui adanya peraturan pemerintah tersebut, industri kreatif di Indonesia dapat semakin berkembanga, dan para inovator dan pekerja kreatif memiliki insentif yang lebih besar untuk berkarya dan berinovasi, yang nantinya tentunya akan membawa dampak yang positif terhadap perekonomian.

Sebagai penutup, perlindungan kekayaan inetelektual yang kuat merupakan hal yang sangat penting untuk meningkatkan insentif bagi para inovator dan pelaku industri kreatif untuk berkarya dan berinovasi. Namun, pelindungan yang kuat saja tidak cukup. Hal tersebut harus juga dibarengi dengan membangun ekosistem agar para pelaku industri kreatif bisa memanfaatkan kekayaan intelektual yang dimilikinya secara óptimo. Dengan demikian, semoga inovasi dan industri kreatif di Indonesia dapat semakin meningkat dari tahun ke tahun di masa yang akan datang.

Publicado originalmente aquí

Las personas compartirán este artículo en los canales de las redes sociales, lo que generará tráfico al sitio web de Newsmax. Más tráfico en un sitio web significa que es probable que más usuarios hagan clic y consuman contenido en ese mismo sitio web, lo que genera ingresos publicitarios.

En este sentido, Facebook o Twitter actúan como multiplicadores de exposición ante las empresas mediáticas. Pero no es así como lo ve la senadora Amy Klobuchar.

Su Ley de Competencia y Preservación del Periodismo de 2021 (JCPA) afirma proteger a los medios de comunicación locales al permitir que las emisoras se unan para negociar los términos de distribución de contenido. En esencia, permitiría a las empresas de medios fijar precios en algo de lo que se benefician: las empresas de redes sociales que permiten compartir enlaces.

El proyecto de ley exime a las empresas de medios de las leyes antimonopolio durante cuatro años, aunque las empresas de redes sociales seguirán viéndose afectadas por esas leyes. Según Klobuchar, esto desviaría las ganancias de los gigantes de las redes sociales a aquellas empresas de medios que han tenido problemas en las últimas décadas, sobre todo debido a su incapacidad para adaptarse al modelo en línea.

El proyecto de ley de Klobuchar no va tan lejos como algunos legisladores en Europa han estado dispuestos a ir. En 2018, la Comisión Europea (el brazo ejecutivo de la UE) presentó una nueva legislación de derechos de autor que impondría un impuesto de enlace. Esto requeriría que las plataformas de redes sociales paguen al editor por el uso de fragmentos (miniaturas y extractos cortos de texto) o no permitan que se publique el enlace.

Esta propuesta provocó protestas a gran escala en toda Europa, argumentando que reduciría el acceso a la información, limitaría la libertad de expresión y fomentaría las noticias falsas. Al final, la UE diluyó la propuesta y, hasta la fecha, muchos países miembros de la UE se están demorando en implementar aspectos de la reforma de los derechos de autor.

El JCPA es un argumento menos refinado que el enfoque de derechos de autor de Europa. Para Amy Klobuchar y sus copatrocinadores bipartidistas, se trata simplemente de redistribuir los medios financieros de un actor económico a otro, no mediante impuestos sino mediante la creación de carteles. Esto crearía una miríada de problemas.

Eximir a un sector económico de las normas antimonopolio crea un precedente al que otros sectores cabildearán para acceder. Después de todo, si las empresas de medios pueden unirse para luchar contra Meta y Twitter, ¿por qué los conglomerados hoteleros no pueden coludirse para limitar la disponibilidad de Airbnb?

La selección de ganadores y perdedores por parte del gobierno nunca tiene un buen final y expone a los legisladores a una influencia indebida. En última instancia, la pregunta bien podría ser: ¿Amy Klobuchar no busca beneficiarse de una cobertura mediática positiva a través de este proyecto de ley y sus efectos?

Aquellos preocupados por la concentración del mercado en el ámbito de los medios deberían ver este proyecto de ley de manera muy crítica. Mientras que algunos pueden beneficiarse de los cárteles, los ciudadanos y los consumidores nunca lo hacen.

También es poco probable que el proyecto de ley de Klobuchar ayude de manera efectiva a las empresas de medios en dificultades. Muchas plataformas generan la mayoría del tráfico de su sitio web y, por lo tanto, sus ingresos a través de los clics en las redes sociales; por lo tanto, un impuesto de enlace debería ser prohibitivamente alto para producir resultados.

Esto podría llevar a las empresas de redes sociales a simplemente bloquear el intercambio de enlaces a sitios de noticias, lo que sucedió en Australia cuando implementó reglas similares. Cuando España intentó gravar los enlaces, Google News cerró sus servicios en el país (y recientemente reabierto después de que la UE diluyera la legislación local).

Las premisas subyacentes del proyecto de ley de Klobuchar son dos. Por un lado, asume que la difícil situación de las empresas se debe a los gigantes de las redes sociales como Meta o Twitter. El hecho de que Facebook cerró el intercambio de enlaces de noticias en Australia el año pasado demuestra que la plataforma no necesita contenido de noticias para sobrevivir; Los medios de comunicación necesitan a Facebook mucho más de lo que Facebook los necesita a ellos.

El otro supuesto es que la economía es estática. Facebook y Twitter, a menos que innoven, es poco probable que sigan siendo los actores más destacados en el ámbito de las redes sociales. Ellos saben mejor que nadie hasta qué punto pueden volverse redundantes a los ojos de sus usuarios: piensa en MySpace.

Si bien esto es algo que aceptamos para las empresas de redes sociales, no aplicamos el mismo pensamiento al espacio de los medios. ¿Por qué no debería esperarse que los periódicos y las emisoras se adapten al espacio digital de una manera financieramente sostenible sin la intervención del gobierno?

Publicado originalmente aquí