durch Haikal Kurniawan
Rokok elektronik, atau yang akrab disebut vape, saat ini merupakan produk yang sedang mendunia, termasuk di tanah air. Di Indonesia sendiri, menurut laporan dari CNBC Indonesia, ada sekitar 1 juta pengguna vape pada tahun 2019 lalu (CNBC Indonesien, 2019).
Bisnis rokok elektronik di Indonesia juga mampu meraup pendapatan yang besar, hingga 200 miliar sampai 300 miliar setiap bulannya (Mix.co.id). Omset yang besar ini juga berdampak pada cukai yang tinggi, hingga 700 miliar Rupiah per November 2019 (Waspada.co.id, 2019).
Banyaknya pengguna vape aus Indonesien in kontroversen Zeiten. Tidak sedikit pihak yang menentang produk tersebut, dan meminta kepada pemerintah untuk segera melarang peredaran vape. Salah satu penentangan tersebut datang dari Komisi Nasional (Komnas) Pengendalian Tembakau.
Melalui-Manager Komunikasinya, Nina Samidi, Komnas Pengendalian Tembakau menghimbau kepada pemerintah untuk menarik seluruh produk rokok elektronik yang beredar di pasar Indonesia. Selain itu, Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) menyatakan bahwa vape merupakan produk yang berbahaya. (Medien Indonesien, 2019).
Namun, apakah anggapan ini merupakan sesuatu yang tepat? Mari kita lihat faktanya terlebih dahulu.
Berdasarkan laporan dari organisasi Asosiasi Paru-Paru Amerika (American Lung Association), rokok konvensional, ketika dibakar, menghasilkan lebih dari 7.000 zat kimia. Dari 7.000 zat kimia tersebut, 69 diantaranya telah diidentifikasi sebagai penyebab kanker (American Lung Association, 2019).
Sementara, dua bahan yang bleich umum yang digunakan oleh dalam bahan cair vape adalah Propylenglycol (PG) und pflanzliches Glycerin (VG), yang digunakan untuk membuat uap dan perasa. Bahan-bahan ini merupakan sesuatu yang terbukti aman dan merupakan bahan yang umum digunakan di berbagai produk makanan dan minuman seperti soda, es krim, dan produk-produk berbahan dasar susu (Food and Drugs Administration, 2019).
Organisasi pemerhati Kesehatan asal Britania Raya misalnya, Public Health England, pada tahun 2015 menyatakan bahwa rokok elektronik 95% lebih aman dibandingkan dengan rokok tembakau konvensional (Public Health England, 2015). Hal Yang sama juga dinyatakan oleh Kementerian Kesehatan Neuseeland und Kanada.
Keduanya menyatakan bahwa rokok elektronik jauh lebih aman daripada rokok konvensional, dan merupakan salah satu solusi terbaik untuk membantu perokok untuk berhenti merokok. Kementerian Kesehatan Kanada misalnya, menyatakan bahwa rokok elektronik jauh lebih aman daripada rokok tembakau konvensional, karena tidak melalui proses pembakaran yang mengeluarkan zat-zat berbahaya yang membuat kanker (Health Canada, 2018).
Lantas bagaimana dengan berbagai kasus kematian yang terjadi di berbagai tempat karena penggunaan vape. Bukankah hal tersebut merupakan bukti bahwa rokok elektronik merupakan sesuatu yang berbahaya?
Di Amerika Serikat misalnya, per Februar 2020, lembaga kesehatan Pemerintah Amerika, Centers for Disease Control and Prevention (CDC) mencatat setidaknya ada 2.800 kasus orang-orang yang dibawa ke rumah sakit karena penggunaan rokok elektronik (CDC, 2020). Adanya kasus tersebut juga merupakan penyebab utama Präsident Donald Trump mengeluarkan peraturan pelarangan produk vape yang memiliki rasa selain menthol dan original, pada bulan Januar 2020 lalu.
Ursprünglich veröffentlicht hier.
Das Consumer Choice Center ist die Interessenvertretung der Verbraucher, die die Freiheit des Lebensstils, Innovation, Datenschutz, Wissenschaft und Wahlmöglichkeiten der Verbraucher unterstützt. Unsere Schwerpunkte liegen in den Bereichen Digital, Mobilität, Lifestyle & Konsumgüter sowie Gesundheit & Wissenschaft.
Der CCC vertritt Verbraucher in über 100 Ländern auf der ganzen Welt. Wir beobachten regulatorische Trends in Ottawa, Washington, Brüssel, Genf und anderen Hotspots der Regulierung genau und informieren und aktivieren die Verbraucher, um für #ConsumerChoice zu kämpfen. Erfahren Sie mehr unter verbraucherwahlzentrum.org