Bahaya Kebijakan Larangan Impor Pangan 2025
Kebijakan terkait pangan kerap menjadi topik yang penuh dengan pro dan kontra. Tidak bisa dipungkiri bahwa, kebijakan pangan merupakan hal yang sangat sensitif, dan memiliki dampak yang besar pada hampir seluruh lapisan masyarakat. Oleh karena itu, para politisi hampir pasti menjadikan kebijakan pangan fokus utama dalam platform kebijakan kampanye yang mereka lakukan untuk mendapatkan suara masyarakat.
Umumnya, platform kebijakan pangan yang kerap diadvokasi para politisi di Indonesia selalu memiliki corak nasionalisme dan kedaulatan pangan. Beberapa waktu lalu misalnya, dalam rapat terbatas di Istana Negara, presiden Prabowo Subianto menyatakan bahwa Indonesia akan menghentikan impor pangan di tahun 2025 dengan capaian target sekitar tahun 2027 (bisnis.com, 30/12/2024).
Kebijakan pelarangan impor sendiri merupakan salah satu kebijakan yang kerap menimbulkan kontroversi, karena berpotensi besar akan membawa dampak negatif terhadap konsumen, seperti kenaikan harga dan dampak lainnya. Hal ini semakin krusial mengingat barang yang dikenakan merupakan produk pangan yang sangat esensial. Oleh karena itu, tidak sedikit pihak yang mengungkapkan kekhawatiran dari kebijakan penutupan impor pangan ini.
Pengajar dan peneliti Universitas Islam Indonesia (UII) misalnya, mengatakan bahwa ada beberapa risiko yang akan terjadi dan harus diperhitungkan dari keputusan untuk menutup impor pangan. Aspek permintaan dan penawaran misalnya, akan berpotensi menjadi tidak seimbang (tempo.co, 10/1/2025).
Untuk bahan pangan seperti jagung misalnya, di tahun 2024 lalu sebesar 19,5 juta ton, sementara kebutuhan domestik di tahun ini diperkirakan berjumlah 21 juta ton. Demikian juga produksi garam domestik misalnya, yang tahun lalu hanya 2 juta ton, sementara proyeksi kebutuhan dalam negeri tahun 2025 mencapai 4,2 juta ton. Dengan demikian, kebijakan penutupan impor pangan juga akan membuat harga pangan mengalami inflasi, dan akan menambahkan beban masyarakat berpenghasilan rendah (tempo.co, 10/1/2025).
Selain itu, yang sangat penting untuk diperhatikan adalah kita akan bergantung pada produksi pangan lokal yang sangat rentan terhadap berbagai faktor, seperti bencana alam dan dampak perubahan iklim. Curah hujan di Indonesia yang tidak menentu akan menghasilkan kekeringan dan juga bisa menurunkan hasil panen (tempo.co, 10/1/2025).
Pada 2024 lalu misalnya, Indonesia sempat mengalami penurunan produksi beras, dari 31,10 juta ton di tahun 2023 misalnya, menjadi 30,62 juta ton di tahun 2024. Penurunan ini disebabkan karena ada faktor iklim, salah satunya adalah El Nino yang berkepanjangan. Apabila kita hanya mengandalkan produksi dalam negeri, maka kita akan bergantung pada kondisi iklim tersebut di Indonesia (cnnindonesia.com, 4/2/2025).
Dampak dari pelarangan impor pangan juga tidak hanya dirasakan oleh konsumen dalam negeri, tetapi juga oleh sektor industri. Bila industri pengolahan pangan tidak bisa menggunakan bahan pangan impor, seperti garam misalnya, maka biaya produksi akan semakin meningkat. Dengan demikian, bukan tidak mungkin akan terjadi pemutusan hubungan kerja (PHK) massal, dan daya saing Indonesia dengan negara tetangga seperti Thailand dan Vietnam menjadi semakin berkurang (tirto.id, 10/1/2025).
Untuk komoditas jagung misalnya, bukan hanya menjadi komoditas yang dikonsumsi oleh konsumen, tetapi juga digunakan oleh para peternak untuk pakan hewan-hewan ternak mereka khususnya ayam. Jika impor jagung ditutup, dan ketersediannya menajdi berkurang, maka harga pakan ternak tersebut akan menjadi meningkat, dan juga akan berpengaruh pada produk-produk turunannya, seperti telur dan daging ayam (tempo.co, 8/1/2025).
Kita sendiri juga bisa belajar dari pengalaman kegagalan kebijakan larangan impor pangan yang pernah dilakukan beberapa tahun lalu. Peneliti dari Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia mengungkapkan bahwa, pada tahun 2016 lalu pemerintah Indonesia pernah melarang impor jagung (tirto.id, 10/1/2025). Akibatnya, jagung mengalami kelangkaan, dan setelah terjadi protes, pemerintah memutuskan kembali untuk membuka keran impor tanpa kuota di tahun 2019 (antaranews.com, 4/2/2019).
Belum lagi, saat ini pemerintah telah melaksanakan program makan siang gratis untuk seluruh sekolah di Indonesia, yang juga merupakan salah satu janji program presiden saat kampanye tahun lalu. Program makan siang gratis di sekolah-sekolah tersebut tentu merupakan program yang membutuhkan sumber daya yang sangat besar, untuk bisa dinikmati oleh seluruh anak sekolah di Indonesia.
Dengan demikian, program makan siang gratis ini berpotensi besar akan berkontribusi pada kenaikan harga pangan di Indonesia. Bila impor pangan ditutup, maka ketersediaan pangan di pasar berpotensi akan semakin berkurang, dan harga pangan akan semakin melonjak naik (sindonews.com, 15/8/2024).
Sebagai penutup, ketersediaan pangan dengan harga yang terjangkau untuk masyarakat tentu harus menjadi fokus utama para pemangku kebijakan ketika merumuskan kebijakan terkait pangan. Jangan sampai, karena upaya untuk swasembada pangan, lantas masyarakat, khususnya yang berpenghasilan menengah ke bawah, dan juga para pekerja industri, yang terkena dampak negatif dari kebijakan tersebut.
Ursprünglich veröffentlicht hier