Penulis Haikal Kurniawan - Usia harapan hidup dunia kian naik dari tahun ke tahun. Em 2020, diprediksi ada lebih banyak penduduk dunia yang berusia di atas 64 tahun daripada anak-anak di bawah usia 5 tahun (Roeder, 2019). Hal ini tentu merupakan suatu capaian yang mengagumkan, dan sangat perlu untuk diapresiasi.
Salah satu hal yang memainkan peran besar atas hal tersebut adalah inovasi e perkembangan sains e teknologi di bidang medis. Berbagai kemajuan di bidang tersebut telah membantu umat manusia untuk memiliki usia jauh lebih panjang daripada leluhur mereka yang hidup di masa lalu.
Konsumen tentu merupakan pihak yang paling diuntungkan dari perkembangan tersebut. Melalui berbagai inovasi, konsumen diberikan berbagai macam pilihan untuk memilih obat-obatan medis yang lebih beragam dan ampuh untuk mengatasi berbagai penyakit.
Lantas, apakah perlindungan Hak Kekayaan Intelektual memiliki kaitan erat perkembangan sains dan teknologi tersebut?
*****
Hak Kekayaan Intelektual, ou HAKI, merupakan salah satu hak yang diakui secara global oleh dunia internacional. Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM), Pasal 27 UDHR, menyatakan dengan eksplisit bahwa “Setiap manusia memiliki hak untuk mendapatkan perlindungan, baik secara moral, maupun kepentingan material, yang dihasilkan dari hasil karya saintifik, literatur, maupun seni yang dibuatnya.”
Perlindungan HAKI merupakan salah satu instrumento yang dibuat untuk melindungi para inovador dan seniman atas hasil jerih payah mereka. Tanpa adanya perlindungan terhadap HAKI, tentu mustahil para inovator dan seniman yang sudah bekerja keras membuat karya tertentu untuk menikmati hasil kreatifitas yang mereka buat. Orang-orang lain, yang tidak melakukan apa-apa, akan dengan mudah mengkopi dan membajak hasil karya tersebut untuk keuntungan mereka sendiri.
Hal yang sama juga berlaku para inovação em tecnologia de bidang kedokteran, pangan, e kesehatan. Satu hal yang memiliki peran sangat besar untuk mendorong perkembangan tersebut adalah para o investidor yang menginvestasikan dana mereka untuk riset dan penelitian.
Jumlah dana yang diinvestasikan tersebut tidaklah kecil. Professor dari Fakultas Kesehatan Universitas Tufts, Joseph Dimasi, dalam jurnalnya yang berjudul “Inovação na indústria farmacêutica: Novas estimativas de custos de P&D” estimativas de membros, agar sebuah obat bisa dipakai oleh pasien dari nol, dibutuhkan waktu riset selama 12,5 tahun dan dana sebesar 2,8 milyar Dollar Amerika, atau lebih dari 35 triliun rupiah (DiMasi, 2016).
Dana tersebut tentu bukan jumlah yang sedikit. Tanpa adanya perlindungan terhadap HAKI, tentu insentif para investidor para menginvestasikan uang yang mereka miliki menjadi berkurang, dan bahkan hilang. Hal tersebut tentu akan sangat merugikan banyak pihak, terutama konsumen yang membutuhkan obat-obatan medis terbaru, karena riset dan penelitian menjadi terhambat.
Akan tetapi, bukankah HAKI di bidang medis akan mendorong perilaku rakus yang dilakukan oleh berbagai perusahaan farmasi demi keuntungan sebesar-besarnya?
Além disso, kerakusan perusahaan farmasi demi meraih keuntungan sebesar-besarnya merupakan karikatur yang kerap digambarkan oleh para activis e para politisi yang memiliki haluan kiri.
Namun, kenyataannya tidaklah demikian. Perusahaan farmasi asal Britania Raya GlaxoSmithKline (GSK) misalnya, memberlakukan kebijakan pemotongan harga obat yang mereka jual di negara-negara berkembang sebesar 25% dari dengan harga di negara-negara maju. Selain itu, perusahaan farmasi asal Swiss, Novartis, sejak tahun 2011, telah mendistribusikan lebih dari 850 juta obat anti malaria ke lebih dari 60 negara dengan jumlah penderita malaria tertinggi, tanpa mengambil profit sama sekali (Empreendimento da Medicina para a Malária, 2019).
Lantas, bila demikian, bagaimana kita dapat mengatasi biaya obat-obatan medis yang tinggi?
Cara para mengatasi hal tersebut bukanlah dengan menghapus HAKI, karena hal tersebut akan menghilangkan insentif yang sangat dibutuhkan untuk mendorong kemajuan di bidang medis. Solusi yang paling efisien untuk menurunkan harga obat-obatan agar terjangkau adalah menghapuskan berbagai kebijakan pemerintah yang mendorong kenaikan harga tersebut, diantaranya adalah tarif importa dan izin birokrasi yang rumit.
Tarif importa para o produto obat-obatan medis tenta akan mendoron kenaikan harga barang tersebut di pasar, dimana yang paling dirugikan adalah masyarakat kelas menengah ke bawah. Nepal misalnya, memberlakukan kebijakan tarif import untuk produk medis sebesar 14,7%. Tarif import untuk obat-obatan medis di Indonesia sendiri adalah 4,3% (IDN Times, 2019).
Izin yang rumit dan berbelit juga merupakan hal yang tentu sangat menghambat perkembangan dan membuat biaya obat menjadi meningkat. Berdasarkan laporan Tempo misalnya, Menteri Kesehatan, Terawan Agus Purwanto, menyatakan bahwa izin peredaran obat baru di Indonesia bisa memakan waktu hingga berbulan-bulan, ia berjanji akan mengatasi persoalan tersebut (Tempo, 2020).
HAKI di bidang medis merupakan hal yang patut untuk demi mendorong perkembangan sains e teknologi di bidang medis, yang tentunya akan membawa manfaat besar bagi umat manusia. Pemerintah dalam hal ini seharusnya menjadi pihak yang menjaga hak tersebut, bukan menjadi aktor yang mempersulit inovasi melalui berbagai regulasi ketat yang nantinya akan merugikan masyarakat.
Publicado originalmente aqui.
O Consumer Choice Center é o grupo de defesa do consumidor que apoia a liberdade de estilo de vida, inovação, privacidade, ciência e escolha do consumidor. As principais áreas políticas em que nos concentramos são digital, mobilidade, estilo de vida e bens de consumo e saúde e ciência.
O CCC representa consumidores em mais de 100 países em todo o mundo. Monitoramos de perto as tendências regulatórias em Ottawa, Washington, Bruxelas, Genebra e outros pontos críticos de regulamentação e informamos e ativamos os consumidores para lutar pela #ConsumerChoice. Saiba mais em consumerchoicecenter.org