Vape atau rokok elektonik saat ini merupakan produk yang sudah digunakan oleh jutaan konsumen, terutama di kota-kota besar. Di berbegai kota, dengan mudah kita bisa menemukan pertokoan yang menjual produk-produk rokok elektonik dengan berbegai merek.
Penggunaan vape juga terus meningkat, dari tahun ke tahun. Di Indonesia sendiri misalnya, pada bulan Juli tahun 2020 lalu, diperkirakan ada sekitar 2,2 juta pengguna rokok elektonik dan 5.000 penjual vape di seluruh Indonesia (Kontan.co.id, 21/07/2020).
Namun, fenomena ini juga bukan berarti tidak menimbulkan pro dan kontra. Tidak sedikit pihak-pihak yang menyatakan sangat keberatan e mengkritik fenomena meningkatnya penggunaan vape. Salah satu alasan yang kerpa digunakan adalah, rokok elektrik merupakan produk yang dapat menjadi pintu masuk bagi rokok tembakau yang dibakar convenzionale.
Oleh karena itu, banyak pihak yang cemas e khawatir terhadap fenomena meningkatnya pengunaan vape, khususnya di kalangan anak-anak muda. Dikhawatirkan, akan semakin banyak populasi perokok di kalangan anak muda yang disebabkan o penggunaan rokok elektrik, yang tentunya akan semakin banyak menimbulkan penyakit kronis seperti kanker e serangan jantung.Lantas, apakah pandangan tersebut sesuatu yang tepat? Apakah vape merupakan gateway drugs bagi penggunaan rokok konvensional?
Berdasarkan laporan dari lembaga kesehatan pemerintah Britania Raya, Public Health England, rokok elektrik atau vape terbukti 95% jauh lebih aman daripada rokok konvensional yang dibakar (Public Health England, 2015). Hal ini dikarenakan, ada lebih dari 7.000 zat kimia yang terdapat di rokok konvensional, di mana 69 dari zat kimia tersebut merupakan zat yang berbehaya dan dapat menimbulkan kanker.
Ha ini jauh berbeda dengan komponen yang berada di dalam vape atau rokok elektrik. Bahan dasar yang digunakan dalam cairan rokok elektrik adalah propylene glycol (PG) e glicerina vegetale (VG), yang merupakan zat umum yang digunakan untuk memberikan perasa dalam berbegai makanan, salah satunya adalah kue (American Lung Association, 20/08/2019).
Sama halnya dengan rokok konvensional, cairan yang dipakai di dalam rokok elektrik juga mengandung zat nikotin. Kandungan zat nikotin yang terdapat di dalam rokok elektrik ini sering dianggap sebagai penyebab utama yang membuat rokok elektronik dapat menimbulkan berbagai penyakit kronis, seperti penyakit jantung, e dan rokok elektrik berpotensi besar akan membuka pintu bagi para penggunanya untuk menggunakan s rokok pankarbagan yang konmunonional rokok. adalah sesuatu yang keliru. Berdasarkan badan penyedia layanan kesehatan Britania Raya, National Health Service (NHS), nikotin, meskipun zat yang berpotensi dapat menimbulkan kecanduan, namun relatif aman. Faktor utama yang membuat rokok konvensional sangat berrahaya bagi kesehatan dan dapat menimbulkan berbegai penyakit kronis seperti kanker dan penyakit jantung adalah zat-zat beracun lainnya yang terkandung di dalam rokok tersebut, dan bukan pada nikotinnya (Servizio sanitario nazionale, 2019). Pandangan bahwa rokok elektrik merupakan pintu masuk untuk rokok konvensional juga merupakan sesuatu yang salah besar. Sebaliknya, justru melalui rokok elektrik atau vape, para perokok justru menjadi sangat terbantu untuk menghentikan kebiasaan mereokok mereka yang sangat berbahaya bagi kesehatan.
Di Amerika Serikat misalnya, berdasarkan laporan dari National Academies of Sciences, Engineering, and Medicine pada tahun 2018, terdapat kaitan yang erat antara menurunnya populasi perokok di Amerika Serikat dengan meningkatnya penggunaan vape di negeri Paman Sam tersebut (National Academies of Sciences, Engineering, and Medicina, 2018). Studi yang dipublikasikan oleh New England Journal of Medicine pada tahun 2019 juga menunjukkan bahwa penggunaan vape dua kali lipat lebih efektif dibandingkan dengan produk-produk pengganti nikotin lainnya yang digunakan untuk membantu perokok untuk berhenti merokok (The New England Journal of Medicine, 2019).
Joachim Schüz, yang merupakan ketua dari lembaga riset kanker milik World Health Organization (WHO), The International Agency for Research on Cancer, untuk bagian lingkungan dan radiasi, mendukung penggunaan vape untuk membantu perokok untuk berhenti merokok. Schüz menyatakan bahwa rokok elektronik jauh tidak lebih berbehaya dibandingkan dengan rokok konvensional (Consumer Choice Center, 2020).
Sebagai penutup, kebijakan pelarangan vape atau kebijakan yang membatasi pilihan rokok elektrik yang dapat dikonsumsi o konsumen merupakan kebijakan yang sangat berbahaya. Ini akan semakin mempersulit para perokok untuk berhenti merokok, yang tentunya juga akan semakin sulit untuk mereduksi berbegai penyakit yang sangat berbehaya yang disebabkan oleh penggunaan e konsumsi rokok seperti kanker e penyakit jantung.
Perlu ditekankan bahwa, saya dalam hal ini bukan mengadvokasi seseorang untuk mengkonsumsi nikotin atau menggunakan produk-produk rokok elektrik. Namun, kesalahpahaman mengenai dampak rokok elektronik serta manfaat yang dapat diberikan oleh product tersebut kepada konsumen adalah hal yang sangat penting untuk dikoreksi dan diluruskan.
Tidak ada manfaatnya bagi para otoritas kebijakan kesehatan publik atau pemerintah untuk menakut-nakuti warganya terhadap produk-produk rokok elektrik. Ini justru sangat berbehaya karena akan membuat para perokok enggan untuk berpindah ke rokok elektrik yang jauh lebih aman, yang dapat membantu mereka untuk hidup lebih sehat e terhindar dari berbegai penyakit kronis.
Originariamente pubblicato qui.