Isu mengenai rokok elektrik atau vape saat ini merupakan salah satu isu yang menjadi perbincangan di banyak tempat, baik itu di Indonesia atau di negara lain. Berbagai pihak memiliki pandangan yang berbeda-beda mengenai bagaimana kita seharusya menanggapi isu tersebut.
Salah satu perdebatan yang kerap muncul terkait dengan vape atau rokok elektrik adalah seputar legalisasi, apakah seharusnya produk alternatif tembakau tersebut diizinkan untuk diproduksi dan dikonsumsi atau dilarang. Berbagai kelompok memiliki pandangan yang berbeda-beda untuk menjawab mengenai persoalan tersebut.
Bagi sebagian kalangan, vape atau rokok elektrik merupakan hal yang sangat berbahaya dan maka dari itu harus dilarang secara penuh, atau setidaknya diregulasi secara sangat ketat agar konsumen tidak bisa mengakses produk tersebut dengan mudah.
Pandangan tersebut umumnya didasari pada anggapan bahwa vape atau rokok elektrik merupakan produk yang sangat berbahaya, sehingga wajib dilarang oleh para pembuat kebijakan dan aparat penegak hukum.
Di Indonesia sendiri, tidak sedikit beberapa kelompok yang mengadvokasi hal tersebut, bahwa vape atau rokok elektrik merupakan produk yang sangat berbahaya sehingga harus dilarang atau setudaknya diregulasi secara ketat.
Ikatan Dokter Indonesia (IDI) misalnya, menghimbau adanya larangan penggunaan vape atau rokok elektrik bagi masyarakat di Indonesia. Himbauan ini didasari pada pandangan bahwa vape atau rokok elektrik merupakan produk yang sangat berbahaya, dan bahayanya sama seperti rokok konvensional yang dibakar (mediaindonesia.com, 26/9/2019).
Pandangan bahwa rokok elektrik atau vape sebagai produk yang sama berbahayanya, atau mungkin bahkan jauh lebih berbahaya, bila dibandingkan dengan rokok konvensional yang dibakar merupakan pandangan yang cukup umum dipercayai oleh banyak orang, dan bukan hanya di Indonesia tetapi juga di banyak negara.
Padahal, beberapa lembaga kesehatan di luar negeri sudah mengeluarkan laporan yang menyatakan bahwa vape atau rokok elektrik merupakan produk yang jauh lebih aman bila dibandingkan dengan rokok konvensional yang dibakar.
Salah satu laporan yang sering menjadi acuan adalah laporan yang dikeluarkan oleh lembaga kesehatan publik asal Inggris, Public Health England (PHE), pada tahun 2015 lalu. Dalam laporan tersebut, dinyatakan bahwa vape atau rokok elektrik 95% jauh lebih aman bila dibandingkan dengan rokok konvensional yang dibakar (www.gov.uk, 19/8/2015).
Hal ini tentu merupakan sesuatu yang sangat positif, dan merupakan berita yang baik bagi jutaan perokok di seluruh dunia, termasuk juga tentunya di Indonesia. Melalui berbagai produk vape atau rokok elektrik, para perokok jadi memiliki opsi alternatif produk lain yang lebih aman dan tingkat bahayanya jauh lebih rendah.
Namun, hal penting yang patut dicatat adalah, bukan berarti lantas vape atau rokok elektrik menjadi produk yang 100% aman dan bisa menjadi produk yang dijual secara bebas sebebas-bebasnya seperti produk-produk pangan misalnya.
Menyatakan bahwa vape atau rokok elektrik 95% lebih tidak berbahaya bila dibandingkan dengan rokok konvensional yang dibakar tidak sama dengan mengatakan kalau vape atau rokok elektrik merupakan produk yang 100% aman.
Untuk itu, regulasi vape dan produk-produk tembakau alternatif merupakan sesuatu yang sangat penting. Salah satunya misalnya adalah, untuk memastikan bahwa produk-produk tersebut hanya bisa diakses dan dibeli oleh orang dewasa dan tidak bisa dijangkau oleh anak-anak di bawah umur.
Selain itu, regulasi lainnya juga sangat penting untuk memastikan keamanan bagi para konsumen yang menggunakan produk-produk vape dan produk-produk alternatif tembakau lainnya.
Hal ini juga disetujui oleh organisasi yang memiliki fokus pemerhati vape dan produk-produk tembakau alternatif lainnya, salah satunya adalah Koalisi Indonesia Bebas TAR (KABAR), yang berharap bahwa Indonesia dapat mengadopsi kebijakan regulasi vape dengan prisip pengurangan dampak buruk (reducción de daños). Ketua Umum KABAR, Ariyo Bimmo menyatakan bahwa, regulasi vape atau produk tembakau alternatif lainnya di Indonesia saat ini belum mempertimbangkan prodil resiko yang ada, dan juga belum memberikan perlindungan konsumen (republika.co.id, 4/11/2022).
KABAR juga menyampaikan bahwa, regulasi vape atau peroduk tembakau alternatif lainnya perlu mempertimbangkan hasil kajian dan peneitian mengenai profil resiko dari produk-produk tersebut agar regulasi yang dibuat bisa tepat sasara dan optima.
Dengan demikian, regulasi yang diberlakukan justru dapat membantu berbagai permasalahan yang dialami oleh para perokok di Indonesia. Salah satu caranya adalah, pemerintah selaku regulador bisa melihat berbagai contoh regulasi vape yang diterapkan di negara-negara lain, yang bertujuan untuk membantu para perokok untuk berhenti merokok (republika.co.id, 4/11/2022).
Salah satu dari kebijakan yang bisa dipelajari dan dijadikan contoh oleh regulator di Indonesia dalam rangka menyusun regulasi untuk vape dan produk-produk tembakau alternatif lainnya adalah kebijakan yang diberlakukan di Australia.
Australia miembrolakukan kebijakan regulasi yang mempertimbangkan dari sisi konsumen, dan negara tersebut tercatat mengalami penurunan tingkat perokok sepanjang tahun 2015-2021 sebesar 42% (m.jpnn.com, 4/11/2022).
Sebagai penutup, regulasi vape dan produk-produk tembakau alternatif lainnya tidak hanya bisa sebatas pengenaan cukai yang tinggi apalagi pelarangan total.
Kebijakan regulasi tersebut haruslah berfokus pada konsumen, khususnya bagi para perokok di Indonesia, yang dapat membantu mereka untuk bisa menghentikan kebiasaannya yang sangat berbahaya bagi kesehatan.
Publicado originalmente aquí