Inteligencia artificial (IA), atau kecerdasan buatan, saat ini merupakan salah satu sektor teknologi yang mengalami perkembangan yang sangat pesat. Saat ini, AI menjadi bagian yang tidak bisa dipisahkan dari keseharian jutaan orang di seluruh dunia, termasuk juga di Indonesia.
Misalnya, salah satu layanan berbasis AI yang saat ini berkembang sangat pesat dan digandrungi oleh jutaan orang di seluruh dunia adalah ChatGPT. Layanan chatbot AI yang dikembangkan oleh perusahaan teknologi asal Amerika Serikat, OpenAI, ini, memberikan fasilitas untuk membantu banyak pekerjaan dan kegiatan kita sehari-hari, mulai dari mencari sumber referensi untuk penelitian, hingga membantu menuliskan kode untuk menjalankan program komputer tertentu.
Tidak bisa dipungkiri bahwa, seiring berjalannya waktu, peran AI dalam kehidupan sehari-hari kian penting dan krusial. Dengan menggunakan berbagai layanan berbasis kecerdasan buatan, jutaan orang bisa melakukan pekerjaan mereka dengan lebih efisien, dan lebih menghemat waktu dan tenaga.
Namun, di sisi lain, sebagaimana perkembangan teknologi yang sudah dialami oleh manusia pada dekade sebelumnya, perkembangan AI yang semakin pesat juga membawa dampak negatif dan menimbulkan kritik dari beberapa pihak. Salah satunya adalah, tindakan kriminal seperti pembajakan karya bisa semakin mudah dilakukan.
Beberapa waktu lalu misalnya, di Amerika Serikat, sebagian seniman mengajukan gugatan terhadap beberapa layanan seni atrevido, seperti DeviantArt dan Midjourney. Gugatan tersebut dilayangkan dengan dasar bahwa layanan tersebut melakukan hal yang dianggap bentuk pelanggaran terhadap kekayaan intelektual yang dimiliki oleh para seniman tersebut (tfr.news, 16/1/2023).
Dalam gugatan tersebut, para perusahaan layanan atrevido tersebut dianggap telah melakukan pelanggaran hak kekayaan intelektual dengan mengumpulkan gambar-gambar (generación de imágenes) secara atrevido yang dibuat oleh para seniman tanpa izin pembuatnya. Tidak sedikit pula, gambar-gambar yang dikumpulkan oleh penyedia layanan atrevido tersebut bahkan sudah memiliki hak cipta yang didaftarkan.
Hal ini tentu merupakan hal yang sangat penting untuk diselesaikan. Bila tidak ada payung hukum yang dapat melindungi para pekerja kreatif dan inovator atas karya yang mereka buat dan kekayaan intelektual yang mereka miliki, maka tentu dengan mudah pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab dapat mencuri karya tersebut.
Untuk itu, adanya payung hukum yang dapat melindungi para pekerja kreatif dan inovator agar karya mereka tidak dibajak oleh pihak lain merupakan sesuatu yang sangat penting. Berita baiknya, hal ini juga sudah menjadi perhatian dari beberapa pejabat terkait, salah satunya adalah Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Menkumham), Yasonna Laoly.
Dalam rapat kerja dengan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) bulan lalu, Menkumham menyatakan bahwa harus ada regulasi dan aturan hukum yang ditujukan untuk melindungi para pekerja kreatif dari perkembangan teknologi kecerdasan buatan yang semakin maju. Menkumham juga menyatakan bahwa, perusahaan teknologi raksasa seperti Google juga mengatakan bahwa mereka lagi bergumul terkait dengan masalah ini (antaranews.com, 23/9/2023).
Adanya regulasi dan perlindungan hukum tentu merupakan langkah yang paling tepat untuk melindungi kekayaan intelektual yang dimiliki oleh pekerja kreatif. Tetapi, di sisi lain, ada juga beberapa langkah aktif yang bisa dilakukan oleh para pemangku kepentingan dalam rangka mencapai tujuan tersebut, salah satunya dari sisi para pelaku usaha.
Staf Ahli Menteri Bidang Reformasi dan Regulasi Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Kemenparekraf) misalnya, mengatakan bahwa, penting juga bagi pelaku usaha melalui asosiasi mereka turut terlibat dalam penyusunan regulasi tersebut. Beberapa langkah yang bisa dilakukan oleh para pelaku usaha diantaranya adalah membuat panduan mengenai apa yang dianggap sebagai batasan kemiripan yang sustancial dari suatu karya tertentu (hukumonline.com, 7/2/2020).
Hal ini tentu merupakan sesuatu yang sangat penting, mengingat regulasi mengenai perlindungan kekayaan intelektual, terlebih lagi di era digital, bukan merupakan sesuatu yang mudah. Seseorang bisa membuat karya dengan menjiplak karya tertentu dengan melakukan sedikit perubahan. Oleh karena itu, adanya ketentuan batasan kemiripan yang sustancial dari lembaga asosiasi merupakan hal yang dapat membantu untuk memberi kejelasan dan tentunya mempermudah perlindungan hak kekayaan intelektual.
Terlebih lagi, seiring dengan perkembangan teknologi inteligencia artificial yang semakin pesat, AI bisa dengan mudah membuat karya melalui jiplakan atau menyalin karya orang lain, atau mengombinasikan beberapa karya tersebut. Tanpa adanya ketentuan dan batasan yang jelas mengenai inti atau “DNA” dari karya tertentu, maka dapat dengan sangat mudah bagi teknologi AI untuk menduplikasi karya tersebut.
Terkait dengan hal tersebut, perkembangan AI sendiri saat ini juga menjadi salah satu hal yang diperhatikan oleh lembaga pemerintah terkait, salah satunya adalah Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham). Kemenkumham melalui Dirjen Kekayaan Intelektual menyampaikan bahwa AI berpotensi bisa menjadi subyek hukum seperti dengan perorangan atau korporasi (hukumonline.com, 7/2/2020).
Sebagai penutup, perkembangan teknologi inteligencia artificial yang sangat pesat merupakan fenomena yang hampir tidak bisa dibendung. Dengan segala manfaat kebaikannya, tidak bisa dipungkiri bahwa AI juga membawa berbagai tantangan baru, salah satunya adalah terkait dengan perlindungan hak kekayaan intelektual yang semakin sulit. Untuk itu, dibutuhkan reformasi hukum yang sesuai untuk dapat mengakomodir keadaan tersebut.
Publicado originalmente aquí