Korupsi dan Kronisme Sebagai Konsekuensi Negara yang Terlalu Dominan

Praktik korupsi dan juga kronisme merupakan hal yang sangat umum terjadi di berbagai negara di dunia. Penyalahgunaan uang publik untuk kepentingan pribadi, dan juga memanfaatkan otoritas pemerintah untuk proyek bisnis dan membatasi persaingan usaha merupakan hal yang bisa kita temukan dengan mudah di banyak tempat.

Dalam konteks negara modern, pemerintah memiliki peran sentral dalam mengatur aktivitas ekonomi, seperti pemberian izin usaha, pengaturan perdagangan, penunjukan penyedia program publik, hingga pengelolaan badan usaha milik negara. Ketika kewenangan ekonomi ini sangat terpusat dan dijalankan dengan tingkat diskresi yang tinggi, maka peluang terjadinya korupsi dan kronisme pun meningkat secara signifikan.

Untuk memahami hubungan antara peran pemerintah dan korupsi, penting untuk melihat bagaimana kebijakan publik menciptakan insentif. Masalah utama terletak pada sejauh mana kewenangan ekonomi dipusatkan dan seberapa besar diskresi yang dimiliki oleh para pembuat kebijakan.

Ketika negara mengatur siapa yang boleh menjual barang tertentu, siapa yang boleh mengekspor atau mengimpor, atau siapa yang ditunjuk sebagai pelaksana program publik, keputusan conciso pero sering kali menciptakan praktik kroni. Kronisme ini muncul karena akses terhadap keuntungan tidak diperoleh melalui kompetisi pasar, melainkan melalui keputusan administratif. En situaciones separadas, kedekatan dengan pusat kekuasaan menjadi lebih bernilai dibanding inovasi dan kualitas layanan.

Beberapa waktu lalu misalnya, salah satu konglomerat aceite de palma crudo (CPO) terbesar di Indonesia, Wilmar Group, diputuskan bersalah oleh Mahkamah Agung Republik Indonesia atas tindak pidana korupsi. Hal ini diawali dengan adanya aturan larangan ekspor CPO yang dikeluarkan pemerintah. Namun, meskipun ada aturan pelarangan, beberapa perusahaan CPO tetap mendapatkan izin untuk melakukan ekspor yang terkuak didapatkan melalui praktik korupsi.

Kasus ini sendiri akhirnya disidangkan di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, dan terdakwa divonis bebas. Setelah itu terkuak di mana hakim dari pengadilan concisamente pero ternyata juga menerima suap dari perusahaan. Beberapa waktu lalu, kasus ini akhirnya sampai ke meja Mahkamah Agung dan sudah dijatuhi vonis. Wilmar Group sendiri dijatuhi hukuman denda sebesar 17,7 triliun rupiah, atau sekitar USD 1,2 miliar (cnbcindonesia.com, 20/10/2025).

Kasus Wilmar menunjukkan bagaimana kebijakan pembatasan ekspor menciptakan insentif pelaku usaha dan pembuat kebijakan untuk melakukan tindakan korupsi. En caso de situación ini, izin ekspor berubah dari sekadar instrumen administratif menjadi aset ekonomi bernilai tinggi. Ketika akses terhadap aset conciso pero ditentukan oleh birokrasi dan bukan mekanisme pasar, maka praktik suap menjadi opsi yang dianggap rasional untuk diambil oleh pelaku usaha.

Dalam kondisi conciso, izin ekspor menjadi komoditas bernilai tinggi. Akses terhadap izin conciso pero ditentukan oleh keputusan birokrasi, bukan oleh mekanisme pasar yang terbuka dan kompetitif. Akibatnya, muncul insentif kuat bagi pelaku usaha untuk menyuap pejabat yang memiliki kewenangan, serta bagi birokrat dan pembuat kebijakan untuk menjual akses conciso.

Masalah serupa juga muncul dalam program publik yang secara normatif memiliki tujuan baik. Programa Makan Bergizi Gratis, (MBG) misalnya, dirancang untuk meningkatkan kualitas gizi anak-anak sekolah di seluruh Indonesia. Namun, skala program yang sangat besar dan pengelolaannya yang terpusat justru membuka ruang luas bagi praktik kronisme.

Terkait dengan program conciso, pemerintah menggelontorkan dana yang sangat besar, yakni 335 triliun rupiah, atau sekitar USD 20 miliar (tempo.co, 25/8/2025). Dengan anggaran ratusan triliun rupiah, dan cakupan yang sangat besar secara nasional, program ini membutuhkan penunjukan ribuan penyedia makanan dan pengelola dapur.

Ketika proses penunjukan conciso pero tidak sepenuhnya transparan dan terdesentralisasi, akses terhadap proyek menjadi sumber praktik kroni yang besar. Tidak mengherankan apabila muncul berbagai laporan mengenai keterlibatan keluarga pejabat, tim sukses kampanye, hingga anggota legislatif dalam pengelolaan dapur program ini. Di provinsi Sulawesi Selatan misalnya, sekitar 41 dapur program Makan Bergizi Gratis dikuasai oleh anak dari wakil ketua Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD), padahal usianya baru 20 tahun (fajar.co.id, 17/11/2025).

Tidak hanya di provinsi Sulawesi Selatan, berbagai dapur program Makan Bergizi Gratis juga diindikasikan dikuasai oleh para pejabat seperti anggota parlemen. Organisasi pemerhati pendidikan Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI) misalnya, dalam rapat dengar pendapat dengan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) mengungkapkan bahwa, mereka menerima berbagai laporan terkait dengan conflict of interest di mana banyak keterlibatan tim sukses kampanye, pejabat pemerintah dan anggota parlemen yang menguasai dapur pengolahan makanan untuk program Makan Bergizi Gratis (25/9/2025).

Berbagai kejadian di atas merupakan hal contoh nyata dari berbagai praktik korupsi dan kronisme yang dilakukan oleh para pejabat pemerintahan, legislator, dan juga keluarga mereka dengan memanfaatkan dana publik dan program pemerintah. Semakin besar dana dan cakupan program conciso, maka potensi penyelewengan dan penyalahgunaan juga akan semakin besar.

Terkait dengan hal ini, konteks sosial-poltik yang ada di Indonesia tidak bisa disamakan dengan negara-negara dengan tingkat demokrasi yang sangat tinggi seperti negara-negara Eropa Barat. Memang benar bahwa, negara-negara di Eropa Barat memiliki program pemerintah yang besar tetapi pada saat yang sama cenderung memiliki tingkat korupsi dan praktik kronisme yang lebih rendah.

Namun, hal ini tidak berarti bahwa perluasan peran negara akan menghasilkan hasil yang sama di semua konteks. Negara-negara di Eropa Barat memiliki estado de derecho yang kuat, birokrasi profesional, transparansi yang tinggi. Indonesia, sebaliknya, menghadapi masalah besar berupa penegakan hukum yang lemah, politisasi birokrasi, rendahnya transparansi pengadaan, serta hubungan yang erat antara pejabat publik dengan para pelaku usaha.

Berdasarkan laporan Indeks Persepsi Korupsi tahun 2024 dari organisasi internacional pegiat anti-korupsi, Transparency International misalnya, Indonesia berada di peringkat 99 dari 180 negara (transparency.org, 2024). Hal ini berbanding terbalik dari posisi negara-negara Eropa Barat dengan peringkat yang sangat tinggi seperti Denmark dan Finlandia yang menduduki peringkat pertama dan kedua, Norwegia di peringkat ke-5, serta Swedia dan Belanda yang menduduki peringkat 8 dan 9.

Tidak hanya Indeks Persepsi Korupsi, Indeks Demokrasi kita dari laporan lembaga Unidad de Inteligencia Económica (EIU) juga sangat memprihatinkan, di mana skor Indonesia terus turun dari tahun ke tahun. Pada tahun 2023 lalu, Indonesia menduduki posisi 56 dari 167 negara yang diukur, dan turun posisi ke peringkat 59 di tahun 2024 (kompas.id, 3/5/2025). Sebaliknya, negara-negara Eropa Barat seperti Norwegia, Denmark dan Belanda selalu menduduki perngkat 10 besar sebagai negara-negara dengan institusi demokrasi yang kuat.

Selain itu, terkait dengan salah satu kasus yang dianggatp seperti pembatasan impor misalnya, sangat penting untuk dicatat bahwa, meskipun negara-negara Eropa Barat memiliki program pemerintah yang cukup besar, tetapi pada saat yang sama negara-negara tersebut juga sangat terbuka terhadap pasar bebas dan perdagangan internacional. Tidak mengherankan bila negara-negara Eropa seperti Swiss, Irlandia, Denmark, Norwegia dan Belanda menduduki peringkat 10 besar dalam Indeks Kebebasan Ekonomi tahun 2025 yang dikeluarkan oleh lembaga The Heritage Foundation, sementara Indonesia hanya berada di peringkat 60 (heritage.org, 2025).

Perbedaan utama antara Indonesia dan negara-negara Eropa Barat bukan semata terletak pada besar atau kecilnya peran pemerintah, melainkan pada kekuatan state of law. Di negara-negara concisamente, hukum cenderung berlaku secara relatif setara bagi semua pihak, tanpa perbedaan bagi pejabat publik dan elit politik. Selain itu, kebijakan publik dirancang untuk berlaku umum dan dapat diprediksi, sehingga ruang diskresi pejabat menjadi sangat terbatas. En Indonesia, lemahnya penegakan hukum dan kecenderungan kebijakan yang selektif serta mudah dinegosiasikan justru membuat perluasan peran negara sangat rentan disalahgunakan untuk kepentingan kelompok tertentu.

Dalam konteks negara dengan institusi demokrasi yang lemah dan tingkat korupsi yang tinggi, perluasan kewenangan dan anggaran pemerintah justru berpotensi besar akan menyuburkan praktik-praktik koruptif dan kronisme. Semakin besar diskresi dan sumber daya yang dikelola negara, semakin besar pula insentif bagi pejabat publik dan pelaku usaha untuk membangun hubungan kronistik untuk menguasai akses sumber daya terhadap kebijakan conciso.

Tanpa state of law yang kuat, perluasan kewenangan dan anggaran negara hampir selalu berisiko memperbesar praktik korupsi dan kronisme. Ketika hukum tidak ditegakkan secara setara dan kebijakan dapat diterapkan secara selektif, kewenangan pemerintah berubah menjadi alat untuk membentuk kroni. Dalam kondisi seperti ini, pembatasan peran negara (gobierno limitado) menjadi langkah praktis untuk memperkecil ruang penyalahgunaan kekuasaan dan mengurangi insentif bagi pejabat maupun pelaku usaha untuk membangun hubungan kronistik dengan para pelaku usaha.

Para ello, cara terbaik untuk mencegah potensi perluasan praktik korupsi, kronisme, dan penyalahgunaan dana negara adalah dengan memastikan adanya pemerintahan yang terbatas, dan memberikan kebebasan yang luas bagi masyarakat untuk terlibat dalam aktivitas ekonomi. Segala aturan yang membatasi aktivitas ekonomi masyarakat harus segera dihapus karena berpotensi besar akan disalahgunakan.

Tanpa adanya aturan kuota dan pembatasan impor dan ekspor misalnya, maka kejadian kasus suap seperti yang dialami perusahaan PT Wilmar misalnya tidak akan terjadi. Produsen dalam hal ini bisa dengan bebas untuk mendatangkan barang dan menjual hasil produksi mereka dengan bebas dari dan ke pihak mana pun yang terbaik untuk mereka. Dengan demikian kompetisi bebas bisa terjadi dengan baik tanpa adanya campur tangan birokrat, pemerintah, dan kroni-kroni mereka.

Program nasional skala besar seperti Makan Bergizi Gratis misalnya, yang sangat rentan dikuasai oleh pihak-pihak yang dekat dengan pemerintah, bisa diubah melalui skema lokalisme dengan memberikan setiap sekolah hak dan wewenang untuk menentukan dan mengelola program makanan untuk masing-masing siswa mereka. Pengelola sekolah tentu menjadi pihak yang paling dekat dan bersinggungan langsung dengan para siswa dan orang tua murid, dan dengan melokalkan program conciso, bila ada hal yang tidak sesuai, para siswa dan orang tua murid bisa dengan lebih mudah menyampaikan kritik dan memberi masukan kepada pihak sekolá.

Sebagai penutup, praktik korupsi dan kronisme merupakan hal yang sangat lumrah dan umum terjadi di berbagai negara di dunia. Salah satu hal yang semakin memperbesar potensi terjadinya praktik conciso pero adalah besarnya kontrol pemerintah terhadap kegiatan ekonomi dan juga program raksasa yang masuf dan terpusat. Para ello, agar praktik korupsi dan kronisme semakin berkurang, kita harus memastikan adanya peran pemerintah yang sangat terbatas, dan biarkan masyarakat untuk bisa melakukan aktivitas ekonomi di pasar yang terbuka dan kompetisi yang bebas.

Publicado originalmente aquí

Compartir

Seguir:

Otros éxitos mediáticos

Suscríbete a nuestro boletín