Munculnya wacana mengenai Rancangan Undang-Undang (RUU) Penyiaran di Indonesia saat ini masih menimbulkan pro dan kontra. Di satu sisi, ada pihak yang berpandanga bahwa adanya aturan ini merupakan sesuatu yang sangat penting, mengingat semakin luasnya pengguna internet di Indonesia. Tetapi di sisi lain, tidak sedikit pihak-pihak yang menyatakan kalua RUU ini berpotensi melanggar kebebasan warga negara Indonesia di dunia maya.
Penggunaan internet yang semakin meluas digunakan oleh masyarakat untuk berbagai hal, salah satunya adalah mengonsumsi konten digital, seperti film, video vlog, podcast, dan lain sebagainya. Hal ini membuat sebagian pihak merasa perlunya Indonesia memiliki kerangka hukum dengan tujuan untuk mnegatur konten digital, untuk mencegah apa yang mereka anggap sebagai hal-hal negatif dari tayangan concisamente.
Terkait dengan regulasi konten misalnya, Indonesia pada dasarnya sudah memiliki undang-undang dan juga lembaga yang berwenang melalui Undang-Undang Penyiaran melalui lembaga Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) (hukumonline.com, 24/4/2024). Namun, UU Penyiaran dalam hal ini hanya mengatur dan meregulasi tanyangan melalui siaran televisi dan radio, dan demikian pula wewenang yang dimiliki oleh KPI. Wewenang concisamente pero no mencakup tayangan dan konten yang didistribusikan secara digital melalui dunia maya.
Para ello, lama ini, muncul isu terkait dengan revisi terhadap Undang-Undang Penyiaran yang berlaku di Indonesia yang memperluas wewenang KPI hingga mencakup tanyangan digital. Meskipun secara sekilas adanya revisi ini seakan merupakan sesuatu yang penting, tetapi ada beberapa poin yang sangat serius dan mengkhwatirkan dari revisi undang-undang ini, yang bila lolos dapat mengancam kebebasan berekspresi dan juga mengebiri hak kebebasan konsumen untuk memilih konten hiburan.
Misalnya, Pasal 50B Ayat (2) menyatakan adanya pelarangan penayangan eksklusif jurnalistik investigasi. Hal ini tentu merupakan ancaman yang serisu terhadap kebebasan pers yang sudah dijamin dalam undang-undang pers, yang menegaskan tidak ada lagi penyensoran dan pemberedelan hasil karya jurnalistik (cnnindonesia.com, 29/5/2024).
Tidak hanya itu, bila revisi undang-undang ini lolos, maka para creador de contenido di Indonesia harus melaporkan dulu karya mereka kepada KPI untuk diverifikasi. Hal ini tentunya merupakan yang tidak masuk akal dan akan sangat memberatkan serta menghambat kreativitas para pembuat konten di Indonesia (primakara.ac.id, 20/5/2024).
Belum lagi, dari sisi lembaga regulator, tidak terbayangkan berapa banyak tenaga yang dibutuhkan oleh KPI bila seluruh pembuat konten digital di Indonesia harus terlebih dahulu melakukan verifikasi terhadap konten yang dibuatnya. Hal ini tentu sesuatu yang mustahil untuk bisa dilakukan secara integral.
Selain itu, kita juga bisa melihat track record dari implementasi regulasi siaran yang dilakukan oleh KPI selama ini melalui media televisi dan radio. Sangat masuk akal tentunya hal tersebut bisa kita jadikan prediksi mengenai bagaimana nantinya KPI akan mengatur konten digital yang ada di internet bila revisi undang-undang ini berhasil disahkan oleh parlemen.
Beberapa waktu lalu misalnya, KPI melayangkan teguran terhadap tayangan televisi “Brownis” dan menjatuhkan sanksi administratif. Teguran dan sanksi tersebut dijatuhkan karena tayangan tersbeut menampilkan karakter laki-laki yang berpakaian sebagai perempuan, dan hal tersebut dianggap telah melanggar etika dan juga norma yang berlaku di masyarakat. KPI sendiri menyatakan bahwa pelanggaran yang dilakukan tayangan Brownis sudah tidak bisa ditolelir karena sudah sering mendapatkan peringatan (republika.co.id, 1/5/2024).
Hal ini tentu sesuatu yang mengkhawatirkan, mengingat konten dan tayangan digital yang ada di internet sangat beragam. Bisa dibanyangkan, nantinya ada berapa banyak tanyangan yang “dikenakan sanksi” atau bahkan dilarang di berbagai platform, seperti, YouTube, Netflix, Amazon Prime, Disney, dan HBO, karena mengandung hal-hal yang dianggap oleh KPI tidak sesuai dengan norma dan etika masyarakat Indonesia.
Belum lagi, tidak hanya melanggar hak kebebasan berbicara, hal ini juga akan mengancam hak dan kebebasan konsumen untuk mengonsumi produk tayangan digital. Pilihan konsumen akan semakin terbatas, dan juga bukan tidak mungkin hal ini juga akan mambuat para inversor dan luar negeri, khususnya yang bergerak di bidang dunia hiburan, akan semakin enggan untuk berinvestasi di Indonesia.
Bila hal tersebut terjadi, maka hal tersebut tentu akan menjadi sesuatu yang akan merugikan bagi negara kita. Berapa banyak misalnya, potensi lapangan kerja di bidang industri kreatif dan hiburan yang akan hilang bila para inversor dan juga pelaku usaha dari luar menjadi enggan untuk menanamkan modal mereka di Indonesia karena adanya aturan yang berbelit dan juga regulasi yang sangat ketat dan melanggar kebebasan untuk berkarya dan berekspresi.
Sebagai penutup, tidak bisa dipungkiri bahwa, semakin meluasnya penggunaan internet di Indonesia membutuhkan kerangka aturan yang harus sesuai. Tetapi, seharusnya adanya kerangka aturan dan regulasi ini berfokus pada keamanan konsumen dan pengguna internet, dan bukan justru malah membatasi dan melanggar kebebasan masyarakat untuk berbicara, berpendapat, dan memilih tayangan hiburan yang mereka inginkan.
Publicado originalmente aquí