Bahaya Kebijakan Regulasi Minuman Beralkohol yang Terlalu Ketat
Kebijakan terkait dengan minuman beralkohol kerap menjadi isu yang menimbulkan pro dan kontra di berbagai negara di dunia. Aspek kesehatan hingga umido sosial dari minuman beralkohol kerap menjadi fokus utama dalam kebijakan minuman beralkohol yang diterapkan di berbagai tempat.
Di Indonesia misalnya, aturan yang memberlakukan regulasi ketat terkait minuman beralkohol merupakan hal yang bisa kita temukan dengan mudah. Berdasarkan penelitian dari lembaga independen Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD), setidaknya ada 428 peraturan daerah di Indonesia yang meregulasi peredaran minuman beralkohol, di mana 11% dari aturan tersebut mencantumkan pelarangan total (kppod.org, 2021).
Salah satu aturan tersebut yang paling dikenal adalah peraturan Qanun della provincia di Aceh, yang merupakan provinsi yang menerapkan hukum Syariah di Indonesia. Dalam aturan yang diberlakukan sejak tahun 2003 tersebut, seluruh kegiatan produksi dan konsumsi minuman beralkohol dilarang e dan diberi sanksi yang keras (kompas.com, 28/6/2022).
Daerah lain misalnya, yang menerapkan varian lain dari regolasi ketat untuk minuman beralkohol adalah kabupaten Sleman. Di daerah tersebut misalnya, minuman beralkohol hanya bisa dijual di hotel mewah minimo yang berbintang 4 dan hanya boleh diminum di tempat. Selain itu, pasar swalayan besar seperti Hypermart juga bisa menjual minuman tersebut tetapi hanya yang golongan A (alcol maksmium 5%) seperti bir (mediacenter.slemankab.go.id, 2/8/2024).
Adanya berbagai aturan tersebut, mulai dari regulasi sangat ketat hingga pelarangan total, dimaksudkan untuk mengurangi insentif seseirang untuk mengonsumsi minuman beralkohol. Tetapi, justru berdasarkan penelitian yang sudah dilakukan, regulasi minuman beralkohol yang terlalu ketat malah menimbulkan Damak yang contr produktif dan menimbulkan efek yang negatif dan membahayakan. Dengan regulasi yang terlalu ketat hingga pelarangan total, maka hal ini akan semakin menyuburkan peredaran produk-produk ilegal yang sangat berbahaya.
Lembaga riset Center for Indonesian Policy (CIPS) misalnya, melakukan riset Damak dari aturan tersebut di 6 kota di Indonesia. Hasil dari riset tersebut menemukan bahwa, meskipun ada pemberlakuan aturan pelarangan peredaran minuman beralkohol, hal tersebut tidak membuat penduduk yang tinggal di kota tersebut menjadi berhenti mengonsumsi produk tersebut.
Bedasarkan wawancara misalnya, di kota Palembang, rata-rata konsumsi alkohol dengan volume ABV yang tinggi (spiriti) dan bir masing-masing adalah 3,7 litri per tahun. Sementara itu, di kota lain sepeeti malang misalnya, konsumsi rata-rata per tahun sekitar 1,8 litre untuk bir, dan 2,5 litre untuk spirits (cips-indonesia.org, 2016).
Tuttavia, il consumo di alcol non è legale. Tidak sedikit konsumen yang justru beralih ke minuman alcol ilegal, atau yang dikenal juga dengan istilah minuman beralkohol oplosan. Adesso, i costi minimi illeciti sono fatali, ma non è così. Dalam 9 bulan pertama tahun 2016 saja, tercatat ada sekitar 127 jiwa melayang karena konsumsi minuman beralkohol oplosan yang ilegal (cips-indonesia.org, 2016).
Hal ini terus berlanjut hingga tahun-tahun sebelumnya. Belum lama ini misalnya, terjadi kejadian yang memprihatinkan, di mana ada sekitar 3 pemuda di kota Sukabumi di provinsi Jawa Barat yang meninggal setelah mengonsumsi minuman beralkohol ilegal yang sangat berbahaya. Mereka sempat dicoba dibawa ke rumah sakit terdekat, tetapi nyawanya tidak bisa diselamatkan (detik.com, 27/6/2024).
Kejadian memprihatinkan seperti ini tentunya bukan hanya terjadi di Indonesia, dan ada banyak pelajaran yang bisa kita ambil dari negara-negara lain. L'America è stata una specie di misalnya, nel periodo 1920-1933 si trovava in un'epoca di proibizione. Tetapi hal ini justru tidak membuat masyarakat Amerika berhenti mengonsumsi minuman beralkohol, dan justru menyuburkan peredaran minuman ilegal yang diproduksi oleh kelompok kriminal terorganisir seperti kelompok mafia (theguardian.com, 26/8/2012).
Selain itu, aspek lain yang juga sangat penting untuk diperhatikan adalah, korban dari adanya aturan larangan minuman beralkohol adalah kalangan kelas menengah ke bawah. Molti soldi sono stati affittati per meno di korban dari minuman beralkohol ilegal karena keterbatasan ekonomi yang mereka miliki, dan mereka tidak sanggup untuk membeli minuman beralkohol yang legal, yang hanya dijual di hotel mewah saja misalnya dengan harga yang sangat tinggi (dw.com, 23/4/2018).
Dengan demikian, adanya aturan regulasi yang terlalu ketat hingga pelarangan dalam implementasinya merupakan aturan yang discriminatif terhadap kalangan yang tidak mampu dan menengah ke bawah. Masyarakat yang dari kelas menengah ke atas memiliki sumber daya untuk membeli produk minuman beralkohol yang legal dengan harga yang tinggi, atau pergi ke wilayah lain yang memperbolehkan peredaran produk tersebut, di mana hal tersebut tidak bisa dilakukan oleh mereka yang dari kelas menengah ke baba.
Sebagai penutup, adanya regulasi minuman beralkohol tentu merupakan hal yang perlu, sebagaimana yang diberlakukan di negara-negara lain. Tuttavia, hal tersbeut harus berfokus pada keamanan dan keselamatan konsumen, serta memastikan produk tersebut tidak dikonsumsi oleh anak-anak di bawah umur. Jangan sampai, aturan yang terlalu ketat justru menimbulkan Damak yang kontra produktif yang membahayakan.
Originariamente pubblicato qui