Larangan Impor Pakaian Bekas dan Pelanggaran Kebebasan Konsumen

Bisnis pakaian dan fashion seakan menjadi salah satu bidang usaha yang terus berkembang dan tidak pernah mati. Sehubungan dengan hal tersebut, setiap individu tentu memiliki style dan selera masing-masing terkait dengan pakaian yang mereka beli dan gunakan. Ada sangat banyak jenis pakaian dengan berbagai bentuk, warna, bahan, motif, dan lain sebagainya.

Untuk para konsumen yang memiliki selera yang cenderung umum, dan juga memiliki uang dan pemasukan yang cukup, maka tentu tidak akan sulit bagi mereka untuk menemukan pakaian yang diinginkan. Namun, bila ada konsumen tertentu yang memiliki selera atau hobi untuk mendapatkan pakaian yang tidak umum, seperti pakaian dengan keunikan tertentu misalnya, tidak cukup mudah untuk mendapatkan pakaian tersebut. Kalau pun ada, umumnya harganya cukup tinggi.

Dengan demikian, bisnis thrifting, atau berbelanja pakaian bekas yang masih layak pakai, menjadi salah satu jenis usaha yang memiliki sangat banyak konusmen dan peminat. Melalui pasar pakaian bekas layak pakai, para konsumen bisa lebih mudah untuk mendapatkan pakaian tertentu yang mereka inginkan dengan lebih murah, terlebih lagi bila pakaian tersebut tergolong unik dan langka.

Di ibukota Jakata sendiri misalnya, tidak sedikit berbagai pasar dan pusat perbelanjaan yang memang memiliki fokus terhadap barang-barang pakaian bekas layak pakai. Beberapa diantaranya seperti pasar Santa, pasar Baru, dan juga pasar Kemayorang, yang menyediakan banyak barang-barang thrifting untuk konsumen (traveloka.com, 22/7/2024).

Akan tetapi, beberapa waktu lalu, bisnis thrifting di Indonesia sendiri mendapatkan tantangan yang cukup signifikan dari pemerintah. Beberapa waktu lalu misalnya, pemerintah memutuskan untuk melarang impor pakaian bekas ke Indonesia, dengan dalih untuk melindungi produsen pakaian dalam negeri (cnbcindonesia.com, 6/6/2023).

Pemerintah mengatakan bahwa, bila para pedagang masih memiliki stok barang pakaian thrifting, mereka masih bisa menjual pakaian tersebut. Tidak ada larangan menjual pakaian impor kepada konsumen dan stok yang mereka miliki. Namun, yang dilarang adalah kegiatan impor pakaian bekas tersebut ke tanah air cnbcindonesia.com, 6/6/2023).

Bisnis impor pakaian bekas di Indonesia sendiri bukan bisnis yang kecil. Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik (BPS) misalnya, pada tahun 2022 terdapat sekitar 26,33 ton pakaian bekas yang diimpor ke tanah air. Angka ini naik drastic dari tahun sebelumnya yang hanya sejumlah 7,94 ton (indonesiabaik.id, 17/3/2023).

Larangan impor tersebut dalam hal ini tertuang dalam peraturan yang dikeluarkan oleh Kementrian Perdagangan. Beberapa jenis barang bekas yang dilarang diimpor tersebut diantaranya adalah kantong bekas, karung bekas, dan juga pakaian bekas, karena hal tersebut dianggap akan membawa dampak buruh bagi ekonomi domestik, khususnya para pemilik usaha mikro, kecil, dan menengah (indonesiabaik.id, 17/3/2023).

Adanya aturan ini tentu merupakan salah satu bentuk pelanggaran terhadap kebebasan konsumen untuk memilih dan membeli produk yang mereka inginkan. Tidak sedikit pakaian bekas impor yang memiliki fitur keunikan tertentu misalnya, yang sangat sulit didapatkan, yang memiliki banyak konsumen yang mencari barang tersebut.

Misalnya, pakaian bertema musik tertentu, atau budaya populer seperti pakaian olahraga tertentu, pakaian bertema film, dan lain sebagainya. Dengan adanya larangan tersebut, para konsumen yang memiliki selera tertentu akan menjadi pihak yang dirugikan karena mereka akan semakin sulit untuk mencari pakaian tersebut, dan juga dengan harga yang lebih terjangkau.

Selain itu, tidak hanya para konsumen, para pedagang pakaian bekas juga menjadi pihak yang sangat dirugikan dengan adanya aturan tersebut. Ikatan Pedagang Pasar Indonesia (IKAPPI) misalnya, menyatakan bahwa di ibukota Jakarta saja, terdapat 800 pedagang pengecer pakaian thrifting, dan tidak sedikit dari kios tersebut yang merupakan kios pedagang kecil. Adanya aturan tersebut tentu akan memiliki dampak terhadap para pedagang dan pemilik kios tersebut (cnbcindonesia.com, 25/3/2023).

Berbagai tempat yang sudah menjadi pasar yang berfokus pada pakaian thrifting, seperti pasar Senen yang disebutkan di paragraf sebelumnya misalnya, juga akan terganggu. Di berbagai pasar tersebut, ada banyak pedagang yang sudah melakukan kegiatan jual beli selama puluhan tahun (cnbcindonesia.com, 25/3/2023).

Dan hal lain yang tidak kalah penting untuk diperhatikan adalah, salah satu klaim untuk menjustifikasi larangan untuk menjual pakaian bekas impor adalah untuk melindungi para pemilik usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM). Padahal, para pedagang dan pengecer pakaian thrifting tersebut sebagian besarnya adalah para pedagang kecil yang masuk dalam kategori UMKM.

Melalui aturan ini, seakan pemerintah melalui klaim justifikasinya hanya memprioritaskan dan memilih para pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) tertentu dibanding dengan para pelaku usaha UMKM yang lain. Para pemilik usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) yang di sektor tertentu, seperti produsen pakaian tertentu, menjadi pihak yang diuntungkan, sementara para pemilik usaha yang bergerak di bidang penjualan pakaian bekas layak pakai menjadi pihak yang sangat dirugikan, dan suara mereka seakan tidak didengar.

Belum lagi, adanya larangan aturan impor pakaian bekas ini juga berpotensi memberikan kesempatan bagi munculnya berbagai pasar gelap barang-barang pakaian bekas impor, karena konsumennya tidak sedikit. Bila hal tersebut yang terjadi, maka hal ini akan semakin menyuburkan berbagai kelompok kriminal tertentu karena hanya mereka yang bisa melakukan kegiatan transaksi melalui pasar gelap.

Sebagai penutup, dalam pembuatan kebijakan, sudah seharusnya pemerintah melibatkan dan melakukan diskusi dengan semua pihak. Jangan sampai, kebijakan yang awalnya dijustifikasi dengan niat baik untuk melindungi pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah, justru menimbulkan unintended consequences dengan merugikan pelaku usaha kecil lainnya, dan juga jutaan konsumen yang kebebasannya untuk memilih dan membeli barang yang mereka inginkan menjadi tercederai.

Publié à l'origine ici

Partager

Suivre:

Other Media Hits

Abonnez-vous à notre newsletter