fbpx

Non classé

Pentingnya Kerja Sama Internasional untuk Meningkatkan Perlindungan Kekayaan Intelektual di Indonesia

Perlindungan hak kekayaan intelektual merupakan salah satu instrument yang tidak terpisahkan dan sangat penting untuk meningkatkan inovasi dan pertumbuhan ekonomi. Dengan adanya perlindungan kekayaan intelektual yang kuat, maka kita akan memastikan bahwa para inovator dan pekerja kreatif akan mendapatkan manfaat ekonomi dari karya yang mereka buat.

Inovasi tentu merupakan hal yang sangat krusial untuk mengembangkan industri, khususnya industri yang sangat bertumpu pada kreativitas seperti industri kreatif. Terlebih lagi, kita saat ini tinggal di era digital dengan perkembangan teknologi yang begitu pesat. Menjadi negara yang inovatif tentu merupakan sebuah keharusan.

Tanpa adanya perlindungan hak kekayaan intelektual yang kuat, maka para inovator dan pekerja industri kreatif tidak akan bisa untuk mendapatkan hak mereka atas hasil karya yang mereka buat, karena karya tersebut dapat dengan mudah dibajak oleh pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab. Dengan demikian, insentif seseorang untuk berkarya dan berinovasi juga akan semakin menurun.

Di Indonesia sendiri, masih terdapat tantangan yang tidak sedikit dalam menegakkan perlindungan hak kekayaan intelektual. Bila kita pergi ke banyak pusat perbelanjaan di berbagai kota misalnya, dengan mudah kita bisa menemukan banyak produk-produk bajakan dalam berbagai bentuk, mulai dari pakaian, peralatan rumah tangga, dan lain sebagainya.

Kemajuan teknologi, yang tentunya membawa manfaat yang sangat besar bagi Indonésie, juga menimbulkan tantangan lain yang harus bisa kita selesaikan bersama. Melalui berbagai toko di dunia maya misalnya, kita bisa dengan mudah mendapatkan banyak produk bajakan. Selain itu, perkembangan teknologi juga membuat berbagai karya seni seperti musik dan film bisa dibajak dan diakses dengan lebih mudah oleh banyak orang.

Selain itu, hal lain yang juga sangat penting untuk diperhatikan adalah, persoalan mengenai pembajakan karya dan pelanggaran terhadap hak kekayaan intelektual bukan hanya hal yang terjadi di Indonesia. Masalah ini merupakan masalah yang memiliki ruang lingkup global, dan oleh karena itu kerja sama dengan negara lain atau lembaga merupakan international hal yang sangat penting.

Tidak sedikit misalnya, barang-barang dan juga produk bajakan yang masuk ke Indonésie yang diproduksi di negara lain. Beberapa waktu lalu misalnya, Bea Cukai Indonésie berhasil menyita lebih dari 800 000 produk pulpen bajakan yang diimpor dari Chine (dgip.go.id, 01/09/2020).

Indonésie sendiri saat ini sudah melakukan programme beberapa kerja sama dengan lembaga internasional terkait dengan penguatan perlindungan hak kekayaan intelektual. Beberapa waktu lalu misalnya, Pemerintah Indonesia, melalui Dirjen Kekayaan Intelektual (DJKI) bersama dengan Asia-Pacific Economic Cooperation - Digital Economy Steering Group (APEC-DESG) menggelar workshop internasional di Nusa Dua, Bali (nusabali.com, 29/11/2022 ).

Salah satu dari tujuan diadakannya acara tersebut adalah untuk meningkatkan kualitas pelayanan publik kekayaan intelektual berbasis digital. Salah satunya adalah melalui peningkatan teknologi, seperti Intelligence artificielle (IA). AI sendiri digunakan oleh DJKI salah satunya adalah untuk pemeriksaan Hak Kekayaan Intelektual untuk memberikan pelayanan yang lebih baik kepada masyarakat (nusabali.com, 29/11/2022).

DJKI sendiri juga sudah membuat programme-programme kecerdasan buatan yang ditujukan untuk mempermudah layanan pencatatan dan juga pelrindungan kekayaan intelektual. Dalam forum ini international, kita juga bisa belajar dari lembaga-lembaga terkait dan juga lembaga perlindungan kekayaan intelektual dari berbagai negara mengenai bagaimana cara terbaik untuk mengimplementasikan kecerdasan buatan dalam rangka memperkuat perlindungan hak kekayaan intelektual.

Adanya forum internasional seperti ini untuk meningkatkan tentu merupakan hal yang patut kita diapresiasi. Melalui forum ini, kita bisa saling belajar dari negara lain terkait dengan perkembangan upaya perlindungan hak kekayaan intelektual, dan juga pada saat yang sama bisa memperkenalkan berbagai hasil karya tradisional negara kita kepada para pembangku kepentingan dari negara lain.

Tidak hanya lembaga negara, kerja sama dengan organisasi internasional dalam rangka upaya untuk memperkuat perlindungan hak kekayaan intelektual di Indonesia misalnya, juga bisa digunakan oleh lembaga non-pemerintah atau pun akademisi. 

Beberapa waktu lalu misalnya, diadakan acara Koneferensi Internasional Perlindungan Kekayaan Intelekual (Conférence internationale sur les droits de propriété intellectuelle) di kota Lombok, yang salah satu poin bahasan pentingnya adalah bagaimana penguatan perlindungan hak kekayaan intelektual merupakan langkah yang sangat penting untuk pemulihan ekonomi di masa pandemi (kumparan.com, 16/10/2022).

Selain itu, tentu ada banyak bentuk kerja sama international lain yang bisa kita lakukan dengan berbagai pihak. Salah satunya misalnya adalah melalaui perjanjian kerja sama ekonom dan investasi dengan negara bilatérale lain. Indonésie sendiri misalnya, beberapa waktu lalu sudah membuat kesepakatan bilatéral dengan Amerika Serikat terkait dengan hal tersebut, salah satunya adalah melalui kesepakatan Accord-cadre sur le commerce et l'investissement entre l'Indonésie et les États-Unis (TIFA) (liputan6.com, 17/5/2018).

Sebagai penutup, perlindungan hak kekayaan intelektual merupakan hal yang sangat penting untuk meningkatkan inovasi dan pertumbuhan ekonomi. Namun, permasalahan tentang pelanggaran terhadap hak kekayaan inetelektual merupakan masalah global, dan tidak bisa diselesaikan oleh satu negara saja. Maka dari itu, kerja sama internasional dengan negara atau lembaga lain merupakan hal yang sangat penting.

Publié à l'origine ici

Le Parlement européen risque de "bloquer à jamais" l'innovation numérique s'il accepte l'examen environnemental de l'exploitation minière avec preuve de travail, du bitcoin et de la crypto-économie

BRUXELLES, BE – La commission des affaires économiques et monétaires du Parlement européen voter aujourd'hui sur une proposition réglementaire globale appelée MiCA (Market in Crypto-Assets). Cette proposition est en préparation depuis des mois, cependant, plusieurs amendements de dernière minute ont été ajoutés à la proposition, qui, s'ils sont acceptés, pourraient effectivement interdire l'extraction de Bitcoin et de crypto-monnaie dans l'Union européenne, poussant des milliers d'innovateurs hors d'Europe.

«En interdisant effectivement l'émission ou l'offre d'échange de crypto-actifs qui reposent sur des protocoles de preuve de travail conformément aux directives environnementales, sociales et de gouvernance, l'Union européenne ferait un geste désastreux qui anéantirait non seulement l'industrie cryptographique naissante, mais nuisent également aux consommateurs et cèdent une fois de plus le leadership technologique en matière d'innovation aux États-Unis », a déclaré Aleksandar Kokotović, chercheur en cryptographie au Consumer Choice Center, un groupe mondial de défense des consommateurs.

"Si ces amendements sont adoptés, les régulateurs de l'UE porteront un coup dévastateur à l'industrie de la cryptographie dans les États membres. Non seulement l'exploitation minière de Bitcoin fera l'objet d'un examen immédiat, mais l'ensemble de l'espace Defi basé sur Ethereum, l'industrie NFT en plein essor, et des centaines d'entreprises seront obligées de fermer, de déplacer ou d'interdire aux citoyens de l'UE d'utiliser leurs services. En ne laissant pas les particuliers et les entreprises choisir les technologies qu'ils préfèrent, les régulateurs de l'UE vont à l'encontre des principes de neutralité technologique et créent un précédent très dangereux et préjudiciable.

« Si l'UE veut complètement étouffer l'innovation et la souveraineté financière de ses citoyens, c'est la voie à suivre. S'il veut perdre des millions d'emplois, de talents et de valeur liés à l'innovation, c'est un bon plan pour cela. Sinon, ces amendements ne doivent pas être adoptés », a déclaré Kokotović.

Yaël Ossowski, directrice adjointe du Consumer Choice Center, a déclaré qu'un tel vote risquait de "bloquer à jamais" l'innovation numérique dans le bloc sur des objectifs environnementaux erronés, en particulier à la lumière de la guerre en Ukraine.

« La guerre russe en Ukraine a démontré que l'Europe était trop à l'aise dans l'utilisation d'objectifs environnementaux et d'une idéologie nobles pour apaiser sa politique énergétique et mettre en péril sa sécurité. En utilisant des mesures environnementales similaires basées sur l'ESG pour stopper l'innovation pour l'extraction de Bitcoin et de crypto-monnaie, l'Union européenne risque de bloquer à jamais l'innovation numérique et de pousser des milliards d'actifs et d'entrepreneuriat hors du continent », a déclaré Ossowski.

"Pousser l'industrie de la crypto-monnaie en dehors de l'UE encouragera les citoyens à contourner la loi et à utiliser des plates-formes et des services moins réglementés, tout en privant les Européens de leur choix de consommateur.

«Le bitcoin et les autres crypto-monnaies de preuve de travail représentent une révolution dans la monnaie numérique, en particulier parce que la preuve de travail est un moyen particulièrement solide et équitable de régler la création de propriété numérique par rapport à notre système de monnaie fiduciaire. Les incitations à rechercher une énergie plus propre et plus verte existent à cause du Bitcoin et des crypto-monnaies, pas malgré eux », a ajouté Ossowski.

«Nous espérons que les parlementaires de l'UE reconnaîtront l'importante folie qu'ils sont censés introduire s'ils nient la voix des consommateurs et votent pour les amendements ALT A et ALT G à la proposition sur les marchés des actifs cryptographiques qui mettraient effectivement en avant les monnaies de preuve de travail dans le UE », a déclaré Ossowski.

Le CCC représente les consommateurs dans plus de 100 pays à travers le monde. Nous surveillons de près les tendances réglementaires à Washington, Ottawa, Bruxelles, Genève et d'autres points chauds de la réglementation et informons et incitons les consommateurs à se battre pour #ConsumerChoice. En savoir plus sur consumerchoicecenter.org.

Réponse à la récente couverture médiatique du travail de réduction des méfaits du CCC :

Une nouvelle année signifie de nouvelles allégations de soi-disant journalistes qui ne peuvent pas vivre avec le fait que le CCC se bat pour les consommateurs et est transparent sur son travail et ses partisans. Cette fois, c'est un article dans The Daily Beast aux États-Unis, et ça ressemble un peu à Groundhog Day. Mais nous en profitons pour souligner encore une fois notre fonctionnement :

 

Le CCC n'a pas de "soutiens secrets" !

CCC est transparent sur le fait qu'il reçoit des fonds d'entreprises à but lucratif, et cela est clairement indiqué sur notre site Web. Cela inclut le fait que le CCC reçoit des fonds de British American Tobacco, ainsi que de nombreuses autres entreprises, individus et groupes. Ce n'est pas un secret. Nous sommes heureux de recevoir des dons d'entreprises et de particuliers qui soutiennent notre mission et respectent notre indépendance, et nous n'en avons pas honte. 

 

Le CCC fonctionne en toute indépendance vis-à-vis de ses donateurs !

Le CCC accueille le financement des entreprises à but lucratif, des fondations et des individus qui partagent notre mission. CCC fonctionne en toute indépendance vis-à-vis de ses donateurs, et tous nos donateurs respectent cela. La suggestion que n'importe quel donateur 'dirigeait le show', ou dirigeait n'importe laquelle de nos activités est complètement et manifestement fausse. Nous n'avons jamais rencontré ni même entendu parler de la personne nommée dans l'article, et ni lui ni personne d'autre en dehors de CCC n'exerce de direction sur nos activités. 


Les réclamations anonymes d'anciens sous-traitants mécontents ne sont pas des faits !

L'une de nos agences a engagé un sous-traitant pour nous aider à atteindre la communauté mondiale du vapotage sur les réseaux sociaux. C'est un moyen essentiel pour nous d'atteindre les vapoteurs qui veulent se lever et se battre pour les droits des consommateurs. Ce sous-traitant savait que son client était le Consumer Choice Center, et non une autre entreprise ou donateur de CCC. Ils ont échoué dans leur mission et ont été licenciés il y a plus d'un an. Leurs commentaires anonymes suggèrent une incompréhension complète et une fausse représentation de la situation, et on ne sait pas pourquoi. Étant donné à quel point ils étaient mauvais dans leur travail, ce n'est peut-être pas une surprise qu'ils ne se souviennent pas de qui était leur client. 

La CCC a lancé la WVA pour lutter pour les vapoteurs !

Chez CCC, nous sommes très fiers de notre travail pour sauver des vies en réduisant les méfaits du tabagisme. C'est pourquoi nous avons créé la WVA. Vous pouvez trouver une lecture plus longue sur les raisons pour lesquelles nous avons lancé la WVA ici : https://consumerchoicecenter.org/why-we-launched-the-world-vapers-alliance/ 

 

Le CCC est fiscalement conforme et indépendant !

CCC est une entité totalement indépendante en pleine conformité avec tous les codes fiscaux pertinents. Tout le reste est une fausse déclaration. Vous pouvez en savoir plus ici : https://consumerchoicecenter.org/about-us/

 

Le soutien de Biden pour saisir la propriété intellectuelle des vaccins nuit à l'innovation

Hier, l'administration Biden annoncé il soutiendrait les efforts de pays comme l'Inde et l'Afrique du Sud pour suspendre la propriété intellectuelle sur les vaccins COVID-19 à l'Organisation mondiale du commerce en utilisant le Dérogation ADPIC.

"Les États-Unis soutiennent la renonciation aux protections de la propriété intellectuelle sur les vaccins COVID-19 pour aider à mettre fin à la pandémie et nous participerons activement aux négociations @WTO pour que cela se produise", tweeté Katherine Tai, ambassadrice américaine au commerce.

Yaël Ossowski, directrice adjointe du groupe mondial de défense des consommateurs Consumer Choice Center, a qualifié la décision de l'administrateur Biden de "grosse erreur".

«En soutenant la saisie de la propriété intellectuelle autour de vaccins innovants, l'administration Biden nuit activement à l'innovation et à la certitude futures des entreprises de biotechnologie qui utilisent des brevets pour financer leur recherche et développement, en particulier lorsque le coût estimé de production d'un vaccin COVID est proche de $1 milliard.

"Cela nuirait activement aux patients qui dépendent de médicaments et de vaccins innovants qui ne reçoivent pas autrement de financement primaire, y compris les plus vulnérables au monde", a déclaré Ossowski.

« La société allemande BioNTech, qui a développé le premier vaccin à ARNm et s'est associée à Pfizer pour la distribution et les tests, est à l'origine une société de recherche expérimentale sur le cancer et a l'intention d'utiliser ses bénéfices pour trouver le prochain remède contre le cancer. Le soutien de Biden à la renonciation au brevet saperait ces efforts et plus encore.

« De plus, une fois la propriété intellectuelle publiée, il n'y a aucune garantie pour la sécurité de la production de vaccins, à la fois en raison des connaissances spécialisées et des équipements nécessaires pour les produire et pour les stocker correctement pour une efficacité maximale. Si les doses sont fabriquées par des fournisseurs tiers s'appuyant sur des formules et des procédés brevetés mais sans spécialisation, cela augmentera les risques de vaccins bâclés et de personnes vulnérables mises en danger, ce qui pourrait conduire à une hésitation à la vaccination dans le monde entier », a déclaré Ossowski.

« Les mauvais acteurs auront plus de facilité à mettre sur le marché les produits du marché noir. Les faux vaccins saperont non seulement la campagne mondiale de vaccination, mais mettront également des vies en danger et réduiront la confiance dans les vaccins.

« Si les États-Unis veulent aider à vacciner les pays à revenu faible et intermédiaire souffrant de la pandémie, ils devraient libérer toutes les doses de vaccin AstraZeneca qui se trouvent dans les entrepôts américains, ce que la FDA n'a pas encore approuvé, et commencer à exporter notre surplus de vaccins vers le les pays les plus durement touchés », a conclu Ossowski.

Lisez notre article similaire dans le Financial Post.

Michael Bloomberg tourne le cadran sur la politique de santé indienne

Par Shrey Madaan

Les gros sodas, l'alcool, les appareils de vapotage et Internet ne sont que quelques-unes des choses dont l'Organisation mondiale de la santé veut nous éloigner.

Les législateurs disent qu'il protège ses sujets des éléments pervers afin de les protéger. Mais de nombreux critiques pensent également que les sensibilités indiennes sont composées de choses plus graves et s'inquiètent de la transition de l'Inde vers un «État nounou».

L'État Nanny est l'idée d'un gouvernement ou d'autorités se comportant de manière trop protectrice envers leurs électeurs, c'est-à-dire interférant avec leur choix personnel et entravant leur liberté et leur droit à la vie. 

C'est quelque chose que nous avons vu Bloomberg Philanthropies essayer d'établir ici en Inde. Pendant des années, Bloomberg Philanthropies a accordé des milliards de dollars à des problèmes mondiaux proches du cœur du milliardaire tels que l'éducation, l'environnement et la santé publique, transformant Bloomberg en une sorte de gouvernement privé flamboyant. 

Cela est évident lorsqu'il a lancé la campagne anti-tabac en Inde, provoquant un boom drastique des produits du tabac, jetant une base solide pour une précision intellectuelle sur l'interdiction des dispositifs de vapotage et persuadant le ministère de la Santé d'adopter des avertissements sanitaires plus importants sur divers biens de consommation.

Grâce à sa mission Nanny State, Michael Bloomberg a été nommé « Ambassadeur mondial pour les maladies non transmissibles et les blessures » de l'Organisation mondiale de la santé, une mission financée par lui-même pendant de nombreuses années.

Bien qu'il soit remarquable d'apprécier les récentes dépenses de Bloomberg dans la recherche sur Covid-19, sa mission prolongée de répandre l'État nounou à l'étranger via le soft power de l'OMS est non seulement paternaliste mais également désobligeante. Cet accent mis sur le soft power et la négligence envers les réformes de fond soulignent l'inefficacité de l'OMS. 

Leur concentration sur le soft power est évidente en imposant des taxes sur les sodas, en imposant des interdictions sur les cigarettes électroniques et les appareils de vapotage dans les pays du tiers monde et en lançant des campagnes anti-tabac comme ici en Inde. Parce que l'OMS et Bloomberg mettent tellement l'accent sur ces diverses questions, il n'est pas trop difficile de faire la distinction entre ces activités et l'échec de l'OMS à aider à contenir l'épidémie initiale de COVID-19 en Chine. 

Ces lacunes dans la réponse de Covid, ainsi que le fait que l'OMS porte atteinte à sa mission de nous protéger des pandémies, sont l'une des principales raisons de s'opposer à l'expansion mondiale de l'État Nanny par des personnes comme Bloomberg. La récente canalisation de fonds vers des agences indiennes à but non lucratif en échange d'un puissant lobby contre les produits du tabac et des alternatives plus sûres a remis en question la crédibilité de l'influence de Billionaire et les a soumises à un examen minutieux. 

En réponse, le gouvernement indien a accru la surveillance des groupes à but non lucratif, déclarant que leurs actions étaient contraires aux intérêts nationaux. Le gouvernement indien a renforcé le contrôle des ONG enregistrées en vertu de la loi sur la réglementation des contributions étrangères (FCRA). L'action a été combattue par des critiques affirmant que le gouvernement utilise la loi sur le financement étranger comme une arme pour réprimer les groupes à but non lucratif préoccupés par les répercussions sociales de la croissance économique indienne. 

La note rédigée par l'aile du renseignement du ministère de l'Intérieur a soulevé des inquiétudes concernant le ciblage des entreprises indiennes et son lobby agressif contre elles. La note de trois pages reconnaissait l'intention de Bloomberg de libérer l'Inde du tabac et d'autres produits, mais expliquait également l'importance du secteur apportant des revenus de 5 milliards de dollars par an aux gouvernements et des emplois générés pour des millions de personnes. La note a également souligné les implications négatives d'un lobby agressif contre le secteur et comment il menace les moyens de subsistance de 35 millions de personnes. 

Les démarches pour promouvoir le soft power Nanny State ne sont pas seulement appréciées mais sont aidées par l'OMS. C'est là que l'OMS nous pousse dans l'abîme. Au lieu de fournir aux médecins et aux travailleurs de la santé les fournitures nécessaires et de perfectionner les systèmes de soins de santé, l'opulence de Bloomberg a mandaté l'OMS en tant que « police mondiale » appliquant les taxes et les interdictions sur une pléthore de produits de consommation dans le monde entier. 

Les missions Nanny de Bloomberg sont apparues comme une menace sinistre pour le secteur des soins de santé, rendant la pandémie actuelle plus menaçante. Espérons que nous n'en ressentirons pas les répercussions chez nous. 

Publié à l'origine ici.

Proposition d'interdiction de toutes les saveurs de vape

À qui de droit,

Au nom du Consumer Choice Center, un groupe mondial de défense des consommateurs représentant des millions de consommateurs en Europe et dans le monde, je vous écris pour exprimer notre grande inquiétude face à l'interdiction proposée de tous les arômes de vapotage. Nous avons besoin de politiques fondées sur la science et qui améliorent le choix des consommateurs au lieu de nuire aux consommateurs adultes et de saper leur capacité à choisir par eux-mêmes. 

Les Pays-Bas ont toujours été l'un des rares îlots de libéralisme, un exemple d'ouverture rationnelle à l'innovation. Aux Pays-Bas, 3.1% des adultes utilisent des cigarettes électroniques, et avec l'interdiction en place, près de 260,000 Les vapoteurs néerlandais pourraient recommencer à fumer. À la fois à court et à long terme, c'est un prix trop élevé à payer, surtout à la lumière de nos efforts européens communs pour réduire les taux de cancer.

Afin de voir pourquoi l'interdiction de vape proposée serait une décision désastreuse que le gouvernement néerlandais devrait éviter. 

Premièrement, le vapotage a été inventé comme un outil de réduction des méfaits destiné aux fumeurs adultes pour les aider à passer à une alternative plus sûre et, inversement, réduire les risques associés à la santé.

Il a été prouvé que le vapotage est 95% moins nocif que le tabagisme et a été approuvé par les organismes gouvernementaux du Royaume-Uni, de la Nouvelle-Zélande et de l'Australie comme une alternative plus sûre.

Comme l'a démontré Public Health England, le vapotage est 95% moins nocif que les cigarettes de tabac. Le professeur Peter Hajek a déclaré: "Ma lecture des preuves est que les fumeurs qui passent au vapotage éliminent presque tous les risques que le tabagisme pose pour leur santé". Prof. McNeill et al., Les cigarettes électroniques autour du 95% sont moins nocives que les estimations du tabac, revue historique, 2015

Deuxièmement, permettre aux fumeurs d'expérimenter des saveurs de vapotage est un élément clé du sevrage par vapotage.  Les deux tiers des vapoteurs actuels utilisent une forme ou une autre de liquides aromatisés. Les vapoteurs préfèrent les saveurs sans tabac aux cigarettes électroniques aromatisées au tabac, principalement parce que les saveurs ne leur rappellent pas le goût des cigarettes. 

Une étude longitudinale représentative à l'échelle nationale portant sur plus de 17 000 Américains, sur une période de cinq ans, a montré que les adultes qui utilisaient des produits de vapotage aromatisés étaient plus susceptibles d'arrêter de fumer que les vapoteurs qui consommaient des produits de vapotage aromatisés au tabac. En comparant les deux groupes, ceux qui utilisent des arômes et ceux qui utilisent des arômes de tabac, les vapoteurs qui utilisent des arômes étaient 2,3 fois plus susceptibles d'arrêter de fumer que ceux qui vapotent des produits aromatisés au tabac.

Selon des recherches sur les vapoteurs au Canada et aux États-Unis, la majorité des vapoteurs utilisent des produits de vapotage sans saveur de tabac comme préférence personnelle. Les consommateurs préfèrent généralement les arômes aux produits de vapotage aromatisés au tabac en raison de leur goût, mais aussi parce que les arômes de tabac rappellent aux consommateurs les cigarettes conventionnelles. Parmi les personnes interrogées, considérées comme des consommateurs réguliers, 63.1% utilisent des produits sans saveur de tabac (fruits, menthe, bonbons). Ces adultes ont trouvé le vapotage plus satisfaisant (par rapport au tabagisme) que les vapoteurs utilisant l'arôme de tabac. 

Dans notre dernier article Le vapotage comme porte d'entrée pour sortir du tabac, nous avons démystifié les mythes les plus répandus liés au vapotage, y compris le vapotage chez les jeunes et la dépendance à la nicotine. Après avoir examiné un grand nombre d'études sur le sujet, nous, au Consumer Choice Center, sommes d'avis que l'interdiction des arômes de vapotage serait non seulement une violation du choix du consommateur, mais surtout une politique scientifiquement ignorante. Le gouvernement néerlandais peut faire mieux que de telles propositions et poursuivre une longue tradition de liberté sur le continent au lieu de recourir à un paternalisme injustifié.

Les fumeurs adultes devraient avoir le choix de passer à une alternative plus sûre qui s'est avérée être un outil de sevrage efficace, et les saveurs de vapotage jouent un rôle déterminant dans la réussite de ces efforts. Nous devons adopter le vapotage pour réduire les risques associés à la santé tels que le cancer. Pour les fumeurs, et pour les générations futures.

Sincères amitiés,

Marie Chaplia
Directeur de recherche 
Centre de choix des consommateurs

Les consommateurs et les propriétaires de bars/restaurants disent « OUI » au HB 536

Le Consumer Choice Center approuve un retour aux affaires sûr et rapide pour les zones à faible risque d'épidémie de coronavirus

Raleigh, Caroline du Nord – Hier, le Sénat de l'État de Caroline du Nord a adopté HB 536, le projet de loi destiné à rouvrir en toute sécurité les bars et les restaurants conformément aux directives établies par les Centers for Disease Control and Prevention et le North Carolina Department of Health and Human Services. .

Yaël Ossowski, directrice adjointe du Consumer Choice Center a déclaré :

"Donner aux propriétaires d'entreprise les moyens légaux d'ouvrir et de servir les clients en toute sécurité est désormais une nécessité", a déclaré Ossowski. «Il faut conseiller aux établissements situés dans les zones à haut risque de rester fermés jusqu'à ce que les autorités sanitaires en décident autrement, mais cette décision doit appartenir aux propriétaires d'entreprise.

«Nous reconnaissons tous les risques liés à la propagation du COVID-19, mais nous devons maintenant être convaincus que les propriétaires de bars et de restaurants et les consommateurs seront responsables et suivront les directives établies par les autorités étatiques et fédérales.

"Une approche unique pour l'ensemble de l'État, dans laquelle les villes et les comtés sont confrontés aux mêmes restrictions malgré un nombre différent de cas, n'est plus tenable après plus de deux mois de verrouillage", a déclaré Ossowski.

«Ce projet de loi comprend des dispositions pour la réouverture en toute sécurité dans les espaces extérieurs et intérieurs, ainsi que l'approbation d'une politique modernisée en matière d'alcool qui favorise tous les consommateurs et résidents de Caroline du Nord. Le gouverneur Cooper devrait signer ce projet de loi et donner aux habitants de la Caroline du Nord une confiance renouvelée pour se réengager en toute sécurité dans le commerce.

"Le législateur devrait également chercher à apporter des modifications permanentes à nos lois sur l'alcool afin de mieux responsabiliser les consommateurs et de leur offrir plus de choix. L'assouplissement des restrictions sur la manière dont les établissements de restauration peuvent servir, proposer et livrer leurs produits doit être immédiatement pris en considération », a déclaré Ossowski.

En savoir plus sur notre proposition de politiques modernisées en matière d'alcool ici.

L’agence pour le choix du consommateur est le groupe de défense des consommateurs qui soutient la liberté de style de vie, l'innovation, la confidentialité, la science et le choix des consommateurs. Les principaux domaines politiques sur lesquels nous nous concentrons sont le numérique, la mobilité, le style de vie et les biens de consommation, ainsi que la santé et la science.

Publié à l'origine ici.

Les régimes illibéraux exploitent la pandémie pour attaquer les fondements de la démocratie

Il nous a fallu 75 ans pour reconstruire la liberté dans certaines parties de l'Europe après les horreurs totalitaires de la Seconde Guerre mondiale, et moins de trois semaines pour la remettre à genoux.

Avec le coronavirus qui se profile en arrière-plan, des érosions inquiétantes de la liberté d'expression et des médias se précipitent à travers l'Europe.

Le 30 mars, le parlement hongrois a adopté une loi qui permet au chef du mouvement nationaliste du pays, Viktor Orban, de gouverner par décret indéfiniment. La loi permet au gouvernement d'Orban d'emprisonner toute personne qui publie de faux faits qui interfèrent avec la "défense réussie" de la santé publique, ou peuvent créer "une confusion ou des troubles" liés au coronavirus.

La chasse aux sorcières après les libertés individuelles a suivi et a conduit à plusieurs arrestations. Un tel pouvoir discrétionnaire de la part du gouvernement est une condamnation à mort pour la liberté d'expression, pierre angulaire de la démocratie.

La liberté d'expression joue un rôle essentiel dans l'établissement de la responsabilité entre le gouvernement et son électorat, et elle facilite une communication indiscriminée dans les deux sens. Lorsque les gouvernements monopolisent cette liberté, la démocratie peut s'éteindre.

Orban a choisi la bonne cible. Même s'il est affirmé que ces lois seront assouplies une fois la pandémie terminée, son bilan suggère le contraire. Depuis sa victoire en 2010, Orban a renforcé le contrôle de l'État sur les médias pour réprimer toute opposition et a érodé, étape par étape, les freins et contrepoids institutionnels. Selon lui, un État n'a pas besoin d'être libéral pour être une démocratie.

Mais il n'y a pas que la Hongrie. En Serbie, le décret du gouvernement sur la centralisation des informations pendant l'urgence du coronavirus a donné lieu à des arrestations. Le 1er avril, après avoir signalé une pénurie d'équipements médicaux de protection disponibles pour le personnel d'un centre médical en Serbie, Ana Lalić, une journaliste serbe, a été détenu. Lalić a été accusé d'avoir provoqué des troubles publics en diffusant de fausses nouvelles pendant l'urgence.

De la même manière, le ministère polonais de la Santé a interdit aux consultants médicaux de émettre des avis indépendants sur la situation épidémiologique, l'état des hôpitaux et les méthodes de protection contre l'infection. Parler du manque d'équipement de protection peut coûter un emploi aux médecins polonais.

Pendant ce temps, la Slovénie et la République tchèque ont annoncé qu'ils mettent fin à la présence des journalistes aux conférences de presse officielles. Selon Dunja Mijatović, commissaire aux droits de l'homme du Conseil de l'Europe, une journaliste slovène qui a demandé des informations sur les mesures adoptées par le gouvernement pour faire face à la pandémie a été la cible d'un campagne de diffamation par des médias proches du parti politique dirigeant la coalition gouvernementale.

Malgré le nombre croissant de cas en Russie, Vladimir Poutine continue de faire pression pour un vote national sur la réforme constitutionnelle qui pourrait lui permettre rester au pouvoir jusqu'en 2036. Le 13 mai, les législateurs russes adopté un projet de loi qui permet aux Russes de voter par courrier ou en ligne pour les amendements constitutionnels de Poutine. Il est fort probable que Poutine obtienne ce qu'il veut puisque, comme dans la direction choisie par la Hongrie, s'élever contre le gouvernement fait automatiquement de vous un hérétique.

Là où les gens sont poussés à choisir entre la protection de leur vie et celle de leurs proches et un acte de résistance politique, la plupart optent pour le silence. Pourtant, forcer un tel choix est inhumain, manipulateur et, en fin de compte, conduira à la chute des gouvernements qui le font.

Fervent admirateur des mesures prises par la Chine pour stopper le coronavirus, Poutine a également eu recours à des mesures carrément totalitaires. Le Financial Times et New York Times pourrait bientôt être interdit de Russie pour avoir révélé la vérité sur le taux de mortalité dans le pays. Cependant, la première cible de la campagne anti-fake news de la Russie a été ses propres citoyens, qui sont être condamné à une amende pour avoir diffusé de « fausses informations » sur le Covid-19. Le nombre déjà très restreint de libertés civiles en Russie est gravement menacé.

Les élections libres sont un trait clé des régimes démocratiques mais ne sont pas suffisantes en elles-mêmes. Une véritable démocratie ne peut exister sans les droits civils et, en particulier, le droit de résister par des protestations, la liberté d'expression et des médias libres.

On pourrait difficilement imaginer une meilleure excuse pour poursuivre rapidement un programme illibéral qu'une urgence de santé publique. Il y a une raison pour laquelle les gouvernements illibéraux investissent autant dans la propagande. La racine même de leur pouvoir réside dans des récits créés artificiellement et d'une puissance effrayante qui sont diffusés de manière répétée et cohérente tout en censurant toute voix dissidente. La liberté d'expression est à la démocratie ce que les droits de propriété sont à l'économie. La monopolisation de l'un ou l'autre entraîne des perturbations.

Nous sommes donc dans une impasse. D'une part, cette pandémie pourrait nous dissuader de nous inspirer du monde non libre et de ses tactiques.

D'autre part, le cauchemar de l'urgence pourrait devenir notre réalité permanente en donnant aux gouvernements carte blanche imposer des restrictions sévères à nos libertés. Il est difficile d'imaginer un moyen plus efficace de supprimer toute désobéissance potentielle que par l'appel de la peur pour notre santé, sans parler de celle de nos parents, amis et littéralement de tous ceux qui nous sont chers. Cela offre aux démocraties illibérales une occasion unique de camoufler leurs poursuites totalitaires dans le cadre de plans d'urgence pour arrêter la pandémie.

Espérons que pour le mieux, mais soyez prêts à riposter en cas de pire. La démocratie est enracinée dans la liberté d'expression et des médias et nous devons la défendre à tout prix.


L’agence pour le choix du consommateur est le groupe de défense des consommateurs qui soutient la liberté de style de vie, l'innovation, la confidentialité, la science et le choix des consommateurs. Les principaux domaines politiques sur lesquels nous nous concentrons sont le numérique, la mobilité, le style de vie et les biens de consommation, ainsi que la santé et la science.

Le CCC représente les consommateurs dans plus de 100 pays à travers le monde. Nous surveillons de près les tendances réglementaires à Ottawa, Washington, Bruxelles, Genève et d'autres points chauds de la réglementation et informons et incitons les consommateurs à se battre pour #ConsumerChoice. En savoir plus sur consumerchoicecenter.org

Ne mettez pas les consommateurs ordinaires sur le crochet pour voler les vacanciers de Thomas Cook

CONTACTEZ:
Frédéric Roder
Directeur général
Centre de choix des consommateurs
fred@consumerchoicecenter.org

Ne mettez pas les consommateurs ordinaires sur le crochet pour voler les vacanciers de Thomas Cook

Londres, Royaume-Uni - Lundi, le voyagiste Thomas Cook annoncé il cesserait ses activités immédiatement après avoir été incapable de réunir suffisamment d'argent pour rembourser ses dettes. Cela a laissé des centaines de milliers de voyageurs sans vols aller-retour de leurs destinations de vacances.

En réponse, plusieurs politiciens britanniques ont appelé le gouvernement à aider Thomas Cook, et le gouvernement a été appelé à intervenir et à aider les voyageurs bloqués.

Fred Roeder, directeur général du Consumer Choice Center basé à Londres, a répondu en déclarant qu'une intervention du gouvernement serait la mauvaise direction à prendre.

"C'est triste de voir une agence de voyage héritée comme Thomas Cook faire faillite", a déclaré Roeder. «Mais de nombreux politiciens veulent montrer leur soutien aux voyageurs bloqués en les ramenant chez eux aux frais des contribuables.

"Bien qu'il soit très malheureux d'être bloqué à la fin de ses vacances, on devrait se demander pourquoi les contribuables devraient payer pour des touristes qui n'ont pas acheté d'assurance insolvabilité ou voyage ?

"Pourquoi ceux qui sont restés à la maison parce qu'ils n'avaient ni l'argent ni le temps pour les vacances devraient-ils renflouer ceux qui sont partis en vacances mais ne voulaient pas dépenser les quelques livres supplémentaires pour l'assurance ? C'est effectivement le scénario auquel les consommateurs et les contribuables britanniques ordinaires sont confrontés », a déclaré Roeder.

«Nous ne pouvons pas nous attendre à ce que les Britanniques qui ne sont pas partis en vacances renflouent ceux qui l'ont fait sans assurance raisonnable, et renflouent efficacement l'entreprise pour son propre gâchis financier.

«Les faillites de compagnies aériennes et de voyagistes arrivent régulièrement. Monarch et AirBerlin ne sont que deux exemples européens récents. Si le gouvernement intervient à chaque fois qu'une agence de voyages fait faillite, les mauvaises incitations seront mises en place : les voyageurs n'achèteront pas d'assurances et risquent en même temps de réserver des offres fortement réduites auprès d'agences de voyages en difficulté.

"Si cela se produit, alors le prochain pont aérien parrainé par le gouvernement sera juste au coin de la rue", a déclaré Roeder.

Le Consumer Choice Center se bat pour des vols abordables à travers le monde. En savoir plus ici.

Le Consumer Choice Center est le groupe de défense des consommateurs qui soutient la liberté de style de vie, l'innovation, la confidentialité, la science et le choix des consommateurs.

Nous représentons les consommateurs dans plus de 100 pays à travers le monde et surveillons de près les tendances réglementaires à Ottawa, Washington, Bruxelles, Genève et d'autres points chauds de la réglementation et informons et incitons les consommateurs à se battre pour #ConsumerChoice. En savoir plus sur consumerchoicecenter.org.

Classement : les dix aéroports européens les plus conviviaux

Le Centre de choix des consommateurs a lancé son European Airport Index, qui classe BruxellesZurich et Dusseldorfen tête des 10 premiers aéroports d'Europe en termes de convivialité pour les passagers.

Cet indice, le premier du genre en Europe, devrait être utilisé « pour informer à la fois les consommateurs et les administrateurs quant à savoir qui fait le meilleur travail pour accueillir les passagers », souligne dans son communiqué The Consumer Choice Center (CCC), dont le Top 5 est dominé par Bruxelles-Zaventem et Zurich-Kloten, devant les plateformes de Düsseldorf, Madrid-Barajas Adolfo Suarez et Manchester. Viennent ensuite CopenhagueAmsterdam-SchipholStockholm-ArlandaFrancfort et Munich.

Paris-Orly est cité comme 4eme au niveau de l'expérience client (en nombre de passagers par an par restaurants et magasins), tandis que Madrid est présenté comme « le seul aéroport du sud dans le palmarès » – où ne figure aucune plateforme d'Europe de l'est. Les meilleurs termes de distance du centre-ville sont Dublin et Lisbonne, tandis que Londres-Heathrow se distingue par le nombre de salons d'aéroport (44, soit 1,82 million de passagers par salon, moins que Zurich ou Moscou-Vnoukovo respectivement deuxième et troisième). Ni Heathrow ni Paris-CDG, dont le trafic est triple de celui des deux gagnants, n'entre dans le Top 10, notez le CCC.

Les 30 aéroports les plus importants d'Europe en nombre de passagers ont été examinés selon un système de points établi par le centre, en fonction d'un ensemble de facteurs « allant de l'emplacement et des options de transport à l'expérience en aéroport et au réseau aérien », selon Fred Roeder, directeur général du CCC, coauteur de cette étude. D'autres facteurs ont été pris en compte dans le classement, notamment « les passerelles d'embarquement plutôt que l'embarquement par bus, la proximité du centre-ville, le nombre de salons, les temps d'attente et le respect des horaires par les compagnies aériennes ». Des points supplémentaires ont été attribués aux aéroports ayant obtenu une autorisation préalable pour les vols avec les Etats-Unis (TSA pre-clerance) ou leur capacité de diffuser les temps d'attente au passage de la sécurité.

Yaël Ossowski, directeur adjoint du Consumer Choice Center, a déclaré que ce classement « démontrer le pouvoir d'offrir à la fois fonctionnalité et confort » dans les grands aéroports : Comme tout voyageur le sait pendant l'été, de nombreux aéroports « sont aux prises avec des photos de passagers en haute saison, et cette expérience se répercute sur tous ceux qui fument un vol. Des points ont été attribués aux aéroports qui offraient d'excellentes destinations dans le monde entier, mais aussi un mélange sain de boutiques, de restaurants et de commodités » dans l'aéroport. Le système de points « vous donnez un excellent aperçu des aéroports que vous devriez envisager d'utiliser lors de votre prochain voyage, que ce soit pour vos vacances ou pour votre travail », at-il conclu.

L'étude complète du CCC est disponible ici.

Initialement publié ici

proche