fbpx

Mois : novembre

Améliorer les dents de l'Amérique

À quand remonte la dernière fois que vous êtes allé chez le dentiste? Si vous ouvrez maintenant votre calendrier pour vérifier votre dernier rendez-vous, il y a de fortes chances qu'il ait été trop long. Il n'y a pas de règle générale sur la régularité qui s'appliquera à tous les patients, notamment parce que nous avons tous des modes de vie différents. Cela dit, si vous êtes quelqu'un qui consomme du tabac, boit de l'alcool régulièrement ou si vous avez des doutes quant à la conformité de votre hygiène bucco-dentaire quotidienne, une bonne règle de base consiste à prendre rendez-vous chez le dentiste tous les six mois.

Pour de nombreux Américains, les coûts rudimentaires de voir un dentiste pour un examen de routine sont gérables. En dépit du fait que la plupart des régimes dentaires couvrent 100% des coûts des visites préventives, de nombreux Américains semblent ne pas être conscients de leurs avantages. Même si 80% d'Américains ont accès à des prestations dentaires, près de 35% d'adultes n'ont pas consulté de dentiste en 2019, selon la National Association of Dental Plans. Pour les 20% d'Américains qui ne sont pas employés ou dont le régime d'assurance choisi par l'employeur ne couvre pas les soins dentaires, et les patients assurés existants, il serait important d'accroître la concurrence par le biais de modèles d'abonnement. Ma collègue Yaël Ossowski a expliqué les avantages de tels abonnements dans le Boston Herald.

L'amélioration de l'hygiène bucco-dentaire aux États-Unis ne passe pas uniquement par le niveau politique d'une concurrence accrue ou, comme certains le prétendent, en impliquant davantage le gouvernement dans le domaine des soins de santé. D'abord et avant tout, l'hygiène bucco-dentaire se fait à la maison par le brossage et la soie dentaire. Malheureusement, c'est là que les habitudes de certains Américains ne sont pas à la hauteur.

Une étude commandée en 2021 par l'Association américaine des endodontistes a montré que 21% des répondants ne se sont pas brossés les dents le matin, 23% n'ont jamais utilisé de fil dentaire et 28% n'ont pas pris de rendez-vous chez le dentiste toute l'année. Une analyse de 2016 portant sur 5 000 hommes et femmes avait révélé que 32 pour cent des Américains n'utilisent jamais la soie dentaire. Tout cela est associé à des titres d'enquêtes moins représentatives montrant que les Américains ne se brossent la plupart du temps qu'une fois par jour, voire pas du tout.

Un facteur sous-estimé par beaucoup est l'efficacité de la gomme à mâcher sans sucre. L'American Dental Association affirme que bien que mâcher de la gomme sans sucre ne remplace pas le brossage des dents, ces gommes édulcorées par des édulcorants non carieux tels que l'aspartame, le xylitol, le sorbitol ou le mannitol peuvent aider à prévenir la carie dentaire. La salive produite par la mastication élimine les débris alimentaires et neutralise les acides, et transporte également plus de calcium et de phosphate pour aider à renforcer l'émail des dents.

L'Autorité européenne de sécurité des aliments (EFSA), connue pour ses évaluations prudentes des allégations de produits, détaché l'évaluation selon laquelle la gomme sans sucre améliore la minéralisation des dents et présente donc des avantages globaux pour la santé bucco-dentaire. Il reste important de rappeler que la gomme sans sucre ne se substitue en aucun cas à une hygiène bucco-dentaire régulière ; cependant, c'est un complément à l'hygiène bucco-dentaire cela en fait plus qu'un simple mode de vie mais en fait, un produit de bien-être.

L'hygiène bucco-dentaire est un facteur important dans notre vie quotidienne. La carie dentaire et les problèmes dentaires persistants affligent de nombreux Américains, les accablant de frais dentaires élevés. Tant au niveau politique qu'au niveau individuel, il reste beaucoup à faire pour améliorer la santé bucco-dentaire de tous les citoyens.

Publié à l'origine ici

Apa yang Bisa Kita Pelajari de Kebijakan Vape di Filipina?

Vape atau rokok elektrik saat ini merupakan salah satu produk konsumen yang digunakan oleh jutaan orang di seluruh dunia, termasuk juga di Indonesia. Saat ini, dengan sangat mudah kita bisa menemukan berbagai orang yang menggunakan rokok elektrik di berbagai tempat, terlebih lagi bila kita tinggal di wilayah urban dan kota-kota besar.

DI negara kita sendiri, konsumsi vape atau rokok kelektrik oleh para konsumen merupakan fenomena yang kian meningkat dari tahun ke tahun. Pada tahun 2018 misalnya, diperkirakan ada sekitar 2,1 juta penduduk Indonésie yang menjadi pengguna vape. Angka tersebut meningkat di tahun 2020 menjadi 2,2 juta orang yang menjadi konsumen rokok elektrik (vapemagz.co.id, 24/1/2021).

Semakin meningkatnya pengguna vape di Indonesia tentunya memberikan dampak yang signifikan terhadap industri di sektor tersebut. Industri rokok eleektrik, atau produk-produk tembakau alternatif secara keseluruhan, yang meningkat, tentu akan memberikan lapangan kerja yang besar bagi banyak tenaga kerja di Indonesia. Saat ini, industri rokok elektrik di Indonesia setidaknya sudah berhasil menyerap 100.000 tenaga kerja di Indonesia (liputan6.com, 13/6/2022).

Akan tetapi, tidak semua pihak mengapresiasi adanya fenomena tersebut. Tidak sedikit yang berpandangan bahwa fenomena semakin meningkatnya industri vape di Indonesia merupakan hal yang sangat négatif, dan berbahaya bagi kesehatan publik. Hal ini dikarenakan, mereka menyandingkan rokok elektrik dengan rokok konvensional yang dibakar, dan memiliki dampak yang sama atau bahkan lebih berbahaya dari rokok konvensional yang dibakar.

Hal ini tentu merupakan pandangan yang kurang tepat. Berbagai lembaga kesehatan dunia telah mengeluarkan laporan yang menyatakan bahwa vape atau rokok elektrik merupakan produk yang jauh lebih tidak berbahaya bila dibandingkan dengan rokok konvensional yang dibakar. Lembaga kesehatan asal Britania Raya, Public Health England (PHE) misalnya, beberapa waktu lalu mengeluarkan laporan yang menyatakan bahwa rokok elektrik 95% lebih tidak berbahaya bila dibandingkan dengan rokok konvensional yang dibakar (theguardian.com, 28/12/2018).

Sangat penting ditekankan bahwa, menyatakan bahwa vape atau rokok elektrik 95% lebih aman bila dibandingkan dengan rokok konvensional bukan berarti bahwa vape merupakan produk yang 100% aman tanpa resiko. Hal ini berarti, tetap ada resiko kesehatan bagi konsumsi vape atau rokok elektrik, namun resiko tersebut jauh lebih kecil bila dibandingkan dengan rokok konvensional yang dibakar.

Oleh karena itu, beberapa negara di dunia telah secara resmi mengeluarkan kebijakan yang ditujukan untuk memberi insentif bagi para perokok untuk berpindah ke rokok elektrik, atau yang dikenal dengan kebijakan réduction des dommages. Inggris misalnya, melalui lembaga kesehatan nasional National Health Service (NHS), mendorong warga Inggris yang perokok aktif untuk berpindah ke produk rokok elektrik yang jauh lebih tidak berbahaya (nhs.uk, 29/3/2019).

Inggris tentunya bukan satu-satunya negara yang mengambil langkah tersebut. Tidak perlu jauh-jauh ke negeri tempat kelahiran Ratu Elizabeth II tersebut, negara kita sesama anggota ASEAN, Philippines, baru-baru ini juga mengeluarkan peraturan yang kurang lebih serupa. Pada bulan Januari tahun ini, lembaga legislasi FIlipina berhasil meloloskan undang-undang yang dikenal dengan nama The Vaporized Nicotine Products Regulation Act.

Salah satu aspek yang paling penting dari undang-undang tersebut adalah regulasi ini memberi jalan untuk menyusun strategi kebijakan harm reduction untuk menawarkan rokok elektrik sebagai pengganti rokok konvensional kepada para perokok. Philippine sendiri saat ini memiliki sekitar 16 juta perokok aktif yang tinggal di negara tersebut (vaping360.com, 27/7/2022).

Selain itu, undang-undang ini juga melakukan beberapa perubahan yang menerapkan regulasi yang tidak jauh berbeda antara rokok konvensional yang dibakar dan rokok elektrik. Misalnya, penyetaraan batas usia konsumsi rokok konvensional dengan rokok elektrik. Dengan demikian, akan semakin banyak orang yang memiliki opsi legal untuk mengkonsumsi produk yang jauh lebih tidak berbahaya. Akan ada pula sanksi yang diberlakukan kepada penjual yang menjual produk-produk hasil olahan tembakau kepada anak-anak di bawah usia.

Peraturan yang diberlakukan di Filipina ini merupakan hal yang cukup berbeda dengan beberapa negara ASEAN lainnya, seperti Thailand dan Singapura misalnya. Di Thailand dan Singapura, vape atau roko elektrik merupakan produk ilegal, di mana mereka yang melanggar dapat dikenakan sanksi pidana baik berupa denda maupun penjara, meskipun rokok elektrik merupakan salah satu produk yang telah digunakan oleh jutaan perokok untuk membantu mereka berhenti merokok.

Sebagai penutup, langkah kebijakan yang dilakukan oleh Filipina yang meloloskan regulasi agar para perokok bisa berpindah ke rokok elektrik yang jauh lebih tidak berbahaya merupakan hal yang bisa dipelajari oleh para pembuat kebijakan di Indonesia. Bila semakin banyak perokok yang bisa berpindah ke produk yang jauh lebih tidak berbahaya, maka dengan demikian diharapkan berbagai penyakit kronis yang melanda masyarakat juga dapat ditekan, dan akan membawa dampak yang positif terhadap kesehatan publik.

Publié à l'origine ici

Memperkasa hak pengguna syarikat penerbangan

Setiap hari lebih daripada 100 000 penerbangan berlaku di seluruh dunia.

Dalam kesibukan itu, sudah tentu akan ada risiko gangguan seperti penerbangan ditunda atau dibatalkan, kehilangan atau kerosakan bagasi, dinafikan menaiki pesawat kerana lebihan tempahan, kehilangan tempahan atau masalah yang lain.

Semakin kerap penerbangan, semakin tinggi kebarangkalian masalah seperti itu timbul.

Oleh sebab itu, Kod Perlindungan Pengguna Penerbangan Malaysia (MACPC) diwujudkan pada 2016. Ia bertujuan untuk melindungi hak dan kepentingan pengguna dalam usaha untuk mewujudkan industri penerbangan yang berorientasikan pengguna.

Setelah enam tahun dilaksanakan Suruhanjaya Penerbangan Malaysia (Mavcom) menerima lebih daripada 22 000 aduan, dengan separuh pertama 2022 sahaja sebanyak 1 251 aduan direkodkan.

Sebanyak 99.1 peratus daripadanya melibatkan syarikat penerbangan.

Daripada jumlah itu 577 (46.1 peratus) aduan adalah mengenai pembatalan penerbangan, penjadualan semula dan tempahan dalam talian secara kolektif.

Lire le texte complet ici

La guerre contre les plastiques malavisée

Vous sentez-vous mal lorsque vous voyez des images de déchets plastiques dans les océans du monde ? Très certainement, et tout être humain décent le ferait. En fait, les gouvernements ne font pas assez pour arrêter le déversement de déchets plastiques dans l'environnement et sont toujours inefficaces pour tenir les entreprises responsables de ces catastrophes écologiques.

Cela dit, la solution de nombreux militants écologistes – interdire tous les articles et emballages en plastique – est erronée.

Un nouveau rapport par Greenpeace souligne qu'une grande partie des déchets plastiques aux États-Unis n'est pas recyclée et associe cela à son plaidoyer pour l'interdiction des articles en plastique à usage unique. En fait, les militants ont plaidé pour que la General Services Administration (GSA) cesse toute acquisition d'articles en plastique à usage unique.

Cela ne tient pas compte du fait que nous avons besoin de plastique pour de nombreuses choses : du matériel médical au matériel de nettoyage, des emballages pour prolonger la durée de conservation aux conteneurs pour garder nos aliments intacts pour la livraison. Ni le gouvernement fédéral ni les consommateurs individuels ne peuvent se permettre d'éliminer progressivement le plastique.

Cela dit, il ne faut pas conserver le plastique pour le plastique (même s'il est associé à d'innombrables emplois). En fait, trop souvent, les plastiques surpassent leurs produits de substitution en termes d'efficacité et d'impact environnemental - comme peut en témoigner quiconque a essayé d'utiliser un sac en papier à usage unique sous la pluie.

Comme je l'ai déjà expliqué pour Newsmax, les sacs de courses en plastique à usage unique surpassent toutes ses alternatives en matière d'environnement, notamment parce que les sacs en coton ou en papier ne sont pas réutilisés aussi souvent qu'ils le devraient, mais aussi parce que les consommateurs réutilisent les sacs en plastique comme alternative aux sacs poubelles.

Si nous devions abandonner les emballages en plastique, nous réduirions la durée de conservation des produits d'épicerie et éliminerions les plats cuisinés que les consommateurs veulent. Cela augmenterait le gaspillage alimentaire. Depuis la production alimentaire a une empreinte carbone bien supérieure à celle des emballages plastiques, cette décision serait contre-productive.

N'oublions pas non plus que 11% de pollution plastique des océans résulte des microplastiques, et 75%-86% de plastique dans la poubelle de l'océan Pacifique proviennent directement de pêche au large, pas des produits de consommation. Tous les déchets ne sont pas jetés, et il en va de même pour les déchets plastiques ; il est donc trompeur pour les militants de fusionner injustement les deux aspects de l'élimination des déchets plastiques.

Des Américains vivant dans des villes de plus de 125 000 habitants, 90% ont déjà accès à des installations de recyclage pour les articles en plastique à usage unique. Ce dont les États-Unis ont besoin, c'est d'un accès encore plus large à ces installations et du renforcement du recyclage avancé, qui non seulement lave et compose les polymères, mais dissout les plastiques dans leurs composés d'origine.

Cet aspect de l'économie circulaire fera du plastique un bien de consommation plus durable. En plus du taux de recyclage existant, l'Environmental Protection Agency (EPA) a pour but précis d'augmenter le taux de recyclage à 50% d'ici 2030.

Toute règle ou réglementation qui limite les choix des consommateurs est mauvaise. Cependant, c'est encore pire lorsque la règle suggérée n'atteint même pas les résultats escomptés. Interdire le plastique ne nous priverait pas seulement des produits dont nous avons besoin, mais augmenterait également notre empreinte carbone dans de nombreux secteurs.

Publié à l'origine ici

Economía colaborativa y tres ciudades de la región

Le Consumer Choice Center a présenté sur tercer índice anual de economía colaborativa, en el que clasifica algunas de las ciudades más dinámicas del mundo en función de su apertura a la economía colaborativa.

Este índice único en el mundo es la herramienta para que los consumidores tomen decisiones informadas sobre su próximo destino urbano.

El índice clasifica 60 ciudades de todo el mundo, 6 de ellas de América Latina. Las dos ciudades con mejor puntuación en el Índice de Economía Colaborativa de América Latina de 2021 (otro índice del Consumer Choice Center) fueron Bogotá y Santiago du Chili. Sin embargo, en la escena internacional, las dos ciudades tienen problemas para competir con destinos mundiales más abiertos (y por tanto más atractivos), por lo que han terminado en la mitad lower del índice.

Par ailleurs, tres ciudades latinoamericanas -São Paulo, Buenos Aires et Ciudad de Mexico- figuran en el TOP 10 mundial de las ciudades más favorables a la economía colaborativa. Estas ciudades demuestran una extraordinaria apertura a todos los servicios de economía colaborativa considerados en el estudio. En particulier, todas ellas ofrecen aplicaciones de entrega ultrarrápida, una categoría totalmente nueva añadida al índice de este año.

« Para sacar el máximo partido al índice, puedes utilizarlo como un menú de opciones que te ayude a elegir la ciudad que mejor se adapte a tu estilo de vida. Si te gusta el transporte compacto y respetuoso con el medio ambiente, en nuestro índice puedes ver que los patinetes eléctricos ya no se pueden alquilar en la capital de Colombia, pero que sí puedes disfrutar de ellos en las concurridas calles de Ciudad de México », señala Anna Arunashvili, Associé à la gestion des connaissances du Consumer Choice Center.

Lisez entièrement l'article ici

Le «plus récent mégadonateur» des démocrates s'effondre le jour du scrutin, contraint de vendre une société de cryptographie à son plus grand rival

Sam Bankman-Fried, PDG de échange cryptographique FTX et considéré comme le «plus récent mégadonateur» des démocrates avant les élections de mi-mandat de 2022, aurait vu environ $6 milliards de retraits dans les 72 heures avant mardi matin, l'obligeant à vendre l'entreprise à son plus grand rival le jour du scrutin. 

Reuters a rapporté que Changpeng Zhao, le leader du concurrent Binance, a déclaré que la société avait signé mardi un accord non contraignant pour acheter l'unité non américaine de FTX afin d'aider à couvrir une "crise de liquidité" sur la bourse rivale. Le renflouement stupéfiant a eu lieu alors que les électeurs américains se rendaient simultanément aux urnes. 

"C'est un événement vraiment fou dans le monde des startups. Événement de niveau point-com bust », a tweeté le journaliste technologique Eric Newcomer à propos de la vente. 

Bankman-Fried, 30 ans, était le deuxième plus grand donateur démocrate individuel de ce cycle électoral derrière le premier contributeur milliardaire libéral George Soros. Il classé sixième sur la liste générale des donateurs individuels pour les mi-parcours de 2022 concernant les contributions fédérales. 

Lisez entièrement l'article ici

Le plafonnement des prix d'Orban sur la nourriture et le carburant entraînera des pénuries

Budapest, HU: Cette semaine, le parti au pouvoir du Premier ministre hongrois Viktor Orban a annoncé que la troisième vague de plafonnement des prix serait introduite en fixant un prix sur les pommes de terre et les œufs. Commentant cette décision, le directeur des affaires gouvernementales du Consumer Choice Center, Zoltán Kész :

« Les Hongrois ont connu des plafonds de prix contrôlés par l'État sous le communisme, et nous n'en gardons pas de bons souvenirs. Cela conduit à des pénuries que nous voyons déjà réapparaître, à la montée du marché noir et de la pauvreté.

« Au cours de l'année écoulée, nous avons vu des stations-service fermer, vider les rayons des supermarchés et monter en flèche les prix d'autres produits. C'est très mauvais pour les consommateurs de subir une augmentation de près de 50% des prix alimentaires et d'être confrontés à l'une des pires dévaluations de la monnaie hongroise », déclare Kész.

"Fixer les prix du carburant, du poulet ou des taux hypothécaires n'aidera pas à lutter contre l'inflation, qui devrait atteindre 25% d'ici la fin de l'année. Nous avons la TVA la plus élevée au monde avec un taux de 27%, mais notre gouvernement parvient toujours à blâmer tout le monde pour la flambée des prix à la consommation. Avant de geler les prix au détriment de la disponibilité et des fermetures d'entreprises, nous devrions d'abord baisser nos taxes de vente d'un tiers. Cela réduirait massivement la charge des consommateurs », conclut Kész.

Une FTC trop zélée n'est pas bonne pour les consommateurs ou les startups

Le mois dernier, la société mère de Facebook, Meta Platforms, a demandé à un juge américain de rejeter le procès de la Federal Trade Commission (FTC) visant à bloquer le projet d'acquisition par Meta du producteur de contenu virtuel Within Unlimited - fabricant du Surnaturel application de fitness en réalité virtuelle. Le procès fait l'affirmation ténue et spéculative que puisque la plate-forme VR Meta possède déjà de nombreuses applications VR, y compris celles basées sur le mouvement comme Battre le sabre qui rivalisent pour les utilisateurs avec Surnaturel, un "monopole" "tendra à se créer" et la concurrence et les consommateurs seront moins bien lotis si l'accord se concrétise. Ça n'a pas d'importance Supernaturel fait face à la concurrence d'applications VR plus similaires axées sur le fitness que Meta ne possède pas, comme Liteboxeur et Fit XR, ainsi que des applications de fitness non VR comme celles proposées par Apple et Peloton.

C'est le dernier des nombreux efforts de la FTC, sous l'actuelle présidente Lina Khan, de manière plus agressive concours d'acquisitions technologiques sur la base que les géants de la technologie ont trop de pouvoir et d'influence, même lorsque le préjudice causé aux consommateurs est fallacieux ou inexistant. Bien que de grands géants de la technologie comme Meta, Google et Amazon peut être en effet coupable d'actes répréhensibles qui justifient une sanction légale, l'étouffement d'accords commerciaux légitimes par des bureaucrates non élus ne fera que nuire aux consommateurs et à la viabilité des start-ups en dissuadant la concurrence et l'innovation dans le monde technologique impitoyable et à forte intensité d'investissement.

Depuis les années 1970, l'application des lois antitrust s'est concentrée sur la question de savoir si une pratique commerciale nuit réellement aux consommateurs, plutôt que de nuire à leurs concurrents ou à une autre partie prenante. Après tout, les élus sont capables d'adopter des lois qui ciblent les préjudices concrets que les entreprises infligent aux travailleurs et au public. Et les entreprises privées ne devraient pas s'attendre à être protégées d'une concurrence féroce puisque c'est une conséquence de faire des affaires. Les consommateurs bénéficient du fait que les entreprises doivent proposer des produits nouveaux, meilleurs ou moins chers pour attirer et fidéliser les clients. Tant qu'une entreprise n'utilise pas sa position pour nuire aux consommateurs en limitant la production par rapport aux prix, il n'y a aucune raison pour que les régulateurs antitrust comme la FTC étouffent son expansion. Surtout lorsque cette expansion profite aux consommateurs.

Cela est particulièrement vrai pour la technologie. Les start-ups dépendent de millions d'investissements pour développer et déployer leurs produits. Les investisseurs évaluent ces entreprises en fonction non seulement de la viabilité de leurs produits, mais aussi de la valeur de revente potentielle de l'entreprise. Les grandes entreprises en acquièrent aussi souvent de plus petites pour appliquer leurs ressources, leur expertise existante et leurs économies d'échelle afin de développer davantage leurs idées ou de les étendre à davantage d'utilisateurs.

Rendre les fusions et acquisitions plus coûteuses, sans preuves solides qu'elles nuiront aux consommateurs, rendra plus difficile pour les start-ups d'attirer les capitaux dont elles ont besoin et ne fera que dissuader les innovateurs de se lancer seuls ou de développer des idées qui pourraient améliorer nos vies dans un environnement où 90% des start-up finissent par échouer et 58% s'attendent à être rachetées.

Peu importe que les contestations de fusion de la FTC échouent devant les tribunaux ou même devant leurs propres juges administratifs internes, y compris récemment sous la chaise Khan. Le risque et le coût des poursuites en eux-mêmes découragent les investissements et les transactions avantageuses. Surtout compte tenu de l'incertitude posée par l'incorporation de concepts vagues et amorphes comme «l'équité» dans l'analyse antitrust qui pourrait conduire à des décisions arbitraires incompatibles avec l'état de droit. Comme noté par feu le juge Stewart de la Cour suprême, la seule cohérence dans les affaires antitrust lorsqu'il n'y a pas de principe directeur clair comme la norme de bien-être des consommateurs est que "le gouvernement gagne toujours".

À l'inverse, les opposants à la norme du « bien-être des consommateurs », dont Khan, soutiennent qu'elle ne parvient pas à empêcher la concentration du pouvoir économique et politique. Cependant, cela donne la priorité au préjudice spéculatif d'une entreprise qui devient trop grande au préjudice réel de donner aux gouvernements et aux régulateurs la capacité d'exercer le pouvoir à des fins politiques ou de ceux qui les font pression.

Anciens présidents Johnson et Nixon tous deux ont utilisé des menaces d'application des lois antitrust pour contraindre les médias à couvrir favorablement leurs gouvernements. Et ce n'est un secret ni une surprise que la FTC soit fréquemment approchée par des entreprises qui l'exhortent à déployer les ressources des contribuables dans des poursuites antitrust contre leurs concurrents. Plus récemment, Mark Zuckerberg, qui a ouvertement demandé pour les politiciens de lui dire quel contenu censurer, a admis que Facebook supprimé le Histoire de l'ordinateur portable de Hunter Biden après la pression d'une agence gouvernementale. Les conservateurs devraient être particulièrement conscients d'encourager les agences à cibler les entreprises sur des bases vagues ou spéculatives.

La FTC dispose des ressources nécessaires pour poursuivre les acteurs malveillants qui nuisent définitivement aux consommateurs, comme en témoigne son règlement de plusieurs millions de dollars avec un site Web d'affaires extraconjugales. Ashley Madison sur les mauvaises pratiques en matière de cybersécurité et de confidentialité des données et la tromperie des consommateurs, et autres cas réussis y compris la chaise Khan's poursuite louable des entreprises qui collectent illégalement et utilisent à mauvais escient les données des enfants. Il s'agit d'une bien meilleure utilisation du temps de l'agence et du financement des contribuables qu'une approche zélée pour bloquer les acquisitions et autres pratiques commerciales légitimes qui pourraient profiter aux consommateurs et dont dépend l'écosystème des start-up innovantes.

Publié à l'origine ici

Le protectionnisme alimentaire européen prend une nouvelle dimension

La guerre en Ukraine a affecté le secteur agricole européen et a ralenti les ambitions de l'Union européenne de promulguer de nouvelles règles agricoles radicales. Les réformes à Bruxelles sont calquées sur la stratégie dite de la ferme à la fourchette, une feuille de route par laquelle le syndicat veut réduire l'utilisation des pesticides, réduire les terres agricoles et pousser l'agriculture biologique bien au-delà de sa part de marché actuelle. À la suite de l'incapacité de l'Ukraine à exporter de la nourriture vers ses homologues européens, certains pays, dont la France, ont fait valoir que l'UE devrait prendre du recul sur les changements législatifs prévus, qui avaient déjà été critiqués par les agriculteurs.

Aux Pays-Bas, des milliers d'éleveurs ont protesté pendant des semaines contre le gouvernement contre ses nouvelles règles visant à réduire l'oxyde nitreux, un sous-produit créé lors de la décomposition du fumier. L'approche du gouvernement néerlandais était de minimiser les fermes d'élevage, même si cela signifiait racheter les agriculteurs.

Les représentants de l'agriculture ont mis en garde l'Union européenne sur le fait que de la ferme à la fourchette sapera le secteur alimentaire européen et que davantage de données sont nécessaires sur l'effet de la stratégie sur le secteur agricole. Lorsque le département américain de l'Agriculture a étudié les plans européens, il a constaté un risque d'inflation des prix alimentaires de 20 à 53 % et même un risque élevé de baisse du produit intérieur brut en conséquence directe de la politique. Selon Politico, la commission de l'agriculture du Parlement européen a demandé à la Commission européenne de réviser son évaluation d'impact, car elle ne tient pas compte des effets du COVID-19, de l'inflation des prix alimentaires ou de la guerre en Ukraine.

Malgré les luttes internes sur les réformes agricoles, la Commission européenne poursuit sa politique d'interdiction de certaines importations en Europe. Elle a annoncé que les importations de produits contenant des résidus d'insecticides appartenant au groupe des néonicotinoïdes seront interdites à partir de 2026. Selon l'UE, il existe un risque que ces composés nuisent aux abeilles.

Que ce soit le cas justifie sa propre discussion scientifique, mais plus important encore, cette décision marque un tournant significatif et inquiétant dans l'approche européenne de la réglementation agricole. Plus qu'un simple objectif politique de réduction des produits phytosanitaires en Europe, il tente désormais d'imposer ces règles à ses partenaires commerciaux. C'est certainement l'une des tentatives les plus transparentes de politique par le commerce, mais ce n'est pas très crédible. 

En Europe, de nombreux pays ne respectent pas l'interdiction européenne des néonics : la France dispose d'un délai de trois ans dérogationsur les néonics parce que son industrie de la betterave à sucre aurait été anéantie sans cela. La Belgique utilise également des néonics pour sa production de betterave sucrière. Le Danemark produit des néonics pour les marchés de l'UE et hors UE. Chaque fois que les règles de l'UE ne reflètent pas ce qui est nécessaire dans l'agriculture, les États membres de l'UE peuvent mettre en œuvre des dispositions d'urgence pour autoriser à nouveau un composé chimique.

Même si la Commission européenne dit avoir consulté nos membres de l'Organisation mondiale du commerce sur le départ, il est probable que sa décision sera contestée. Les États-Unis ont formé une opposition plus tôt cette année contre une décision similaire de l'UE d'interdire l'importation de produits traités avec l'insecticide sulfoxaflor, un substitut néonique.

La triste réalité est que les dirigeants de l'UE ont promis des objectifs plus ambitieux qu'ils ne peuvent tenir. La stratégie de la ferme à la fourchette a été dévoilée en mai 2020, alors que l'ampleur de la pandémie de COVID-19 était inconnue, que l'inflation était stable et qu'il n'y avait pas de guerre à grande échelle en Ukraine. 

La commission est confrontée au dilemme d'avoir fixé un objectif politique et non scientifique de réduction des pesticides sans stratégie de substitution, entourée de crises qu'elle peut difficilement contrôler. Cependant, au lieu de revenir sur ses objectifs ambitieux, il ouvre maintenant la voie à une autre guerre commerciale inutile, comme nous en avons assez vu ces dernières années.

Publié à l'origine ici

Les consommateurs risquent de perdre du règlement sur les cartes magnétiques

Des politiciens et une coalition de puissants géants du commerce de détail poussent projets de loi visant à limiter les frais que les entreprises paient lorsqu'un client achète des choses avec une carte de crédit ou de débit. 

Biparti Amendement du Sénat 6201 exigerait que les cartes permettent aux entreprises d'acheminer les paiements via des réseaux non affiliés à Visa ou Mastercard - les deux plus grands émetteurs de cartes du pays et obligerait les émetteurs à mettre tous les réseaux de paiement à la disposition des détaillants pour acheminer les transactions, quel que soit celui que le client souhaite.

Les partisans de l'amendement affirment qu'il sapera l'emprise de Visa et Mastercard sur le secteur des cartes, où ils détiennent collectivement 80% de la part de marché tout en offrant un certain soulagement de l'inflation aux consommateurs en réduisant les coûts de transaction que les entreprises leur répercutent généralement. 

Mais la réalité est plus trouble. L'amendement ne mentionne pas les consommateurs, et rien ne garantit que nous ferons face à des prix plus bas en magasin ou en ligne. Au lieu de cela, les consommateurs risquent de perdre du fait de la diminution des choix, de l'accès au crédit, des transactions moins sécurisées et de l'évaporation des programmes de récompenses et autres avantages.

Les frais d'interchange de cartes ne représentent généralement que 1 à 3 % du prix final, même lorsqu'ils sont répercutés sur les consommateurs. Les restrictions précédentes, comme le plafond des frais d'interchange des cartes de débit en 2010, n'a même pas mené à des économies de coûts pour la plupart des entreprises. Les petites entreprises ont souvent vu leurs coûts augmenter. Seul un petit nombre de grands détaillants ont connu une baisse des coûts. Et 22 % des détaillants ont augmenté les prix facturés aux consommateurs, tandis que 1 % ont baissé les prix. 

Un manque d'avantages significatifs perçus pour la plupart des détaillants pourrait expliquer en partie pourquoi l'Australie, où les institutions financières ont permis aux commerçants de choisir les réseaux de paiement les moins chers pour acheminer les transactions des clients depuis 2018, a vu faibles taux de participation pour cette fonctionnalité.

De plus, les commissions d'interchange aident à payer divers services, y compris les programmes de récompenses, les périodes sans intérêt et les garanties de paiement, afin que les commerçants n'aient pas à se soucier de l'historique de crédit d'un client, des protocoles de sécurité et d'autres services bancaires. Forcer les émetteurs de cartes à réduire les frais qu'ils peuvent prélever signifie des réductions de ces avantages et programmes - réduisant le choix des consommateurs tout en dissuadant la protection contre la fraude et l'innovation en cybersécurité

Ce ne sont pas seulement les riches qui comptent sur ces avantages. Quatre-vingt-six pour cent des titulaires de cartes de crédit ont des cartes de récompenses actives, dont 77 pour cent avec un revenu familial inférieur à $50 000.

Restrictions sur les frais d'interchange en Australie en 2003 a abouti à moins de services, moins d'avantages et des frais annuels plus élevés. Les Américains pourraient bientôt ressentir une douleur similaire.

Les titulaires de carte sont également susceptibles de supporter au moins une partie des $5 milliards de coût de l'infrastructure technique nécessaire pour que les émetteurs se conforment à la modification. Les banques ont également réagi aux précédentes restrictions sur les commissions d'interchange en augmenter les fraisque les Américains sont facturés pour l'ouverture et l'utilisation de comptes chèques, avec moins de banques offrant des comptes sans frais.

Les Américains à faible revenu pourraient être durement touchés par un accès réduit au crédit. Les coopératives de crédit qui desservent les communautés sous-bancarisées sont déjà exprimer des préoccupations sur la politique. Les coopératives de crédit et les banques communautaires comptent également davantage sur les commissions d'interchange pour rester à flot que les grandes banques, qui dépendent davantage des taux d'intérêt. La baisse des commissions d'interchange pourrait contraindre ces institutions à augmenter les taux d'intérêt sur les cartes de crédit, même s'ils servir une proportion plus élevée de titulaires de carte qui n'ont pas de solde ou qui ne paient pas de frais de pénalité.

Le Congrès peut fournir une inflation à long terme et un soulagement du coût de la vie en abrogeant des réglementations coûteuses et contre-productives qui profitent à des intérêts particuliers riches aux dépens des Américains ordinaires. 

Cela est plus logique qu'une réglementation malavisée du système de paiement qui réduira le choix, les avantages et la sécurité des paiements pour les titulaires de carte tout en faisant pression sur les banques et les coopératives de crédit pour qu'elles augmentent les taux d'intérêt et les frais.

Publié à l'origine ici

proche