Bagi banyak orang Indonesia, Bahasa Jepang merupakan salah satu bahasa yang cenderung cukup sulit dipelajari. Mulai dari karakternya yang sangat banyak dan jauh berbeda dengan karakter latin, cara baca, pelafalan, hingga struktur grammar yang sangat berbeda membuat belajar bahasa Jepang memberikan tantangan tersendiri bagi warga Indonesia.
Hal itu lah yang membuat salah satu warga asal kota Bengkulu, Afrianto, membuka lembaga pendidikan bahasa Jepang di kota tempat ia tinggal. Afrianto sendiri merupakan salah satu mantan pekerja migran yang pernah bekerja di Jepang dari tahun 2017 hingga 2021. Melalui pengalaman kerjanya, ia mendirikan lembaga pendidikan tersebut, dan sudah memiliki sekitar 250 migran dan 50 orang yang sudah mendapatkan pekerjaan di perusahaan Jepang (kompas.com, 16/1/2025).
1.300km dari kota Bengkulu, tepatnya di kota Yogya, Bambang Sutrisno juga menjadi salah satu contoh kesuksesan pekerja migran yang berhasil membawa ilmu dan pengetahuannya di tanah air. Sebelumnya, ia pernah bekerja di Korea Selatan, dan banyak belajar cara mengelola usaha di negara tersebut. Saat ini, ia memiliki usaha kuliner “Jempol Food” yang telah mengeluarkan berbagai produk kuliner yang sangat beragam (kompas.com, 16/1/2025).
Perjalanan hidup Afrianto dan Bambang Sutrisno merupakan beberapa kisah keberhasilan banyak pekerja migran Indonesia yang mencari rezeki di luar negeri. Ketika pulang ke tanah air, mereka bisa menggunakan pengalaman dan pelajaran yang mereka dapatkan untuk membuka usaha, dan membantu serta mengembangkan perekonomian masyarakat di sekitar mereka, bahkan bisa juga hingga di skala yang lebih luas dan membawa manfaat ke lebih banyak orang.
Untuk itu, kesempatan bagi warga negara untuk belajar dan mencari rejeki di luar negeri merupakan salah satu hal yang harus didorong dan didukung. Ada kesempatan yang sangat luas bagi para pekerja Indonesia yang ingin bekerja di luar negeri, terlebih lagi mengingat Indonesia masih masuk ke dalam kategori negara berkembang. Para pekerja migran yang bekerja di negara maju seperti Jepang dan Korea Selatan memiliki kesempatan yang sangat besar untuk melakukan transfer pengetahuan, dan mengimplementasikan ilmu dan pengalaman yang mereka dapatkan di Indonesia.
Secara total, pekerja migran Indonesia di luar negeri juga telah memberikan manfaat yang signifikan terhadap devisa Indonesia. Pada tahun 2023 misalnya, Deputi Gubernur Bank Indonesia mencatat sumbangan pekerja migran untuk devisa Indonesia sekitar USD 14,2 miliar, atau sekitar 230 triliun rupiah (liputan6.com, 31/5/2024).
Tidak bisa dipungkiri bahwa, menjadi pekerja migran di luar negeri bukan sesuatu yang tanpa risiko. Ada berbagai kasus misalnya tindakan kriminal yang dilakukan oleh berbagai pihak seperti pihak penyalur dan juga mereka yang mengklaim sebagai pemberi kerja di luar negeri, seperti penipuan hingga pekerja paksa.
Untuk itu, perlindungan bagi pekerja migran di Indonesia tentu merupakan hal yang sangat diperlukan, untuk mencegah berbagai praktik kriminal tersebut. Terlebih lagi, mengingat angka pekerja migran di Indonesia bukan sesuatu yang kecil. Pada tahun 2023 misalnya, tercatat ada 296.970 pekerja migran asal Indonesia (emedia.dpr.go.id, 19/3/2025).
Namun, jangan sampai berbagai aturan tersebut justru menjadi kontra produktif dengan menyulitkan dan menambahkan hambatan terhadap warga Indonesia yang ingin bekerja di luar negeri. Hambatan ini bisa dalam berbagai bentuk, seperti misalnya izin dan persyaratan yang berbelit, dan lain sebagainya.
Dalam aspek dokumen misalnya, ada banyak dokumen yang harus dimiliki dan disediakan oeh para calon pekerja migran di Indonesia. Tidak hanya visa kerja misalnya, tetapi juga berbagai dokumen lain seperti surat keterangan kesehatan, sertifikat kompetensi kerja, dan juga surat izin dari pihak yang menjadi wali dari calon pekerja migran tersebut (bpjsketenagakerjaan.go.id, 11/2/2025).
Beberapa dokumen yang disyaratkan oleh pemerintah misalnya, terlihat sebagai sesuatu yang cukup berlebihan. Setiap perusahaan, apalagi perusahaan luar negeri yang beroperasi di negara maju, tentu memiliki Standard Operating Procedure (SOP) dan persyaratan masing-masing mengenai calon karyawan yang dianggap cocok dan akan diterima untuk bekerja di tempat mereka.
Oleh karena itu, persyaratan adanya sertifikat kompetensi kerja misalnya, bukan merupakan ranah yang harus diatur oleh pemerintah, termasuk juga syarat surat kesehatan misalnya. Bila sebuah perusahaan menentukan syarat tertentu seperti sertifikat kompetensi dan juga surat kesehatan, maka calon karyawan yang akan mendaftar dan bekerja tentunya akan menyediakan dokumen tersebut.
Belum lagi, bila kita lihat dari sudut pandang konstitusional, hak untuk bekerja merupakan salah satu hak yang dijamin oleh konstitusi Indonesia melalui Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 27 ayat (2). Hal ini tentunya juga harus mencakup hak warga Indonesia yang memutuskan untuk mencari rezeki di berbagai tempat di seluruh dunia, dan bukan hanya di tanah air.
Dengan demikian, sudah sepatutnya aturan untuk warga Indonesia yang ingin menjadi pekerja migran di luar negeri tidak dipersulit dengan berbagai persyaratan izin dan dokumen yang berbelit. Kita harus bisa memberikan kebebasan yang luas bagi warga Indonesia untuk memilih pekerjaan dan memutuskan untuk bekerja mencari nafkah dan pendapatan di tempat yang mereka inginkan.
Sebagai penutup, kita tidak bisa memungkiri bahwa ada banyak risiko berbahaya yang dihadapi oleh para pekerja migran di Indonesia. Namun, fokus penanganan dan perlindungan atas hal tersebut harus lah dalam bentuk penindakan terhadap organisasi kriminal yang melakukan berbagai tindakan kejahatan yang merugikan dan merampas hak para pekerja migran di Indonesia, dan bukan justru menambahkan beban para calon pekerja migran Indonesia dengan berbagai syarat dan dokumen yang harus dipenuhi.
Publicado originalmente aquí