fbpx

Mes: pmñ2021 f27422021-09-30T12:27:42+00:00pmjueves

Pentingnya Reformasi Regulasi Hak Kekayaan Intelektual di Indonesia

Perlindungan hak kekayaan intelektual merupakan salah satu permasalahan besar di negara kita. Lemahnya penegakan hukum untuk melindungi hak kekayaan intelektual membuat fenomena pembajakan sangat marak dan umum terjadi di Indonesia, baik secara offline maupun secara atrevido.

Kita tidak perlu pergi jauh-jauh untuk mengamati peristiwa tersebut. Bila kita pergi ke pusat perbelanjaan yang berada di dekat rumah kita, dengan mudah kita bisa menemukan berbagai produk bajakan yang dijual bebas, mulai dari produk-produk fashion, hingga produk-produk musik dan film. Hal yang sama juga bisa kita temukan dengan mudah di dunia maya.

Hal ini tentu merupakan masalah yang tidak kecil. Bila hak kekayaan intelektual tidak dilindungi, maka hal ini akan membawa kerugian yang besar bagi banyak pekerja kreatif dan inovator, khususnya mereka yang tinggal di Indonesia. Mereka menjadi tidak bisa mendapatkan manfaat ekonomi dari karya yang mereka buat dengan susah payah.

Tanpa adanya perlindungan hak kekayaan intelektual yang baik dan kuat, tentu industri kreatif menjadi sangat sulit atau bahkan hampir mustahil dapat berkembang.

Bila seorang inovator atau pekerja kreatif tidak bisa menikmati dan mendapatkan manfaat ekonomi dari karya yag dihasilkannya, maka tidak mustahil insentif mereka untuk berkarya akan semakin berkurang, karena karya yang mereka hasilkan dengan mudah bisa dicuri oleh pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab.

Untuk itu, perlindungan hak kekayaan yang kuat menjadi hal yang sangat krusial yang harus ditegakkan, agar ekonomi kreatif dan inovasi di sebuah negara dapat semakin meningkat, termasuk juga tentunya di Indonesia. Dengan semakin berkembangnya ekonomi kreatif, tentu juga akan semakin banyak lapangan kerja yang terbuka, yang akan meningkatkan kesejahteraan.

Ekonomi kreatif sendiri memiliki peran yang penting dalam perekonomian Indonesia. Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik (BPS), industri kreatif merupakan salah satu sektor yang menjadi penopang pertumbuhan ekonomi nasional, dan telah menyumbangkan 7,44% Produk Domestik Bruto (PDB), dan menyerap 14,28 tenaga kerja yang ada di Indoensia (ekonomi.bisnis .com, 3/9/2021). Dengan demikian, industri kreatif adalah sekto yang sangat penting, dan bila sektor ini berkembang, maka jutaan masyarakat Indonesia yang mendapatkan manfaatnya.

Penguatan terhadap penegakan perlindungan hak kekayaan intelektual adalah hal yang sangat penting. Namun, hal tersebut bukanlah satu-satunya kebijakan penting yang harus diimplementasikan. Melindungi hak kekayaan intelektual para pekerja kreatif dan juga inovator, harus pula dibarengi dengan kepastian bahwa mereka bisa memanfaatkan kekayaan intelektual yang mereka miliki tersebut untuk mendapatkan biaya dan modal demi mengembangkan usaha yang mereka miliki.

Bila hak kekayaan intelektual para pekerja kreatif dilindungi, dan segala bentuk praktik pembajakan dapat ditindak tegas, namun mereka yang membuat karya dan memiliki kekayaan intelektual tersebut tidak bisa memanfaatkan kekayaan yang mereka miliki secara maksimal, maka tentu upaya untuk mendongkrak industri dila sangri kreatif menja sukreatif. Kalau demikian keadaannya, maka akan sangat sulit bagi para pekerja kreatif dan para inovator untuk bisa mendapatkan modal untuk mengembangkan usaha yang mereka miliki.

Untuk itu dibutuhkan reformasi yang sangat penting untuk memberikan kepastian agar para inovator dan pekerja kreatif bisa memanfaatkan kekayaan intelektual yang mereka miliki secara maksimal. Dengan demikian, mereka memiliki kesempatan yang lebih besar untuk mengembangkan usaha dan bisnis yang dijalankannya, yang tentunya juga akan semakin membuka lapangan kerja bagi banyak orang.

Beberapa pejabat negara dan pembuat kebijakan juga menaruh harapan atas perihal kebijakan reformasi tersebut. Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Menparekraf), Sandiaga Uno, misalnya, menyampaikan bahwa ia ingin agar reformasi perihal hak kekayaan intelektual itu untuk dipercepat. Salah satu yang paling penting adalah bagaimana kekayaan intelektual yang dimiliki tersebut bisa dijadikan sebagai agunan pinjaman (nasional.sindonews.com, 31/8/2021).

Menteri Sandiaga sendiri juga mengatakan bahwa, Kemenparekraf sedang menyiapkan rancangan peraturan untuk pmelaksanakan Undang-Undang Ekonomi Kreatif tahun 2019. Undang-undang tersebut mengatur skema pembiayaan yang basednya pada kekayaan intelektual yang sudah didaftarkan ke Direktorat Jenderian KekIN Astelekuan Manmenteia ( mediaindonesia.com, 26/4/2021).

Reformsi ini adalah hal yang sangat penting agar para pelaku ekonomi kreatif dan para inovator yang memiliki kekayaan intelektual tersebut dapat lebih mudah bila mereka ingin mendapatkan pembiayaan untuk dijadikan modal usaha, atau mengembangkan usaha yang dimiliki. Regulasi ini bila berhasil disahkan maka akan menjadi terobosan baru yang besar untuk mengembangkan industri kreatif di Indonesia.

Maka dari itu, perlindungan kekayaan intelektual yang kuat dan adanya reformasi regulasi yang memungkinkan para inovator dan pelaku industri kreatif untuk memanfaatkan kekayaan intelektual yang mereka miliki agar mampu membangun dan mengembangkan usahanya adalah dua hal yang tidak bisa dipisahkan. Agar kekayaan intelektual bisa dijadikan agunan pinjaman misalnya, tentu harus diikuti pula dengan perlindungan yang kuat agar kekayaan intelektual tersebut tidak bisa dicuri.

Sebagai penutup, kebijakan reformasi kekayaan intelektual ini merupakan hal yang sangat patut kita apresiasi. Diharapkan, dengan adanya reformasi regulasi ini, industri kreatif di Indonesia akan semakin berkembang, lapangan pekerjaan akan semakin meluas, dan Indonesia dapat menjadi negara yang semakin sejahtera.

Publicado originalmente aquí

La UE no debería ceder ante los grupos de presión que piden prohibiciones de productos químicos en los cosméticos

Un vistazo rápido a las políticas de la Unión Europea muestra una clara tendencia a sobrerregular, en aras de la precaución. Eso es especialmente evidente, aunque no limitado a, en el caso de los bienes de consumo y las prácticas agrícolas modernas. Sin embargo, restringir los OGM y los pesticidas no ha sido suficiente para los activistas verdes. Los productos químicos en cosméticos y productos de cuidado personal podrían ser los siguientes.

De manera similar a cómo se usan los pesticidas para proteger los cultivos, los químicos en los cosméticos preservan los productos de belleza, los mantienen libres de bacterias y hongos, y aseguran que duren más. Los productos químicos juegan un papel importante en la fabricación de cosméticos rentables. Además, la mayoría de los productos químicos se utilizan en niveles seguros y no suponen ningún riesgo para nuestra salud y bienestar. La concentración máxima permitida de parabenos, según el Comité Científico de Seguridad del Consumidor de la UE, es de 0,8. La mayoría de los productos de belleza que se usan están muy por debajo de ese umbral. Los lápices labiales, por ejemplo, contienen solo hasta un 0,35 por ciento de parabeno y un 0,5 por ciento del químico se puede encontrar en aceites de baño, tabletas y sales.

Lee el artículo completo aquí

La táctica liderada por la ONU para frenar la innovación en el mundo en desarrollo solo está bloqueando la prosperidad

Por qué la 'Convención de Estocolmo', que evita los riesgos, respalda prohibiciones dañinas y frena el progreso donde más se necesita.

Entre las naciones desarrolladas, uno de los impulsores más importantes del crecimiento económico y la prosperidad ha sido la capacidad de nuestros innovadores, científicos y empresarios para ofrecer excelentes productos a los consumidores que los necesitan.

Sólo tenemos que pensar en el avances en la tecnología de las lavadoras, que ha liberado horas de trabajo doméstico, plástica y siliconas, que han permitido que los productos se fabriquen a bajo costo y duren más, y más uso abundante de chips de computadora en nuestros electrodomésticos, lo que ha permitido una revolución "inteligente" en productos de consumo que nos ahorran tiempo y esfuerzo en el hogar, lo que alimenta las revoluciones en inteligencia artificial y tecnología médica.

Si bien estas innovaciones también están comenzando a llegar a los países en desarrollo, existen tratados internacionales y organismos reguladores que hacen que sea más difícil y costoso vender o incluso acceder a estos productos. Esto afecta significativamente la vida de un consumidor y su capacidad para mantener a sus familias.

Uno de esos tratados de las Naciones Unidas es un pacto global poco conocido conocido como el Convenio de Estocolmo, que tiene como objetivo regular las sustancias químicas de larga duración o “persistentes”, y se ha convertido en el regulador mundial no oficial de los productos industriales y de consumo y su composición.

Muchas de las sustancias y compuestos primer objetivo por la convención eran pesticidas, productos químicos industriales y subproductos que tenían efectos nocivos conocidos para los seres humanos o el medio ambiente. Estos incluían aldrín, clordano y, lo que es más controvertido, el insecticida que mata la malaria conocido como DDT.

La idea principal detrás de estas restricciones, y la propia convención de la ONU, es que estos compuestos tardan una eternidad en descomponerse en el medio ambiente y, finalmente, ingresan a nuestros cuerpos a través de la contaminación del agua o los alimentos, y podrían representar un peligro eventual para los organismos.

Desafortunadamente, desde que se lanzó la convención en 2001, ha pasado de prohibir y restringir las sustancias peligrosas conocidas a aplicar ahora etiquetas de precaución o mandatos judiciales completos sobre los productos químicos utilizados en la vida cotidiana y con ningún factor de riesgo conocido o medido en humanos o especies animales.

Además, con un gran presupuesto internacional y una supervisión limitada, los investigadores han notado cómo la implementación financiera de la convención a menudo ha empujado a los países en desarrollo a adoptar restricciones o prohibiciones solo para la garantía de financiamiento, algo que se ha observado con los tratados relacionados con la ONU sobre productos de vapeo, y puede tener algunos complicaciones para el comercio mundial.

Ahora en su vigésimo año, la convención ha confiado repetidamente en la Unión Europea “principio de precaución” cuando se trata de determinar el riesgo, lo que significa que cualquier peligro general, sin importar el factor de riesgo, debe abandonarse por precaución. Esto descuida el marco científico normal de equilibrar el riesgo y la exposición.

El ejemplo del herbicida diclorodifeniltricloroetano, conocido como DDT, presenta uno de los casos más evidentes. Aunque ha sido prohibido en muchas naciones y bloques desarrollados como los Estados Unidos y la Unión Europea, todavía se usa en muchas naciones en desarrollo para acabar con los insectos que transmiten la malaria y otras enfermedades. En estas naciones, incluidas Sudáfrica e India, el posible daño es “ampliamente superado” por su capacidad para salvar la vida de los niños.

El mecanismo actual, por lo tanto, considera los deseos de las naciones desarrolladas que no tienen que lidiar con enfermedades tropicales como la malaria y obliga a cumplir con este estándar en aquellas que sí lo tienen. El análisis científico encontrado en las reuniones globales del Convenio de Estocolmo no tiene en cuenta este factor, y muchos otros.

Con un principio de precaución como este, incluido un proceso liderado más por la política que por la ciencia, uno puede ver fácilmente cómo se puede frustrar el crecimiento económico en las naciones que aún tienen acceso de los consumidores a los productos que usamos a diario en los países desarrollados.

Ya se trate de pesticidas, productos químicos domésticos o plásticos, está claro que un organismo regulador global para regular estas sustancias es una fuerza deseada para el bien. Sin embargo, si una organización internacional aplica malas políticas en los países de medianos y bajos ingresos, entonces ese es un cálculo que perjudica el progreso y la innovación potenciales en el mundo en desarrollo.

Publicado originalmente aquí

La brecha de la energía nuclear en Europa

Los activistas climáticos se oponen a su uso incluso cuando las alternativas conducen a un aumento de las emisiones y al aumento de los precios de la electricidad.

La semana pasada fue una gran semana para Fridays For Future, el grupo ecologista inspirado en Greta Thunberg. Thunberg habló en un gran mitin en Berlín el viernes ante cientos de miles de seguidores, lanzando lo que parece ser el gran regreso del movimiento de acción climática en Europa luego de meses de restricciones a grandes reuniones debido a la pandemia. En 2019, alrededor de 6 millones de manifestantes se unieron al movimiento en las calles, exigiendo cambios de política más radicales para abordar el cambio climático. “No debemos rendirnos, ya no hay vuelta atrás”, dijo Thunberg, apelando a sus partidarios para que mantengan la presión sobre los gobiernos europeos.  

Pero un incidente de la manifestación ilustra una gran división en Europa sobre cómo lograr los objetivos del movimiento ambiental. Un ambientalista pro-nuclear fue atacado violentamente por la multitud que la rodeaba, y su cartel fue removido y destruido. Incluso cuando los activistas climáticos presionan para eliminar los combustibles fósiles a base de carbono, muchos en el movimiento siguen oponiéndose a la energía nuclear. 

Lee el artículo completo aquí

Los argumentos a favor y en contra de los cargadores universales

La Comisión Europea presiona para establecer USB-C como estándar para todos los teléfonos

La Comisión Europea está siendo criticada por el gigante tecnológico Apple después de revelar planes para hacer que los conectores USB-C sean el puerto de carga estándar para todos los teléfonos y pequeños dispositivos electrónicos vendidos en la UE. 

El organismo ejecutivo del bloque "cree que un cable estándar para todos los dispositivos reducirá los desechos electrónicos", informó Francia 24. Pero Apple y otros críticos argumentan que "un cargador único para todos retrasaría la innovación y crearía más contaminación", continúa el sitio de noticias.

Las nuevas reglas podrían "afectar a todo el mercado global de teléfonos inteligentes" si son aprobadas por el Parlamento Europeo y los estados miembros de la UE, que alberga a más de 450 millones de personas, incluidos "algunos de los consumidores más ricos del mundo".

Lee el artículo completo aquí

La UE quiere unificar los cargadores nuevamente, apuntando específicamente a Apple

Hace varios años, la Unión Europea anunció que quería unificar los cargadores de móviles de todos los fabricantes. El objetivo era eliminar los desechos electrónicos porque antes cambiar de teléfono a menudo significa obtener un cargador nuevo y completamente diferente. Pero, cuando la UE se involucró, casi todos los principales fabricantes ya usaban micro-USB. Ahora, la UE está buscando actualizar el requisito, modernizándolo para USB-C y eliminando la laguna restante.

¿Cuál es la situación actual?

Actualmente, las regulaciones de la UE requieren que todos los teléfonos puedan cargarse a través de un cargador universal (originalmente micro-USB, pero USB-C también califica). En el momento de las regulaciones originales, el único fabricante importante que no usaba el puerto de carga micro-USB era Apple, que es famoso por usar su conector Lightning patentado. La universalidad del conector micro-USB es atractiva para intercambiar entre teléfonos, pero Apple argumentó que su conector Lightning le brindaba capacidades que no ofrece el micro-USB.

Este argumento permitió a Apple encontrar un término medio con los reguladores de la UE, poniendo a disposición de todos los propietarios de iPhone y iPad un adaptador micro-USB a Lightning. Esto les permitiría usar los cargadores que ya tienen con sus nuevos teléfonos, que es exactamente lo que la UE estaba tratando de lograr. Pero, en los últimos años, las cosas han cambiado en la industria, lo que ha llevado a algunos cambios en las regulaciones.

Lee el artículo completo aquí

El Parlamento Europeo expresa su preocupación por la propiedad intelectual de Lira y Pacheco

Carta mostra apreensão com derrubada de veto ao trecho que exige que donos de patentes sejam obrigados to transfer or conhecimento

Parlamento Europeo enviou nesta quinta-feira (23/9) uma carta ao Congresso em que mostra preocupação com a votação de um veto sobre propiedad intelectual. O veto faz parte da lei assinada por jair bolsonaroneste mês para quebrar temporariamente patentes de vacunas y medicamentos para enfrentar emergências de saúde.

Na carta, enviada a Rodrigo Pacheco y Arthur Lira, o Parlamento Europeo se posiciona a favor da manutenção de um veto Bolsonaro ao trecho que exige que donos de patentes sejam obrigados a transfer or conhecimento das suas.

Avaliação é que, caso o veto seja derrubado, haverá uma violação de segredos industrialis. A carta teve apoio do grupo internacional de defensa dos consumidores Consumer Choice Center e da Frente Parlamentar pelo Livre Mercado.

Lee el artículo completo aquí

El problema con la política de pesticidas de la EPA

Si eres un consumidor habitual de memes, es probable que hayas oído hablar del herbicida atrazina ampliamente utilizado. El locutor de la teoría de la conspiración, Alex Jones, mencionó el químico en un segmento ahora viral que afirma que "vuelve gay a la rana". Jones había basado sus afirmaciones en la investigación de un profesor de biología de Berkeley llamado Tyrone Hayes. En 2002, Hayes publicó un estudio que afirmaba encontrar "ranas hermafroditas y desmasculinizadas después de la exposición al herbicida atrazina en dosis bajas ecológicamente relevantes".

Aunque se disfrazó de ciencia y eventualmente se convirtió en un meme, esas afirmaciones fueron no revisado por pares, y Hayes nunca proporcionó datos para respaldar sus conclusiones. Por extraño que parezca, ninguno de los otros más de 7000 estudios científicos que establecieron la seguridad de la atrazina llegaron a la misma conclusión.

Sin embargo, este herbicida tiene oponentes más allá del ámbito de los teóricos de la conspiración, no por sus características inherentes, sino porque los activistas ambientales intentan cada vez más prohibir todos los pesticidas. A diferencia de la Unión Europea, EE. UU. ha mantenido un estándar razonable sobre las sustancias estudiadas permitidas para su uso en la agricultura moderna porque EE. UU. no persigue el objetivo de impulsar un tipo de política de “solo alimentos orgánicos” . Desafortunadamente, eso parece estar cambiando.

Cuando la Agencia de Protección Ambiental volvió a autorizar la atrazina en 2019, lo hizo de acuerdo con un mandato por la Ley Federal de Insecticidas, Fungicidas y Rodenticidas para considerar tanto los riesgos como los beneficios derivados del registro. La agencia reconsideró el llamado nivel de preocupación de concentración equivalente, un umbral regulatorio conservador destinado a proteger los ecosistemas acuáticos del daño del herbicida. La EPA prácticamente volvió a autorizar el uso de atrazina por parte de los agricultores después de que una evaluación de la EPA de 2016 propusiera reducir el umbral de 10 partes por mil millones a 3,4 partes por mil millones. En el umbral de 3,4 ppb, la atrazina no se puede utilizar en la práctica, lo que hace que la CELOC sea tan restrictiva que la sustancia no se habría permitido en el mercado nacional.

Para los agricultores, la atrazina y otros herbicidas como el glifosato, el glufosinato y el 2,4-D juegan un papel vital en la eliminación de malezas que, de otro modo, tendrían que ser manejadas mediante una mayor labranza. Esta “labranza de conservación”, como se le llama, reduce la erosión del suelo y la escorrentía. El aumento de la labranza del suelo sería, en general, peor para el medio ambiente, como la labranza también reduce residuos de cultivos, que ayuda a amortiguar la fuerza de las gotas de lluvia.

La lucha por la atrazina tiene a la nueva EPA envuelta en una batalla legal. Luego de las demandas de las organizaciones ambientales contra la reautorización de la atrazina, la EPA ahora solicita a la Corte de Apelaciones del Noveno Circuito en San Francisco que se instruya a sí misma para reconsiderar la evaluación anterior. Con este movimiento, la EPA se aleja del enfoque científico de la evaluación de riesgos y beneficios al eludir los períodos de reevaluación recurrentes. Al elegir un tribunal políticamente conveniente para permitir un "reinicio" del proceso, la EPA sigue la política, no el rigor científico.

Esta no es la primera vez que la EPA hace esto. En un movimiento igualmente inquietante, la agencia en mayo usado una demanda de organizaciones ambientalistas contra el registro de glifosato para pedirle a un Tribunal del Noveno Circuito que le diga a la EPA que reconsidere ciertas decisiones anteriores sobre el impacto ecológico del herbicida ampliamente utilizado. Usar el sistema judicial para revisar decisiones regulatorias establecidas corre el riesgo de politizar un proceso, en este caso la revisión regular del registro de herbicidas y pesticidas, que está construido y diseñado para ser apolítico y funcionar de la misma manera, independientemente de quién esté en el White. Casa.

Si el objetivo del gobierno federal es seguir una hoja de ruta al estilo europeo para aumentar la agricultura orgánica a pesar de que solo el 4% de los consumidores estadounidenses realmente demandan estos productos, entonces esa es una conversación política que debe ser abierta y transparente.

Sin embargo, privar cada vez más a los agricultores convencionales de las herramientas esenciales que necesitan para proteger sus cultivos contra las amenazas naturales es una forma clandestina de perjudicar tanto a los agricultores como a los consumidores sin contribuir a una discusión fructífera.

Abrir las compuertas de cambios administrativos y una avalancha de demandas no beneficia a nadie más que a unos pocos bufetes de abogados adinerados. Imagine la escena de la agricultura orgánica sujeta al mismo tipo de escrutinio. ¿Sería productivo para una administración posterior y ONG amigas de sus causas atacar sin descanso el sulfato de cobre, un pesticida comúnmente utilizado en la agricultura orgánica?

La diversidad en la agricultura permite a los empresarios agrícolas elegir los métodos de producción con los que se sienten más cómodos, al tiempo que permite a los consumidores elegir los alimentos que más les gustan. En esta ecuación, el papel de las agencias de protección ambiental es evaluar la ciencia de manera imparcial, al margen de las prioridades políticas del momento. Al menos en la actualidad, ese es un objetivo que la EPA debería adoptar en lugar de dejar de lado.

Publicado originalmente aquí

Por qué las empresas de Filadelfia deberían dar la bienvenida a la expansión de Amazon

El capitalismo de amigos es la amenaza real para el éxito de las pequeñas empresas

El bombardeo de contratación de Amazon en el área de Filadelfia, anunciado la semana pasada, en general ha sido recibido con aprobación. El alcalde de Filadelfia, Jim Kenney, calificó el plan de Amazon de contratar a 4.800 empleados como un "gran paso en el camino hacia la recuperación". Pero la segunda empresa más grande del país no está exenta de críticas. La grandiosidad de Amazon se considera razón suficiente para justificar la sospecha y constante interrogación.

Pero nuestra tendencia a asociar lo grande con lo malo se basa en parte en hacer creer. Las películas representan rutinariamente a los magnates, como Jeff Bezos de Amazon, como monstruos (piense en cualquier rico villano de una película de Marvel), y siempre se presenta a los grandes minoristas como tragando pequeñas tiendas (piense en Tom Hanks en Tienes un nuevo correo o Danny DeVito en Dinero de otras personas).

Lee el artículo completo aquí

Europarlamentares enviar carta a Brasilia em defensa da PI

Na última quinta-feira, 23 de Setembro, 12 miembros do Parlamento Europeu, de 5 nacionalidades diferentes e dos mais diversos partidos políticos expressaram suas sinceras preocupações com o futuro das relações entre Brasil e UE aos Presidentes da Câmara dos Deputados, Arthur Lira, e do Senado Federal, Rodrigo Pacheco.

Na carta, os parlamentares questionam as as indústrias europeias, de vários setores que dependm of proteção de PI, podem investir e comercializar no Brasil após a Lei nº 14.200 de 2 de septiembre de 2021, que perjudica o ambiente de propiedad intelectual (PI) no Brasil, ser aprovada.

Esta semana, os parlamentares devem votar se mantém ou não os artigos que foram vetados for Bolsonaro na Lei nº 14.200, em especial os párrafos 8, 9 y 10 que falam sobre a transferência de conhecimento (know-how) do objeto protegido.

A carta isponível na íntegra AQUI

Vuelve al comienzo
es_ESES