fbpx

Monat: 11J

Verbesserung von Amerikas Zähnen

Wann waren Sie das letzte Mal beim Zahnarzt? Wenn Sie jetzt Ihren Kalender öffnen, um Ihren letzten Termin zu überprüfen, ist es wahrscheinlich zu lange her. Es gibt keine allgemeine Regel zur Regelmäßigkeit, die für alle Patienten gilt, nicht zuletzt, weil wir alle unterschiedliche Lebensstile haben. Wenn Sie jedoch Tabak konsumieren, regelmäßig Alkohol trinken oder Zweifel haben, ob Ihre tägliche Mundhygiene den Standards entspricht, ist eine gute Faustregel, alle sechs Monate einen Zahnarzttermin zu vereinbaren.

Für viele Amerikaner sind die rudimentären Kosten einer Routineuntersuchung beim Zahnarzt überschaubar. Trotz der Tatsache dass Die meisten Zahntarife decken 100% der Kosten für Vorsorgeuntersuchungen ab, scheinen viele Amerikaner sich ihrer Vorteile nicht bewusst zu sein. Obwohl 80% Amerikaner Zugang zu zahnärztlichen Leistungen haben, haben fast 35% der Erwachsenen laut der National Association of Dental Plans im Jahr 2019 keinen Zahnarzt aufgesucht. Sowohl für die 20% der Amerikaner, die entweder nicht erwerbstätig sind oder deren vom Arbeitgeber gewählter Versicherungsplan keine Zahnbehandlung abdeckt, als auch für die bestehenden versicherten Patienten wäre es wichtig, den Wettbewerb durch Abonnementmodelle zu erhöhen. Meine Kollegin Yaël Ossowski hat die Vorteile solcher Abonnements erklärt im Boston Herald.

Die Verbesserung der amerikanischen Mundhygiene geschieht nicht nur durch die politische Ebene des zunehmenden Wettbewerbs oder, wie einige argumentieren, durch eine stärkere Beteiligung der Regierung im Bereich der Gesundheitsversorgung. In erster Linie geschieht die Mundhygiene zu Hause durch Zähneputzen und Zahnseide. Leider greifen hier die Gewohnheiten einiger Amerikaner zu kurz.

Eine Studie aus dem Jahr 2021 in Auftrag gegeben der American Association of Endodontists zeigte, dass 21% der Befragten ihre Zähne morgens nicht putzen, 23% nie Zahnseide verwenden und 28% das ganze Jahr über keinen Zahnarzttermin vereinbaren. Das hatte eine Analyse von 5.000 Männern und Frauen aus dem Jahr 2016 ergeben 32 Prozent der Amerikaner verwenden niemals Zahnseide. All dies wird gepaart mit Schlagzeilen weniger repräsentativer Umfragen, die zeigen, dass Amerikaner meist nur einmal am Tag putzen, wenn überhaupt.

Ein Faktor, der von vielen unterschätzt wird, ist die Wirksamkeit des Kauens von zuckerfreiem Kaugummi. Die American Dental Association sagt, dass das Kauen von zuckerfreiem Kaugummi zwar kein Ersatz für das Zähneputzen ist, aber Kaugummis, die mit nicht kariesverursachenden Süßstoffen wie Aspartam, Xylit, Sorbit oder Mannit gesüßt sind, helfen können, Karies vorzubeugen. Der beim Kauen produzierte Speichel wäscht Speisereste weg und neutralisiert Säuren und trägt auch mehr Kalzium und Phosphat mit sich, um den Zahnschmelz zu stärken.

Die Europäische Behörde für Lebensmittelsicherheit (EFSA), bekannt für ihre vorsichtige Bewertung von Produktaussagen, abgeordnet die Einschätzung, dass zuckerfreier Kaugummi die Zahnmineralisierung verbessert und somit insgesamt Vorteile für die Mundgesundheit hat. Es bleibt wichtig zu wiederholen, dass zuckerfreier Kaugummi keinesfalls eine regelmäßige Mundhygiene ersetzen kann; es ist jedoch ein Ergänzung zur Mundhygiene Das macht es zu mehr als nur einem Lifestyle, sondern zu einem Wellness-Produkt.

Mundhygiene ist ein wichtiger Faktor in unserem täglichen Leben. Karies und anhaltende Zahnprobleme plagen viele Amerikaner und belasten sie mit hohen Zahnarztkosten. Sowohl auf politischer als auch auf individueller Ebene bleibt noch viel zu tun, um die Mundgesundheit aller Bürger zu verbessern.

Ursprünglich veröffentlicht hier

Apa Yang Bisa Kita Pelajari oder Kebijakan Vape aus den Philippinen?

Vape atau rokok elektrik saat ini merupakan salah sat produk konsumen yang digunakan oleh jutaan orang di seluruh dunia, termasuk juga di Indonesia. Saat ini, dengan sangat mudah kita bisa menemukan berbagai orang yang menggunakan rokok elektrik di berbagai tempat, terlebih lagi bila kita tinggal di wilayah urban dan kota-kota besar.

DI negara kita sendiri, konsumsi vape atau rokok kelektrik oleh para konsumen merupakan fenomena yang kian meningkat dari tahun ke tahun. Pada tahun 2018 misalnya, diperkirakan ada sekitar 2,1 juta penduduk Indonesien yang menjadi pengguna vape. Angka tersebut meningkat di tahun 2020 menjadi 2,2 juta orang yang menjadi konsumen rokok elektrik (vapemagz.co.id, 24/1/2021).

Semakin meningkatnya pengguna vape di Indonesia tentunya memberikan steamak yang signifikan terhadap industri di sektor tersebut. Industri rokok eleektrik, atau produk-produk tembakau alternatif secara keseluruhan, yang meningkat, tentu akan memberikan lapangan kerja yang besar bagi banyak tenaga kerja di Indonesia. Saat ini, industri rokok elektrik di Indonesia setidaknya sudah berhasil menyerap 100.000 tenaga kerja di Indonesia (liputan6.com, 13/6/2022).

Akan tetapi, tidak semua pihak mengapresiasi adanya fenomena tersebut. Tidak sedikit yang berpandangan bahwa fenomena semakin meningkatnya industri vape di Indonesia merupakan hal yang sangat negatif, dan berbahaya bagi kesehatan öffentlich. Hal ini dikarenakan, mereka menyandingkan rokok elektrik dengan rokok konvensional yang dibakar, dan memiliki Dammak yang sama atau bahkan lebih berbahaya dari rokok konvensional yang dibakar.

Hal ini tentu merupakan pandangan yang kurang tepat. Berbagai lembaga kesehatan dunia telah mengeluarkan laporan yang menyatakan bahwa vape atau rokok elektrik merupakan produk yang jauh lebih tidak berbahaya bila dibandingkan dengan rokok konvensional yang dibakar. Lembaga kesehatan asal Britania Raya, Public Health England (PHE) misalnya, beberapa waktu lalu mengeluarkan laporan yang menyatakan bahwa rokok elektrik 95% lebih tidak berbahaya bila dibandingkan dengan rokok konvensional yang dibakar (theguardian.com, 28.12.2018).

Sangat Penting ditekankan bahwa, menyatakan bahwa vape atau rokok elektrik 95% lebih aman bila dibandingkan dengan rokok konvensional bukan berarti bahwa vape merupakan produk yang 100% aman tanpa resiko. Hal ini berarti, tetap ada resiko kesehatan bagi konsumsi vape atau rokok elektrik, namun resiko tersebut jauh lebih kecil bila dibandingkan dengan rokok konvensional yang dibakar.

Oleh karena itu, beberapa negara di dunia telah secara resmi mengeluarkan kebijakan yang ditujukan untuk memberi insentif bagi para perokok untuk berpindah ke rokok elektrik, atau yang dikenal dengan kebijakan harm reduction. Inggris misalnya, melalui lembaga kesehatan nasional National Health Service (NHS), mendorong warga Inggris yang perokok aktif untuk berpindah ke produk rokok elektrik yang jauh lebih tidak berbahaya (nhs.uk, 29.3.2019).

Inggris tentunya bukan satu-satunya negara yang mengambil langkah Tersebut. Tidak perlu jauh-jauh ke negeri tempat kelahiran Ratu Elizabeth II tersebut, negara kita sesama anggota ASEAN, Filipina, baru-baru ini juga mengeluarkan peraturan yang kurang lebih serupa. Pada bulan Januari tahun ini, lembaga legislasi FIlipina berhasil meloloskan undang-undang yang dikenal dengan nama The Vaporized Nicotine Products Regulation Act.

Salah satu aspekt yang paling penting dari undang-undang tersebut adalah regulasi ini memberi jalan untuk menyusun strategi kebijakan harm reduction untuk menawarkan rokok elektrik sebagai pengganti rokok konvensional kepada para perokok. Filipina sendiri saat ini memiliki sekitar 16 juta perokok aktif yang tinggal di negara tersebut (vaping360.com, 27.7.2022).

Selain itu, undang-undang ini juga melakukan beberapa perubahan yang menerapkan regulasi yang tidak jauh berbeda antara rokok konvensional yang dibakar dan rokok elektrik. Misalnya, penyetaraan batas usia konsumsi rokok konvensional dengan rokok elektrik. Dengan demikian, akan semakin banyak orang yang memiliki opsi legal untuk mengkonsumsi produk yang jauh lebih tidak berbahaya. Akan ada pula sanksi yang diberlakukan kepada penjual yang menjual produk-produk hasil olahan tembakau kepada anak-anak di bawah usia.

Peraturan yang diberlakukan di Filipina ini merupakan hal yang cukup berbeda dengan beberapa negara ASEAN lainnya, seperti Thailand dan Singapura misalnya. Di Thailand dan Singapura, vape atau roko elektrik merupakan produk ilegal, di mana mereka yang melanggar dapat dikenakan sanksi pidana baik berupa denda maupun penjara, meskipun rokok elektrik merupakan salah satu produk yang telah digunakan oleh jutaan perokok untuk membantu mereka berhenti merokok.

Sebagai penutup, langkah kebijakan yang dilakukan oleh Filipina yang meloloskan regulasi agar para perokok bisa berpindah ke rokok elektrik yang jauh lebih tidak berbahaya merupakan hal yang bisa dipelajari oleh para pembuat kebijakan di Indonesia. Bila semakin banyak perokok yang bisa berpindah ke produk yang jauh lebih tidak berbahaya, maka dengan demikian diharapkan berbagai penyakit kronis yang melanda masyarakat juga dapat ditekan, dan akan membawa Damak yang positiv terhadap kesehatan publik.

Ursprünglich veröffentlicht hier

Memperkasa hak pengguna syarikat penerbangan

Setiap hari lebih daripada 100.000 penerbangan berlaku di seluruh dunia.

Dalam kesibukan itu, sudah tentu akan ada risiko gangguan seperti penerbangan ditunda atau dibatalkan, kehilangan atau kerosakan bagasi, dinafikan menaiki pesawat kerana lebihan tempahan, kehilangan tempahan atau masalah yang lain.

Semakin kerap penerbangan, semakin tinggi kebarangkalian masalah seperti itu timbul.

Oleh sebab itu, Kod Perlindungan Pengguna Penerbangan Malaysia (MACPC) diwujudkan pada 2016. Ia bertujuan untuk melindungi hak dan kepentingan pengguna dalam usaha untuk mewujudkan industri penerbangan yang berorientasikan pengguna.

Setelah enam tahun dilaksanakan Suruhanjaya Penerbangan Malaysia (Mavcom) menerima lebih daripada 22.000 aduan, dengan separuh pertama 2022 sahaja sebanyak 1.251 aduan direkodkan.

Sebanyak 99.1 peratus daripadanya melibatkan syarikat penerbangan.

Daripada jumlah itu 577 (46,1 peratus) aduan adalah mengenai pembatalan penerbangan, penjadualan semula dan tempahan dalam talian secara kolektif.

Lesen Sie den vollständigen Text hier

Krieg gegen Kunststoffe fehlgeleitet

Fühlen Sie sich schlecht, wenn Sie Bilder von Plastikmüll in den Weltmeeren sehen? Ganz sicher, und jeder anständige Mensch würde es tun. Tatsächlich tun die Regierungen nicht genug, um die Entsorgung von Kunststoffabfällen in die Umwelt zu stoppen, und sind immer noch ineffizient, wenn es darum geht, Unternehmen für diese ökologischen Katastrophen verantwortlich zu machen.

Allerdings ist die Lösung vieler Umweltschützer, alle Plastikartikel und Verpackungen zu verbieten, verfehlt.

Ein neuer Bericht von Greenpeace weist darauf hin, dass ein großer Teil des Plastikmülls in den Vereinigten Staaten nicht recycelt wird, und verbindet dies mit seinem Eintreten für das Verbot von Einweg-Plastikartikeln. Tatsächlich haben sich Aktivisten dafür eingesetzt, dass die General Services Administration (GSA) den Erwerb von Einweg-Kunststoffartikeln einstellt.

Dabei wird die Tatsache außer Acht gelassen, dass wir Kunststoff für viele Dinge benötigen: von medizinischen Geräten bis hin zu Reinigungsgeräten, von Verpackungen zur Verlängerung der Haltbarkeit bis hin zu Behältern, um unsere Lebensmittel für den Versand intakt zu halten. Weder die Bundesregierung noch einzelne Verbraucher können sich einen Plastikausstieg leisten.

Allerdings sollten wir Plastik nicht um der Plastik willen bewahren (auch wenn es mit unzähligen Arbeitsplätzen verbunden ist). Tatsächlich übertreffen Kunststoffe allzu oft ihre Ersatzprodukte in Bezug auf Effizienz und Umweltverträglichkeit – wie jeder bestätigen kann, der versucht hat, eine Einweg-Papiertüte im Regen zu verwenden.

Wie ich bereits für Newsmax beschrieben habe, Einweg-Einkaufstüten aus Kunststoff übertreffen alle Alternativen in Sachen Umwelt, nicht zuletzt, weil Baumwoll- oder Papiertüten nicht so oft wiederverwendet werden, wie sie sollten, aber auch, weil Verbraucher Plastiktüten als Alternative zu Müllbeuteln wiederverwenden.

Wenn wir auf Plastikverpackungen verzichten würden, würden wir die Haltbarkeit von Lebensmitteln verkürzen und Fertiggerichte, die Verbraucher wünschen, eliminieren. Dies würde die Lebensmittelverschwendung erhöhen. Seit Die Lebensmittelproduktion hat einen weitaus höheren CO2-Fußabdruck als Kunststoffverpackungen, wäre dieser Schritt kontraproduktiv.

Vergessen wir das auch nicht 11% der Plastikverschmutzung der Meere resultiert aus Mikroplastik, und 75%-86% aus Kunststoff im Müllflecken des Pazifischen Ozeans stammt direkt aus Offshore-Fischerei, keine Konsumgüter. Nicht alle Abfälle werden weggeworfen, und dasselbe gilt für Plastikabfälle; Daher ist es für Aktivisten irreführend, beide Aspekte der Plastikmüllentsorgung unfair zu verschmelzen.

Von den Amerikanern, die in Städten mit über 125.000 Einwohnern leben, 90% haben bereits Zugang zu Recyclinganlagen für Einwegkunststoffartikel. Was die Vereinigten Staaten brauchen, ist noch mehr Zugang zu diesen Einrichtungen und die Förderung des fortgeschrittenen Recyclings, das nicht nur Polymere wäscht und verbindet, sondern Kunststoffe in ihre ursprünglichen Verbindungen auflöst.

Dieser Aspekt der Kreislaufwirtschaft wird Kunststoffe zu einem nachhaltigeren Konsumgut machen. Zusätzlich zur bestehenden Recyclingquote hat die Environmental Protection Agency (EPA) hat das konkrete Ziel die Recyclingquote bis 2030 auf 50% zu erhöhen.

Jede Regel oder Verordnung, die die Wahlmöglichkeiten der Verbraucher einschränkt, ist schlecht. Aber irgendwie ist es noch schlimmer, wenn die vorgeschlagene Regel nicht einmal die beabsichtigten Ergebnisse erzielt. Ein Verbot von Kunststoffen würde uns nicht nur Produkte vorenthalten, die wir brauchen, sondern auch unseren CO2-Fußabdruck in vielen Bereichen erhöhen.

Ursprünglich veröffentlicht hier

Economía colaborativa y tres ciudades de la región

El Consumer Choice Center präsentiert den Index der jährlichen Wirtschaftskooperation, in der klassischen Weltstadt mit mehr Dinamicas del mundo und Funktion der Apertura der Wirtschaftskooperation.

Este índice único en el mundo es la herramienta para que los consumidores tomen Decisiones informadas sobre su próximo destino urbano.

El índice clasifica 60 ciudades of todo el mundo, 6 de ellas de America Latina. Las dos ciudades con mejor puntuación en el Índice de Economía Colaborativa de América Latina de 2021 (otro índice del Consumer Choice Center) foron Bogotá y Santiago de Chile. Sin embargo, en la escena internacional, las dos ciudades tienen problemas para competir con destinos mundiales más abiertos (y port tanto más atractivos), por lo que han terminado en la mitad inferior del índice.

Unter anderem, drei lateinamerikanische Städte - São Paulo, Buenos Aires und Ciudad de México - Figuran en el TOP 10 mundial de las ciudades más favors a la economía colaborativa. Estas ciudades demuestran una extraordinaria apertura a todos los servicios de economía colaborativa Considerados en el estudio. En insbesondere, todas ellas ofrecen aplicaciones de entrega ultrarrápida, una categoría totalmente nueva añadida al índice de este año.

„Para sacar el máximo partido al índice, puedes utilizarlo como un menú de opciones que te ayude a elegir la ciudad que mejor se adapte a tu estilo de vida. Si te gusta el transporte compacto y respetuoso con el medio ambiente, en nuestro índice puedes ver que los patinetes eléctricos ya no se pueden alquilar en la capital de Colombia, pero que sí puedes disfrutar de ellos en las concurridas calles de Ciudad de México“, señala Anna Arunaschwili, Knowledge Management Associate des Consumer Choice Centers.

Lesen Sie den vollständigen Artikel hier

Der „neueste Megaspender“ der Demokraten stürzt am Wahltag ab und ist gezwungen, das Kryptounternehmen an den größten Rivalen zu verkaufen

Sam Bankman-Fried, der CEO von Kryptobörse FTX und der vor den Zwischenwahlen 2022 als „neuester Megaspender“ der Demokraten galt, verzeichnete Berichten zufolge innerhalb von 72 Stunden vor Dienstagmorgen rund $6 Milliarden Abhebungen, was ihn zwang, das Unternehmen am Wahltag an seinen größten Rivalen zu verkaufen. 

Reuters berichtete, dass Changpeng Zhao, der Leiter des Konkurrenten Binance, sagte, das Unternehmen habe am Dienstag eine unverbindliche Vereinbarung zum Kauf der Nicht-US-Einheit von FTX unterzeichnet, um eine „Liquiditätskrise“ an der konkurrierenden Börse abzudecken. Die erstaunliche Rettungsaktion kam zustande, als amerikanische Wähler gleichzeitig zur Wahlurnen gingen. 

„Dies ist ein wirklich verrücktes Ereignis in der Startup-Welt. Dotcom-Bust-Level-Event“, twitterte Tech-Reporter Eric Newcomer über den Verkauf. 

Bankman-Fried, 30, war in diesem Wahlzyklus der zweitgrößte demokratische Einzelspender hinter dem hochrangigen liberalen Milliardär George Soros. Er Platz sechs in der Gesamtwertung der Einzelspender für die Midterms 2022 bezüglich der Bundesbeiträge. 

Lesen Sie den vollständigen Artikel hier

Orbans Preisobergrenzen für Lebensmittel und Treibstoff werden zu Engpässen führen

Budapest, HU: Diese Woche kündigte die Regierungspartei des ungarischen Ministerpräsidenten Viktor Orban an, dass die dritte Welle von Preisobergrenzen mit einem Festpreis für Kartoffeln und Eier eingeführt werde. Zoltán Kész, Government Affairs Manager des Consumer Choice Center, kommentierte diesen Schritt wie folgt:

„Die Ungarn haben im Kommunismus staatlich kontrollierte Preisobergrenzen erlebt, und daran haben wir keine guten Erinnerungen. Es führt zu Engpässen, die wir bereits wieder aufkommen sehen, dem Aufstieg von Schwarzmärkten und Armut.“

„Im vergangenen Jahr haben wir Tankstellenschließungen, leere Supermarktregale und steigende Preise anderer Produkte erlebt. Es ist sehr schlimm für die Verbraucher, einen Anstieg der Lebensmittelpreise um fast 50% zu erleben und mit einer der schlimmsten Abwertungen der ungarischen Währung konfrontiert zu werden“, sagt Kész.

„Die Festlegung der Preise für Kraftstoff, Hähnchen oder Hypothekenzinsen wird nicht dazu beitragen, die Inflation zu bekämpfen, die bis Ende des Jahres voraussichtlich 251 TP2T erreichen wird. Wir haben die weltweit höchste Mehrwertsteuer mit einem Satz von 27%, aber unsere Regierung schafft es immer noch, alle anderen für die explodierenden Verbraucherpreise verantwortlich zu machen. Bevor wir die Preise auf Kosten von Verfügbarkeit und Geschäftsschließungen einfrieren, sollten wir zunächst unsere Umsatzsteuern um ein Drittel senken. Dies würde die Verbraucher massiv entlasten“, so Kész abschließend.

Eine übereifrige FTC ist nicht gut für Verbraucher oder Startups

Im vergangenen Monat, bat Meta Platforms, die Muttergesellschaft von Facebook, einen amerikanischen Richter, die Klage der Federal Trade Commission (FTC) abzuweisen, mit der versucht wurde, Metas geplante Übernahme des Herstellers virtueller Inhalte von Within Unlimited zu blockieren Übernatürlich Virtual-Reality-Fitness-App. Die Klage erhebt die schwache, spekulative Behauptung, dass die VR-Plattform Meta bereits viele VR-Apps besitzt, einschließlich bewegungsbasierter wie Säbel schlagen die um Nutzer konkurrieren Übernatürlich, ein „Monopol“ werde „eher geschaffen“, und Wettbewerb und Verbraucher würden schlechter gestellt, wenn der Deal zustande komme. Macht nichts ÜbernatürlichIch sehe mich der Konkurrenz durch ähnlichere, auf Fitness ausgerichtete VR-Apps gegenüber, die Meta nicht besitzt, wie z Liteboxer und FitXR, sowie Fitness-Apps ohne VR, wie sie von Apple und Peloton angeboten werden.

Es ist das Neueste in den vielen Bemühungen der FTC, darunter derzeitige Vorsitzende Lina Khan, zu aggressiver Wettbewerb Tech-Akquisitionen auf der Grundlage, dass Technologiegiganten zu viel Macht und Einfluss haben, selbst wenn der Schaden für die Verbraucher nur scheinbar oder nicht vorhanden ist. Obwohl große Tech-Giganten wie Meta, Google und Amazon mag ja sein sich rechtlich sanktionierter Verfehlungen schuldig gemacht hat, wird die Unterdrückung legitimer Geschäftsabschlüsse durch nicht gewählte Bürokraten den Verbrauchern und der Lebensfähigkeit von Start-ups nur schaden, indem sie Wettbewerb und Innovation in der halsabschneiderischen, investitionsintensiven Technologiewelt abschreckt.

Seit den 1970er Jahren konzentriert sich die Durchsetzung des Kartellrechts darauf, ob eine Geschäftspraxis den Verbrauchern tatsächlich schadet, anstatt ihren Konkurrenten oder anderen Interessengruppen zu schaden. Schließlich sind gewählte Beamte in der Lage, Gesetze zu verabschieden, die auf konkrete Schäden abzielen, die Unternehmen Arbeitnehmern und der Öffentlichkeit zufügen. Und private Unternehmen sollten keinen Schutz vor Verdrängungswettbewerb erwarten, da dieser eine Folge der Geschäftstätigkeit ist. Verbraucher profitieren davon, dass Unternehmen neue, bessere oder billigere Produkte liefern müssen, um Kunden zu gewinnen und zu halten. Solange ein Unternehmen seine Position nicht nutzt, um den Verbrauchern zu schaden, indem es die Produktion relativ zu den Preisen einschränkt, gibt es keinen Grund, warum Kartellbehörden wie die FTC seine Expansion ersticken sollten. Vor allem, wenn diese Erweiterung den Verbrauchern zugute kommt.

Dies gilt insbesondere für die Technik. Start-ups sind auf Investitionen in Millionenhöhe angewiesen, um ihre Produkte zu entwickeln und einzusetzen. Investoren bewerten diese Unternehmen nicht nur aufgrund der Lebensfähigkeit ihrer Produkte, sondern auch aufgrund des potenziellen Wiederverkaufswerts des Unternehmens. Größere Firmen übernehmen oft auch kleinere, um ihre Ressourcen, vorhandenes Know-how und Größenvorteile einzusetzen, um ihre Ideen weiterzuentwickeln oder sie auf mehr Nutzer auszudehnen.

Fusionen und Übernahmen teurer zu machen, ohne eindeutige Beweise, dass sie den Verbrauchern schaden, macht es für Start-ups schwieriger, das benötigte Kapital anzuziehen, und wird Innovatoren nur davon abhalten, sich selbstständig zu machen oder Ideen zu entwickeln, die unser Leben verbessern könnten eine Umgebung, in der 90% der Start-ups scheitern schließlich und 58% erwarten, übernommen zu werden.

Es spielt keine Rolle, dass die Fusionsanfechtungen der FTC vor Gericht oder sogar vor ihren eigenen internen Verwaltungsrichtern scheitern können, einschließlich kürzlich unter Stuhl Khan. Das Risiko und die Kosten von Gerichtsverfahren selbst schrecken von Investitionen und vorteilhaften Geschäften ab. Insbesondere angesichts der Unsicherheit, die durch die Einbeziehung vager, amorpher Begriffe wie „Fairness“ in die kartellrechtliche Analyse entsteht, die zu rechtsstaatlichen willkürlichen Entscheidungen führen könnte. Wie notiert von des verstorbenen Richters am Obersten Gerichtshof Stewart, ist die einzige Konsequenz in Kartellfällen, wenn es kein klares Leitprinzip wie den Verbraucherschutzstandard gibt, dass „die Regierung immer gewinnt“.

Umgekehrt argumentieren Gegner des „Consumer Welfare“-Standards, einschließlich Khan, dass er die Konzentration wirtschaftlicher und politischer Macht nicht verhindern könne. Dies gibt jedoch dem spekulativen Schaden durch ein zu groß wachsendes Unternehmen Vorrang vor dem realen Schaden, der Regierungen und Aufsichtsbehörden die Möglichkeit gibt, Macht für politische Zwecke auszuüben, oder denen, die sich für sie einsetzen.

Ehemalige Präsidenten Johnson und Nixon beide drohten mit der Durchsetzung des Kartellrechts, um die Medien dazu zu zwingen, ihre Regierungen positiv zu decken. Und es ist kein Geheimnis und keine Überraschung, dass die FTC häufig von Firmen angesprochen wird, die sie drängen, Steuergelder für Kartellklagen gegen ihre Konkurrenten einzusetzen. In jüngerer Zeit Mark Zuckerberg, der hat offen nachgefragt Politiker sollen ihm sagen, welche Inhalte er zensieren soll, räumte Facebook ein unterdrückt die Hunter Biden Laptop-Geschichte nach Druck der Regierungsbehörde. Konservative sollten sich besonders bewusst sein, Agenturen zu ermutigen, Unternehmen aus vagen oder spekulativen Gründen ins Visier zu nehmen.

Die FTC verfügt über die Ressourcen, die sie benötigt, um gegen böswillige Akteure vorzugehen, die Verbrauchern definitiv schaden, wie ihre Multimillionen-Dollar-Einigung mit der Website für außereheliche Affären zeigt Ashley Madison über schlechte Cybersicherheits- und Datenschutzpraktiken und Verbrauchertäuschung und andere erfolgreiche Fälle einschließlich Stuhl Khan's lobenswerte Verfolgung von Unternehmen, die illegal Daten von Kindern sammeln und missbrauchen. Dies ist eine weitaus bessere Nutzung der Zeit und der Steuergelder der Agentur als ein eifriger Ansatz zur Blockierung von Übernahmen und anderen legitimen Geschäftspraktiken, die den Verbrauchern zugute kommen könnten und von denen das innovative Start-up-Ökosystem abhängt.

Ursprünglich veröffentlicht hier

Europas Lebensmittelprotektionismus nimmt eine neue Dimension an

Der Krieg in der Ukraine hat den europäischen Agrarsektor in Mitleidenschaft gezogen und die Ambitionen der Europäischen Union gebremst, umfassende neue Landwirtschaftsvorschriften zu erlassen. Die Reformen in Brüssel orientieren sich an der sogenannten Farm-to-Fork-Strategie, einem Fahrplan, mit dem die Gewerkschaft den Einsatz von Pestiziden reduzieren, Ackerland reduzieren und die ökologische Landwirtschaft weit über ihren derzeitigen Marktanteil hinaus vorantreiben will. Im Zuge der Unfähigkeit der Ukraine, Lebensmittel in ihre europäischen Pendants zu exportieren, haben einige Länder, einschließlich Frankreich, haben argumentiert, dass die EU bei den geplanten Gesetzesänderungen, die bereits von den Landwirten kritisiert wurden, einen Schritt zurücktreten sollte.

In den Niederlanden protestierten Tausende Viehzüchter wochenlang gegen die Regierung gegen ihre neuen Vorschriften zur Reduzierung von Lachgas, einem Nebenprodukt, das bei der Zersetzung von Gülle entsteht. Der Ansatz der niederländischen Regierung bestand darin, die Zahl der Viehbetriebe zu minimieren, selbst wenn dies bedeutete, Landwirte aufzukaufen.

Vertreter der Landwirtschaft warnten die Europäische Union davor, dass Farm-to-Fork den europäischen Lebensmittelsektor untergraben wird und dass mehr Daten über die Auswirkungen der Strategie auf den Agrarsektor benötigt werden. Als das US-Landwirtschaftsministerium die europäischen Pläne untersuchte, stellte es ein Inflationsrisiko der Lebensmittelpreise von 20 bis 53 Prozent und sogar ein hohes Risiko eines Rückgangs des Bruttoinlandsprodukts als direkte Folge der Politik fest. Laut Politico hat der Landwirtschaftsausschuss des Europäischen Parlaments die Europäische Kommission aufgefordert, ihre Folgenabschätzung zu überarbeiten, da sie die Auswirkungen von COVID-19, die Lebensmittelpreisinflation oder den Krieg in der Ukraine nicht berücksichtigt.

Trotz der internen Kämpfe um die Agrarreform setzt die Europäische Kommission ihre Politik fort, bestimmte Importe nach Europa zu verbieten. Sie kündigte an, dass die Einfuhr von Produkten, die Rückstände von Insektiziden aus der Gruppe der Neonicotinoide enthalten, ab 2026 verboten wird. Laut EU besteht die Gefahr, dass diese Verbindungen Bienen schädigen.

Ob dies der Fall ist, rechtfertigt eine eigene wissenschaftliche Diskussion, aber noch wichtiger ist, dass dieser Schritt eine bedeutende und besorgniserregende Wendung in der europäischen Herangehensweise an die Agrarregulierung darstellt. Sie verfolgt nicht nur das politische Ziel, Pflanzenschutzmittel in Europa zu reduzieren, sondern versucht nun, diese Regeln auch ihren Handelspartnern aufzuzwingen. Es ist sicherlich einer der transparenteren Versuche einer Politik durch Handel, aber es ist nicht sehr glaubwürdig. 

In Europa respektieren zahlreiche Länder das Neonik-Verbot der EU nicht: Frankreich hat drei Jahre Abweichungauf Neonics, weil die Zuckerrübenindustrie ohne sie ausgelöscht worden wäre. Auch Belgien nutzt Neonik für seine Zuckerrübenproduktion. Dänemark produziert Neonics für die EU und die Nicht-EU-Märkte. Wenn die EU-Vorschriften nicht dem entsprechen, was in der Landwirtschaft benötigt wird, können einzelne EU-Mitgliedsstaaten Notfallbestimmungen einführen, um eine chemische Verbindung erneut zuzulassen.

Auch wenn die Europäische Kommission sagt, dass sie sich mit unseren Mitgliedern der Welthandelsorganisation beraten hat, ist es wahrscheinlich, dass ihre Entscheidung angefochten wird. Die Vereinigten Staaten haben Anfang dieses Jahres Widerstand gegen eine ähnliche Entscheidung der EU geleistet, die Einfuhr von Produkten zu verbieten, die mit dem Insektizid Sulfoxaflor, einem Ersatzstoff für Neonsäure, behandelt wurden.

Die bedauerliche Realität ist, dass die Staats- und Regierungschefs der EU ehrgeizigere Ziele versprochen haben, als sie halten können. Die Farm-to-Fork-Strategie wurde im Mai 2020 vorgestellt, als das volle Ausmaß der COVID-19-Pandemie unbekannt war, die Inflation stabil war und es keinen umfassenden Krieg in der Ukraine gab. 

Die Kommission steht vor dem Dilemma, ein politisches, nicht wissenschaftliches Ziel zur Reduzierung von Pestiziden ohne Substitutionsstrategie gesetzt zu haben, umgeben von Krisen, die sie kaum kontrollieren kann. Anstatt jedoch seine ehrgeizigen Ziele zurückzunehmen, bereitet es jetzt die Voraussetzungen für einen weiteren unnötigen Handelskrieg vor, von dem wir in den letzten Jahren genug gesehen haben.

Ursprünglich veröffentlicht hier

Verbraucher verlieren durch die Vorschriften für Magnetkarten

Politiker und eine Koalition mächtiger Handelsriesen drängen Rechnungen, die die Gebühren begrenzen sollen, die Unternehmen zahlen, wenn ein Kunde Dinge mit einer Kredit- oder Debitkarte kauft. 

Zweipartisaner Senatsänderung 6201 würde verlangen, dass Karten es Unternehmen ermöglichen, Zahlungen über Netzwerke zu leiten, die nicht mit Visa oder Mastercard verbunden sind – den beiden größten Kartenausstellern des Landes – und würde die Aussteller zwingen, Einzelhändlern alle Zahlungsnetzwerke für die Weiterleitung von Transaktionen zur Verfügung zu stellen, unabhängig davon, welches der Kunde wünscht.

Die Befürworter der Änderung argumentieren, dass sie den Einfluss von Visa und Mastercard auf den Kartensektor untergraben wird, wo sie zusammen 80 Prozent des Marktanteils halten, während sie den Verbrauchern eine gewisse Inflationsentlastung bieten, indem sie die Transaktionskosten senken, die Unternehmen normalerweise an sie weitergeben. 

Aber die Realität ist düsterer. Die Änderung erwähnt keine Verbraucher, und es gibt keine Garantie, dass wir mit niedrigeren Preisen im Geschäft oder online konfrontiert werden. Stattdessen verlieren die Verbraucher durch weniger Auswahlmöglichkeiten, weniger Zugang zu Krediten, weniger sichere Transaktionen und die Verdunstung von Prämienprogrammen und anderen Vorteilen.

Kartenaustauschgebühren machen normalerweise nur 1 bis 3 Prozent des Endpreises aus, selbst wenn sie an die Verbraucher weitergegeben werden. Frühere Einschränkungen, wie die Obergrenze für Debitkarten-Interchange-Gebühren von 2010, führte nicht einmal zu Kosteneinsparungen für die meisten Unternehmen. Bei kleineren Unternehmen stiegen häufig die Kosten. Nur eine kleine Anzahl großer Einzelhändler verzeichnete niedrigere Kosten. Und 22 Prozent der Einzelhändler erhöhten die Preise, die den Verbrauchern in Rechnung gestellt wurden, während 1 Prozent die Preise senkte. 

Das Fehlen signifikanter wahrgenommener Vorteile für die meisten Einzelhändler könnte teilweise erklären, warum Australien, wo Finanzinstitute Händlern seit 2018 die Wahl der kostengünstigsten Zahlungsnetzwerke für die Weiterleitung von Kundentransaktionen ermöglichen, dies gesehen hat niedrige Übernahmequoten für diese Funktionalität.

Darüber hinaus helfen Interbankengebühren bei der Bezahlung verschiedener Dienstleistungen, darunter Prämienprogramme, zinsfreie Zeiträume und Zahlungsgarantien, sodass Händler sich keine Gedanken über die Kredithistorie eines Kunden, Sicherheitsprotokolle und andere Bankdienstleistungen machen müssen. Kartenaussteller zu zwingen, die Gebühren zu senken, die sie erheben können, bedeutet Kürzungen bei diesen Vorteilen und Programmen – die Auswahl der Verbraucher wird eingeschränkt und gleichzeitig der Schutz vor Betrug verhindert und Cybersicherheitsinnovationen

Auf diese Vorteile verlassen sich nicht nur die Reichen. 86 Prozent der Kreditkarteninhaber haben aktive Prämienkarten, darunter 77 Prozent mit einem Haushaltseinkommen niedriger als $50.000.

Australiens Interchange Fee-Beschränkungen von 2003 führte zu weniger Leistungen, weniger Leistungen und höhere Jahresgebühren. Amerikaner könnten bald ähnliche Schmerzen empfinden.

Auch Karteninhaber dürften zumindest einen Teil der geschätzten Kosten tragen $5 Milliarden kosten der technischen Infrastruktur, die Emittenten benötigen, um der Änderung nachzukommen. Die Banken haben auch auf frühere Beschränkungen der Interbankenentgelte reagiert Wandern die Gebührendass den Amerikanern Gebühren für die Eröffnung und Nutzung von Girokonten in Rechnung gestellt werden und weniger Banken gebührenfreie Konten anbieten.

Amerikaner mit niedrigem Einkommen könnten von einem eingeschränkten Zugang zu Krediten hart getroffen werden. Kreditgenossenschaften, die unterversorgten Gemeinden dienen, sind bereits vorhanden Bedenken äußern über die Politik. Kreditgenossenschaften und Banken in Gemeinschaftsbesitz verlassen sich auch mehr auf Interbankengebühren, um sich über Wasser zu halten, als größere Banken, die mehr von Zinssätzen abhängen. Niedrigere Interbankengebühren könnten diese Institute dazu zwingen, die Zinssätze für Kreditkarten zu erhöhen, obwohl sie bedienen einen höheren Anteil von Karteninhabern, die kein Guthaben haben oder keine Strafgebühren zahlen.

Der Kongress kann für langfristige Inflation und Entlastung der Lebenshaltungskosten sorgen, indem er kostspielige, kontraproduktive Vorschriften aufhebt, die wohlhabenden Sonderinteressen auf Kosten gewöhnlicher Amerikaner zugute kommen. 

Dies ist sinnvoller als eine fehlgeleitete Regulierung des Zahlungssystems, die die Auswahl, die Vorteile und die Zahlungssicherheit für Karteninhaber verringert und gleichzeitig Druck auf Banken und Kreditgenossenschaften ausübt, Zinssätze und Gebühren zu erhöhen.

Ursprünglich veröffentlicht hier

Scrolle nach oben