fbpx

Tag: 22. Februar 2021

Dampak Perlindungan Hak Kekayaan Intellektual Terhadap Kesejahteraan

Peningkatan kesejahteraan bisa dikatakan merupakan salah satu hal yang sangat penting untuk dicapai oleh berbagai pemerintahan di seluruh dunia. Meningkatnya kesejahteraan di sebuah negara, merupakan salah satu tolak ukur yang paling umum dan mutlak untuk menentukan apakah sebuah pemerintahan berhasil dalam mengelola negara yang dipimpinnya.

Selain itu, peningkatan kesejahteraan juga merupakan salah satu fondasi yang sangat penting bagi stabilitas politik. Tanpa adanya peningkatan kesejahteraan, terlebih lagi bila standar hidup masyarakat di sebuah negara terus menurun dari tahun ke tahun, tidak mustahil hal tersebut justru akan membawa pada pergolakan sosial, yang berujung pada instabilitas politik yang sangat berbahaya bagi keamanan dan kekonomigiatan ekonomigiatan.

Untuk itu, adanya kebijakan publik yang dapat mendukung upaya peningkatan kesejahteraan merupakan hal yang wajib menjadi fokus und diberlakukan oleh berbagai pemerintahan dan para pengambil kebijakan di seluruh dunia. Bila suatu pemerintahan atau pengambil kebijakan membuat produk hukum yang tidak dapat menunjang peningkatan kesejahteraan, tentu upaya meningkatkan kesejahteraan tersebut akan mustahil dapat tercapai, dan bukan tidak mungkin justru akan membawa kemunduran serta peningkatan kemiskinan di negara tersebut.

Terkait dengan hal tersebut, sejarah sudah membuktikan bahwa, kebebasan ekonomi merupakan fondasi yang sangat penting untuk meningkatkan kesejahteraan di sebuah negara. Pasar bebas merupakan pilar yang sangat penting untuk mengeluarkan seluruh potensi dan kreativitas yang dimiliki oleh masyarakat di sebuah negara, yang akan mendorong inovasi dan meningkatkan kegiatan ekonomi yang akan membawa manfaat bagi penduduk di negara tersebut.

Salah satu lembaga think tank yang memiliki fokus pada aspekt kebebasan ekonomi adalah lembaha think tank asal Amerika Serikat, The Heritage Foundation. Setiap tahunnya, lembaga think tank tersebut merilis laporan mereka mengenai indeks kebebasan ekonomi negara-negara di dunia, yang dikenal dengan nama Index of Economic Freedom. Indeks tersebut mengukur kebebasan ekonomi berbagai negara di dunia, dan membuat peringkat berdasarkan indikator-indikator yang mereka gunakan.
Setelah itu, negara-negara tersebut dibagi menjadi lima kategori, yakni frei, meistens frei, mäßig frei, meistens unfrei, dan unterdrückt. Negara-negara yang menduduki peringkat free diduduki negara-negara yang di mana memiliki kerangka hukum yang mendukung kegiatan ekonomi secara bebas, serta institusi yang transparan dan bebas dari korupsi. Sebaliknya, negara-negara yang membatasi kegiatan ekonomi masyarakatnya secara ketat, serta memiliki institusi yang tertutup dan korup, maka mereka menduduki peringkat yang rendah.

Setelah peringkat tersebut disusun, terbukti bahwa, secara rata-rata, negara-negara yang menduduki peringkat free memiliki pendapatan per kapita yang sangat tinggi. Sebaliknya, negara-negara yang menduduki peringkat bawah dalam indeks tersebut, atau masuk dalam kategori repressed, cenderung memiliki Produk Domestik Bruto (PDB) per kapita yang rendah. Pada tahun 2019 misalnya, rata-rata negara-negara yang masuk dalam kategori free memiliki PDB per kapita sebesar 63,588 USD, sementara negara-negara yang menduduki peringkat terbawah rata-rata PBD per kapitanya hanya 7,716 USD (The Heritage Foundation, 2020) .

Hasil dari penelitian ini tentu merupakan sesuatu yang sangat penting untuk diperhatikan oleh berbagai pembuat kebijakan di seluruh dunia. Kebebasan ekonomi merupakan pilar yang sangat penting sebagai dasar peningkatan kesejahteraan di sebuah negara.

The Heritage Foundation sendiri menggunakan beberapa indikator untuk mengukur tingkat kebebasan ekonomi di sebuah negara dalam indeks mereka. Salah satu dari indikator tersebut yang sangat penting adalah perlindungan terhadap kepemilikan pribadi (Privateigentumsrechte).

Adanya kerangka hukum dan sistem kelembagaan yang melindungi kepemilikan seseorang merupakan hal yang sangat krusial untuk menunjang kebebasan ekonomi. Tanpa adanya perlindungan terhadap hak kepemilikan, tentu aktivitas ekonomi tidak dapat berjalan dengan lancar, karena setiap orang dapat merampas hak milik orang lain dengan mudah.

Perlindungan hak kepemilikan pribadi ini bukan hanya mencakup dengan aset-aset yang nyata, atau yang dikenal juga dengan Sachwert, namun juga harus mencakup hak kekayaan intelektual. Perlindungan hak kekayaan intelektual merupakan hal yang sangat penting untuk melindungi para inovator dan orang-orang yang kreatif agar mereka bisa mendapatkan manfaat ekonomi dari karya yang mereka buat dengan bersusah payah dan kerja keras.

Sebagaimana dengan perlindungan hak kepemilikan pribadi terhadap aset-aset yang tangible, tanpa adanya perlindungan terhadap hak kekayaan intelektual, maka kebebasan ekonomi akan sulit untuk dicapai. Tanpa adanya perlindungan terhadap hak kekayaan intelektual, maka setiap orang dapat dengan mudah membajak und mencuri hasil karya orang lain untuk keuntungan diri mereka sendiri, tanpa harus menaruh usaha dan bekerja keras untuk membuat dan menciptakan karya tersebut.

Hubungan antara perlindungan hak kekayaan intelektual yang kuat dengan kesejahteraan merupakan hal yang diteliti oleh beberapa pihak. Pada tahun 2017 misalnya, sektor-sektor yang bertumpu pada hak kekayaan intelektual telah berkontribusi pada lebih dari 30% dari tenaga kerja di negara-negara maju seperti Amerika Serikat dari Eropa, dan telah berkontribusi terhadap 40% PDB dari Amerika Serikat dan negara-negar (Forbes.com, 26.4.2017).

Perlindungan yang lemah terhadap hak kekayaan inteletual juga telah membawa kerugian dan malapetaka di negara-negara yang berpenghasilan rendah dan menengah. Direkrut eksekutif dari organisasi pegiat hak kekayaan intelektual, Property Rights Alliance, Lorenzo Montanari, mencatat bahwa perlindungan hak kekayaan intelektual yang buruk di negara-negara berpenghasilan rendah dan menengah telah merugikan banyak pelaku ekonomi lokal (Forbes.com, 26.4.2017).

Montanari mencatat hal yang terjadi di Nigeria misalnya, merupakan salah satu contoh dari hal tersebut. Nigeria merupakan salah satu negara yang memilki industri perfilman yang sangat maju, yang dikenal dengan julukan Nollywood. Industri perfilman di Nigeria juga telah melahirkan banyak actor-actor ternama yang memiliki basis penggemar dari seluruh dunia.

Namun, karena negara tersebut tidak memiliki perlindungan terhadap hak kekayaan intelektual yang kuat, maka para produser dan pembuat film in Nigeria tidak bisa mendapatkan investasi yang besar untuk menunjang industri perfilman mereka, karena banyaknya pembajakan. Hal ini tentu merupakan hal yang sangat merugikan bagi industri perfilman di Nigeria, dan besar kemungkinan hal tersebut akan menghambat perkembangan industri perfilman di negara tersebut.

Sebagai penutup, perlindungan hak kepemilikan pribadi, termasuk juga hak kekayaan intelektual, merupakan salah satu pilar penting kebebasan ekonomi, yang merupakan fondasi untuk meningkatkan kesejahteraan. Untuk itu, bila sebuah negara ingin meningkatkan kesejahteraan masyarakatnya, memperkuat perlindungan hak kekayaan intelektual, sebagai bagian dari perlindungan hak kepemilikan pribadi, merupakan hal yang sangat penting untuk menjadi perhatian bagi para pembuat kebijakan di sebuah negara.

Ursprünglich veröffentlicht hier.

La valeur des publicités

Von Bill Wirtz

Avez-vous déjà acheté quelque choose à cause de l'image d'une marque ? Certainement, surtout lorsque l'emballage est très voyant et séduisant. Sin nous devions nier que nous répondons à de bonnes publicités, nous pourrions tout aussi bien condamner des millions de départements marketing à l'obscurité, car quelle valeur a le marketing dans un monde d'engourdis.

Nous répondons aux marques comme un facteur qui guide nos décisions d'achat, mais pour fidéliser la clientèle, il faut plus qu'un bon emballage. Les consommateurs modernes reflectent au-delà même de la qualité d'un produit : ils s'interessent aux méthodes de production, au traitement éthique des travailleurs et aux chaînes d'approvisionnement Durables. Ce que nous avons parfois tendance à appeler cyniquement le „greenwashing“ ist ein veritables Phänomen der Verbraucher, die über Unternehmen drängen, um politische Entscheidungen zu treffen.

À quoi servirait cette pression si nous devions nous débarrasser complètement du marketing ou de la notoriété de la marque ? La raison pour laquelle je fais pression sur mon producteur d'ordinateurs portables préféré pour qu'il évite à tout prix l'esclavage est que je peux consciemment rester fidèle… non pas aux ordinateurs portables eux-mêmes, mais à cette marque en particulier. Si ce producteur de logiciels s'engage également à respekter des normes strictes en matière de protection de la vie privée, alors je suis même heureux d'être un ambassadeur non rémunéré de la marque pour cette entreprise, grâce au bouche-à-oreille. 

Bestimmte Verteidiger der Santé Publique bestätigen, dass die Strategie der Marke und das Marketing konsistent sind und dass die Consommateurs tromper les consommateurs en leur faisant acheter des chooses qui sont malsaines pour eux oder en les guidant vers des achats qu'ils ne veulent pas vraiment faire sind. Les termes “marketing” et “lavage de cerveau” apparaissent parfois comme des synonymes, surtout lorsqu'il s'agit d'enfants. Certains produits font l'objet d'une interdiction flagrante de la publicité dans Certains États membres de l'UE parce qu'ils font de la publicité pour les enfants, ou plutôt pour les parent qui font l'achat plus tard. Ces verboten suggèrent de supprimer la responsabilité der Eltern.

Si le choix est entre l'éducation des enfants sur les conséquences de leur comportement et une interdiction flagrante de la publicité pour les produits, la plupart des gens préféreraient éduquer les enfants. Les enfants ne peuvent apprendre à devenir des consommateurs responsables plus tard que s'ils sont éduqués, au lieu de se faire réprimander. L'approche restriktive et punitive est celle que nous appliquions aux enfants et aux jeunes adultes jusqu'à la révolution culturelle de 1968, et elle n'a donné aucun résultat positif. Oui, les diffuseurs doivent être conscients que l'affichage de publicités pour l'alcool pendant les émissions pour enfants est (au-delà du fait qu'il n'est pas économique pour la société de publicité) unverantwortlich. Cela ne signifie pas pour autant qu'il faille dissimuler l'existence de l'alcool aux enfants. Oui, l'alcool existe, et sa consommation à l'âge approprié et en quantités appropriées peut être sûre.  

Nous devons traiter les enfants comme des enfants, mais nous ne devons pas oublier qu'ils sont en train de grandir et qu'ils sont fähig de comprendre les nuances en grandissant. Une Protection Excessive est non seulement improductive, mais elle est aussi condescendante pour les consommateurs adultes. Sous le couvert de la croyance mal informée que tout marketing est bösartig und sous l'affirmation précise mais hors contexte que toutes les publicités PEUVENT être vues par les enfants, Certains plaident pour une interdiction complète. Ce n'est pas la bonne façon de procéder. Die Nombreuses Plateformes vidéo and services of streaming offrent déjà des options de control parental, qui aident à reguler les chooses que les enfants voient. Les principaux navigations internet font de meme.

Les commercialization ne sont pas seulement un coup porté à l'information des consommateurs du point de vue de la dissponibilité des produits, c'est aussi un message clair aux parent qui leur dit „nous ne vous faisons pas trust pour faire les bons choix pour vos propres enfants“. Les publicités sont essentielles à la liberté des marques. Les marques sont importantes pour les consommateurs, non seulement parce qu'elles établissent la fidélité des consommateurs, mais aussi parce qu'elles aident à distinguer les produits sur le marché. Dans les situations où les entreprises donnent des informations inexactes sur leurs produits, les concurrents devraient pouvoir commercialiser des produits plus sûrs et plus sains. C'est l'essence meme du choix du consommateur.

Bitte keine zukünftigen Alkoholverbote mehr!

Untersuchungen zeigen, dass die Lockdowns das Wachstum des Schwarzmarkts für Alkohol vorangetrieben haben.

Was passiert, wenn etwas, das die Leute wirklich wollen, verboten wird? Hören sie auf, es zu wollen? Oder finden sie andere Möglichkeiten, darauf zuzugreifen? Unsere Erfahrung mit dem Lockdown-Alkoholverbot beantwortet diese Frage und muss den politischen Entscheidungsträgern zu denken geben, wenn sie über ihre Zukunftspläne nachdenken.

Laut der Transnational Alliance to Combat Illicit Trade (Tracit) haben Alkoholverbote das Wachstum des Schwarzmarktes für Alkohol vorangetrieben. Untersuchungen des Institute for Security Studies stützen diese Schlussfolgerung ebenso wie Aussagen des South African Revenue Service.

Und es liegt einfach auf der Hand: Menschen sind keine Roboter und hören nicht plötzlich auf, sich nach bestimmten Produkten zu sehnen und zu begehren, nur weil einige Politiker es so gesagt haben. Die Leser dieses Artikels wissen wahrscheinlich sehr gut aus eigener Erfahrung, dass der Alkohol vor Ort nicht aufhörte zu fließen. Für die formelle, legale Alkoholindustrie waren die Alkoholverbote in Südafrika jedoch katastrophal.

Die Begründung für die Verbote war recht intuitiv: In Erwartung eines Anstiegs von Covid-19-Patienten in südafrikanischen Krankenhäusern wollte die Regierung die Zahl der Patienten, die an einer alkoholbedingten Erkrankung leiden, verringern, was Raum nach oben nimmt. Das Gesundheitswesen brauche Zeit, so die Begründung, um seine Kapazitäten auszubauen.

Das erste Alkoholverbot wurde zwischen dem 27. März und dem 1. Juni 2020 verhängt, das zweite vom 12. Juli bis zum 17. August und das letzte vom 28. Dezember 2020 bis zum 1. Februar 2021, als es größtenteils aufgehoben wurde.

Am Montag, den 24. August 2020, gab Gesundheitsminister Zweli Mkhize bekannt, dass sie „noch nicht damit begonnen haben, einige der Feldlazarette abzubauen, [weil zusätzliche] Betten nicht mehr benötigt werden“. Dies war nur wenige Tage, nachdem die Sperrung von Stufe 3 auf Stufe 2 herabgestuft wurde. Die Ministerin für kooperative Regierungsführung, Nkosazana Dlamini-Zuma, warnte die Südafrikaner vor der sehr realen Möglichkeit einer zweiten Welle in naher Zukunft, da ihnen die Beschränkungen ihrer Freiheiten genommen würden.

Im Dezember, als er das erneute Alkoholverbot ankündigte, bemerkte Präsident Cyril Ramaphosa, wie Krankenhäuser mit alkoholbedingten Traumata überschwemmt würden.

Die Regierung erweiterte die Krankenhauskapazitäten und baute sie dann wieder ab, wohl wissend, dass eine zweite Welle am Horizont wahrscheinlich war. Es ist also das Zeug einer gehässigen, willkürlichen Regierung, einen massiven Sektor der Wirtschaft, ganz zu schweigen von der südafrikanischen Öffentlichkeit, für die eigene kurzsichtige Planung der Regierung zu bestrafen.

Während das Alkoholverbot zum Zeitpunkt des Schreibens möglicherweise aufgehoben wurde, hat Dlamini-Zuma deutlich gemacht, dass ein erneutes Verbot von Alkohol nicht ausgeschlossen ist. Die Alkoholindustrie befindet sich daher jetzt in einer Position unmöglicher Unsicherheit.

Ministerin Dlamini-Zuma sagt, dass das Verbot nicht die Absicht habe, der Branche Schaden zuzufügen, aber angesichts der Tatsachen ist eine solche Zusicherung ein schwacher Trost.

Die Alkoholindustrie hatte bis 2019 den Lebensunterhalt von einer Million Südafrikanern gesichert und mehr als 31 TP2 T zum BIP beigetragen, ganz zu schweigen von den mehr als 15 Milliarden Rand an Steuereinnahmen, die sie der Regierung einbrachte. Tatsächlich hätte das Geld, das die Alkoholindustrie aufgrund des Lockdown-Alkoholverbots verloren hat, einen großen Beitrag zur Finanzierung der südafrikanischen Impfaktion geleistet.

Tracit stellte fest, dass es nach Inkrafttreten des Alkoholverbots zu einem Anstieg der 900%-Ananasverkäufe kam. Der offensichtliche Grund dafür ist, dass viele Leute angefangen haben, Ananasbier selbst zu brauen und es vermutlich auf dem Schwarzmarkt zu verkaufen.

Sogar Supermärkte nutzten die Gelegenheit und „fingen an, die Früchte als Paket mit Zucker und Hefe zu verkaufen“. Während des Verbots meldete die Polizei auch den Schmuggel von Alkoholschmuggel aus Nachbarstaaten, und laut Tracit wurde erwartet, dass die Verluste für die legale Industrie durch den illegalen Handel auf etwa 13 Milliarden Rand pro Jahr steigen würden.

Während der illegale Handel angesichts der unüberlegten politischen Entscheidungen der Regierung völlig verständlich ist, sollten Verbraucher dennoch die Gesundheitsrisiken beim Kauf von selbst gebrautem Alkohol in Kauf nehmen. Während die legale Alkoholindustrie strengen Qualitätsstandards unterliegt, gilt dies nicht für den Verkauf von Bier, das er gerade in seiner Garage gebraut hat. Dutzende von gemeldeten Todesfällen sind bereits auf einen solchen gefährlichen Konsum zurückzuführen.

Einige, die nicht am Alkoholkonsum teilnehmen (ich selbst gehöre dazu), haben den Schaden zugegeben, den dieses Verbot wirtschaftlich angerichtet hat, aber sympathisieren nicht mit der Alkoholindustrie, der sie die Ausbeutung der armen Bevölkerung Südafrikas zuschreiben.

Diese Perspektive verfehlt leider den Punkt, dass die „Alkoholindustrie“ nicht direkt mit Alkohol zu tun hat. Glasabfüller, Einzelhändler, Transportunternehmen, Restaurants und eine Vielzahl anderer Unternehmen sind Teil dieser Branche und viele sind indirekt davon abhängig. Müssen auch die Mitarbeiter und deren Familien von Abfüllbetrieben und Restaurants leiden, nur um die Getränkehersteller zu zeigen?

Die Wahlfreiheit der Verbraucher wird durch die Verfassung garantiert und bedeutet, dass andere Menschen – einschließlich der Armen – sich entscheiden können, Dinge zu tun, mit denen die schwatzenden Klassen nicht einverstanden sind. Dazu gehört auch der Konsum von Alkohol. Auf dem Marktplatz dreht sich alles darum, dass die Anbieter die Nachfrage befriedigen und einen Mehrwert für ihre Verbraucher schaffen, und genau das tun die Alkoholhändler. Es ist nicht nur wirtschaftlich verheerend für die Regierung, unterstützt von einer kleinen Elite von Intellektuellen, die den Alkoholkonsum missbilligen, sich in diese Freiheit einzumischen, sondern es ist auch zutiefst herablassend und unmoralisch.

Tracit empfiehlt zu Recht, dass Verbote und Prohibitionen nicht als legitimes Mittel zur Reaktion auf Covid-19 angesehen werden sollten, da eine solche Reaktion keinen erkennbaren Nutzen hat und die Folgen für die Alkoholindustrie, die Wirtschaft, die Regierung und das gesamte Südafrika verheerend sind Gesellschaft. Für Südafrikaner, deren Nachfrage nach Alkohol nirgendwohin führt, ist es weitaus sicherer, auf dem legalen Markt darauf zugreifen zu können, wo er Qualitätsstandards unterliegt und wo die Verkaufsstelle sozialen Distanzierungs- und Hygienevorschriften unterliegt.

Angesichts der politischen Unsicherheit, die derzeit in Südafrika herrscht, kann keine Wirtschaft effizient funktionieren. Die Regierung muss der Alkoholindustrie versichern, dass weitere Verbote vom Tisch sind. Andernfalls sollten wir mit weiteren Desinvestitionen der Industrie und einem weiteren Wachstum des illegalen Handels rechnen, selbst jetzt, während das Verbot ausgesetzt wurde.

Während bestimmte vernünftige Maßnahmen zur Bekämpfung von Covid-19 beibehalten werden können, ist es für Südafrika höchste Zeit, zu einem gesunden Respekt vor der Wahlfreiheit zurückzukehren.

Martin van Staden ist South African Policy Fellow bei der Verbraucherwahlzentrum

Ursprünglich veröffentlicht hier.

Was bedeutet das Uber-Urteil des Obersten Gerichtshofs des Vereinigten Königreichs für die Gig Economy? Wirtschafts- und Rechtsexperten reagieren

Uber hat in einem „historischen“ Fall gesehen, wie das höchste britische Gericht entschieden hat, dass seine Fahrer Arbeiter sind.

Der Oberste Gerichtshof entschied zugunsten von 35 Uber-Fahrern in einem Fall, der erstmals 2016 vorgebracht wurde. Die Fahrer, die von der in den USA ansässigen Ride-Hailing-App als selbstständig eingestuft wurden, argumentierten, dass sie stattdessen als Arbeitnehmer eingestuft werden sollten.

Nach britischem Recht hat eine als Arbeitnehmer eingestufte Person Anspruch auf einige Rechte, die Arbeitnehmer traditionell genießen, einschließlich Urlaubsgeld und Mindestlohn.

Das Urteil ist einer der bedeutendsten Beschäftigungsfälle, die das Vereinigte Königreich gesehen hat. Es ist ein schwerer Schlag für Uber in einem seiner größten Verbrauchermärkte, und es ist noch nicht bekannt, wie groß die Auswirkungen auf die breitere Gig-Wirtschaft Großbritanniens in Zukunft sein werden. 

Mehrere andere Taxi-Apps, darunter Bolt, Kapten und Ola, arbeiten derzeit ebenfalls nach einem ähnlichen Modell wie Uber in ganz Großbritannien, und die breitere Gig Economy ist in den letzten zehn Jahren im Einzelhandels- und Verbrauchersektor erheblich gewachsen. 

Nach Angaben der Resolution Foundation ist seit 2008 die selbstständige Erwerbstätigkeit für mehr als ein Drittel (35%) des Beschäftigungswachstums verantwortlich. 

Ein Hauptkläger in dem Fall, James Farrar, sagte, er hoffe, dass das Urteil die Art und Weise, wie Unternehmen in der Gig Economy arbeiten, „grundlegend neu ordnen“ werde. 

Hier bringen wir Ihnen Reaktionen auf das Urteil und Kommentare zu seiner Bedeutung von Experten aus Politik, Recht, Wirtschaft und Personal: 

Susannah Streeter, leitende Investment- und Marktanalystin bei Hargreaves Lansdown, bemerkte, dass der Aktienkurs von Uber bei der Eröffnung des Handels an der Wall Street um 11 TP2T fiel, „als die Anleger die Auswirkungen des britischen Urteils verdauten“.

Sie sagte, dass ein „erhebliches Umdenken“ der Arbeitspolitik von Uber wahrscheinlich bevorsteht – und dass es sogar Ubers Pläne beschleunigen könnte, selbstfahrende Autos einzuführen, „um die Kopfschmerzen und Kosten menschlicher Arbeit zu beseitigen“.

Der Analyst verwies auf die Lieferfirma Hermes, die bereits 2018 ein ähnliches Urteil in Großbritannien verloren hatte, und kam schließlich zu einer Einigung mit Gewerkschaften, die sahen, dass Kurieren der Status „Selbstständigkeit plus“ angeboten wurde. 

Streeter sagte, dass die Entscheidung des Obersten Gerichtshofs der jüngste Schlag sei, „der das Gig-Economy-Modell, nach dem die Transport- und Lieferunternehmen weitläufige und lukrative Geschäfte entwickelt haben, zunichte gemacht hat“.

„Uber steht in anderen Teilen der Welt vor Herausforderungen in Bezug auf den Status von Fahrern als Selbstständige, sodass ein erhebliches Umdenken seiner Arbeitspolitik wahrscheinlich bevorsteht“, sagte sie. „Die Entscheidung des Obersten Gerichtshofs des Vereinigten Königreichs führt Uber in seinem Rechtsstreit in eine Sackgasse, und jetzt müssen dem Fahrdienst in Großbritannien erhebliche zusätzliche Kosten entstehen, um den Fahrern den Mindestlohn und Überstunden und möglicherweise auch eine Entschädigung zu zahlen.“

Der Bürgermeister von London, Sadiq Khan, begrüßte das Urteil und sagte, er „wolle, dass London der beste Ort für Geschäfte und auch der beste Ort zum Arbeiten ist“.

Er sagte: „Arbeiter in der Gig-Economy verdienen die gleichen Rechte wie andere Arbeitnehmer.

„Ich fordere Unternehmen in der Hauptstadt, einschließlich privater Leihfirmen, dringend auf, ihren Arbeitern den London Living Wage zu zahlen und ihnen die Sicherheit zu geben, die sie verdienen.

„Arbeiter gut zu behandeln, führt zu höherer Produktivität.

„London ist ein Tech-Kraftwerk für die Welt – aber Arbeitgeber müssen sich an die Regeln halten.“

Alexandra Mizzi, Legal Director bei der Anwaltskanzlei Howard Kennedy, sagte, das Ergebnis „unterstreicht die wichtigste Lektion für Gig-Economy-Unternehmen: Jemanden als Selbstständig zu bezeichnen, verschleiert nicht die rechtliche Realität“.

Mizzi sagte: „Dieses Ergebnis wird bedeuten, dass die geschätzten 45.000 Uber-Fahrer im Vereinigten Königreich in Zukunft von einer Vielzahl von gesetzlichen Schutzmaßnahmen profitieren werden, darunter Krankengeld, Urlaubsgeld und Whistleblower-Schutz.“

Der Anwalt stellte fest, dass Uber auch „einer enormen Haftung für unbezahlten nationalen Mindestlohn ausgesetzt sein wird, der von der HMRC durchgesetzt wird, da das Gericht auch feststellte, dass Fahrer arbeiteten, als sie in die App eingeloggt waren“. 

Andy Davies, Senior Vice President eines globalen HR-Unternehmens,MHR , sagte, dass das Urteil zeige, dass sich das Blatt für Arbeitgeber in der Gig Economy wende.

Er sagte: „Das Blatt wendet sich gegen jene Arbeitgeber, die Gig-Arbeiter skrupellos als Quelle billiger Arbeitskräfte einsetzen, und sollte anderen Unternehmen als deutliche Erinnerung dienen, dass sie es sich genau überlegen müssen, wenn die Mitarbeiter nicht direkt in die ‚Angestellten‘-Kategorie passen ihren Beschäftigungsstatus oder betrachten sich in Zukunft als stark aus eigener Tasche.“

Die Entscheidung, dass Fahrer Arbeitnehmer sind, könnte Arbeitnehmern in der gesamten Gig Economy sogar Anspruch auf Rentenbeiträge einräumen, sagte Aegon-Expertin Kate Smith.

Smith, Leiter der Rentenabteilung des Finanzdienstleistungsunternehmens, sagte, das Urteil „könnte weitreichende Auswirkungen auf alle Gig-Arbeiter haben und ihnen nicht nur das Recht auf Urlaubsgeld, sondern möglicherweise auch andere Leistungen am Arbeitsplatz wie Rentenbeiträge des Arbeitgebers einräumen“. 

Sie sagte: „Diese Neuklassifizierung ist ein weiterer Schritt, um allen Gig-Arbeitern die Türen zur automatischen Registrierung zu öffnen und ihnen die Möglichkeit zu geben, für den Ruhestand zu sparen, mit der wichtigen Stärkung des Rechts auf einen 3%-Arbeitgeberrentenbeitrag.“  

Rosie Hooper, Chartered Financial Planner beim Vermögensverwalter Quilter, fügte hinzu: „Es müssen konzertierte Anstrengungen unternommen werden, um das Engagement für Renten weiter zu stärken und sicherzustellen, dass diejenigen, die zum ersten Mal angemeldet sind, wissen, wozu sie beitragen und wohin es geht.“

Verbraucherrechtsgruppen warnten davor, dass die Entscheidung die Preise in die Höhe treiben und Fahrdienstunternehmen davon abhalten könnte, in Großbritannien zu investieren.

Yaël Ossowski, stellvertretender Direktor der globalen Verbraucherschutzgruppe Consumer Choice Center, sagte, dass das „Urteil das Signal sendet, dass Mitfahrgelegenheiten im Vereinigten Königreich nicht willkommen sind“ und dass dies „nicht das ist, was die Verbraucher wollen“.

Sie sagte: „Das flexible Modell, das bisher das Wachstum von Unternehmen wie Uber, Lyft und anderen vorangetrieben hat, war sowohl für Autofahrer, die Unabhängigkeit wollen, als auch für Verbraucher, die Bequemlichkeit und wettbewerbsfähige Preise wollen, von Vorteil.“

Uber sagte, es „respektiere die Entscheidung des Gerichts“

Jamie Heywood, Regional General Manager von Uber für Nord- und Osteuropa, sagte: „Wir respektieren die Entscheidung des Gerichts, die sich auf eine kleine Anzahl von Fahrern konzentriert, die die Uber-App im Jahr 2016 genutzt haben.

„Seitdem haben wir einige bedeutende Änderungen an unserem Geschäft vorgenommen, wobei wir bei jedem Schritt von Fahrern geleitet wurden. Dazu gehören noch mehr Kontrolle darüber, wie sie verdienen, und neue Schutzmaßnahmen wie eine kostenlose Versicherung im Falle von Krankheit oder Verletzung.

„Wir sind bestrebt, mehr zu tun, und werden uns jetzt mit allen aktiven Fahrern in ganz Großbritannien beraten, um die Änderungen zu verstehen, die sie sehen möchten.“

Uber wies darauf hin, dass Arbeitnehmer zu sein „eine gesetzliche Einstufung ist, die spezifisch für das Vereinigte Königreich ist“ und dass das Urteil die Kläger nicht als Angestellte befunden hat“ – und dass sich das Urteil „nicht auf Kuriere bezieht, die mit Uber Eats verdienen“.

Ursprünglich veröffentlicht hier.

Die Ungereimtheiten des europäischen Vorsorgeprinzips

Gentechnik ist in der EU weiterhin nicht erlaubt, wohl aber Zufallsmutagenese.

Trotz Revolutionierung der Landwirtschaft ist Gentechnik in der Europäischen Union nicht erlaubt. Ich habe das Problem mit dieser EU-Gesetzgebung in anderen Blogbeiträgen auf dieser Website dargelegt. In diesem Artikel möchte ich die eklatante Widersprüchlichkeit erklären, zufällige Mutagenese zuzulassen, wenn Gentechnik weiterhin illegal ist.

Herkömmliche Pflanzenzüchtungstechnologien umfassen zufällige Mutagenese. Im 20. Jahrhundert haben Pflanzenzüchter die Zahl der natürlich vorkommenden Mutationen erheblich erhöht, indem sie sie durch Chemikalien und Strahlung induziert und Veränderungen im Genom erreicht haben, die nicht gerichtet oder mit ungewissem Ausgang sind.

Robert Hollingworth, emeritierter Professor der Abteilung für Entomologie und des Instituts für integrative Toxikologie der Michigan State University (MSU). beschrieben hat der Ablauf wie folgt:

„Mehr Pflanzen, als Sie sich heute im Supermarkt vorstellen würden, wurden tatsächlich durch Mutagenese gezüchtet. Das bedeutet, dass die Samen entweder mit mutationsverursachenden Chemikalien behandelt oder mit Strahlung gesprengt werden. Ruby Red Grapefruit ist ein Beispiel, und einige der Gerstenstämme, die sogar zur Herstellung von Bio-Bier verwendet werden, wurden auf diese Weise hergestellt. Es ist ziemlich üblich.

Bei der Mutagenese waren die meisten Dinge, die passierten, oft schlecht und wurden daher weggeworfen, aber hin und wieder ergab sich etwas Positives, wie keine Samen zu haben oder kürzer und daher leichter zu ernten, und diese wurden schließlich auf dem veröffentlicht Markt, und ohne dass jemand eine Frage stellt.“

Im Wesentlichen sind GVO und noch direkter die Genbearbeitung präzise Methoden, während die bestehende Mutagenese ungenau ist. Eine kohärente Anwendung der vorsorglichen Lebensmittelsicherheitspolitik würde der Gentechnik Vorrang vor der zufälligen Mutagenese einräumen.

Eine Liste mit Tausenden von mutierten Sorten, die durch Bestrahlung entstanden sind ist auf der Website der Internationalen Atomenergiebehörde verfügbar, Informationen öffentlich zugänglich zu machen. Obwohl es öffentlich zugänglich ist, ist es sicherlich nicht öffentlich bekannt, vergleichbar mit der Art und Weise, wie viele Verbraucher glauben, dass die Produktion von Bio-Lebensmitteln keine Pestizide beinhaltet. Wenn Lebensmittel mit einem „durch Bestrahlung entstandenes Produkt“ gekennzeichnet werden sollten, ist dann eine begründete Diskussion über die Vor- und Nachteile dieser Methode zu erwarten, oder eher eine komplette Ablehnung dieser Produkte von vornherein? Die Antwort ist intuitiv. Dies ist weder ein Versuch, die Zufallsmutagenese als Pflanzenzüchtungstechnologie zu diskreditieren noch einen weitergehenden Anspruch auf eine Kennzeichnungspflicht zu erheben, sondern es wirft diese Frage auf: Wesentlich mehr Gewissheit über die Wirkungen der Gentechnik zu haben als über die Wirkungen des Zufalls Mutagenese, warum sind obligatorische GVO-Etiketten eine attraktivere politische Option?

Darüber hinaus haben die Widersprüche des öffentlichen Diskurses ihren Weg in die Gesetzgebung auf der Ebene der Europäischen Union gefunden. Die Richtlinie über die Verwendung von GVO (auf die im nächsten Kapitel eingegangen wird) schließt zufällige Mutagenese aus, wie der Europäische Gerichtshof bestätigt hat: „Der Gerichtshof stellt jedoch fest, dass aus der GVO-Richtlinie hervorgeht, dass sie nicht für Organismen gilt, die durch bestimmte Mutagenesetechniken gewonnen wurden, nämlich solche, die herkömmlicherweise in einer Reihe von Anwendungen verwendet wurden und eine lange Sicherheitsbilanz haben. ”

Dies widerspricht dem wissenschaftlichen Verständnis dieser Verfahren. Tatsächlich hat die vom Menschen induzierte Transgenese eine lange Sicherheitsbilanz, während die Ergebnisse der zufälligen Mutagenese, wie zuvor erläutert, volatil sind.

Die Europäische Union muss ihren Ansatz zum Vorsorgeprinzip überprüfen. Was wir derzeit sehen, ist, dass innovative Lösungen gerügt werden, während alte und problematischere Lösungen hochgehalten werden, weil sie die Vorurteile einiger in der EU bestätigen. 

Ursprünglich hier veröffentlicht.

Податок на інтернет гігантів будемо платити ми

Замість того, щоб довести до пуття наболілі економічні та судову реформи, маємо новий податок.

17-го лютого в середу Верховна Рада прийняла за основу законопроект про так званий податок на Гугл, який зобов'яже “big tech” (інтернет-гігантів) сплачувати податок на додану вартість до українського бюджету. Необхідність законодавчого акту, як пояснюють парламентарі-ініціатори, полягає в тому, що несплата компаніями-нерезидентами ПДВ призводить до втрат державного бюджету та створює неконкурентне середовище для резидентів-платників.

Дякуючи пандемії та локдаунам, що стали її наслідком, світ більшою мірою перейшов олайн. Останній рік став переломним моментом для цифрової економіки. Вона рятувала нас від самотності під час квітневого і лютневого локдаунів, допомогала просувати власні бізнес-ідеї через рекламу в соцмережах та заохочувала створення нових додатків девелоперами. Мова йде про реальних споживачів. І саме їм – нам з вами – доведеться платити цей ПДВ. 

Перелік послуг, які охоплює нове регулювання, є досить широким. Зокрема, до таких послуг, зокрема, але не виключно, належать:

а) постачання зображень або текстів, в тому числі фотографій, електронних книжок та журналів;
б) постачання аудіовізуальних творів, відео на замовлення, ігор, азартні ігри, включаючи постачання послуг з участі в таких іграх;
в) надання доступу до інформаційних, комерційних, освітніх та розважальних електронних ресурсів та інших подібних ресурсів;г) надання у користування хмарних технологій для розміщення даних;
ґ) постачання (передача прав на використання) програмного забезпечення та оновлень до нього, а також дистанційне обслуговування програмного забезпечення та електронного обладнання;
д) надання рекламних послуг в мережі «Інтернет», мобільних додатках та інших електронних ресурсах.

Податок на додану вартість, як відомо, є непрямим податком, який сплачується покупцем послуг, але саме адміністрування здійснюється продавцем. Таким чином, будь-які послуги, які ми зараз отримуємо через інтернет (Youtube, Netflix, Google, Apple, AliExpress) подорожчають на 20 відсотк.відсотк. Аналfolgen Поширення ПДВ на інтернет-гігантів матиме прямий негативний вплив на малий бізнес в Україні, якому можливості інтернету дозволили комунікувати свою пропозицію більш ефективно.

Сама ставка податку на ПДВ на електронні послуги – та й загалом – є досить високою. В одній з найбільш економічно вільних країн світу Сінгапурі вона становить 7 відсотків, в Америці – до 10, у Канаді – 6. Очевидно, що розширити спектр регулювання вже встановленої ставки ПДВ на електронні послуги для регулювання конкуренції є набагато легше, аніж зменшити ставку повністю. Конкуренція на всіх ринках процвітає там, де держава мінімально втручається. 

Але наші парламентарі чомусь вирішили, що нам треба йти дорогою Росії, на яку вони посилаються у пояснювальній записці до законопроекту.

“З 01 січня 2017 року в Російській Федерації був введений податок, який зобов'язав нерезидентів сплачувати податок на додану вартість з продажу на території РФ електронних послуг: цифрового контенту, послуг зберігання та обробки інформації, реєстрації доменів і хостингу та ін., при цьому вони повинні стати на податковий облік. Wir haben Apple Distribution International, Google Commerce, Microsoft Ireland, Netflix International BV, Wargaming Group, Bloomberg, Alibaba, Booking.com und andere. Загалом з моменту впровадження податку на податковий облік стало 1580 компаній. За офіціними даними до бюджету такими компаніями (B2C) було сплачено у 2017 році – 9,4 ml. руб., у 2018 – 12 млдр. руб., у І кварталі 2019 – 12 млдр. руб. (70% суми припадає нанайбільші IT компанії). Аналогічні податкові правила введені в Республіці Білорусь у 2018 році. „

Рухаємось на захід до кращого та вільного майбутнього, так? А загалом, цифри про те, скільки надходжень до державного бюджету допоміг отримати новий ПДВ не можуть бути ключовим аргументом у випадку України. Як ми всі добре знаємо, всі надходження до бюджету проходять мільйон корупційних схема перше, ніж якась мінімальна частина з них впаде на нас у вигляді послуг, соціальних гарантій і тд. Саме така доля чекає і на новий ПДВ. Нам треба зосередитись на тому, щоб лишити більше грошей на руках в звичайних громадян і дати їм можливість витрачати так, як вони вважають за потрібне.

Певно, одним з найбільш проблемних аспектів даного законопроекту є бюрократія. К манія & еезиде ims Відповідно до законопроекту, при проведенні податкової перевірки спрощеної податкової декларації поданої особою нерезидентом, може витребувати в особи нерезидента та третіх осіб інформацію та документи, які підтверджують факт постачання на митній території України електронних послуг фізичним особам, вартість поставлених послуг та терміни їх оплати. 

Загалом, головне, що нам всім варто зрозуміти стосовно розширення регулювання ПДВ це те, що платити за платити за це платити Для малих девелоперів та бізнесу це підсилить тягар ведення діяльності в Україні. Що з цими грошима буде робити держава – невідомо. Але замість того, щоб довести до пуття наболілі економічні та судову реформи, маємо новий податок. Податок на сервіси, які комусь дозволяють заробити, а комусь – відпочити від негативних новин про ковід іа са.

Ursprünglich veröffentlicht hier.

Ist das Inklusivvolumen für Spotify bald Geschichte?

Der Verbraucher sollte nicht vor sich selbst geschützt werden. Stattdessen soll er die Möglichkeit haben, bei Angeboten frei zu wählen.

Wann haben Sie das letzte Mal ein UKW-Radio benutzt? Wenn Sie zwischen 15 und 50 Jahre alt sind, ist es wahrscheinlich schon eine Weile her. Wie ich sehe, bist du einer dieser Streamer auf Netflix, Amazon Prime, Hulu, und wenn du dich für Sport interessierst, vielleicht DAZN oder Skyticket.

Die Welt hat sich verändert. Die gelegentlich aufregende Radiosendung, die alle fünf Minuten von einer Mischung aus langweiliger Aufzugsmusik und sich wiederholender Supermarktwerbung unterbrochen wird, wurde durch stundenlange Gespräche in Podcasts ersetzt, die immer auf eine bestimmte Nische ausgerichtet sind. Du schreibst keine Briefe mehr an Freunde; nein, auch E-Mails wirken heutzutage sehr förmlich. Du schreibst ihnen auf einem der Boten.

Natürlich konnten sich einige Unternehmen mit gutem Service gegen die Konkurrenz durchsetzen. Zum Beispiel denken wir beim Streamen von Musik an Spotify (übrigens ein europäisches Unternehmen), bei Videos an YouTube und bei TV-Sendungen an Netflix.

Gerade beim Thema mobiles Internet machen sich Telekommunikationsanbieter diese Information zunutze und passen ihre Angebote an: Zusätzlich zum monatlichen Internetvolumen werden Pakete angeboten. Bestimmte Apps und Dienste können ohne Datenbeschränkung verwendet werden. So kann ein Musikliebhaber beispielsweise ein Paket wählen, in dem er Spotify, Apple Music oder andere vertraglich definierte Dienste unbegrenzt hören kann. Gleichzeitig kann sich ein Serienjunkie für ein anderes Paket entscheiden.

Dies ist für den Verbraucher attraktiv; schließlich wächst das Internet nicht auf Bäumen, schon gar nicht in digitalen Entwicklungsländern wie Deutschland.

Aber zum größten Teil ist das wahrscheinlich jetzt vorbei. Am 15.09.2020 wird die Europäischer Gerichtshof entschieden, dass Tarife, in denen bestimmte Apps von der Geschwindigkeitsdrosselung ausgenommen sind, gegen EU-Recht verstoßen. Konkret betrifft der Fall die ungarische Niederlassung des Telekommunikationsunternehmens Telenor und die ungarische Medien- und Telekommunikationsbehörde, die zwei Mitteilungen herausgab, in denen sie feststellte, dass ihre Angebote gegen Art. 3(3) der Verordnung 2015/2120 verstießen.

Das zuständige Gericht legte dem Europäischen Gerichtshof eine Frage zur Auslegung von Art. 3 Abs. 1-3 der Verordnung vor. Die Standards betreffen Internetdienste und deren Nutzung sowie die sogenannte „Offenheit des Internets“, manchmal auch „Netzneutralität“ genannt. Die Rechtsnormen sollen die Rechte der Endnutzer sichern. Die Regelung Zustände

„Darüber hinaus umfasst dieser Begriff sowohl natürliche als auch juristische Personen, die Internetzugangsdienste nutzen oder anfordern, um auf Inhalte, Anwendungen und Dienste zuzugreifen, und diejenigen, die Inhalte, Anwendungen und Dienste unter Verwendung des Internetzugangs bereitstellen.“

Laut EuGH sind Vereinbarungen wie die des Unternehmens geeignet, die Rechte der Endnutzer einzuschränken. Einerseits wird argumentiert, dass dadurch die Nutzung bevorzugt behandelter Apps gesteigert werden könnte. Andererseits werden die anderen Dienste, die weiterhin gedrosselt werden können, benachteiligt und die Nutzung könnte zurückgehen. Es wird argumentiert, dass solche Vereinbarungen kumulativ zu einer erheblichen Einschränkung der Rechte der Endnutzer führen könnten.

Zudem beruhe die Ungleichbehandlung nicht auf objektiv unterschiedlichen Anforderungen an bestimmte Leistungen, sondern auf rein kaufmännischen Erwägungen.

Somit verstoßen die Vereinbarungen von Telenorl gegen europäisches Recht. Die Argumentation des EuGH sollte hier gar nicht in Frage gestellt werden. Betrachtet man die Normen, so ist die Linie des EuGH damit durchaus kompatibel bzw. sehr vertretbar. Kritisierenswert sind die Normen selbst sowie die dahinter stehenden philosophischen und ökonomischen Überlegungen. Zunächst einmal ist es keine böswillige Idee, allen Marktteilnehmern die gleichen Konditionen zu bieten. Die Verfechter der „Netzneutralität“ meinen es auch gut, wenn sie Diskriminierung und kartellähnliches Vorgehen im Markt verhindern wollen.

Dass dies ein Eingriff in die Privatautonomie von Telekommunikationsunternehmen, Diensteanbietern und Verbrauchern ist, interessiert leider nur wenige. Das Ziel eines „offenen Internets“ für alle scheint wichtiger als Verbraucher und Unternehmen, die versuchen, miteinander Geschäfte zu machen.

Allerdings machen die Angebote und die Ungleichbehandlung Sinn; sie ermöglichen die unbeschwerte Nutzung bestimmter Dienste, die sonst jeden Monat zu Volumenfressern mutieren würden. Darüber muss sich der Verbraucher bei einem solchen Vertrag keine Gedanken machen; er kann seinen bevorzugten Dienst uneingeschränkt nutzen (zumindest wenn er in einer Region mit guter Netzabdeckung wohnt).

Verbietet man solche freiwilligen Lösungen, weiß man erst einmal, wozu das Verbot nicht führen wird: Zu uneingeschränkter Lautstärke für alle. Es ist durchaus möglich, dass die Telekommunikationsunternehmen mit dem Gesamtvolumen konkurrieren. Aber 5 GB oder nicht machen keinen Unterschied, wenn die Arbeit nur für einen bestimmten Dienst benötigt wird, aber ohne Einschränkungen. Der Verbraucher sollte nicht vor sich selbst geschützt werden. Stattdessen soll er die Möglichkeit haben, bei Angeboten frei zu wählen.

Ursprünglich veröffentlicht hier.

Warum die Consumer Revolution von Jeff Bezos eine wahre amerikanische Erfolgsgeschichte ist

Wenn wir Glück haben, wird das Beispiel von Bezos im 21. Jahrhundert Millionen weiterer Unternehmer inspirieren.

Nach mehr als einem Vierteljahrhundert an der Spitze eines der wertvollsten Unternehmen der Welt, Jeff Bezos angekündigt in diesem Monat, dass er bald als CEO von Amazon zurücktreten wird.

Die Spuren, die Bezos und sein Unternehmen bei Verbrauchern, kleinen Unternehmen und dem gesamten globalen Markt hinterlassen haben, können nicht genug betont werden: Er hat dazu beigetragen, die Art und Weise, wie normale Menschen auf Waren zugreifen und diese verteilen, zu revolutionieren.

Die von Amazon eingeführten Innovationen befähigen jetzt Milliarden von Menschen, die Produkte online kaufen und verkaufen, Websites hosten und nutzen, Nachrichten, Bücher und Filme konsumieren und eine schnelle und verantwortungsbewusste Lieferung als Standard für ihre Geschäftstätigkeit erwarten.

„Wenn man es richtig macht, ist das Neue ein paar Jahre nach einer überraschenden Erfindung zur Normalität geworden“, schrieb Bezos in seinem Abschiedsbrief. „Die Leute gähnen. Und dieses Gähnen ist das größte Kompliment, das man einem Erfinder machen kann.“

Tatsächlich ist in den letzten zwei Jahrzehnten so viel Innovation aus den Hauptsitzen und Vertriebszentren von Amazon geströmt, dass sie in unserem Leben allgegenwärtig geworden sind, insbesondere im vergangenen Jahr der Coronavirus-Sperren.

Nichts davon wäre ohne erhebliche Risiken erreicht worden.

Während er seinen Platz an der Spitze eines von nur zwei Billionen-Dollar-Unternehmen verlässt, die jemals existiert haben, sollte man sich daran erinnern, dass Bezos eine echte amerikanische Erfolgsgeschichte ist.

Wie er im Kongress sagte Zeugnis Letztes Jahr wuchs Bezos von einer alleinerziehenden Mutter im Teenageralter und später von seinem kubanischen Flüchtlingsstiefvater in New Mexico auf. Im Sommer arbeitete er auf dem Bauernhof seiner Großeltern und bastelte später in der Garage seiner Eltern an verschiedenen Erfindungen.

Diese Neugier brachte ihn auf die Idee eines Online-Buchladens mit unbegrenzten Titeln, ein Pitch, der ihn oft in Sitzungssälen und Universitäten zum Lachen brachte.

Jetzt, all diese Jahre später, mit eine Menge von teuren Fehlern hinter sich, pendelt Bezos zwischen dem reichsten und zweitreichsten Menschen der Welt.

Allerdings gibt es Menschen jeder politischen Überzeugung, die ein Hühnchen zu rupfen haben.

Sein Milliardärsstatus und der Betrieb globaler Vertriebszentren bringen ihn oft ins Fadenkreuz steuerhungriger Regierungen, linker Politiker und Gewerkschaftsaktivisten. Gleichzeitig ist sein Eigentum an der Washington Post Zeitung und verschiedene politische Neigungen machen ihn zu einem bequemen Boxsack für Konservative.

Insgesamt gibt es berechtigte Fragen dazu, wie Amazon behandelt seine Arbeiter, wie das Unternehmen Partner mit Strafverfolgung, und seine Streben nach Unternehmenswohl.

Einige würden sagen, dass es bessere Möglichkeiten gibt, wie Bezos seinen beträchtlichen Reichtum in philanthropischen Aktivitäten verteilen, an öffentlichen Gesprächen teilnehmen oder sein politisches Gewicht hinter wichtige Tagesthemen stellen könnte. Aber es wäre ein Fehler, den Gesamtwert zu übersehen, den Amazon uns bereits geboten hat.

Heute erleben wir eine Verbraucherrevolution, in der wir alle befugt sind, Produkte auf dem Amazon-Marktplatz zu kaufen und zu verkaufen, sie nahtlos liefern zu lassen und alles auf Cloud-Computing-Hardware laufen zu lassen, die von Amazon-Ingenieuren entwickelt wurde. Wir haben das explosives Wachstum von Amazon Prime und seinen Videoprodukten und ein Hollywood-Studio, das die etablierten Unternehmen in den Schatten stellt.

Mit einer so herausragenden Karriere bei der Bereitstellung von Mehrwert für die Verbraucher verdient Jeff Bezos unseren Dank und unser Lob. Wenn wir Glück haben, wird sein Beispiel im 21. Jahrhundert Millionen weiterer Unternehmer inspirieren.

Ursprünglich veröffentlicht hier.

Фонди Блумберга несуть відповідальність за зниження ефективності ВООЗ

Експерт пояснив повільну і невдалу реакцію ВООЗ на останні пандемії – від Еболи в Західній Африці до коронавірусу в Китаї і по всьому світові.

Відомий філантроп Майкл Блумберг і фінансовані ним організації шкодять громадському здоров'ю. Адже відволікають Всесвітню організацію охорони здоров'я від боротьби з епідеміями, перетворюючи її на «поліцейського» проти дитячих каш, солодких газованих напоїв і тютюнових виробів. 

Про це пише в Washington Examiner заступник директора Consumer Choice Center (глобальної групи захисту прав споживачів) Єль Островський.

„Майкл Блумберг починав із заборон великих пляшок солодких газованих напоїв в Нью-Йорку. Але тепер «мер великий ковток» (як його називали за часів, коли він очолював Нью-Йорк) має глобальні амбіцііііі. Від Японії і Філіппін до Індії і Перу – гроші Блумберга призвели до різкого підвищення податків на споживчі товари – зокрема, на газовані напої та сигарети, до заборон проти вейпінгу і обмежень на рекламу каш для дітей”, – пише Єль Островський. 

Але найгірший результат діяльності Блумберга полягає в тому, що йому вдалося суттєво змістити акценти в роботі Всесвітньої організації охорони здоров'я – що найгірше проявилося у неефективному реагуванні ВООЗ на пандемію коронавірусу.

„ВООЗ збилася з дороги. Замість організовувати роботу із покращення обладнання для лікарень, підготовки лікарів і всієї системи охорони здоров'я до можливих нових епідемій, «глибокі кишені» Блумберга перетворили ВООЗ на глобального поліцейського для країн, що розвиваються”, – впевнений Єль Островський. 

Саме цим пояснює експерт вкрай повільну і невдалу реакцію ВООЗ на останні пандемії – від Еболи в Західній Африці до коронавірусу в Китаї і по всьому світові.

Але незважаючи на такі сумні і сумнівні результати, фонд Блумберга продовжує накачувати фінансами інституції з охорони здоров'я в таких країнах як Філіппіни та Індія – в обмін на жорсткі заборони і обмеження для частини споживчих товарів – констатує Єль Островський.

Така активна політика втручання Блумберга вже призвела до доволі жорсткої реакції зокрема з боку прем'єр-міністра Індії Нарендра Моді, який ще з 2014 р. почав обмежувати вплив фондів Блумберга на місцевих чиновників.

Цього року аналогічний скандал із фондами Блумберга стався на Філіппінах. Там національний парламент вже зацікавився виділенням коштів фонду Блумберга місцевому державному органу – Управлінню безпеки харчових і фармацевтичних товарів, яке зараз розглядає питання регулювання товарів для вейпінгу.

Уряд ф флллж ф факликав чиновkunft ж з закликches чиновникі & |

Як повідомляв УНІАН, схожий активний фінансовий вплив організації Блумберга демонстрували також в інших країнах з низьким і середнім рівнем доходу. 

Наприклад, міністр охорони здоров'я Вірменії Арсен Торосян також визнавав, що вірменські урядові структури підписали «грантові угоди» з трьома організаціями, які теж фінансує Блумберг. 

Схожа ситуація й у В'єтнамі, де Bloomberg Philanthropies внесли щонайменше 3,2 млн. доларів у “спроможність контролю над тютюном” з 2007 по 2014 р. За заявою Bloomberg Philanthropies, вони “тісно співпрацювали з урядом та місцевими організаціями”, включаючи Мінірерство

В результаті цієї співпраці у В'єтнамі, де 45% чоловіків продовжують палити, місцевий МОЗ оголосив про план повністю заборонити купівлю, продаж, виготовлення та ввезення електронних сигарет. Хоча в деяких країнах Європи електронні сигарети вже вважаються одним з найефективніших засобів вікна відмови

В Україні теж діє низка організацій, спонсорованих фондами Блумберга. Серед них – ГО «Життя», що активно співпрацює з народними депутатами та деякими працівниками системи Міністерства охорони здоров'я у формуванні політики й законопроектній роботі.

Ursprünglich veröffentlicht hier.

Uber hat Recht: Erkennen Sie unabhängige Plattformarbeiter an

In einem neuen Whitepaper, das der Europäischen Kommission vorgelegt wurde, verteidigte die Mitfahrplattform Uber ihr Geschäftsmodell im Vorfeld einer neuen Gesetzgebung zur Plattformarbeit.

„Dieser Standard (für Plattformarbeit) muss den Wert unabhängiger Arbeit anerkennen und auf Prinzipien basieren, die Fahrer und Kuriere für sie am wichtigsten halten“, sagte Dara Khosrowshahi, CEO von Uber, in einem Blogbeitrag.

In vielen EU-Mitgliedsstaaten sind Plattformen wie Uber, Bolt und Heetch wegen der Art und Weise, wie sie die Beziehung zwischen Plattform und Fahrern strukturieren, unter Beschuss geraten. Im Gegensatz zu einem normalen Taxiunternehmen beschäftigt Uber keine Fahrer und ist daher nicht für verschiedene Vorteile verantwortlich, die mit einer traditionellen Beschäftigung einhergehen.

Dieser unabhängige Status gibt den Fahrern Unabhängigkeit und Flexibilität, dh sie können ohne vordefinierte Arbeitszeiten ein- und ausstempeln. Die Struktur ermöglicht es Einzelpersonen, diese Apps als Nebenverdienst neben anderen Beschäftigungsmöglichkeiten zu nutzen, und hat ein vielfältigeres Mitfahrerlebnis geschaffen, das das Lizenzsystem aufbricht, das den Individualverkehr in Europa jahrzehntelang belastet hat. 

Gerade jetzt brauchen wir funktionierende und intelligente Gesetze, die diejenigen, die die Gig Economy nutzen, stärken und nicht bestrafen. Dies gilt insbesondere für Europäer mit niedrigem Einkommen, die diese Dienste höchstwahrscheinlich nutzen, um ihr Einkommen aufzubessern oder Geld zu sparen. Zu oft haben sich Regulierungsbehörden und Politiker den Forderungen der alten Industrien angepasst, die einst Monopole auf Gastgewerbedienste innehatten, wie Hotels, Autovermietungen und Taxiunternehmen.

Laut Euractiv „sagte die Kommission, sie werde zunächst Feedback dazu einholen, ob ein Gesetz zur Verbesserung der Arbeitsbedingungen von Gig-Arbeitern erforderlich ist, gefolgt von einer zweiten Konsultation zum Inhalt des Gesetzes.

„Im Rahmen der Konsultation der Sozialpartner prüft die Europäische Kommission Themen wie prekäre Arbeitsbedingungen, Transparenz und Vorhersehbarkeit von Vertragsvereinbarungen, Gesundheits- und Sicherheitsprobleme und angemessenen Zugang zu sozialem Schutz“, sagte eine Sprecherin.

Die EU-Gesetzgebung zu diesem Thema lässt noch lange auf sich warten, aber eine erzwungene Harmonisierung der Vorschriften könnte einen schweren Schlag für die Vielfalt des europäischen Marktes bedeuten. Bisher konnten die Mitgliedstaaten das für sie geeignete Modell frei wählen. Im Sharing Economy Index 2020 verglich das Consumer Choice Center verschiedene Städte in Europa und zeigte große Unterschiede darin, wie Europa diese innovativen Lösungen angeht.

Natürlich können die Auswirkungen der Pandemie auf die Sharing Economy nicht hoch genug eingeschätzt werden. Die großen Sharing-Economy-Unternehmen wie Airbnb, Uber und Lime kämpfen damit, dass weniger Menschen reisen und ihre Dienste nutzen. Aber daran sollten wir den Erfolg der Gig Economy nicht messen.

Bei den Versprechen der Sharing Economy ging es nie um Gewinne an der Wall Street, mutige Unternehmenslenker oder gar Gewinne für Investoren. Es geht nicht um das Endergebnis eines einzelnen Unternehmens oder seinen Marktanteil. Vielmehr ging es immer darum, neue und innovative Optionen anzubieten, um Menschen wie Sie und mich zu befähigen, unser Leben zu verbessern.

Die Sharing Economy befähigt sowohl Verbraucher als auch Unternehmer, Ressourcen, die sie sonst nicht nutzen würden, kreativ und gemeinsam zu nutzen oder zu verleihen. So können Menschen als Eigentümer zusätzliche Einnahmen erzielen und als Nutzer Geld sparen.

Ob Mitfahrgelegenheiten, Carsharing, Homesharing, das Teilen von Werkzeugen oder der E-Scooter-Verleih, die Regelungen zur Sharing Economy sollten deren Nutzung und Profitabilität nicht erschweren.

Einige EU-Mitgliedsstaaten haben handfeste Kompromisse zwischen den Plattform-Apps und den Regulierungsbehörden gefunden. Aber wenn wir mehr Wettbewerb im Bereich der Sharing Economy wollen, müssen wir die Markteintrittsbarrieren so niedrig wie möglich halten. Manchmal ist es besser, nicht zu regulieren, als zu versuchen, auf die eine oder andere Weise zu regulieren.

Yaël Ossowski (@ YaelOss) ist stellvertretender Direktor der Verbraucherwahlzentrum, eine globale Verbrauchervertretung.

Ursprünglich veröffentlicht hier.

Scrolle nach oben
de_DEDE