fbpx

Vaping

New GEG Bill Is Too PROHIBITIVE And NEEDS Further Review

KUALA LUMPUR, 30 th May 2023 – Consumer Choice Center (CCC) urges the Government to reconsider its decision to table the Control of Tobacco Products and Smoking Bill 2022 which includes a generation endgame policy (GEG) in the upcoming Parliament session as further scrutinisation needs to be conducted on this matter that involves consumer preferences. 

GEG too harsh on vendors

Representative of the Malaysian Consumer Choice Center, Tarmizi Anuwar, said: “It is time for the government to stop dictating consumers on what can be done and what cannot be done. All consumers have a fundamental interest in defending personal and civic freedoms. Therefore, they should be given a personal choice to decide what works for them without excessive intervention.” 

“In addition, what consumers need are smart regulations that can protect them rather than restrict them because problems like smoking and vaping are multifaceted.”

Read the full text here 

Belajar dari Kebijakan Harm Reduction di Inggris untuk Mengurangi Jumlah Konsumsi Rokok

Industri vape atau rokok elektrik saat ini menjadi salah satu industri yang mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. Saat ini, kita bisa dengan mudah menemukan berbagai orang yang menggunakan vape atau rokok elektrik dalam keseharian mereka, khususnya kita yang tinggal di kota-kota besar di seluruh Indonesia.

Pada tahun 2018 lalu misalnya, jumlah pengguna vape atau rokok elektrik di Indonesia adalah sebesar 1,2 juta. Berdasarkan data dari Kementerian Perindustrian, angka tersebut meningkat signifikan pada tahun 2020, menjadi 2,2 juta pengguna vape yang ada di Indonesia (vapemagz.co.id, 24/01/2021).

Semakin pesatnya industri vape yang ada di Indonesia ini juga tentunya membawa dampak terhadap perekonomian, salah satunya pembukaan lapangan kerja. Pada tahun 2022 kemarin misalnya, berdasarkan data dari Asosiasi Personal Vaporizer Indonesia (APVI), terdapat lebih dari 100 distributor atau agen dan 200 produsen vape yang ada di Indonesia. Hal tersebut telah mampu menyerap sekitar 80.000 sampai dengan 100.000 tenaga kerja (liputan6.com, 13/6/2022).

Akan tetapi, tentunya tidak sedikit pihak-pihak yang memiliki kekhawatiran dan pandangan negatif terhadap semakin meningkatnya industri vape tersebut. Beberapa organisasi medis di Indonesia misalnya, meminta pemerintah untuk melarang peredaran vape karena dianggap sama berbahayanya dengan rokok konvensional yang dibakar. Tidak hanya itu, beberapa waktu lalu misalnya, Wakil Presiden Republik Indonesia, Maaruf Amin, juga menyatakan bahwa vape atau rokok elektrik bisa dilarang bila terbukti berbahaya (cnnindonesia.com, 27/01/2023).

Padahal, sudah beberapa tahun yang lalu, lembaga kesehatan dari beberapa negara di dunia sudah mengeluarkan laporan yang menyatakan bahwa vape atau rokok elektrik merupakan produk yang jauh lebih tidak berbahaya bila dibandingkan dengan rokok konvensional yang dibakar. Sangat penting dicatat bahwa, jauh lebih tidak berbahaya bukan berarti tidak ada bahayanya sama sekali. Bahaya tetap ada, tetapi jauh lebih kecil, dan oleh karena itu bisa digunakan sebagai produk alternatif.

Lembaga kesehatan publik asal Inggris, Public Health England (PHE) misalnya, pada tahun 2015 lalu, mengeluarkan laporan yang menyatakan bahwa vape atau rokok elektrik merupakan produk yang 95% lebih aman bila dibandingkan dengan rokok konvensional yang dibakar. Untuk itu, Pemerintah Inggris menganjurkan konsumsi vape sebagai salah satu langkah yang bisa digunakan oleh warganya yang menjadi perokok, untuk membantu mereka menghentikan kebiasaan merokoknya yang sangat berbahaya bagi kesehatan (theguardian.com, 28/12/2018).

Pemerintah Inggris juga memberlakukan berbagai kebijakan yang ditujukan untuk membantu warganya berhenti merokok. Negara kerajaan tersebut sendiri memiliki jumlah perokok yang tidak sedikit. Pada tahun 2021 lalu misalnya, diestimasikan ada sekitar 6,6 juta populasi perokok aktif yang ada di Inggris, yang merupakan sekitar 13,3% dari populasi (ons.gov.uk, 6/12/2022).

Ada beberapa program yang dilaksanakan oleh pemerintah Inggris untuk menanggulangi kenaikan dan mengurangi jumlah populasi perokok aktif yang ada di negara tersebut. Salah satunya adalah, pada bulan April lalu, pemerintah Inggris mengumumkan akan mengesahkan program baru, yakni dengan memberikan alat vape bebas nikotin gratis kepada 1.000.000 perokok aktif yang ada di negara tersebut (filtermag.org, 13/4/2023).

Tidak hanya melalui pemberian alat vape gratis, pemerintah Inggris juga akan menyediakan program untuk mengubah kebiasaan para perokok untuk berhenti merokok dan beralih ke produk alternatif lain yang lebih aman. Program ini sendiri rencananya akan dilaksanakan selama dua tahun, dan dikhususkan kepada komunitas-komunitas yang rentan terhadap adiksi rokok, seperti komunitas berpenghasilan rendah dan kelompok-kelompok marjinal.

Tujuan utama dari program ini sendiri adalah menjadikan Inggris sebagai negara dengan tingkat perokok yang sangat rendah. Angka yang menjadi target dari program ini sendiri adalah, jumlah populasi perokok di Inggris bisa mencapai di bawah 5% pada tahun 2030.

Langkah yang dilakukan oleh pemerintah Inggris ini tentu merupakan sesuatu yang sangat patut untuk diapresiasi, dan juga bisa dijadikan contoh kebijakan yang bisa diberlakukan oleh negara-negara lain, terutama negara-negara dengan jumlah perokok aktif yang tinggi. Indonesia sendiri, sebagai salah satu negara dengan jumlah perokok aktif tertinggi di dunia, justru sepertinya memberlakukan kebijakan yang terbalik dari apa yang dilakukan oleh Inggris terkait dengan kebijakan harm reduction.

Pada akhir tahun lalu misalnya, pemerintah memutuskan untuk meningkatkan cukai cairan vape di Indonesia sebesar 15%. Hal ini tentu niscaya akan meningkatkan harga rokok elektrik yang dijual di Indonesia, dan akan lebih sulit untuk menarik para konsumen, khususnya mereka yang masuk dalam kelompok menengah ke bawah yang mendominasi populasi perokok aktif yang ada di Indonesia.

Sebagai penutup, sebagai salah satu negara dengan jumlah perokok terbesar di dunia, sudah seharusnya Indonesia memberlakukan kebijakan yang berfokus pada harm reduction. Sehubungan dengan hal tersebut, langkah kebijakan yang diambil oleh pemerintah Inggris bisa menjadi salah satu contoh kebijakan yang bisa dijadikan acuan.

Originally published here

The government must end spreading myths around vaping to prevent the spread of false information

KUALA LUMPUR, 25th May 2023 – The Consumer Choice Center (CCC) demands that the government must stop issuing myths or false statements about vaping being more dangerous than cigarettes in order to avoid misunderstandings and the spread of inaccurate information to consumers and the public.

Representative of the Malaysian Consumer Choice Center, Tarmizi Anuwar said: “It is time for the government to stop spreading myths or false information about vaping being supposedly more dangerous than cigarettes. Many internationally recognized scientific studies have concluded that switching completely to vaping provides important health benefits as opposed to continuing to smoke.

In September 2022, the latest research from the Institute of Psychiatry, Psychology & Neuroscience (IoPPN) at King’s College London found that the use of vaping products compared to smoking leads to a significant reduction in exposure to toxins that promote cancer, lung disease and cardiovascular disease.

In addition, Tarmizi also said that claims about vaping causing diseases such as EVALI and popcorn lung is completely deceptive as advertised and there needs to be a law based on facts and scientific studies to regulate vaping products immediately.

“So much misleading news are connecting e-cigarettes to lung injuries known as EVALI. But the root cause is the abuse of prohibited substances containing vitamin E acetate and not legal vaping products.”

“A study conducted by Research Cancer UK indicates that e-cigarettes generally do not cause pulmonary disease known as popcorn lung. To date, no confirmed cases of popcorn lung have been reported among individuals using electronic cigarettes or vaping products.”

“That is why it is important that facts and science be used as the primary means of formulating legislation aimed at setting quality and safety standards for vaping. This not only protects consumers, but also ensures that vaping is one of the effective tools in helping people quit smoking.”

Regarding the so-called many teenagers around the world becoming addicted to nicotine and taking cigarettes because of vaping, Tarmizi believes there is no data to support the view that this problem is spreading among teenagers but believes that vaping underage should not be allowed.

Recently, the Director of the Center for Tobacco Products, Food and Drug Administration, Dr. Brian King said that vaping is not a gateway to smoking for teenagers. He said the use of cigarettes and smoke-free tobacco has declined more rapidly since 2012, when the use of e-cigarettes began to rise.

In addition, the health charity that aims to end the dangers of tobacco established by the Royal College of Physicians, Action on Smoking and Health, states that youth smoking rates are at an all-time low in the United Kingdom and that the use of electronic cigarettes by youth between 11-18 years old is rare.

“However, minors should not be allowed to vape. In order to avoid or reduce the risk of this happening, the government needs to enforce age restrictions through smart rules such as using modern age verification technology for online sales,” he concluded.

GOVERNMENT ARROGANCE DEFIES SCIENTIFIC FACTS

It may surprise those who need to become more familiar with how politics works in Hungary. Still, it is just business as usual for those familiar with the government’s stand on policy issues.

Whenever opposition members of parliament raise a sensible policy issue, the Hungarian government finds a way to either discredit the MP, shove the topic off the table, or completely disregard the issue. This was no different when László Lukács, the party group leader of Jobbik-Conservatives, asked the Minister of the Interior a question about revisiting the regulation regarding e-cigarettes. (It might be worth another article on what the Minister of the Interior has to do with health issues, but Hungary has not had a Health Ministry since Fidesz took over 13 years ago).

MP Lukács enquired about the possibility of changing the law since it has been in effect for seven years and new scientific evidence has come to light in many countries; people have experienced positive results due to more flexible legislatures and common sense.

But this is Hungary, where many policy issues meet with the arrogance of government officials who disregard facts and only focus on humiliating their colleagues in opposition.

The reply by the State Secretary was relatively straightforward. The Hungarian government considers vaping harmful and would not plan on changing the present legislation: no consideration, no openness to new studies, and no interest in looking at best practices.

The attitude of the State Secretary has shocked Michael Landl, the director of the World Vapers’ Alliance (the guest on our podcastsome months ago), who issued a press release about the official statement presented by the Hungarian government. According to Mr. Landl, “It is shocking that the Hungarian government still pedals worn-out and debunked myths about vaping. Rétvári systematically ignores scientific evidence proving the benefits of vaping, not to mention the first-hand experience of millions of vapers. Vaping is 95% less harmful than smoking and a more effective method to quit smoking than traditional therapies such as gum and nicotine patches. The Hungarian approach to vaping will do nothing but cost lives.” 

The director of the WVA also claims that the statement shows that Hungary ignores science and spreads misinformation about vaping. He says that “This is not a good sign for public health. Vaping is not the same as smoking and must be treated differently. Equating a 95% less harmful alternative with smoking will prevent thousands of smokers from quitting.”

It is worth noting that the Hungarian government disregards Swedish and British examples showing the success of using vaping as a harm reduction tool to give up smoking.  These two countries are experiencing record-low smoking rates and illnesses attributed to smoking, and they provide the world with good examples of switching from smoking to vaping. This, however, falls on deaf ears in the prohibitionist Hungarian government, which would probably also defend witchcraft if its interests required it.

Originally published here

Pentingnya Peneliti Indonesia Meneliti Kebijakan Harm Reduction di Negara Lain

Rokok elektrik, atau yang dikenal juga dengan nama vape, saat ini merupakan produk yang digunakan oleh banyak orang di seluruh dunia, termasuk juga di Indonesia. Kita, khususnya yang tinggal di wilayah perkotaan, tentu sudah tidak asing lagi melihat penggunaan rokok elektrik di berbagai tempat.

Indonesia sendiri memiliki jumlah populasi pengguna vape yang tidak kecil. Tercatat pada tahun 2022 lalu misalnya, Indonesia memiliki sekitar 2,2 juta pengguna vape, di mana angka ini merupakan peningkatan sebesar 40% dari tahun 2021 (ekonomi.bisnis.com, 18/7/2022).

Jumlah pengguna di atas 2 juta orang tentu bukan merupakan angka yang kecil. Dengan besarnya jumlah pengguna vape tersebut, tentu ada alasan yang beragam yang membuat para konsumen untuk menggunakan produk tersebut. Mulai dari alasan finansial, bahwa secara total biaya vape lebih murah dibandingkan rokok, hingga vape digunakan sebagai alat yang dapat membantu para penggunanya untuk mengurangi atau berhenti merokok.

Vape atau rokok elektrik sendiri memang sudah menjadi salah satu alat yang difungsikan untuk membantu para perokok untuk mengurangi hingga menghentikan kebiasaan merokoknya. Inggris misalnya, melalui National Health Service (NHS), telah merekomendasikan rokok elektrik sebagai alat untuk membantu para perokok untuk berhenti merokok (nhs.uk, 10/10/2022).

Di sisi lain, tidak sedikit pula pihak-pihak yang memiliki tanggapan negatif terhadap fenomena meningkatnya pengguna vape di Indonesia. Mereka yang memiliki sikap sangat kontra, umumnya berpandangan bahwa vape atau rokok elektrik merupakan produk yang sangat berbahaya bagi kesehatan publik sehingga harus dilarang, atau setidaknya diregulasi secara sangat ketat.

Beberapa lembaga kesehatan dunia sendiri justru telah menyatakan bahwa rokok elektrik atau vape merupakan produk yang lebih aman dibandingkan rokok konvensional yang dibakar. Lembaga kesehatan publik asal Inggris, Public Health England, misalnya, pada tahun 2015 lalu, mengeluarkan laporan yang menyatakan bahwa vape merupakan produk yang 95% lebih tidak berbahaya bila dibandingkan dengan rokok konvensional yang dibakar (theguardian.com, 28/12/2018).

Itulah sebabnya, vape cukup sering digunakan sebagai alat untuk membantu kebijakan harm reduction dari rokok. Harm reduction sendiri merupakan serangkaian kebijakan atau program yang ditujukan untuk mengurangi dampak negatif dari penggunaan produk tertentu yang berbahaya, seperti rokok misalnya.

Menjadikan vape atau rokok elektrik sebagai alat untuk membantu program dan kebijakan harm reduction sendiri mungkin merupakan sesuatu yang belum terlalu akrab di telinga publik. Tidak bisa dipungkiri, salah satu penyebab utama dari hal ini adalah masih banyak pihak-pihak yang memiliki pandangan bahwa vape merupakan produk yang sama bahayanya, atau bahkan jauh lebih berbahaya, dari rokok konvensional yang dibakar.

Untuk itu, sangat penting bagi para peneliti dan juga para pembuat kebijakan untuk bekerja sama dan saling bertukar pengalaman dengan para peneliti dan juga pembuat kebijakan harm reduction di negara lain. Indonesia sendiri sebenarnya sudah memiliki potensi untuk melakukan hal tersebut.

Beberapa waktu lalu misalnya, ada peneliti asal Indonesia yang memaparkan penelitian mengenai pengurangan bahaya tembakau di sebuah konferensi di ibukota Filipina, Manila. Dalam konferensi tersebut, tim peneliti dari Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Padjadjaran (FKG UNPAD) memaparkan mengenai penelitian mereka mengenai masalah tingkat merokok yang tinggi di Indonesia dan dampaknya terhadap kesehatan, khususnya terhadap kesehatan gigi dan mulut.

Dalam pemaparannya, tim FKG UNPAD menyatakan bahwa terdapat perbedaan profil risiko pengguna vape dan produk tembakau yang dipanaskan dengan rokok konvensional. Risiko vape dan tembakau yang dipanaskan terhadap kesehatan lebih rendah bila dibandingkan dengan rokok (tribunnews.com, 24/3/2023).

Selain itu, dipaparkan juga oleh tim tersebut bahwa produk vape dan tembakau yang dipanaskan memiliki peran potensial untuk membantu para perokok aktif untuk mengurangi kebiasaan merokoknya. Tidak hanya itu, tim dari FKG UNPAD tersebut juga melakukan studi yang mengevaluasi penggunaan vape dan tembakau yang dipanaskan secara jangka panjang, yang juga berkolaborasi dengan berbagai peneliti dari negara lain seperti Italia, Polandia, dan Moldova (tribunnews.com, 24/3/2023).

Adanya peran aktif para peneliti Indonesia di konferensi internasional dan juga kerja sama dengan peneliti dari negara lain tentu merupakan hal yang patut untuk diapresiasi dan didukung. Permasalahan kesehatan publik yang disebabkan oleh rokok tentu bukan hanya masalah besar yang melanda Indonesia, tetapi juga masalah besar yang dialami oleh banyak negara di dunia.

Sebagai penutup, rokok merupakan salah satu masalah kesehatan publik terbesar di Indonesia saat ini, mengingat bahwa Indonesia merupakan salah satu negara dengan prevalensi perokok dewasa tertinggi di dunia. Melalui kerjasama dan kolaborasi penelitian tersebut, diharapkan akan tercipta ekosistem penelitian mengenai program dan kebijakan harm reduction yang lebih komprehensif, dan para peneliti dan pembuat kebijakan di Indonesia bisa saling belajar satu sama lain dan bertukar pengalaman dengan para peneliti dan pembuat kebijakan dari negara-negara lain.

Originally published here

The UK to Handout a Million Vape Starter Kits to Smokers Seeking to Quit

The Ministry of Health will be giving out the kits as part of a new anti-smoking drive which includes plans for a crackdown on illicit vape sales. 

While official UK public health groups such as Public Health England (PHE) and Action on Smoking and Health (ASH) keep assuring that there is no teen vaping epidemic while arguing in favour of the benefits of vapes for smoking cessation, the Guardian has just released an article claiming that teen vaping is a “public health catastrophe.”

“I am concerned that we are sleepwalking into a public health catastrophe with a generation of children hooked on nicotine,” said Prof. Andrew Bush, a consultant paediatric chest physician at Royal Brompton and Harefield hospitals, as quoted by the Guardian. The article went on to quote a number of parents who are voicing their concerns about their children’s vaping habits.

Meanwhile, the Consumer Choice Center (CCC) cited a 2021 Action on Smoking and Health (ASH) report, which examined vaping behaviours among youths in the UK, and found that an overwhelming majority (83%) of teens and pre-teens aged between 11 and 18, have never tried or even heard of e-cigarettes. This finding has remained consistent since 2017.

Read the full text here

Illinois Considers a Vape Ban in Public Spaces

State Senator Julie Morrison has been striving to put an end to tobacco use by teens since entering the General Assembly. In 2019, she passed a law that increased the state’s tobacco age limit to 21. And after carrying out extensive work to combat smoking, she has turned her attention to vapes.

The state’s existing Smoke Free Illinois Act has prohibited smoking in public and within 15 feet of entrances since 2007. However, when this law took effect most people used combustible tobacco, and now Morrison would like to extend it to vaping via Senate Bill 1561. Last year she also set in place a measure that restricts marketing of vaping productsso that it does not appeal to minors.

Meanwhile in 2022, Senate Bill 3854 was introduced to ban flavoured products including THC vaping devices, heat-not-burn systems and chewing tobacco products. In response to this bill and in line with arguments by tobacco harm reduction experts, Elizabeth Hicks from the U.S. Affairs analyst with the Consumer Choice Center, said that enacting a flavour ban for vaping products, will just lead former smokers back to smoking.

Read the full text here

Exemption of Vape Liquid with Nicotine from Poisons Act a Positive Sign towards Vape Regulations

KUALA LUMPUR, 30th March 2023 – The Consumer Choice Center (CCC) expresses its
support for the Government in its move to exempt vape liquid with nicotine from the Poisons
Act, adding that this would pave way for vape liquids containing nicotine to be regulated
appropriately instead of being subject to the Poisons Act that is unsuitable for vaping
products.
Malaysian Consumer Choice Center representative, Tarmizi Anuwar says: “The exemption of
vape liquids containing nicotine from the Poisons Act must be complemented with
introduction of laws or amendments to existing laws to enable the products being regulated
in a smart and coherent way. Otherwise, consumers will only continue to access unregulated
products.”
Tarmizi also said that with a smart regulatory framework, vapers will have access to
products that are compliant to standards which is a similar practice in other countries that
have regulations on vape products.
“Malaysian consumers have been accessing unregulated products for many years and a
reform is overdue. It is important to ensure the products adhere to fixed quality and safety
standards to protect consumers. In addition, regulations would also enable efforts to
prevent underage vaping which could be done through smart rules and enforcement of age
restrictions at points of sale as well as use of modern age verification technology for online
sales.”
“Access to regulated vape products also act as an impetus for smokers to switch to less
harmful alternatives. Globally, many countries are seeing a decline in smoking rates due to
vaping and with regulations, more smokers in Malaysia will stop smoking and switch to
vaping products,” said Tarmizi.

On the idea of introducing a Generational End Game (GEG) that was brought into the discussion
by the previous Health Minister, Tarmizi believes that it is difficult to implement in Malaysia
and the Government should establish an independent committee to conduct in-depth studies
as well as assessing the impact before making any decision.

“This is a big decision to be made in the current political and economic climate. In addition,
there are numerous challenges including the problem of an already existing large black
market. Instead of rushing into making this decision, the Government should establish a
comprehensive committee comprising of local and international independent public health
experts, economists, representatives of retail sectors and enforcement agencies to assess
the impact before making a decision. Other countries have been successful in lowering
smoking rates without such a heavy-handed ‘endgame’,” he concluded.

Industri Vape dan Revisi Peraturan Pemerintah No. 12 Tahun 2012

Sudah menjadi rahasia umum bahwa, Indonesia merupakan salah satu negara dengan jumlah perokok aktif terbanyak di dunia. Berdasarkan data dari Global Adult Tobacco Survey, pada tahun 2021 lalu misalnya, jumlah perokok dewasa di negara kita berjumlah sekitar 69,1 juta jiwa (sehatnegeriku.kemkes.go.id).

Angka ini tentu bukan jumlah yang sangat kecil. Jumlah perokok aktif yang besar di sebuah negara tentunya juga akan membawa berbagai masalah kesehatan publik yang besar seperti biaya kesehatan publik yang berpotensi besar akan membengkak yang disebabkan oleh berbagai penyakit kronis akibat konsumsi rokok.

Selain itu, yang mendapatkan penyakit kronis dari rokok tentunya juga bukan hanya mereka yang menjadi perokok aktif. Orang-orang yang tinggal dan berada di sekitar para perokok juga berpotensi dapat mengalami berbagai penyakit yang disebabkan oleh asap rokok yang mereka hisap, baik itu keluarga hingga masyarakat umum.

Untuk itu, jumlah tingginya populasi perokok di Indonesia bukan masalah yang kecil, dan harus dapat segera diselesaikan. Bila hal ini tidak diselesaikan, maka tentunya kesehatan publik masyarakat Indonesia bisa semakin terancam, dan juga akan semakin meningkatkan biaya kesehatan publik.

Harus diakui bahwa, permasalahan kesehatan yang disebabkan karena rokok tentu bukan hanya dialami oleh Indonesia saja, tetapi juga berbagai negara lain di seluruh dunia. Oleh karena itu, berbagai negara telah melakukan banyak upaya yang ditujukan untuk menanggulangi permasalahan tersebut, mulai dari peraturan yang membatasi peredaran produk-produk rokok secara ketat, hingga peraturan yang melarang total berbagai kegiatan produksi dan konsumsi rokok.

Indonesia sendiri sudah memiliki berbagai aturan yang ditujukan untuk mengurangi insentif seseorang untuk merokok, salah satunya adalah kebijakan cukai. Selain itu, beberapa tahun lalu misalnya, pemerintah Indonesia menerapkan aturan yang mewajibkan para produsen rokok untuk mencantumkan gambar yang menunjukkan dampak berbahaya dari konsumsi rokok terhadap kesehatan (antaranews.com, 20/6/2014).

Sehubungan dengan aturan tersebut, beberapa tahun lalu, Indonesia juga mengeluarkan regulasi untuk mengatur peredaran rokok di dalam negeri, salah satunya adalah Peraturan Pemerintah (PP) No. 109 tahun 2012. Aturan tersebut mmeberikan serangkaian regulasi mengenai penjualan produk-produk rokok, seperti larangan menjual rokok melalui vending machine, serta kewajiban mencantumkan bahaya rokok dan juga pembatasan hanya boleh menjual maksimum 20 batang rokok per bungkus.

Adanya aturan tersebut tentu bisa dipahami mengingat tingginya jumlah perokok yang ada di Indonesia. Bila jumlah perokok ini semakin meningkat, maka tentunya hal tersebut akan semakin membahayakan kesehatan publik dan akan semakin membengkakkan biaya layanan kesehatan yang dibiayai oleh pemerintah.

Terkait dengan peraturan tersebut, beberapa waktu lalu, Pemerintah Indonesia memutuskan untuk merevisi PP tentang regulasi produk tembakau tersebut. Beberapa revisi dari aturan tersebut diantaranya adalah mengenai pelarangan iklan, promosi, memperbesar gambar peringatan dalam bungkus rokok, dan juga pelarangan bagi para penjual untuk menjual rokok secara batangan (cnnindonesia.com, 27/01/2023).

Tetapi, tidak hanya itu. Adanya revisi tersebut juga berpotensi akan menyamaratakan regulasi yang dikenakan kepada rokok konvensional yang dibakar, dengan rokok elektrik. Sebelumnya, vape, yang masuk dalam golongan produk Hasil Pengolahan Tembakau Lainnya (HPTL) tidak termasuk dalam PP tersebut (ekonomi.bisnis.com, 28/7/2022).

Hal ini tentu merupakan perkembangan yang mengkhawatirkan. Bila vape atau rokok elektrik diregulasi dengan metode dan cara yang sama dengan rokok konvensional yang dibakar, maka tidak mustahil hal ini akan semakin mempersulit konsumen dalam mendapatkan produk vape. Dengan demikian, para perokok akan semakin sulit mendapatkan produk nikotin alternatif yang dapat membantu mereka mengurangi hingga menghentikan kebiasaan merokoknya.

Tidak hanya itu, wacana mengenai pelarangan vape di Indonesia juga merupakan hal yang semapt disampaikan oleh berbagai pihak di pemerintahan. Beberapa waktu lalu misalnya, Wakil Presiden Maaruf Amin mengatakan bahwa, bila vape atau rokok elektrik terbukti berbahaya, maka pasti akan dilarang oleh pemerintah (cnnindonesia.com, 27/01/2023).

Padahal, laporan yang dikeluarkan oleh lembaga kesehatan dari berbagai negara menunjukkan bahwa, vape atau rokok elektrik merupakan produk yang jauh lebih tidak berbahaya bila dibandingkan dengan rokok konvensional yang dibakar. Pada tahun 2015 lalu misalnya, lembaga kesehatan publik asal Inggris, Public Health England (PHE), mengeluarkan laporan bahwa vape atau rokok elektrik merupakan produk yang 95% jauh lebih tidak berbahaya bila dibandingkan dengan rokok konvensional yang dibakar (theguardian.com, 28/12/2018).

Tidak hanya itu, vape atau rokok elektrik juga terbukti merupakan produk yang dapat membantu para perokok untuk menghentikan kebiasaan merokoknya yang sangat berbahaya bagi kesehatan. Vape atau rokok elektrik misalnya, merupakan produk yang dua kali lipat lebih efektif untuk membantu perokok untuk berhenti merokok dibandingkan dengan produk nikotin alternatif lainnya, seperti permen karet nikotin (nhs.uk, 2022),

Oleh karena itu, sangat penting bagi para pembuat kebijakan untuk juga melibatkan para konsumen dalam formulasi kebijakan tekait regulasi produk-produk tembakau, seperti vape dan rokok elektrik. Hal ini dikarenakan para konsumen itu lah yang akan paling merasakan dampak dari regulasi tersebut. Jangan sampai, kebijakan yang didasari pada niat baik, yakni untuk menanggulangi dampak negatif dari konsumsi rokok, menjadi sesuatu yang kontra produktif dan membawa dampak yang negatif terhadap kesehatan publik.

Originally published here

Unity gov’t needs to swiftly legislate sale of only ‘registered’ vapes to prevent drug abuse

THE Malaysian Substance Abuse Council (MASAC) has called on the Government to put in place a special budget for further studies towards creating a special law to mandate that only vapes approved by the Government can be sold by traders.

The come about as the presence of various vape brands that do not go through the proper approval process has resulted in vapes flavoured with prohibited substances such as drugs to be made available in the market, according to MASAC president Ahmad Lutfi Abdul Latiff.

“This has resulted in more drug addicts starting to smoke drugs through the use of vapes that are not registered with the government before gradually switching to more dangerous types of drugs in the future,” he highlighted in MASAC’s revised Budget 2023 wish list.

“There is a need to streamline efforts to create special legislation to sell only registered vapes, ability to control the use of prohibited substances such as drugs from widespread use especially among teenagers and towards increasing the government’s income from registered vape taxes.”

Meanwhile, the Consumer Choice Centre (CCC) agrees with Health Minister Dr Zaliha Mustafa regarding concerns about the sale of vaping-related products to children.

According to the representative of its Malaysian chapter, Tarmizi Anuwar, CCC does not support vaping by youth or children under 18 years of age and suggested that the government quickly implement smart laws to regulate the sale and marketing of vape products.

Read the full text here

Scroll to top
en_USEN